Ch.05 Kerja Sama Rahasia

2509 Words
“Siapkan dulu proposal perjanjian kerja sama awal. Setelah itu, kita rapat melalui video call untuk menentukan rencana kerja. Kemudian, barulah kamu dan Birhen datang kemari,” ucap Mao melalui sebuah sambungan video call dengan CEO Energica Technology. Carleon mengangguk. Saat ini, hari sudah menjelang pukul tujuh malam dan dia masih di kantor. “Baik, Paman. Aku akan segera menyusun tim khusus dengan Birhen untuk mengatur semuanya. Aku sekali lagi mengucapkan banyak terima kasih atas kesempatan kerja sama ini.” “Aku yang berterima kasih. Aku sungguh membutuhkan inovasi teknologi terbaru di resort ini. Beberapa kali bertemu perusahaan teknologi, tapi tidak cocok. Aku yakin dengan kamu dan Birhen semua akan berbeda,” ucap Mao tersenyum merendah. Lalu, sang rekan kerja bertanya, “Dari jendela di belakangmu yang sudah terlihat gelap, sepertinya di sana sudah malam juga, ya?” “Ya, sudah jam tujuh malam.” “Kamu masih di kantor?” Tertawa sendu, Carleon menjawab, “Iya, aku masih di kantor. Aku lebih suka menghabiskan waktu di sini hingga malam. Toh, tidak ada istri dan anak yang menungguku di rumah.” Kalimat terakhir menghadirkan rasa perih bagi mereka berdua. Mao tahu sejarah kelam pemuda di layar ponselnya. “Tidak pernah mudah kehilangan seseorang yang kita cintai. Aku sudah pernah mengalaminya, terpuruk karenanya, tetapi aku berhasil melaluinya. Kamu pun akan berhasil melalui ini semua,” ucap ayah satu anak tersebut menghibur. Carleon kembali tertawa kecil, “Svetson bilang, cara terbaik untuk melangkah maju adalah membuka hati untuk yang baru. Tapi, Paman tahu bahwa kenangan pahit tak semudah itu hilang dari memori, bukan?” CEO tampan berkacamata juga tahu sejarah kelam rekan bisnisnya. Lebih dari 10 tahun lalu, Mao kehilangan putra semata wayang akibat penyakit leukimia. Yang kemudian berlanjut dengan kehancuran rumah tangga dan perpisahan dengan istrinya. “Tidak akan pernah hilang sampai kapan pun,” angguk Mao. “Akan tetap terasa menyengat kalau kamu mengingatnya. Akan tetapi, arah hidup kita tidak ditentukan oleh kenangan pahit itu. Kamu datang ke Energica Technology untuk membuka lembaran baru, maka bukalah lembaran itu.” Lalu, ia tertawa menggoda. “Kalau nanti kamu datang ke Dubai, aku akan mengenalkanmu dengan para putri raja Arab, bagaimana kalau begitu? Mereka sangat cantik, Carleon!” Tawaran yang membuat Phoenix Api sontak tertawa lepas. “Iyakah? Secantik apa putri Arab, Paman?” “Atau kamu mau kukenalkan dengan anak buahku? Banyak dari mereka yang masih single dan berusia tidak jauh denganmu. Asisten pribadi istriku seorang fresh graduate dari Oxford khusus bidang manajemen bisnis,” sahut Mao kembali tertawa. Bibir Carleonkembali tertawa. Sudah lama dia tidak tertawa seperti ini. “Terima kasih atas tawarannya, Paman. Akan kulihat putri-putri Arab saat nanti kunjungan ke Dubai. But, really, I’m fine.” Mao mengangguk, “Ya, sampai berjumpa nanti. Segera buat proposal kerja samanya dan akan cepat aku review bersama tim. Kira-kira satu bulan cukup, bukan?” “Cukup, Paman. Tim legal sudah mulai bekerja hari ini. Rasanya satu bulan lagi aku sudah bisa berangkat ke Dubai.” “Oke, see you then. Bye ….” Sambungan telepon terhenti. Kini Carleon