Empat

1035 Words
5 tahun yang lalu 36.000 kaki di atas permukaan laut Emirates, Air Bus 380 Double Deck, Jakarta to Milan   Bara akhirnya menggerakkan tubuhnya yang terasa pegal setelah duduk selama hampir empat jam di atas kursi pesawat yang membawanya dalam perjalanan menuju kota Milan, Italia.   Empat jam pertama sejak pesawat take off, Bara yang memang kekurangan istirahat sejak beberapa hari belakangan memilih tidur hingga akhirnya terbangun karena tubuhnya terasa pegal. Padahal Bara sudah menempati salah satu kursi business class yang jelas jauh lebih nyaman dibanding kursi kelas ekonomi, tetapi tetap saja empat jam hanya duduk berdiam diri di kursi pesawat mampu membuat otot-ototnya terasa nyeri.   Setelah mengatur posisi duduk dan selimutnya lebih baik, Bara menoleh ke kiri dan kanan di mana sekelilingnya penumpang lain tampak sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada yang sedang menonton film, membaca dan juga tertidur. Yang pasti, keadaan di kabin kelas bisnis saat itu terasa hening.   Bara akhirnya melepaskan sabuk pengamannya dan melongokkan kepala untuk mencari flight attendant yang dapat membantunya. Tatapannya langsung bertemu dengan sepasang manik milik seorang flight attendant atau pramugari yang kebetulan berdiri tidak jauh darinya.   Pramugari itu dengan sigap menghampiri Bara. “Good evening, sir, may I help you?” tanyanya dengan ramah.   Bara memang melakukan penerbangan menggunakan maskapai penerbangan nasional milik negara lain sehingga rata-rata cabin crew yang bertugas bukan orang Indonesia dan juga menggunakan bahasa Inggris. Tetapi, pramugari yang kini menghampiri Bara dan setengah berjongkok di sebelah kursinya ini jelas adalah orang Indonesia. Selain karena wajahnya, Bara pun berhasil mengintip name tag yang tersemat di d**a sebelah kirinya.   Indira P Gautama   “Sir?” tegur pramugari itu karena Bara tidak kunjung meresponnya.   Bara sedikit tergagap, tidak sadar telah menatap nametag perempuan itu terlalu lama dari seharusnya dan khawatir bisa menimbulkan kesalah pahaman. Dengan sedikit kikuk, Bara bergerak di tempat duduknya. “I was asleep during the meal service. Could I get something to eat?” tanya Bara setelah dengan tatapan yang mencoba tidak terarah pada pramugari tersebut.   “Sure. You can choose your menu, here.” Pramugari itu membantu Bara untuk mengambil buku menu makanan yang ada di sisi tempat duduknya, bergabung dengan beberapa lembar kertas lain dan juga majalah. Setelah itu, pramugari bernama Indira itu mengeluarkan kertas dan pulpen untuk mencatat menu pesanan Bara. “Would you like anything to drink?” tanyanya.   “Air mineral saja.” Bara menutup buku menunya dan menyingkirkan buku tersebut kembali ke tempatnya. Entah kenapa akhirnya Bara sengaja menggunakan bahasa Indonesia seolah ingin perempuan di hadapannya ini juga berbicara dengan bahasa Indonesia dengannya. “Uhm, apa saya bisa pesan kopi juga setelah makan nanti?”   “Sure, sir. Apa kopinya mau ditambah s**u?”   Ada desir aneh ketika akhirnya Bara mendengar perempuan bernama Indira itu akhirnya berbicara dengan bahasa Indonesia padanya. “Ah nggak usah...”   Perempuan bernama Indira itu tersenyum ramah. Senyuman profesional yang sebetulnya ia lemparkan pada setiap penumpang di pesawat ini tetapi sayangnya dianggap istimewa oleh lelaki di hadapannya saat ini. “Baik Pak, silahkan ditunggu sebentar ya untuk pesananannya. Ada lagi yang bisa saya bantu?”   Bara menggeleng.   Indira pun pamit meninggalkan Bara untuk menyajikan pesanannya.   ***   Dalam penerbangan tujuh belas jam tersebut, Bara benar-benar memanfaatkan waktunya untuk bisa berinteraksi dengan Indira. Tentu saja dengan cara mengajukan permintaan-permintaan yang sebetulnya tidak terlalu ia butuhkan.   