Alinka baru saja membuka pintu penumpang dan langsung mendapatkan sambutan dari suara dingin milik Rendi kekasihnya. Perempuan itu sudah menduga kalau hal ini lah yang akan didapatkannya akan keputusannya beberapa jam yang lalu, tetapi Alinka tidak menyangka kalau suara dingin kekasihnya kini dibarengi dengan ekspresi lelaki itu yang terlihat marah.
“Mbak Della tadi nelpon aku, you messed the interview.”
Alinka menghela napas sambil mengenakan sabuk pengamannya. “Aku nggak maksud bikin kamu malu—”
“Ini bukan soal aku yang malu atau nggak, Lin!” Suara Rendi meninggi. “Ini soal kamu yang lagi-lagi nggak mau berusaha!”
Alinka memejamkan matanya. Jujur, Alinka lelah setelah seharian ini mengikuti proses interview kerja yang disarankan Rendi. “Aku bukan nggak mau usaha, Rendi, kamu ngerti nggak sih kalau kerjaan itu memang nggak cocok sama a—”
“Gimana kamu tahu cocok atau nggak padahal kamu belum nyoba?”
“Kamu pikir selama ini kenapa aku keluar dan ganti-ganti pekerjaan terus? Karena aku memaksakan diri kerja di tempat yang nggak cocok sama skill aku! Aku bukan kamu yang pintar adaptasi, aku nggak bisa ngerjain sesuatu yang di luar kemampuanku!”
“Kamu hanya belum berusaha lebih keras, Lin, kamu itu terbiasa dimanja dan memanjakan diri kamu that’s why kamu nggak kompeten dalam hal apapun!”
Ada keheningan mencekam begitu kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Rendi membahana di dalam Mercedes Benz GLE-Class yang dikemudikan lelaki berusia dua puluh empat tahun tersebut.
Alinka tidak tahu apakah yang ia rasakan saat ini sakit hati karena ucapan menyakitkan kekasihnya atau justru gumpalan kenyataan yang sedang Rendi coba jejalkan ke dalam kepalanya. Yang Alinka tahu, tangannya gemetar, ingin menangis.
Rendi mengusap sebelah wajahnya, tetapi sampai akhirnya mobil berwarna putih itu berhenti di depan pagar rumah Alinka, keduanya masih tidak ada yang bersuara sampai kemudian Alinka akhirnya memutuskan melepas seatbeltnya.
“Ren—”
“Alin—”
Keduanya sama-sama terdiam seolah memberi masing-masing lawan bicara mereka untuk bicara lebih dulu. Tetapi pada akhirnya justru tidak ada yang bersuara karena kehilangan moment mereka.
Ada sebuah hela napas cukup panjang yang diambil oleh Rendi sebelum kemudian lelaki itu melepas seatbeltnya sendiri dan mengambil sesuatu di kursi belakang. Sesuatu yang tidak disadari Alinka berada di sana sejak ia naik ke mobil kekasihnya.
Sebuah bouquet hydrangea berwarna biru pastel cantik kini berpindah ke atas pangkuan Alinka.
Alinka berkedip. Mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali Rendi memberikannya bunga. Mungkin saat mereka anniversary beberapa bulang yang lalu? Entahlah. Bahkan seingat Alinka mereka hanya makan malam saat itu dan Rendi tidak memberikannya bunga.
Alinka mengangkat wajahnya, menatap kekasihnya yang kini tidak menatapnya sama sekali. Alinka merasakan sesuatu di hatinya seperti dipukuli. Sakit, sesak. Alinka jadi merasa bersalah, Rendi pasti sangat berharap Alinka bisa mendapatkan pekerjaan ini.
“Ren aku—”
“Let’s break up.”
Ucapan Alinka dengan sukses terputus oleh tiga kata yang terucap dari bibir kekasihnya. Bukan hanya membuat lidahnya kelu tetapi seolah waktu di sekelilingnya mendadak dipaksa berhenti.
“Apa?”
“Sebaiknya kita putus. Kita butuh waktu untuk diri kita masing-masing.” Rendi akhirnya menoleh dan untuk pertama kalinya menatap balik Alinka sejak mereka sampai di depan rumah Alinka malam itu.
Alinka berharap ada kilat jenaka di sepasang mata legam milik kekasihnya tersebut yang berarti bahwa apa yang dikatakan lelaki itu hanyalah bagian dari leluconnya. Tetapi Alinka bahkan tahu Rendi adalah orang paling serius yang pernah dia temui dan sangat jarang melempar lelucon. Tetapi untuk malam ini, Alinka berharap Rendinya berubah menjadi orang lain.
“Aku sadar, kita butuh waktu untuk fokus sama diri kita masing-masing. Terutama kamu.” Ada jeda beberapa detik sebelum Rendi melanjutkan ucapannya, “Aku capek harus selalu jadi tumpuan kamu. Aku mau kamu juga bisa berdiri dengan kedua kaki kamu sendiri, Lin, aku mau kamu—”
“Jadi kamu capek jadi pacar aku, Ren?”
“Bukan itu pointnya, aku hanya capek sama kamu yang masih kekanakan dan manja.”
Alinka tertawa. Jelas bukan suatu jenis tawa yang menandakan bahwa percakapan mereka saat ini sesuatu yang lucu. “Ha, kamu harusnya tahu kan dari awal waktu mutusin buat deketin aku dan ngajak aku pacaran? Aku selalu apa adanya sama kamu, kamu harusnya tahu kalau itu memang sifat aku!”
“Karena aku pikir kamu akan berubah, Lin! Aku pikir—” Rendi mengacak rambutnya, ia sadar perdebatan ini ujung-ujungnya hanya akan berputar-putar tidak jelas dan mereka berdua terlalu emosi untuk saling bisa berpikir jernih. “Lin, aku mau putus bukan karena udah nggak sayang sama kamu, this is for our best.”
“Basi.” Alinka tertawa sebelum kemudian melempar bouquet di pangkuannya ke atas dashboard mobil. “Kalau mau putus ya putus aja nggak usah alasan ini untuk yang terbaik! There’s nothing good in breaking someones heart!” Alinka lalu menyandang shoulder bagnya sebelum kemudian membuka pintu mobil Rendi dengan amarah yang jelas masih membumbung.
Rendi turun dari mobil untuk menahan lengan Alinka sebelum perempuan itu mencapai gerbang rumahnya. “Lin!”
Alinka mengibaskan tangan Rendi yang mencoba menahan lengannya. Air mata yang Alinka pikir tidak akan tumpah ternyata luruh juga. Haha, dasar payah.
“Lepas, Ren!”
“Lin, aku lakuin ini demi—”
“SHUT UP!” Alinka benar-benar berteriak kali ini, tidak peduli kalau mungkin suaranya akan didengar seluruh tetangganya. “Oke kalau kamu maunya pisah, let’s break up. Dan inget ini ya Ren, aku yang mutusin kamu bukan sebaliknya.”
Rendi mundur selangkah. Tidak tahu kata-kata apa lagi yang harus ia katakan saat ini. Keduanya sudah terlanjur kacau malam ini dan apapun yang keluar dari mulut mereka dalam keadaan ini hanya akan membawa mereka pada jurang kehancuran yang lebih dalam.
Akhirnya Rendi hanya bisa berucap kata maaf dengan lirih sebelum akhirnya kembali ke dalam mobilnya dan menghilang dari hadapan Alinka. Meninggalkan perempuan itu kini bersandar pada gerbang pagar rumahnya sambil memeluk tasnya sendiri dan menangis sejadi-jadinya.
Rendi bukan pacar pertama Alinka, bukan yang tertampan atau bahkan yang terkaya. Tetapi Rendi adalah pacar Alinka yang paling lama berhubungan dengannya. Meski hampir semua orang yang mengenal Alinka nyaris mengatakan kalau Alinka terlalu mencintai Rendi melebihi cinta Rendi kepadanya, Alinka tidak pernah peduli dan mendengarkan. Meski lelaki itu adalah laki-laki tercuek dan terdingin yang pernah dipacarinya, Alinka bertahan karena ia mencintai Rendi.
Dan kini, hubungan dua tahun mereka harus berakhir.
“KAKAK ALIN!” Suara teriakan dari sebrang tempat Alinka berdiri membuat perempuan itu otomatis membuka matanya untuk bisa melihat di balik genangan air matanya.
Dari pandangan buramnya tersebut, Alinka bisa melihat sosok bocah laki-laki yang beberapa hari lalu bermain dengannya seharian. Bocah itu terlihat berdiri di sebelah sosok tinggi tegap menjelang yang menggandeng lengan mungilnya.