kembali pada kesendirian dan perenungannya. Kembali pada kekhawatiran yang tidak pernah bisa hilang dari denyut nadi. “Aku memang sedang berusaha untuk move on. Ada seorang wanita di luar ruanganku yang setiap hari kehadirannya kutunggu,” gumam sang CEO pelan, pada diri sendiri. “Dan dari bagaimana caranya menatapku dengan gugup malu-malu, aku punya perasaan kalau dia juga memiliki ketertarikan padaku.” Kemudian, bayangan Marcella melintas begitu saja, bergantian dengan kenangan sosok Miley yang masih tak bisa juga lenyap dari pandangannya. Ia mengembus kasar, “Hanya saja, aku sangat takut kalau dia berakhir seperti Miley, seperti Noel. Di mana kematian mereka adalah salahku. Di mana darah mereka akan terus berada di telapak tanganku … aku yang tak bisa menyelamatkan orang-orang yang kucintai.” *** Kerja sama yang sudah berjalan semakin baik membuat Birhen datang ke kantor Energica Technology hampir setiap hari. Dan saat ia datang, selesai berurusan dengan Carleon, maka hal selanjutnya yang ia lakukan adalah …. “Hai, Marcella,” sapa konglomerat dari Beverly Hills, Amerika. Senyumnya terlihat sangat manis seperti satu tabung gula di atas meja kerja asisten cantik. Membalas dengan senyum ramah, Marcella mengangguk. “Selamat siang, Tuan Muda Liu. Sudah selesai bertemu dengan Tuan Muda Mancini?” “Boleh aku duduk di sini?” pinta Birhen menarik kursi di depan meja Marcella, lalu mendudukinya meski belum mendapat jawaban. Sudah yakin tidak akan dilarang untuk duduk. Itu hanya permintaan basa-basi saja. “Silakan,” tanggap Nona Alistair kembali tersenyum ramah. Menghela satu kali cukup panjang, Birhen lalu menatap sendu. “Kuharap kamu tidak keberatan kalau aku sering mendatangimu. Tidak masalah, bukan?” Marcella tertawa kecil, lalu menggeleng. “Tidak apa, Tuan. Seorang bos boleh mendatangi karyawannya kapan saja, bukan?” candanya renyah. Tuan Muda Liu yang juga selalu mengingat mantan kekasihnya setiap melihat Marcella jadi ikut tertawa. “Yeah, aku rasa kamu benar. Meski aku tidak melihatnya seperti itu. Aku hanya ingin mengobrol lebih lama denganmu, sebagai sesama manusia, bukan sebagai atasan dan bawahan.” Mulailah Marcella memperlihatkan gerakan tubuh gugup jika kalimat sudah mengarah pada sesuatu yang dirasa berbeda. Ia tidak menjawab apa pun dan hanya tersenyum sambil sesekali mengalihkan pandang ke sekililing. “Asalmu dari mana?” tanya Birhen menyenderkan punggung tegapnya. “Dari Los Angeles, Tuan. Lahir dan tumbuh besar di sini saja.” “Kamu berapa bersaudara?” “Dua.” “Apa ada kemungkinan saudaramu itu pernah tinggal di Beverly Hills, Amerika?” Birhen menahan engah saat bertanya ini. Masih penasaran kenapa Marcella bisa mirip dengan mantan kekasihnya. Marcella tertegun sesaat, lalu menggeleng sambil tertawa pelan. “Saya rasa tidak. Saya adik terus tinggal di Energica Technology, tidak pernah tinggal di luar kota, apalagi luar negeri.” “Hmm, begitu ya? Baiklah, mungkin aku hanya merasa pernah mengenal seseorang yang mirip sepetrimu di sana. Siapa tahu dia saudaramu?” tandas Birhen tertawa santai. Wajah manis Nona Alistair menggeleng. “Tidak, saya tidak pernah ke Beverly Hills. Saya rasa adik pun tidak pernah jalan-jalan sampai ke sana. Paling jauh perjalanan luar negeri kami hanya sekitar Eropa saja.” Birhen mengangguk, membuat keputusan untuk berhenti bertanya tentang kemiripan Marcella dengan mantan kekasihnya. Ia beralih ke pertanyaan lain, yang juga sudah cukup mengganggu batin sejak pertama kali mereka bertemu. “Maaf, kalau pertanyaanku ini dirasa terlalu mengusik pribadimu. Tapi, semisal aku ingin memintamu menemaniku makan malam di restoran yang enak di Energica Technology, atau semisal aku meminta kamu menemaniku membeli beberapa kebutuhan di sini, apa akan ada yang keberatan?” Mata bulat Marcella memandang gamang, “Maksud Tuan?” Sambil tertawa kecil, Birhen memperjelas pertanyaannya. “Kamu tahu kalau aku sudah mendirikan kantor di sini, bukan? Sampai perusahaan baruku yang bekerja sama dengan Carleon berdiri dan lancar, aku akan berada di Energica Technology untuk mengurusinya.” “Dan aku sangat baru di kota ini. Aku tidak tahu mana restoran yang enak, makanan khas apa yang bisa aku nikmati. Aku tidak tahu pusat kebugaran mana yang bagus, atau bahkan bioskop mana yang bisa kudatangi untuk melepas penat.” “Aku butuh seorang tour guide,” tawanya penuh makna. Maksud dari tour guide itu adalah ia ingin Marcella yang menemaninya menjelajahi kota. “Dan … kalau kamu pergi bersamaku, apakah akan ada yang keberatan?” “Keberatan?” Marcella masih memandangi bingung. “Misal, aku khawatir suamimu keberatan kalau kamu menemani bosmu berjalan-jalan keliling kota,” tandas Birhen langsung saja tanpa perlu banyak berputar. “Aku khawatir ada suami yang menunggu istrinya pulang atau ada anak-anak yang menunggu ibunya pulang.” Terkejut, berhenti bernapas sesaat, tetapi kemudian Marcella bisa cepat menguasai diri lagi. “Saya tidak punya suami, belum menikah. Tidak ada keluarga, tidak ada suami atau anak,” kekehnya menggeleng. Birhen menahan keinginan untuk bernapas setengah lega. Pertanyaan terakhir, “Oh, belum berkeluarga. Baiklah, bagaimana dengan kekasih? Aku tidak ingin mengajak kekasih orang berjalan-jalan jika itu bisa membuatmu terlibat dalam masalah.” Marcella kembali tertawa gugup, “Tidak ada kekasih, Tuan Birhen. Saya masih betah melajang dan hanya bekerja saja. Sedang menikmati kesendirian.” Barulah kali ini Birhen bernapas sangat lega. Tidak ada kekasih, tidak ada suami, belum pernah berkeluarga. Kenapa kesempatan untuk mendapat hati Marcella terasa dibuka lebar oleh alam? “Hmm, sama kalau begitu. Aku juga tidak ada kekasih, tidak ada istri, tidak ada anak, belum pernah berkeluarga,” tawanya melepas semua kelegaan ke udara. Wajah manis asisten itu mengangguk dan tertawa lembut. “Saya yakin wanita yang nanti menjadi pasangan Tuan adalah wanita yang sangat beruntung.” Dalam hati, Tuan Muda Liu reflek berkata, ‘Dan bagaimana kalau kamu saja yang menjadi wanita beruntung itu? Bukankah itu indah?’ Keduanya sama-sama tertawa dan belum lanjut mengucap apa-apa. Marcella masih diliputi kegugupan salah tingkah, sementara Birhen masih mengatur kalimat di dalam benak agar tidak terlihat terlalu agresif dan membuat wanita di hadapannya justru takut. “Uhm … so, uhm … aku ingin tahu tempat hangout yang nyaman, cozy. Kamu ada rekomendasi?” tanya Birhen. “Café atau bar?” tanggap Marcella. “Dua-duanya.” “Akan saya ingat-ingat, dan akan saya kabari jika Tuan kemari lagi,” jawab sang wanita. Birhen mengeluarkan ponsel, “Boleh minta nomor teleponmu? Terakhir aku minta nomor teleponmu, Carleonjustru memberikan nomor telepon direktur bagian umum,” ucapnya setengah tertawa. Menarik napas panjang, Marcella tentu tidak bisa menolak permintaan ini. Kalau bosnya meminta nomor telepon, alasan apa untuk menolak? Maka, ia terpaksa menyebutkan angka-angka, dan Birhen menyimpan di dalam ponselnya. “Coba cek, apakah chat-ku masuk?” ucap sang lelaki menatap lekat, tersenyum menawan. Mendengar sebuah notifikasi chat masuk, Marcella mengambil ponselnya, kemudian mengangguk. “Ya, sudah masuk.” “Kabari aku café atau pub, atau bar mana saja yang menurutmu nyaman untuk hangout serta mengobrol santai,” tandas Birhen. “Baik, Tuan,” angguk Nona Alistair. Senyum Tuan Muda Liu kembali terukir di bibirnya. “Beritahu aku juga, kapan kamu ada waktu luang untuk menemaniku mengobrol dan bersantai di sana.” “Eh?” kaget Marcella mendengarnya. “Tuan ingin saya ikut?” “Ya, aku ingin mengajakmu hang out. Apa kamu ada waktu?” angguk Birhen berharap permintaannya tidak ditolak. Ia sungguh ingin mengenal Marcella lebih jauh dan lebih … intim. Tidak ingin langsung mengatakan tidak, maka sang asisten berkata, “Saya harus mengecek jadwal pekerjaan terlebih dahulu. Tuan Carleonkadang memberi banyak pekerjaan hingga saya harus lembur.” “Kadang, saya juga harus ikut dengan Tuan Carleonke konferensi pers, atau menyiapkan pertemuan beliau dengan para rekanan.” Birhen mengangguk, “Tak apa, cek saja jadwalmu dan kabari aku kapan kamu bisa menemaniku hangout sebentar untuk melepas lelah.” Menahan engah di napasnya, Marcella mengangguk. “Baik, Tuan. Akan saya kabari dengan segera.” Tersenyum sendu, menatap lekat dan lirih, satu embusan pilu terlepas dari bibir sang lelaki. ‘Bahkan suaranya nyaris sama dengan mantanku. Sial, aku benar-benar terikat padanya.’ Tuan Muda Liu menghela satu kali lagi, kemudian melirik jam di tangan. “Aku harus pergi. Aku masih ada urusan. Kutunggu kabar baik darimu, ya?” “Baik, Tuan. Selamat beraktivitas,” angguk Marcella ikut berdiri dan menunduk hormat. *** Birhen berjalan keluar dari ruangan para asisten. Tubuh tingginya melangkah menuju lift khusus petinggi Energica Technology. Berdiri di depan pintu, mendadak terdengar suara langkah kaki dari belakang. “Oh, hai, Alexa,” sapanya tersenyum sopan. “Selamat siang, Tuan Muda Liu. Boleh saya membersamai Anda sebentar? Ada yang ingin saya sampaikan,” ucap Alexa sambil tersenyum dan memberi tunduk kepala hormat. Birhen menoleh, “Apa yang ingin kamu sampaikan?” Alexa melirik ke kanan dan ke kiri, juga ke belakang. Ia memastikan tidak ada siapa pun bersama mereka berdua yang bisa mendengar percakapan ini. “Maaf, jika ini terkesan lancang. Akan tetapi, yang saya lakukan adalah karena saya ingin membantu Tuan Muda Liu mendapatkan apa yang diinginkan.” Kening Birhen mengernyit. “Memangnya apa yang aku inginkan?” “Marcella?” senyum Alexa penuh makna, tatapannya penuh dengan percaya diri. Birhen tertawa kecil dan menggeleng. “Kamu bertindak terlalu jauh. Saranku, jangan ikut campur dengan masalah ini, oke?” “Tapi, saya hanya ingin membantu Tuan. Maaf, karena tadi saya mendengar sekilas percakapan kalian. Well, apa mau dikata? Dinding pemisah ruangan kami hanya terbuat dari partitur yang sangat tipis,” tanggap Alexa tertawa kecil pula. Ia kembali menatap Birhen dengan tegas dan lugas. “Marcella adalah gadis pemalu yang mudah gugup. Saya tidak yakin dia akan mengatakan iya untuk ajakan Tuan pergi berdua di café. Dia terlalu takut akan membuat kacau kerja sama Tuan Birhen dengan Tuan Carleon.” Kali ini, ucapan Alexa membuat Birhen tertarik. Pintu lift terbuka, tetapi ia tidak segera memasukinya. Ia justru berucap, “Lanjutkan ….” “Seperti yang saya katakan tadi, saya bisa membantu Tuan untuk menjadi lebih dekat dengan Marcella.” Suara berat Tuan Muda Liu bertanya singkat, “Kenapa kamu mau membantuku? Apa untungnya bagimu?” Alexa tertawa penuh makna, “Saya hanya ingin membuat Tuan Birhen senang saja selama berada di Energica Technology. Bos yan senang adalah karyawan yang senang. Dan siapa tahu … saya hanya berharap Tuan Birhen berkata yang baik tentang saya kepada Tuan Carleon.” “Saya adalah karyawan yang tergolong baru di sini. Baru setengah tahun saya bekerja menjadi asisten khusus beliau. Dan Tuan tahu sendiri persaingan di kantor sangat sengit, bukan? Banyak yang mengincar posisi saya,” tukas wanita berambut lurus sepanjang punggung. Senyum Alexa terlihat menawan saat ia berkata, “Saya hanya mencari aliansi dengan orang yang tepat. Saya membantu Tuan untuk dekat dengan Marcella, dan Tuan membantu saya agar tidak kehilangan posisi serta jabatan, bahkan jika bisa … semoga Tuan bisa membantu saja memiliki jabatan lebih tinggi dari ini.” Sebuah alasan yang masuk akal, bukan? “Hanya itu? Kamu hanya ingin aku membantu karirmu di Energica Technology?” tatap Birhen mencoba untuk menjadi yakin. “Itu dan karena menurut saya, Tuan Birhen sangat cocok bersama Marcella yang penuh kelembutan. Kalian akan menjadi pasangan serasi,” angguk Alexa tertawa renyah. Birhen menghela panjang, kemudian berkata, “Selama kerjamu baik, aku mungkin bisa membantumu dengan berkata ini dan itu kepada Carleonsupaya dia menaikkan grade karirmu. Tapi, kalau kamu terlibat kasus atau masalah tertentu, aku tidak bisa membantumu apa-apa.” “Deal!” angguk Alexa menjulurkan tangan. Tertawa sambil menggeleng, Birhen menjabat tangan lembut tersebut. “Baiklah, apa yang kamu tawarkan untuk membantuku?” “Saya akan mengajak Marcella bersantai di café atau pub dengan rekan kerja lain. Saya akan memberitahu Tuan di mana serta kapan. Tuan bisa mendatanginya lebih dulu. Kalian akan bertemu di sana, dan saya akan mengajak teman-teman untuk memberi ruang tersendiri bagi kalian berdua. Bagaimana kalau begitu?” jawab Alexa dengan cepat dan penuh kepercayaan diri. Birhen manggut-manggut, “Oke, patut dicoba. Aku tunggu kabarmu. Sudah, ya? Aku harus pergi dulu, masih ada urusan. Thanks, Alexa. Bye!” ucapnya sambil berjalan memasuki lift. Seiring pintu lift kemudian menutup, Alexa tersenyum puas sambil bergumam di dalam hati. ‘Good, mendekatkan Marcella dengan Tuan Birhen adalah langkah yang sangat tepat!’ ‘Jika Marcella kemudian bersama Tuan Birhen, maka dia akan berjauhan dengan Tuan Carleon! Jalanku untuk mendekati Tuan Carleon tidak akan diganggu lagi oleh wanita itu!’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD