Sembilan

1598 Words
“But in the morning it found the skin of a sheep—”   Dongeng yang tengah Alinka terputus ketika merasakan sebuah tangan mungil jatuh ke atas perutnya. Yang kemudian berhasil membuat Alinka tersenyum ketika menyadari kalau si pemilik tangan mungil itu telah jatuh terlelap di tengah dongeng yang sedang dibacakannya.   Alinka lalu perlahan-lahan bergeser, menggantikan posisinya dengan sebuah guling lalu menaikkan selimutnya ke setengah tubuh bocah yang sudah terlelap itu sebelum kemudian mengusap pelan rambutnya. “Selamat tidur siang, Rayn.” Alinka pun menutup sebelah tirai kamarnya agar cahaya di kamar tidurnya tidak terlalu silau untuk kegiatan tidur siang Rayn.   Alinka berpindah ke sofa, memilih melanjutkan kegiatannya window shopping secara online sambil menunggu Rayn bangun dari tidur siangnya. Tetapi bersamaan dengan itu, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Membuat Alinka otomatis mengernyitkan dahi ketika membaca pesan yang baru saja masuk tersebut.   “Tumben.” Tetapi meski demikian, Alinka tetap membuka pesan singkat yang baru saja masuk itu dengan antusias.   Rendi: Alin, lagi apa?   Alinka: Lagi liat-liat zalora... hehe. Kamu tumben chat siang-siang? Nggak kerja?   Rendi: Kerja, ini aku baru balik meeting sama klien di GI   Alinka: Ih enak bisa sambil lihat-lihat...   Rendi: Aku kerja, Alin, selesai meeting juga langsung balik   Alinka: Iya aku bercanda. Kamu tuh serius banget sih!   Rendi: Mau sampai kapan main-main terus, Lin. Kita sudah dewasa. KAMU sudah dewasa. Grow up. Rendi: Kamu udah apply lamaran kerja lagi? Udah kontak Mbak Dela, temen aku yang HRD di kantor majalah itu belum?   Alinka: Udah apply tadi pagi. Alinka: Soal Mbak Dela, belum. Bukan belum sih, tapi kayaknya aku nggak akan coba lamar di sana. Aku kurang tertarik sama job desknya...   Pesan terakhir Alinka sudah terbaca, tetapi sampai tiga menit kemudian tidak ada balasan lagi dari Rendi yang membuat Alinka seketika merasa gugup. Kalau begitu itu pertanda kekasihnya itu kesal padanya.   Rendi dan Alinka sudah berpacaran sejak tahun terakhir kuliah mereka, namun Rendi lulus lebih dulu dari Alinka karena lelaki itu memang termasuk laki-laki yang lumayan ambisius soal pendidikannya sehingga berhasil menyelesaikan studinya dalam waktu tiga setengah tahun.   Rendi juga langsung diterima bekerja begitu lulus di salah satu perusahaan teknologi Indonesia yang bergerak di bidang marketplace online. Dan karena kesibukan Rendi juga membuat dirinya dan Alinka semakin sedikit memiliki waktu untuk berkencan, ditambah saat itu Alinka juga sedang sibuk menyelesaikan skripsinya.   Sejak awal Rendi menyatakan cintanya pada Alinka, teman-teman dekat Alinka terutama Renata adalah yang paling sanksi soal hubungan mereka. Terlebih karena Renata tahu bagaimana sosok Rendi sendiri yang merupakan laki-laki serius, ambisius dan perfectsionist. Sangat sulit dipercaya lelaki seperti Rendi bisa memiliki perasaan pada Alinka yang bisa dibilang nyaris seratus delapan puluh derajat berbeda darinya.   Kalau soal cantik, ya tidak dipungkiri Alinka memang memiliki paras yang cantik. Tetapi masih ada Hera, salah satu perempuan tercantik di angkatan mereka yang juga sangat berprestasi dan jelas pintar—yang kelihatannya lebih cocok dengan Rendi jika dibandingkan Alinka. Apalagi, Hera dan Rendi juga terlihat cukup dekat karena mereka sama-sama tergabung di organisasi kampus bersama.   Sedangkan Alinka, perempuan itu hanyalah mahasiswa kupu-kupu alias kuliah-pulang meski pulangnya Alinka itu berarti ke mall bukan ke rumah.   Tetapi namanya cinta, kadang memang tidak bisa diukur oleh logika. Pada akhirnya, Alinka pun jatuh cinta pada Rendi dan akhirnya menerima laki-laki itu untuk menjadi kekasihnya meski memiliki sekian banyak perbedaan pada sifat dan gaya hidup keduanya.   Buktinya, sekarang hubungan mereka sudah berjalan dua tahun dan mereka masih baik-baik saja meski akhir-akhir ini Rendi lebih sering memarahi Alinka karena perempuan itu terlalu santai menjalani hidupnya dan tentunya, boros.   Beberapa menit kemudian, nama Rendi terpampang menghiasi layar ponsel Alinka menandakan panggilan masuk. Alinka nyaris menjatuhkan ponselnya ke lantai karena tidak menyangka kalau kekasihnya itu akan menghubunginya lewat panggilan suara.   “Halo?”   “Aku udah kontak Mbak Della, besok kamu ke kantornya buat interview.”   Alinka mengernyit. “Ren, kok kamu gitu sih? Aku kan udah bilang—”   “Lin, kalau mau terus ngikutin ‘selera’ kamu, kapan kamu bakalan punya kerja. Nggak cocok sedikit, nggak betah sedikit kamu langsung resign! Kamu selalu seperti itu. Kamu nyalahin pekerjaan kamu padahal semua masalah itu adanya di diri kamu!”   Alinka tersentak. Meski bukan kali ini saja Rendi menaikkan nada suaranya dengan begitu tegas ketika memarahi Alinka, tetapi tetap saja Alinka masih tidak pernah bisa terbiasa mendapati perlakuan seperti itu. She’s the princess in her house. Meski ayahnya bersikap tegas padanya dalam beberapa hal, Alinka tidak pernah sekalipun dibentak. Alinka terbiasa dimanja dan diperlakukan seperti tuan putri.   “Tapi Ren, kalau kerjaannya nggak cocok aku juga nanti kerjanya nggak bener. Nanti kalau kerjaku nggak bagus, kamu juga yang kena karena kamu yang rekomendasiin aku di situ.”   “Makanya aku selalu bilang sama kamu, Lin, grow up! Kamu bukan anak kecil lagi. Yang punya tekanan dan masalah di tempat kerja bukan kamu aja. Aku juga punya, tetapi aku hadapi semua itu. Bukannya nyerah.”   Alinka menggigit bibir bagian dalamnya. Bukan ingin menangis, melainkan Alinka menahan diri untuk tidak membalas ucapan Rendi sesuka hatinya.   Iya, sejak menjadi kekasih Rendi, Alinka terbiasa menahan diri. Mungkin itu sebabnya hubungan mereka bisa langgeng daripada seharusnya. Bukan karena keduanya saling mengerti perbedaan satu sama lain melainkan Alinka yang memang selalu berusaha menghindari adanya perkelahian di antara mereka.   Entah sejak kapan, sejak bersama Rendi, Alinka berubah menjadi orang lain. Bersama Rendi, Alinka yang pemberani, egois, seenaknya dan sulit diatur seketika menjadi Alinka yang diam dan penurut. Bahkan ketika emosi sudah nyaris meledak di ujung kepalanya, Alinka bisa menahan diri demi tidak terjadinya pertengkaran antara dirinya dan Rendi.   Dan sesungguhnya, hubungan seperti itu adalah toxic relationship. Alinka bukan mengalah karena diperlukan tetapi lebih kepada memaksa dirinya melakukan hal tersebut demi menghindari masalah dan bukannya diselesaikan.   “Alin, kamu denger aku?”   Suara Rendi seketika menyadarkan Alinka. Anyir darah mulai terasa di lidahnya. Ah, pasti karena Alinka sudah menggigit bibirnya terlalu keras dan lama. “Iya denger,” jawabnya pelan.   “Good. Besok aku anterin kamu ke kantornya Mbak Della, terus malamnya kita makan malam.”   “Iya...”   “Ok, aku mau balik kerja lagi kalau gitu. I love you.”   Alinka sekuat tenaga untuk tidak menghela napasnya dengan berat sebelum membalas ucapan kekasihnya, “I love you too. Semangat kerjanya.”   Dan sambungan pun diputus.   Alinka menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa setelah melempar ponselnya dengan sembarang. Tidak peduli kalau kemungkinan besar ponsel itu terpental dan jatuh ke lantai. Terserah.   Alinka memejamkan mata. Apa mencintai seseorang harus semelelahkan ini rasanya?   Sebuah sentuhan di lutut Alinka membuat perempuan itu menegakkan kembali kepalanya yang semula bersandar pada sofa untuk kemudian menemukan Rayn sedang berdiri di depannya dengan sebelah tangan mengucek mata. Bocah itu sepertinya terbangun dari tidurnya.   “Rayn, kok udah bangun?” tanya Alinka sambil memajukan tubuhnya lalu mengangkat bocah itu untuk duduk di pangkuan menghadap ke arahnya. “Bangun karena berisik, ya?” tanya Alinka merasa bersalah karena mungkin percakapannya dengan Rendi di telepon tadi membuat Rayn terbangun.   Rayn menggeleng, mata bulatnya yang masih mengantuk itu lalu berkedip-kedip sebelum menatap Alinka dengan polos. “Mo s**u,” ucapnya pelan.   Alinka lalu tertawa. “Mau s**u?” tanya Alinka mengulang ucapan bocah itu dengan pengucapan yang benar.   Rayn mengangguk. “Mau s**u,” ulangnya mengikuti kata Alinka.   Entah karena rasa sukanya pada anak-anak atau karena kepolosan dan kelucuan Rayn yang membuat Alinka seketika merasa jauh lebih baik. Seolah percakapannya dengan Rendi beberapa waktu lalu tidak pernah ada dan tergantikan dengan sikap menggemaskan dan manja Rayn yang saat ini bersandar nyaman di dadanya.   Alinka memeluk bocah di pangkuannya itu dan mengusap lembut kepalanya dengan sayang. Tidak menyangka kalau aroma baby cologne dan minyak telon bisa membuat perasaannya jauh lebih nyaman.   ***   Alinka baru selesai dengan urusannya di kamar mandi ketika menemukan sosok Rayn menghilang dari sofa ruang TV. Hanya ada gelas s**u yang tersisa seperempat bersebelahan dengan piring berisi cookies yang tersisa tiga buah.   “Loh Ma, Raynnya ke mana?” tanya Alinka pada Dewi karena tidak menemukan Rayn di tempatnya semula.   Dewi yang sedang sibuk menonton tayangan gosip sore di televisi menyahut tanpa menoleh ke arah putrinya, “Udah dijemput sama Papanya tadi pas kamu di kamar mandi.”   Alinka merengut. “Yah, aku kan belum pamitan sama Rayn!” Alinka memprotes tidak terima karena harus berpisah dengan bocah yang seharian bermain bersamanya itu tanpa ucapan selamat tinggal.   Dewi mendelik, “Kamu nih, orang rumahnya Rayn ada di sebrang rumah kita gitu kok. Kalau kangen tinggal main ke situ.” Wanita berkepala lima itu lalu menyadari raut wajah putrinya yang sendu. “Ya ampun, segitunya langsung lengket sama Rayn ya kamu padahal baru juga kenal beberapa jam?” tanyanya penasaran.   Alinka mengedikkan bahu. “Nggak tahu, Alin juga kaget baru kali ini langsung attached gitu sama anak kecil. Sama Audrey dan Adrian aja kan Alin nggak langsung seakrab ini.” Audrey dan Adrian adalah anak-anak dari kakak sepupu Alinka.   “Tahu nggak tadi Rayn juga nanyain kamu sebelum dibawa sama Papanya. Tapi kayaknya dia sudah kangen banget sama Papanya sih.”   “Ibunya memang ke mana deh Mam?” tanya Alinka penasaran. Saat bermain dengan Rayn seharian ini, bocah itu tidak jarang menyebutkan soal ayahnya yang ia panggil ‘Daddy’ beberapa kali. ‘Kata Daddy, daddy begini, daddy begitu’ tetapi Alinka nyaris tidak pernah mendengar Rayn menyebutkan soal ibunya.   “Kenapa? Kamu mau jadi Ibu sambungnya?”   Alinka mendelik. “Mam, apaan sih! Orang aku nanya doang, penasaran soalnya Rayn juga nggak ada nyebut-nyebut kata Mama atau Mommy sama sekali gitu.”   Dewi tertawa dengan jawaban putrinya atas leluconnya. “Udah nggak ada.”   “Serius, Ma?” Seketika ekspresi Alinka berubah sendu. Perempuan itu tidak menyangka bocah sekecil Rayn sudah harus menjadi piatu di usianya tersebut. Kasihan sekali...   “Masih hidup, tapi pergi gitu aja nggak pernah muncul di depan anaknya jadi ngapain juga dianggap ada.” Lanjutan ucapan Dewi membuat Alinka seketika menatap ibunya itu bingung. Dewi menghela napas sebelum melanjutkan, “Intinya, Ibunya Rayn tuh udah ninggalin Rayn dan Daddynya. Mama juga kurang tahu alasannya yang jelas sekarang Nak Bara itu single parent buat Rayn. Dan sedihnya mereka di sini itu sebatang kara, benar-benar cuma hidup berdua.”   Ah, bahkan kenyataan ditinggalkan hidup itu jauh lebih menyakitkan dibanding ditinggalkan karena sebuah kematian. Karena kematian adalah takdir yang datangnya dari Tuhan dan tidak memiliki pilihan selain mengikhlaskan, tetapi meninggalkan dalam keadaan hidup adalah sebuah pilihan.   Alinka tidak bisa untuk tidak merasakan perasaan simpati pada Rayn begitupun juga pada ayahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD