Aksel melirik tidak percaya pada papan tulis. Namanya baru saja disandingkan dengan Sabina O'Kheil untuk project kesenian. Ini artinya kesialan. Atau karma? Atau azab? Sabina dan kerja kelompok adalah perpaduan yang sangat buruk untuk disandingkan dengannya.
"Jangan lupa dokumentasi ya. Biar ibu tau kalau kalian memang kerja kelompok, bukan individu. Ingat, hasil tertinggi akan mendapatkan bonus poin tambahan." Itu wejangan terakhir Bu Lia sebelum akhirnya bel pulang mengakhiri pelajaran.
Aksel mengangkat pantatnya dari kursi untuk meninggalkan kelas seperti siswa lain. Belum sampai pintu, langkahnya dihadang.
"Aksel?" Itu Sabina. Dengan kulit putih dan rambut sedada yang diikat awut-awutan ke belakang. Menunjuk Aksel sambil mengunyah permen karet.
"Apa?" Aksel tidak habis pikir dengan perilaku Sabina yang ternyata sudah memakan permen karet sejak pelajaran Bu Lia berlangsung.
"Kita satu kelompok, btw."
Udah tau!
"Iya."
Sabina mengeluarkan ponselnya. Lalu menyerahkan pada Aksel. "Minta nomor WA lo, biar gampang komunikasi," pintanya, dengan nada suara amat jutek.
"Nomor gue ada di grup kelas."
"Dan gue nggak masuk di grup kelas."
Aksel berdecak pelan. Meraih ponsel itu lalu mengetikkan dua belas digit nomornya. Setelahnya ia serahkan kembali ke Sabina.
Sabina menekan tombol dial, lalu tak lama ponsel Aksel bergetar di saku celananya. "Itu nomor gue. Terserah mau di save atau nggak." Sesudah mengatakan itu, Sabina berlalu dengan pandangan mata malas.
***
Sesampainya di rumah, Aksel segera menuju kamarnya. Meletakkan tasnya di meja belajar, kemudian menjatuhkan tubuhnya yang masih berbalut seragam di tempat tidur bernuansa abu-abu. Cowok itu terpejam.
Sabina.
Dari tiga puluh dua murid di kelasnya, kenapa harus satu kelompok dengan Sabina? Kalian nggak tahu ya orangnya seperti apa? Dengarkan.
Saat masih MOS (Masa Orientasi Siswa), Sabina sudah terkenal. Karena dia pernah mencium Pak Anton, guru olahraga, di lapangan. Beritanya langsung menyebar cepat. Sabina dipanggil ke ruang BK, katanya saat itu dia cuma minta tanda tangan OSIS, dan ditantang suruh cium satu orang yang ada disitu. Siapa yang bakal menyangka kalau cewek itu malah mencium seorang guru?
Itu cuma permulaan. Dua bulan setelahnya, cewek itu kepergok sedang ciuman dengan kelas dua belas, mantan ketua OSIS. Pernah juga berantem sama kakak kelas, dilabrak gara-gara cowok. Terus jadi langganan guru BK karena banyak ulah barbar lainnya.
Dan untuk tipe murid seperti Aksel, Sabina adalah kutukan.
Aksel adalah cowok lurus yang hanya ingin lulus sekolah tanpa catatan jelek. Nilainya selalu tertinggi di kelas. Pak Dabi wali kelasnya mempercayai Aksel untuk menjadi ketua kelas.
Dan Sabina adalah cermin terbalik. Dari dulu Aksel sudah bertekad untuk meminimalisir segala bentuk komunikasi dengan cewek itu. Bukan. Bukan diskriminasi. Hanya mencoba bertahan di zona aman.
Lalu sekarang mereka akan satu project untuk kelas kesenian. Hebat! Aksel merutuki nasib sialnya hingga ia ketiduran.
***
Besoknya, Aksel berniat mengajak Sabina memulai project. Namun sampai pulang sekolah, cewek itu tidak menampakkan diri. Katanya sakit.
Dua hari kemudian, Aksel melihatnya. Cewek itu berjalan lunglai ke kelas lalu duduk malas di kursinya. Aksel tidak kasih kendor. Project akan dikumpulkan minggu depan. Dan semuanya harus beres dua hari sebelum dikumpulkan. Itulah kebiasaan Aksel. Dan Sabina wajib banget mengikuti peraturan hidupnya.
"Pulang sekolah bisa mulai project?" tanya Aksel, sudah berdiri di samping meja Sabina.
Sabina yang sedang menelungkupkan wajahnya jadi mendongak. Kantung matanya hitam, persis panda. Sepertinya cewek itu kurang tidur. "Sibuk gue," balasnya malas. Lalu menelungkup lagi.
Aksel meneguk ludahnya menahan kesal. "Tinggal lima hari lagi. Gue nggak bisa nyantai. Sedangkan project aja belum prepare apapun."
Sabina tidak menanggapi, malah mengibaskan tangannya menyuruh Aksel pergi.
Sialan. Aksel ingin sekali mencaci maki. "Pulang sekolah. Titik," ucapnya telak. Lalu Aksel kembali ke bangkunya walaupun ragu kalau Sabina mau menurutinya.
Setelahnya pelajaran berlangsung seperti biasa. Aksel menyimak dengan khusyuk apa yang disampaikan gurunya. Semuanya berjalan sempurna. Bahkan dia mendapatkan nilai A untuk ulangan sejarah.
Sayang sekali dia kecolongan satu hal. Sabina bolos setelah istirahat pertama. Dan niatnya untuk segera merampungkan project terpaksa gagal.
***
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada—.
"Bangkee!" Aksel sudah akan membanting ponselnya kalau tidak ingat bahwa itu alat komunikasi satu-satunya yang ia punya.
Lagi-lagi Sabina berhasil membuatnya naik darah. Setelah mencampakkan Aksel dengan berbagai alasan menyebalkan, cewek itu tidak mengaktifkan nomornya. Padahal project tinggal dua hari lagi. Dua hari lagi! Gustii! Aksel jadi ingin makan orok.
***
Ini tengah malam. Aksel sedang berada di alam mimpinya dan mungkin sudah akan terbang bersama bidadari kalau saja dering ponsel tidak mengganggunya.
Dengan malas Aksel meraba-raba nakas sambil terpejam. Dilihatnya layar itu dengan malas.
Sabina is calling...
Tolong tahan Aksel agar tidak mencaci maki orang di seberang sana.
"Apa?" Suara Aksel serak bercampur ketus.
"Katanya mau bikin project. Malam ini bisa?"
Mata Aksel sukses membulat. Dia melirik jam bekernya yang menunjukkan pukul sebelas. Mulutnya antara pengen teriak dan pengen mengumpat.
"Otak lo ketinggalan di alam baka kayaknya," balas Aksel datar lalu menutup panggilan itu. Dadanya jadi penuh dengan rasa kesal. Dari kemarin-kemarin Sabina mengabaikannya. Dan sekarang, di malam pekat yang mampu membuat Aksel bermimpi indah, cewek itu merenggut ketenangannya dengan mengajak untuk mengerjakan project.
Hell!
Lagi-lagi ponselnya berdering. Nama Sabina lagi.
"Apa? Nggak sekalian lo ngajak bikin project jam tiga? Biar sekalian gue ajakin sahur?" semprot Aksel keki.
"Please, kesini. Gue kayak lagi diikutin orang."
Aksel terdiam untuk beberapa saat.
"Gue mau balik ke apartemen jadi takut. Di belakang gue kayak ada yang ngikutin," suara Sabina terdengar seperti orang berbisik, namun nafasnya memburu seperti berjalan cepat.
Aksel meraup wajahnya gamang. Keputusan terbodoh kalau sampai dia datang dan ternyata cewek itu cuma menjahilinya.
"Lo dimana sekarang?"
Aksel segera bangkit dari tempat tidurnya lalu mengambil kunci motor.
"Jalan andini. Please cepetan. Gue takut."
"Cari tempat yang nggak sepi dan tunggu gue disana. Paling cepet sepuluh menit."
***
Tujuh menit. Ternyata lebih cepat dari perkiraan. Aksel memarkirkan motornya di pinggir jalan dekat halte. Matanya menyusuri seluruh area di sekitar. Aksel berjalan cepat untuk mencari lebih jauh.
Tidak ada tanda-tanda Sabina.
Jalanan itu terlalu sepi. Apalagi ini tengah malam. Pikiran Aksel penuh tanda tanya. Ada dua dugaan di otaknya. Sabina ditangkap oleh penguntit itu. Atau ini semua cuma prank ngeselin ala cewek itu. Namun walaupun ngeselin, Aksel berharap dugaan kedua yang benar.
"Aksel!" Seseorang menubruknya dengan keras. Aksel sampai mundur dua langkah untuk mengimbangi tubuhnya sendiri. Seorang cewek yang Aksel kenal sebagai Sabina tengah memeluknya erat. Tubuhnya gemetar. Sepertinya menangis juga.
"Tenang tenang. Udah ada gue," Aksel mengelus punggung Sabina. Mata cowok itu menangkap siluet lain yang mendekatinya.
Itu seorang cowok. Memakai masker dan juga jaket hitam dengan tudung menutupi kepala. Aksel bertatapan dengan orang itu selama tiga detik. Lalu pria itu mundur dan berbalik pergi. Aksel ingin sekali mengejarnya. Namun sepertinya Sabina lebih membutuhkannya.
"Pulang, yuk," ajak Aksel melonggarkan pelukan. Wajah Sabina basah, rupanya cewek jutek itu bisa nangis juga. Lucu dia kalau nangis. Mukanya merah, persis anak kecil. Jadi pengen cubit.
Sabina menurut. Sepanjang jalan tidak ada yang bersuara. Akhirnya Aksel menurunkan cewek itu di depan gedung apartemen.
"Makasih," ujar Sabina pelan, matanya yang agak sembab menatap Aksel. Cowok itu hanya mengangguk sekali.
"Maafin gue karena bandel nggak kerjain project dari kemarin ya," tambah Sabina lagi. Aksel jadi terenyuh mendengarnya. Ini Sabina kenapa mendadak jadi lucu sih?
"Gue punya lukisan. Karya gue sendiri. Ada di apartemen. Mau liat nggak?" tawar Sabina. Aksel ingin menolak. "Mungkin bisa buat project kita," bubuh Sabina lagi, kekeuh.
"Okey," akhirnya Aksel turun dari motornya. Mengikuti Sabina menuju apartemen cewek itu.
Unit Sabina ada di lantai tiga. Dengan pintu cokelat dan terpasang kamera kecil di depannya. Ruangannya bernuansa putih, dan lumayan rapih. Kayak bukan tipe Sabina banget, soalnya dia urakan. Ada sofa hitam yang terlihat empuk dan nyaman. Aksel jadi ingin tidur lagi.
Sementara Sabina menuju kamarnya untuk mengambil lukisan, Aksel bersandar nyaman di sofa.
"Nih, lihat."
Aksel membuka mata. Seketika terbatuk melihat lukisan Sabina.
"Buset, lo gambar begituan?" tanya Aksel masih shock. Lukisan itu gambar dua manusia yang lagi ena-ena. Vulgar sekali.
Sabina tertawa kencang lalu menaruh lukisannya. Geli melihat ekspresi kaget Aksel. "Segitunya banget, hahaha."
Aksel harusnya tahu sejak awal cewek ini memang menyebalkan. Dan harusnya tidak percaya saat diajak melihat lukisan yang digadangkan akan diserahkan sebagai project kesenian itu. Ya gila bae nyerahin lukisan gambar orang lagi anuan!
Aksel berdiri jengah. Dia berniat pulang. Lagipula tidak ada untungnya masih berdiri disini sambil memandangi Sabina yang menertawainya.
"Eeh, kemana?" Sabina membelalak panik.
"Pulanglah. Yakali gue nginep. Mau ngapain? Praktekin yang ada di lukisan lo?" balas Aksel jutek.
Aksel baru akan memutar kenop pintu ketika ia merasakan tangan Sabina memeluknya dari belakang.
"Jangan pulang dulu, gue masih takut," cewek itu merengek dengan suara pelan. "Penguntit itu nggak cuma tadi doang, beberapa hari ini kayak ada yang ngawasin gue. Terus pernah gue cek kamera di pintu, ternyata dia pernah mondar-mandir di depan."
Aksel jadi tidak tega meninggalkan Sabina sendirian. Bagaimana kalau cowok tadi benar sedang mengintai? Parah-parah tuh nanti dia dobrak apartemen Sabina saat Aksel sudah pergi.
Aksel membalikkan badannya. Bertatapan dengan Sabina. "Yo, gue nggak jadi pulang karena besok libur. Dan tolong banget ini mah, project kita dikumpulin lusa, harus beres besok."
Sabina langsung tersenyum cerah. "Aye aye, captain!"
Aksel tersenyum singkat menanggapinya. Lalu melangkah kembali ke sofa dan menjatuhkan badannya disana. Dia telentang dengan lengan menutupi mata.
"Lo mau makan?" Suara Sabina mengganggunya yang baru akan terlelap.
"Gak," balas Aksel singkat.
"Mau nonton film nggak? Gue punya banyak CD loh. Dari yang horor sampe bokep."
Sejak kapan Sabina jadi cerewet sih? Yang Aksel tahu cewek itu super irit kalau ngomong, apalagi berbicara dengan Aksel. Ngobrol berdua bisa dihitung jari selama mereka satu kelas.
Aksel menyerah, ia kembali mendudukkan badannya. Menatap ngantuk pada Sabina yang berdiri di depannya. "Ada bokep? Sini nonton," balas Aksel. Cuma bercanda doang sumpah! Habis kesal digangguin semalaman ini.
Sabina mengerling genit. "Dih suka anuan juga."
"Buru ah, kalo nggak ada gue tidur nih."
Bukannya menjawab, Sabina malah membungkuk menciumnya. Aksel jadi tertegun.
"Ngapain nonton begituan kalau kita bisa langsung begituan, sih?"
Selanjutnya Sabina mendudukkan diri di atas Aksel, juga mengalungkan tangannya. Kembali memagut bibir cowok itu. Melumatnya dengan dalam.
"Lo kok diem aja sih?" protes Sabina. "Nggak mau? Atau jangan-jangan nggak doyan?"
Tanpa disangka Aksel menarik Sabina sampai terbaring di sofa. Mencium cewek itu pelan-pelan, memberikan pagutan lembut.
"I like how you treat me," bisik Sabina.
Pagutan Aksel berubah menjadi lumatan dalam. Sabina membalas sehingga terkadang lidah mereka saling menghisap.
Tangan Aksel menelusup pada pangkal paha Sabina. "Gue nggak tau kalau lo nggak pake celana," Aksel hanya tidak habis pikir ternyata sedari tadi Sabina hanya mengenakan celana dalam saja. Tidak terlihat karena terhalang kemeja longgar yang hampir selutut.
Sabina tersenyum. "Makanya peka. Daritadi gue kodein juga."
Aksel melepaskan bahan tipis berbentuk segitiga itu dari tubuh Sabina. Lalu ia bergerak ke bawah dan memainkan lidahnya.
Sabina mendesah. "Gue nggak tau kalo kutu buku kayak lo bisa main juga."
Aksel terus memainkan nafsu Sabina sambil ia sendiri membuka celananya. Lalu merangkak ke atas dan mencium bibir cewek itu. Aksel segera menyatukan diri dengan Sabina dalam sekali sentakan.
"Arrhh," Sabina menjambak rambut belakang Aksel.
"Eh, Na, lo,," Aksel terpaku. "Lo masih perawan?"
Sabina menggigit bibirnya merasa perih di bawah sana. Sakit sampai setitik air mata keluar begitu saja dari sudut matanya. "Sakit," lirihnya.
Aksel jadi merasa bersalah. Tidak pernah terbesit sama sekali pikiran bahwa Sabina belum pernah ena-ena. Dengan track record nya yang sampai kepergok lagi ciuman, Aksel kira cewek itu pernah melakukan lebih.
"Gue lepas ya," ujar Aksel. Sabina menahan.
"Lanjutin aja. Entar juga enak."
Aksel terdiam menatap Sabina dalam. Pria itu mendekatkan wajah dan mencium Sabina dengan intens namun tetap lembut. Mencoba bergerak perlahan agar rasa sakit yang didera Sabina mengendur hilang.
"Mmmhhh," Sabina mengerang dalam pagutan. Agaknya ia mulai kehilangan rasa sakitnya. Aksel mempercepat temponya. Ia beralih mencium leher jenjang Sabina, menggigit dan membuat beberapa tanda merah.
"Ahhh, Ahhh, Ahhh," Sabina mendesah seiring gerakan Aksel yang kian cepat. "Aksel, Ahhh, gue kalo pengen lagi, harus sama lo, ya," Sabina meracau.
Aksel mendengus senyum dibalik leher Sabina. Tidak menjawab ucapan itu.
"Ahhh, ini namanya, mau o*****e bukan, sihhh?"
Sepertinya Sabina hampir sampai pada puncaknya. Aksel mempercepat temponya.
"Aksel. Ahhhhhh," Sabina o*****e.
Nafas cewek itu terputus namun perlahan berangsur normal. Aksel berhenti dan memandangi wajah Sabina yang sedikit berkeringat. Ia menghapusnya.
"Lanjutin aja, kan lo belum ih."
Aksel menggeleng. "Entar lo hamil lagi. Gue kan belum siap jadi bapak."
Sabina tertawa mendengarnya. "Blow job aja kalo gitu."
Aksel melepaskan diri lalu duduk dan Sabina mendekat ke bawahnya. Cewek itu menjilati ujung pusaka Aksel lalu mengulumnya. Jangan ditanya enaknya kayak apa. Cobain aja sendiri. Bagi Aksel yang selama ini kalau ngebet cuma main sabun, dan sekarang bisa main beneran, rasanya benar kayak mendapat surga dunia. Eh, kan emang sebutannya surga dunia ya? Haha.
Aksel yang sejak tadi juga sudah ingin keluar, akhirnya keluar di mulut Sabina.
"Hoekk," cewek itu menjauhkan wajahnya saat cairan putih milik Aksel belum sepenuhnya keluar semua, jadi muncrat ke wajah Sabina juga. "Ih asin. Gak enak!" Sabina menjulurkan lidahnya sambil mengusap pipinya yang kena s****a.
Aksel tertawa pelan melihatnya.
"Lo nggak bilang rasanya nggak enak!" protes Sabina cemberut.
"Ya mana gue tau, emang gue pernah coba? Ih jijik nyoba punya sendiri mah bego."
"Tapi kalo gue liat bokep, pada sampe dijilatin. Apa enaknya sih ini? Iew! Asin."
Lama-lama Aksel jadi gemas lihatin tingkah cewek itu. Dia meraup tubuh yang protes terus udah kayak burung pipit. Terus Aksel bungkam dengan ciuman dalam.
***