Seperti Bara yang tidak terlalu suka makanan manis justru beberapa kali meminta snack kepada Indira. Atau ketika Bara meminta selimut tambahan karena mengeluh selimutnya tidak cukup untuk mengurangi rasa dinginnya. Bahkan Bara sudah tiga kali memesan kopi hanya agar Indira kembali menghampirinya dan mereka bisa berbincang meski hanya beberapa menit.   Sampai kemudian Indira tidak lagi datang ketika Bara memanggil dan digantikan pramugari lain yang bahkan tidak ingin Bara ingat siapa namanya. Semula Bara khawatir jika Indira menyadari tindakan Bara hanyalah cara agar lelaki itu bisa bicara dengannya, tetapi Bara mencoba meyakinkan pada dirinya sendiri kalau mungkin Indira sedang berganti shift dengan rekannya yang lain. Entahlah. Yang jelas, Bara mencoba untuk tidak terlalu berpikiran negatif meski dalam hati ia sudah ketar-ketir sendiri.   Tetapi ketika akhirnya pesawat yang ia tumpangi itu mendarat dan penumpang sudah dipersilahkan untuk turun, Bara akhirnya bisa bertatapan lagi dengan pramugari bernama Indira tersebut yang berdiri di dekat pintu keluar pesawat sambil menyapa dan mengucapkan terima kasih kepada penumpang karena telah melakukan penerbangan bersama mereka hari itu.   Tatapan Bara akhirnya kembali bertemu sepasang mata berwarna hitam tersebut. Jantung Bara berdegup, entah untuk alasan apa. Padahal yang mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih bukan hanya Indira saja, tetapi hanya ada suara lembut milik Indira yang mengalun di indera pendengaran Bara saat itu.   “Terima kasih, Mbak Indira.” Entah keberanian dari mana, Bara mengucapkan kalimat tersebut dengan pelan begitu ia melewati Indira yang masih memasang senyuman manisnya.   Bara tidak berharap Indira akan membalasnya. Senyumannya saja sudah cukup untuk Bara ingat dan kenang untuk ia bawa kembali lagi hingga ke tanah airnya nanti. Tetapi sepertinya, Tuhan sedang baik hari ini. Karena Indira membalas ucapannya dengan suara lembutnya yang seperti beludru.   “Terima kasih kembali, Pak Bara.”   Jantung Bara berdegup keras. Indira bahkan mengingat namanya.   ***   “Lo kerja di Emirates kan, Han?”   “Kenapa? Lo mau minta gue kasih diskon tiket pesawat? Nggak bisa! Bukan nggak bisa sih, lebih tepatnya nggak mau! Lo kan banyak duit, Bar, lebih banyak dari gue bahkan. Masa lo mau minta diskon, sih?”   Bara tertawa sambil merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur hotel yang akan menjadi tempatnya menetap selama beberapa hari ke depan selama urusan bisnisnya di kota Milan tersebut. “Nggak, Han, gue bukan mau minta diskon.”   “Terus?” Suara Yohan, teman Bara di sebrang sana terdengar sangsi. “Nggak mungkin lo nelfon gue setelah penerbangan tujuh belas jam hanya buat nanyain kerjaan gue, kan?”   “Emang.” Bara menjawab dengan lugas. Meski malu, tetapi ingatan Bara akan senyuman Indira membuat Bara mengenyahkan segalanya dan bertekad bulat. “Gue mau minta tolong sama lo buat cari seseorang.”   “What? Nyari orang? Siapa? Dan kenapa nyarinya lewat gue, gue kan bukan polisi!”   Bara memutar mata. Dasar Yohan yang ngakunya playboy papan atas ini tapi tidak peka. “Tadi gue ke Milan naik Emirates, and I met someone and she stole something for me.”   “Hah? Nyolong? Nyolong apa? Ya lo lapor dong daritadi, Bambang! Lapornya ke bagian customer service bukan ke gue, gue kan kerja di bagian officenya.”   Kalau saja ada fitur untuk memukul secara online, Bara pasti sudah melayangkan tinjunya ke wajah Yohan saat ini juga melewati layar ponselnya. “Dia nyuri perhatian gue, Han. Please tolong cariin soal informasinya. Namanya Indira, flight attendant Emirates Air Bus 380 Double Deck penerbangan Jakarta ke Milan.”   Dan panggilan pun diputus Yohan secara sepihak.   “k*****t!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD