Tiga

1720 Words
“Alinka, tolong fotocopy ini, dua puluh lima kali!”   Alinka mengalihkan tatapannya dari layar komputer ketika mendengar suara Bu Arini, senior di tempat kerjanya memberi perintah.   “Agak cepat ya, Lin, saya butuh sekarang.”   Alinka dengan cepat memasang sepatunya yang ia lepaskan selama bekerja dan buru-buru menghampiri Bu Arini ke kubikelnya. Menerima kertas yang Bu Arini berikan, Alinka langsung bergerak dengan sigap menuju mesin fotocopy yang ada di sudut ruangan.   Seorang laki-laki, yang Alinka kenal bernama Danu sedang berkutat dengan mesin fotocopy. Ada tumpukan berkas berserakan di dekat kakinya.   “Mas Danu, mesinnya kenapa?” tanya Alinka khawatir karena sepertinya memang ada masalah dengan mesin tersebut.   Danu menoleh sekilas sebelum kembali mengotak-atik ke dalam mesinnya. “Ada yang nyangkut di dalem!” Lelaki itu tampak frustasi. “Mana fotocopyan gue masih banyak lagi.”   Alinka menggigit bibir. Menunggu Danu yang ada akan membuatnya semakin lama menyelesaikan tugas yang diberikan Bu Arini. Apalagi perempuan itu orangnya agak sedikit cerewet, huh Alinka malas sekali kalau harus diocehi hanya karena lama melakukan fotocopy.   Alinka memutar otak. Divisinya berada di area east wings kantor, sedangkan di sebrangnya, area west wings adalah area milik divisi marketing. Di sana pasti ada mesin fotocopy yang bisa Alinka gunakan.   Perempuan itu lalu menyebrang ke area west wings demi melakukan tugas seniornya. Sayangnya, ketika Alinka sampai di sana, mesin itu juga sedang digunakan. Maka Alinka turun ke satu lantai di bawahnya demi menumpang fotocopy.   Alinka kembali sekitar lima belas menit kemudian. Sudah siap kalau Bu Arini akan mengomelinya. Tetapi perempuan itu tidak ada di tempat ketika Alinka kembali ke kubikelnya.   Hanya ada Mala yang baru saja meletakkan sebuah map di atas meja kerja Bu Arini.   “Mala, lihat Bu Arini ke mana?”   “Oh, tadi baru aja pergi buat meeting ke lantai atas. Kenapa?”   Alinka mengernyit. Apa berkas di tangannya ini adalah berkas untuk meeting? Alinka langsung merasa tidak enak.   “Di lantai atas? Udah mulai belum ya meetingnya?”   Mala menggeleng sebagai jawaban. Akhirnya Alinka memutuskan untuk ke lantai atas, siapa tahu Bu Arini membutuhkan kertas-kertas fotocopyan ini sekarang.   Lift menunjukkan sedang berada di lantai lima saat Alinka hendak menekan tombol pemanggil. Karena akan memakan waktu sampai lift itu tiba di lantainya berada saat ini, yaitu lantai delapan belas, Alinka memutuskan naik ke lantai atas lewat tangga darurat.   “Ah!” Alinka memegangi kakinya yang lecet. Sepatu yang Alinka pakai ini memang kurang nyaman dan jarang Alinka pakai sejak ia membelinya. Entah kenapa Alinka memutuskan memakai sepatu itu di hari ini saat dirinya perlu mondar-mandir.   Sampai di lantai atas, Alinka bergegas menuju ruangan yang biasa dipakai meeting besar di kantornya. Sepertinya acara meeting sudah dimulai sehingga Alinka pun menitipkan fotocopyan di tangannya pada office boy yang hendak mengantarkan minuman ke dalam ruang meeting.   Office boy bernama Ija keluar dari ruangan meeting beberapa menit kemudian ketika Alinka sedang menunggu lift untuk turun ke ruangannya. Kakinya yang lecet membuat Alinka mau tidak mau memilih menggunakan lift meski hanya satu lantai.   “Mbak!” Lelaki bernama Ija itu setengah berlari ketika pintu lift di hadapan Alinka terbuka, secara refleks perempuan itu menahannya dengan tangan.   Tetapi yang menjadi fokus Alinka saat ini adalah lembaran kertas yang ada di tangan Ija. Lembaran yang Alinka berikan pada Ija setelah melalui perjuangan.   “Ini Mbak, Bu Arini nggak mau terima. Katanya sudah telat, Mbak Alinka...”   Alinka menerima uluran kertas dari Ija, menatap lelaki itu seolah menunggu kelanjutan kata-katanya yang menggantung. “Saya kenapa, Mas Ija?” tanya Alinka karena Ija tidak kunjung meneruskan kalimatnya, terlihat ragu.   “Maaf Mbak, bukan maksud saya bicara seperti ini. Ini pesan Bu Arini, katanya Mbak Alinka tidak becus hanya diberi tugas mudah seperti ini saja lalai.”   Alinka menghela napas. Bukannya merasa tersinggung, Alinka justru mengulas senyum. Well, Alinka jelas tersinggung bahkan sangat sakit hati kalau boleh dibilang. Tetapi lelaki di hadapannya ini tidak berhak mendapatkan pelampiasan dari apa yang Alinka rasakan saat ini karena ini jelas bukan kesalahannya. “Santai aja Mas Ija, terima kasih ya by the way!” Alinka lalu bergerak memasuki lift setelah melambai ke arah Ija. Begitu pintu lift tertutup, Alinka meremas lembaran berkas di tangannya itu hingga tidak berbentuk.   ***   “Whattt? LO BARUSAN BILANG APA?”   Alinka secara refleks menjauhkan ponselnya dari telinga begitu lawan bicaranya di sebrang sana menaikkan nada bicaranya beberapa oktaf. Melengking membuat gendang telinga Alinka nyaris berdengung. “Gue resign.” Alinka mengulangi ucapannya yang sebelumnya tidak didengar Renata di sebrang sana.   “Aliiin, lo tuh baru kerja di sana tiga bulan for God sake!”   Meski Alinka tidak bisa melihat apa yang sedang dilakukan Renata di sebrang telpon saat ini, entah mengapa Alinka menebak bahwa sahabatnya itu kini sedang memijat pelipisnya.   Alinka tertawa, meski sudah diteriaki, entah mengapa Alinka justru merasakan perasaan hangat menelusup di dadanya. Setidaknya meski ia tidak dihargai di tempat kerjanya, Alinka masih memiliki seorang teman yang begitu memedulikannya. Salah satunya dengan meneriaki Alinka atas apa yang ia lakukan saat ini sebagai bentuk kepeduliannya.   “Jangan ketawa! Gue nggak lagi ngelawak! Sekarang lo di mana?” Omelan Renata berubah menjadi pertanyaan yang menyadarkan Alinka soal keberadaannya saat ini. “Alin, lo di mana?” tanya Renata sekali lagi karena Alinka tidak langsung menjawabnya.   “Sency...”   “What the—lo ngapain di Sency? Ini kan masih office hours!”   Alinka memutar-mutar sedotan pada gelas di hadapannya, membuat bobba berwarna hitam kecoklatan di dalam sana ikut menari-nari seiring gerakan Alinka pada sedotannya. “Habis nyerahin surat resign, gue langsung cabut detik itu juga.”   “UDAH GILA YA LO?” Kali ini, Renata bukan hanya memijat pelipis tetapi sepertinya ingin memenggal kepalanya sendiri saking tidak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya tersebut. “Kalau perusahaan lo ini nulis macem-macem di sosmed sambil nyebarin soal kelakuan unprofesional lo ini gimana? Bisa-bisa diblacklist lo dari perusahaan-perusahaan lain.”   “Ya kali, Nat, pegawai resign kayak gue kan nggak hanya satu-dua orang aja pasti.”   “Tapi nggak langsung pada cabut detik itu juga lah, Aliiin! Manner dong, minimal pulangnya tetap sesuai jam pulang kantor. Beberapa perusahaan ada loh yang nggak nerima proses surat resign langsung, terus kontraknya giman—”   “Bu Arini kayaknya memang nggak suka sama gue sih, Nat, buktinya lima belas menit gue cabut gue dapat email pemberhentian. Well, kontrak gue juga memang habis bulan ini kan, harusnya gue perpanjang jadi pegawai tetap kalau gue bisa lewatin tiga bulan ini.”   “Oh dear...”   Alinka tertawa sambil menyedot minumannya yang berbahan dasar dari fresh milk tersebut. “It’s okay, darling, gue bisa tinggal cari kerjaan lain.” Alinka rasanya ingin memukul mulutnya sendiri setelah mengatakan hal tersebut.   Tinggal cari pekerjaan lain, katanya? Bahkan pekerjaan itu Alinka dapatkan setelah susah payah mengantre berjam-jam hanya untuk interview tahap pertama. Jangan lewatkan kejadiaan naas yang harus Alinka alami juga pada saat selesai menghadiri seleksi tahap akhir yaitu psikotest di mana Alinka kehilangan ponselnya dalam perjalanan pulang.   Pekerjaan Alinka saat ini adalah pekerjaan ke tiga Alinka sejak Rudi mengajukan syarat pada Alinka agar mau memberikan pinjaman uang untuk biaya liburannya ke Turki.   Setahun hampir berlalu sejak saat itu, Alinka sudah tiga kali berganti tempat kerja dan saat ini Alinka harus kembali keluar dari tempat kerjanya hanya karena merasa tidak dihargai dan tersinggung dengan perkataan seniornya di tempat kerja. Hah, katakanlah Alinka manja, cengeng, berhati sempit dan segudang hal buruk lainnya. Pada kenyataannya, Alinka memang memiliki mental selembek tahu, yang diguncang sedikit saja langsung hancur lebur berceceran tidak keruan. Payah.   “Alin, I have to go. Atasan gue manggil, nih, let’s talk later ya. Nanti balik ngantor gue ke rumah lo.”   Alinka hanya berdeham sebagai jawaban, lalu setelah itu panggilan pun terputus. Alinka lalu menarik napas berat sambil meletakkan ponselnya ke atas meja di sebelah minumannya yang hanya tersisa setengah. Kehilangan minat untuk menghabiskannya, pandangan Alinka beralih pada beberapa buah paperbag berlogo furla, kate spade hingga massimo dutti yang berjajar di kursi kosong di sebelahnya. Seketika senyumnya mengembang. “Baby, kalau nggak ada kalian...gue pasti stress banget hari ini. Now, let’s go home!” Alinka pun bergegas berdiri setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas dan dengan penuh rasa sayang menenteng seluruh barang belanjaannya tersebut.   Langkah kaki Alinka yang seharusnya berjalan terus menuju ke parkiran mall elite yang terletak di Selatan Jakarta tersebut tiba-tiba berhenti begitu berada tepat di depan store chanel fragrance & beauty. “Wait, kayaknya gue butuh lipstick baru.” Tanpa menghabiskan banyak waktu, Alinka berbelok seenak hatinya memasuki toko tersebut setelah memberikan senyuman singkat pada laki-laki berjas hitam yang berdiri di pintu masuk toko menyapanya dengan senyum ramah.   Menjadi pengangguran memang menyedihkan, maka itu Alinka butuh pengalihan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Alinka, bagaimana ceritanya perempuan itu bisa mengalihkan kesedihannya dengan menguras kantungnya setelah resmi menjadi perempuan tanpa pekerjaan.   Pengalihan itu hanya alasan Alinka untuk membenarkan tindakan borosnya. Tanpa rasa bersalah pada kartu ATM dan kreditnya sama sekali, perempuan itu bahkan tidak sadar sudah menghabiskan total hampir dua puluh lima juta hanya dalam waktu sehari. Ok, total itu mungkin bisa dimaafkan jika Alinka adalah seorang pegawai dengan gaji pokok setidaknya dua puluh juta sebulan.   Tapi Alinka bahkan saat ini adalah seorang pengangguran! Seseorang harus menjedotkan kepala Alinka saat ini juga. Bahkan hutangnya pada sang ayah yang ia pakai untuk berlibur ke Turki beberapa bulan lalu belum lunas sampai detik ini karena gaji Alinka yang selalu langsung habis begitu menyentuh rekeningnya.   Ya, semua itu karena kebiasaan buruk Alinka dalam hal belanja. Seperti hari ini misalnya. Alinka benar-benar boros!   Setidaknya sampai Alinka mendapatkan notifikasi e-mail tagihan kartu kreditnya untuk bulan ini begitu perempuan itu duduk di dalam mobilnya setelah puas menghambur-hamburkan uangnya.   Total credit used as of last statement   Gyu-Kaku PIM 2 Jakarta ID --- 796.000 Zara PIM 1 Jakarta ID --- 568.000 MCDonald delivery --- 210.000 Chanel Plaza Indonesia Jakarta ID --- 12.633.000 SHOPEE --- 876.991   ***Transaction Summary*** Credit&Payment      15.083.991   Alinka berkedip, padahal bulan lalu Alinka sudah merasa cukup berhemat. Lihat bagaimana hanya ada dua pusat perbelanjaan yang Alinka datangi bulan lalu. Tapi bagaimana bisa tagihannya sebesar itu? Oh, tentu saja karena sebuah blouse putih berbahan cotton poplin yang ia beli seharga dua belas juta enam ratus sekian itu. Alinka bahkan tidak ingat apakah blouse itu sudah ia pakai atau belum setelah dibeli sebulan yang lalu.   Bahkan gaji terakhir Alinka tidak akan bisa membayar separuh dari tagihannya itu, bagaimana bisa Alinka melunasi sisa tagihannya? Alinka memijit kepalanya. Kenapa juga Alinka harus impulsive dan belanja barang semahal itu, sih? Bahkan kalau pun Alinka bukan pengangguran saat ini, perempuan itu tidak seharusnya belanja baju seharga belasan juta. Apa yang Alinka harapkan dari gaji seorang fresh graduate sepertinya, hah? Hanya karena saldo di tabungannya masih tersisa sedikit lebih banyak, Alinka merasa pongah. Kebiasaannya menghamburkan uang sejak SMA membuat Alinka lupa kalau saat ini Rudi, ayahnya tidak akan mau lagi menanggung uang belanjanya.   Alinka menjedotkan kepala ke stir, di mana Alinka bisa mencari uang setidaknya enam juta lagi secara instan untuk bisa melunasi tagihan kartu kreditnya?   Alinka membuka ponsel, mengirimi Renata sebuah pesan singkat.   Alinka: Nat, kalau mau cari sugar daddy di mana, ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD