Sebelas

1042 Words
“KAKAK ALIN!” Suara teriakan dari sebrang tempat Alinka berdiri membuat perempuan itu otomatis membuka matanya untuk bisa melihat di balik genangan air matanya.   Dari pandangan buramnya tersebut, Alinka bisa melihat sosok bocah laki-laki yang beberapa hari lalu bermain dengannya seharian. Bocah itu terlihat berdiri di sebelah sosok tinggi tegap menjelang yang menggandeng lengan mungilnya. Alinka terpaksa mengusap air matanya meski sulit berhenti dari segukannya karena, for God sake, berhenti ketika sedang menangis sesegukan sama sulitnya seperti mencoba membuka mata ketika bersin.   Alinka masih sesegukkan ketika memaksakan diri membalas lambaian tangan bocah itu. Ah, memalukan sekali sih. Alinka tidak tahu harus meletakkan di mana wajahnya saat ini. Jelas bukan karena menangis di hadapan Rayn melainkan lelaki di sebelahnya yang kemungkinan besar adalah ayahnya.   Alinka ingin segera melarikan diri dari sana, tetapi hal yang tidak inginkan justru terjadi. Ketika Alinka bisa melihat Rayn menarik lengan ayahnya tersebut untuk menyebrang dari halaman rumahnya menuju ke tempat Alinka berdiri saat ini.   “Duh...ngapain sih mereka kok malah ke sini...” Alinka masih berusaha mengatur sisa segukannya agar sepenuhnya bisa berhenti. Air matanya bahkan sudah mulai mengering tetapi segukan sialan itu tidak kunjung pergi.   “Daddy, kakak Alin nangis!” Rayn menunjuk-nunjuk Alinka begitu jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah lagi dengan Alinka.   Bara sendiri yang ingin menolak putranya seolah tidak memiliki tenaga dan pasrah saja ketika Rayn menyeretnya hingga sampai di hadapan perempuan muda yang tidak dikenalnya tersebut.   “Rayn...”   “Kata daddy kalau ada orang yang nangis berarti sedih...orang sedih harus dipeluk!”   Alinka terbatuk mendengarnya bersamaan dengan Rayn dan Bara yang kini sudah berada tepat di hadapannya dan bisa melihat jelas wajahnya yang habis menangis di bawah temaram lampu halaman rumah Alinka.   “Ha—halo, Rayn!” Alinka memaksakan diri menyapa bocah itu dengan ramah meski jelas sekali perempuan itu masih mencoba mengontrol sesegukannya.   “Kakak Alin sedih?” tanya bocah itu dengan kedua mata bulatnya, menatap Alinka dengan polos. Ada kilat kesedihannya juga di sana ketika menyadari Alinka sedang bersedih.   “Mmmh, nggak kok Rayn!” Alinka jelas berbohong. Tetapi suasana saat ini sudah terlalu awkward untuk Alinka mengatakan yang sejujurnya. Bahkan Alinka yakin kalau mungkin saja Rayn dan ayahnya ini sudah berada di sebrang sana sejak Alinka dan Rendi bertengkar tadi. Haduh, memalukan!   Alinka memang ingin berkenalan dengan ayah Rayn, tetapi bukan dalam keadaan seperti ini.   “Rayn, kakak Alinnya capek baru pulang kerja. Kita juga pulang, yuk? Kasihan kakak Alinnya.” Bara akhirnya bersuara untuk pertama kalinya karena lelaki itu juga tidak tahu harus bagaimana dalam keadaan canggung tersebut.   Rayn menggeleng. Lalu bocah itu menarik tangannya dari genggaman sang ayah dan berjalan menghampiri Alinka yang kelihatan salah tingkah dan sama bingungnya dengan ayahnya.   Secara refleks, Alinka berlutut untuk mensejajarkan dirinya dengan bocah laki-laki berpipi tembam tersebut. Dan ketika Alinka baru saja ingin membuka suara, pelukan bocah itu membuat seluruh kata-kata di lidahnya seolah tertelan kembali.   “Kata Daddy, kalau ada orang yang lagi sedih harus dipeluk biar nggak sedih lagi.” Rayn lalu sedikit merenggangkan pelukannya dan menoleh ke arah sang ayah. “Daddy kok nggak meluk Kakak Alin?”   Tatapan Alinka secara otomatis tertuju pada sepasang oniks tajam di hadapannya yang ternyata juga sedang menatapnya. Keduanya tidak tahu apa yang harus mereka lakukan di tengah keadaan yang begitu canggung tersebut, tetapi tidak tahu juga kenapa tatapan mereka justru terpaku satu sama lain untuk beberapa saat.   “Ekhm, Rayn.” Bara berdeham salah tingkah sambil menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba saja terasa gatal. “Pulang yuk, Nak? Itu Kakak Alinnya mau istirahat, sayang.”   Alinka yang pada akhirnya mulai bisa kembali berpikir jernih akhirnya mencoba mengusap lagi pipinya meski sebetulnya air matanya sudah sejak tadi berhenti. “Iya Rayn, terima kasih ya untuk pelukannya. Sekarang Kakak Alin udah nggak sedih, kok!”   Rayn menatap ke arah Bara dan Alinka bergantian seolah sedang memastikan apakah dua orang dewasa tersebut berkata jujur padanya tetapi kemudian bocah itu pun akhirnya menganggukkan kepala sebelum kemudian melambaikan tangan mungilnya ke arah Alinka dan berjalan kembali ke arah ayahnya.   “Maaf.” Entah kenapa Bara merasa perlu mengucapkannya padahal berada di sana jelas bukan kesalahannya. Bara dan Rayn hanya sedang kebetulan lewat di waktu yang tidak tepat. Mereka baru saja kembali setelah mengunjungi rumah pasangan Ares dan Jani yang ada di sebelah rumahnya dan sebelum mereka bisa memasuki halaman rumah, pertengkaran antara Alinka dan Rendi pun terjadi.   Bara sebenarnya tidak ingin berada di sana karena menurutnya itu bukan urusannya. Tetapi bagaimana kedua orang itu saling berteriak membuat Bara akhirnya bertahan karena khawatir jika ada suatu hal yang tidak diinginkan terjadi. Apalagi, meski tidak mengenalnya, Bara tahu kalau perempuan itu adalah tetangganya.   Dan ketika Rayn menunjuk perempuan itu sambil menyebutnya dengan sebutan ‘kakak Alin’, saat itulah Bara semakin yakin untuk menunggu di sana setidaknya sampai laki-laki yang sedang bersama perempuan itu pergi tanpa terjadi suatu hal yang tidak diinginkan.   Namun siapa sangka kalau anak laki-lakinya justru membawa Bara untuk tidak hanya berdiri berjaga-jaga di sana tetapi menghampiri perempuan yang sedang terisak itu dan akhirnya terjebak dalam keadaan canggung bersamanya.   “Daddy!” Suara Rayn berhasil menyentak Bara dan menyadarkan lelaki itu dari lamunan singkatnya. Bisa-bisanya Bara melamun ketika berjalan kembali ke rumahnya sendiri hanya karena memikirkan perempuan muda yang tidak dikenalnya barusan.   “Kenapa, Nak?”   “Nanti beliin Kakak Alin ice cream, ya?”   Kedua alis tebal Bara mengerut menjadi satu. “Emangnya kenapa?” tanyanya sambil menatap putranya yang kini menatapnya dengan sungguh-sungguh.   “Kalau abis nangis dikasih ice cream.” Rayn menatap ayahnya seperti sedang membahas sesuatu yang teramat serius. “Daddy suka kasih aku ice cream kalau habis nangis.”   Bara tertawa sebelum kemudian mengacak lembut rambut putranya sambil mengeluarkan kunci rumah mereka dari dalam kantung celana kerjanya. “Iya, besok ya? Sekarang sudah malam. Kakak Alinnya mau langsung tidur. Rayn juga habis ini cuci muka, sikat gigi terus bobo, ok?”   Rayn mengangguk patuh. “Ok.” Lalu bocah itu langsung melepas sepatunya begitu masuk ke dalam rumah mereka.   Sedangkan tatapan Bara kini terarah ke rumah di sebrang sana sebelum kemudian lelaki itu menutup pintu rumahnya dan menyusul putranya untuk melepaskan sepatunya. *** a/n: cie yang udah ketemu dan interaksi. HAHAHA akhirnya kisah mereka dimulai juga ya guys. Maafin banget kalau cerita ini tuh updatenya nggak segercep Ares-Jani karena aku juga banyak kerjaan di luar ini dan akhir-akhir ini mood menulis lagi menurun banget tapi aku usahain kok cerita ini akan mulai rajin update ya jadi sehari mungkin bisa beberapa chapter mengejar ketertinggalan. Dan lagi Ares-Jani masih belum sepenuhnya tamat jadi aku masih bagi fokus ke sana juga. Be patient ya guys, kisah Bara-Alinka dijamin nggak kalah seru sama Ares-Jani bahkan lebih seru lagi! Hehe. Kalau belum lihat visual Bara-Alinka-Rayn silahkan main ke ig: rapsodiary.novel guys.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD