Satu jam setelah datang ke kantor, kini ada tamu yang harus ditemui oleh Carleon. Rekan kerja terbarunya datang untuk membicarakan lebih lanjut mengenai kerja sama mereka.
“Paman Michael barusan meneleponku. Intinya, pihak HoleedayInn setuju untuk bekerja sama dengan kita,” ucap Carleon memberi kabar terkini.
Wajah Birhen langsung sumringah, “Yes! Yes! Aku senang sekali dengan kabar ini!” pekiknya sambil mengepalkan tangan ke atas, saking gembiranya.
“Saat perusahaan kontraktorku mulai membangun HoleedayInn sekitar tiga tahun lalu, aku sudah punya perasaan resort itu akan menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Semua perencanaan dilakukan dengan baik, target market yang jelas, ditambah dengan tim pemasaran yang luar biasa!” lanjutnya makin bersemangat.
Birhen terus berbicara, “Dan aku tidak salah dengan feeling-ku! Saat ini HoleedayInn Resort sudah menjadi destinasi wisata yang mendunia. Atlantis Palm saja sudah mulai bisa ia balap dalam berbagai ranking resort dunia.”
Carleon mengangguk, “Ya, aku tahu itu. Kalau keluarga Langley berinvestasi pada sesuatu mereka memang tidak pernah main-main. Aku juga lega mereka setuju dengan idemu untuk bekerja sama dengan kita.”
“Launching perusahaan baru kita di Dubai adalah strategi marketing yang luar biasa,” puji sang CEO pada sahabat barunya. “Dunia akan langsung mengenal nama InLine Tech, dan bahwa perusahaan kita itu bergerak di bidang teknologi.”
Birhen terkekeh riang, “Yes, itu benar sekali! Aku sudah bisa membayangkan kekaguman orang-orang saat kita menampilkan berbagai virtual dan augmented reality di sana. HoleedayInn bisa menjadi host untuk gaming VR. Apalagi semua teknologi yang akan kita bawa adalah jenis teknologi ramah lingkungan!”
Carleon tersenyum kecil melihat bagaimana rekannya itu sangat bersemangat. Diri sendiri percaya bahwa kesuksesan InLine Tech nantinya akan berdampak signifikan dan positif terhadap Energica Technology yang kini tengah dirundung berbagai masalah dan mulai kehilangan kepercayaan pasar.
Pintu diketuk dan nampak Marcella memasuki ruangan. Wanita itu tidak berjalan sampai ke meja dua orang lelaki tampan yang sedang mengobrol. Ia hanya berdiri di dekat pintu. “Maaf, bukan bermaksud mengganggu. Tapi, anak buah sudah siap untuk memberikan presentasi di ruang pertemuan.”
Carleon dan Birhen sama-sama menatap Marcella dengan gemuruh hati yang berbeda. Terlihat jelas dari sorot mata mereka bahwa ada sesuatu yang selalu bergejolak di dalam batin ketika wanita itu muncul.
Namun, mata Birhen kemudian memperhatikan hal lain. “Ya, ampun! Kenapa tangan dan kakimu terluka! Kamu kenapa?”
Reflek, lelaki itu bangun dari kursi dan segera mendekat. Mungkin juga masih bagian dari reflek, ia memegang tangan Marcella untuk melihat luka yang ada di siku. “Apakah ini sudah diberi obat?”
Kening Carleon mengernyit saat melihat Birhen memegang pergelangan tangan Marcella. Entah kenapa ia ingin berseru dan menyuruh rekannya tersebut untuk melepas dan jangan lagi menyentuh sang asisten.
Marcella sendiri nampak terkejut karena mendadak dipegang dan diberi perhatian seperti ini. Gugup, salah tingkah, berusaha tersenyum meski aslinya bingung. “Su-sudah, Tuan Birhen. Sudah diberi obat.”
Lirikan Marcella tertuju pada Carleon karena bosnya itu yang tadi mengobati. Akan tetapi, tidak ada tanggapan apa pun. Sang CEO tampan lebih suka diam dan memerhatikan saja sambil kesal sendiri di dalam hati.
“Apa yang terjadi?” Birhen masih terus merengkuh pergelangan tangan Marcella. “Kenapa kamu bisa terluka? Kamu jatuh?”
Mengangguk, asisten cantik kembali bercerita. “Tadi pagi saat mengenderai sepeda motor, ada mobil yang belok mendadak. Akhirnya, saya terjatuh.”
“Kurang ajar sekali mobil itu! Apa dia memberikan kompensasi karena sudah membuatmu jatuh? Apa kamu sudah ke dokter? Lukamu ini tidak harus diperiksakah?” Birhen semakin khawatir, jelas sangat perhatian.
“Saya tidak perlu ke dokter, Tuan. Luka ini hanya luka gores saja, dan sudah diobati. Sepeda motor saya sudah dibawa ke bengkel. Semua baik-baik saja, terima kasih atas perhatiannya,” lirih Marcella menatap sang lelaki.
Carleon melepas kacamatanya, melempar benda itu perlahan ke atas meja. Napas berat dan panjang diembus. Perhatian Birhen pada Marcella membuatnya tidak nyaman. Akan tetapi, dia tidak ingin berkata apa pun atau memperlihatkan perasaan apa pun.
Ia hanya memijit kening sesaat, menarik napas panjang, memutuskan untuk menahan semua keresahan itu. Kacamatanya kembali dipakai dan ia mulai berjalan menuju pintu.
Saat melintas di sebelah Birhen yang masih terus memegang pergelangan tangan Marcella, ia berhenti. Suara beratnya berucap tegas, “Dia baik-baik saja. Bisakah kita sekarang ke ruang pertemuan? Saatnya melihat presentasi dari anak buahku, dan juga anak buahmu.”
“Aku harus segera melapor pada Paman Timothy mengenai bentuk kerja sama kita. Setelah itu, aku juga akan menghubungi Paman Mao.”
Setelah mengatakannya, Carleon melirik sekilas pada Marcella dengan dingin. Ia lirik pula tangan sang wanita yang masih direngkuh oleh Birhen. Sebuah tatap dengan artian protes.
Tatap itu mengejutkan Marcella karena terlihat menusuk, sedikit menyeramkan. Membuatnya langsung menarik tangan dari genggaman Birhen.
Tuan Muda Liu mengangguk, “Oke, aku akan segera ke ruang pertemuan. Sebentar, aku ingin memesankan makanan dan minuman dulu untuk Marcella makan siang.”
“Hah?” Carleon kembali berhenti melangkah dan menoleh ke belakang.
“Ti-tidak usah, T-Tuan Birhen. Saya tidak mau merepotkan,” geleng Marcella makin salah tingkah dengan perhatian rekan kerja bosnya tersebut.
Birhen tersenyum tampan, “Tidak merepotkan. Kamu terluka, sepeda motormu di bengkel, jadi kamu tidak bisa keluar untuk makan siang, bukan? Aku akan memesan makan siang untukmu.”
Marcella kembali menggeleng, “Tidak usah, Tuan. Saya takut merepotkan saja.”
“Apa kamu suka vanila latte?” tanya Birhen menatap lekat, tidak menggubris penolakan sang asisten.
Carleon menarik napas panjang, mengembusnya kasar, dan ingin semua ini cepat berakhir. Melihat Marcella diperhatikan lelaki lain membuatnya kesal, meski ia tahu tak seharusnya merasa seperti itu.
“Aku ke ruang pertemuan sekarang,” tukas sang CEO tidak ingin lebih lama lagi di sana dan melihat bagaimana Tuan Muda Liu memberikan perhatian sedemikian besar pada asistennya.
Marcella mengangguk, “Ya, saya suka vanila latte.”
Birhen kembali tersenyum, kali ini sendu. Ia menatap lirih pada sang wanita sambil berucap di dalam hati. ‘Ya, sama seperti mantan kekasihku yang tiba-tiba menghilang. Dia juga sangat menyukai vanila latte. Setiap kami pergi berkencan, ia selalu memesan minuman itu.’
‘Sepertinya kamu dan mantanku itu tidak hanya memiliki wajah yang mirip, tetapi juga selera yang mirip. Apakah aku salah karena melihat dirinya dalam dirimu, Marcella?’
Hmm, dua lelaki yang sama-sama memiliki kenangan perpisahan tidak baik dengan cinta mereka sebelumnya.
Dan kini, keduanya sama-sama melihat diri kekasih mereka yang terdahulu di dalam sosok Marcella.
***
Menjelang sore, Carleon sedang berada di ruang kantornya. Saat jam makan siang tadi, ia baru saja bertemu dengan Hank sang pengacara membahas kasus penuntutan yang tengah bergulir.
“Hank menyarankan kita penuhi saja tuntutan beberapa pelanggan itu untuk mengurangi kegaduhan di media,” ucap CEO tersebut pada orang kepercayaannya.
Alex manggut-manggut, “Meski itu sepertinya sebuah ide yang baik, tapi sepertinya Tuan masih kurang setuju?”
Menghela berat, Carleon mengiyakan. “Bukannya tidak setuju. Aku hanya merasa semua ini adalah satu tipuan belaka. Di saat kita sedang bersiap mengeluarkan produk terbaru, tiba-tiba muncul kasus tuntutan.”
“Aku sudah menyelidiki selama lima tahun ke belakang. Tidak pernah ada kasus seperti ini. Selama lima tahun terakhir semua produk household kita aman, Alex. Kalau memang ada kesalahan desain, pasti kasus serupa sudah pernah terjadi.”
“Circuit pemanas bisa saja rusak, anggap itu kesalahan pabrik saat membuatnya. Tapi, lima pengguna mengalami masalah yang sama hanya selisih hitungan hari? Sesuatu pasti sedang bermain di sini!”
Senyum dingin Tuan Muda Mancini terbit dengan kegelisahan membayang. “Aku rasa itu suatu kebetulan yang dipaksakan. Bukankah begitu? Beri aku pendapatmu.”
Alex ikut menghela resah. Ia menyandarkan punggung, lalu mengutarakan pikirannya.
“Saya setuju dengan apa yang Tuan Carleon katakan. Lima pengguna mengalami kebakaran rumah di saat yang sama memang mencurigakan.”
“Tapi, kita tidak punya bukti apa pun yang mengaitkan mereka dengan adanya sebuah kesengajaan,” tandas Alex.
Sang asisten utama kembali memberi masukan, “Kalau mau menyelidiki pun kita membutuhkan waktu yang cukup lama. Kita harus mencari tahu apakah mereka menerima uang suap dari seseorang untuk mencemarkan nama baik Energica Technology atau tidak.”
“Kita juga harus melalui proses hukum yang pasti juga sebelum mengumumkan ke publik bahwa ini adalah rekayasa untuk menjatuhkan Energica Technology.”
Carleonmengembuskan napas secara kasar dari bibir. Apa yang Alex pikirkan juga sudah ia pikirkan sebelumnya. “Aku tahu, kita tidak boleh gegabah. Tapi, aku hanya kesal saja kalau perusahaan mengeluarkan uang nyaris 1 juta Dollar hanya untuk membayar para penipu itu.”
“Untuk sementara, saya rasa itu yang terbaik, Tuan. Kita bayar, umumkan ke publik kalau masalah sudah selesai. Alexa sudah membuat program website baru dengan sentuhan pribadi Anda, bukan?” tanggal Alex.
Pemuda itu tertawa pelan, “Saya rasa publik akan segera menyukainya. Banyak yang penasaran dengan CEO Energica Technology yang baru. Berita bahwa Anda adalah Tuan Muda Mancini yang tampan sepertinya sudah menyebar di kota ini.”
Carleon ingin tertawa, tetapi pintu kantornya terbuka. Seorang wanita berambut lurus sepanjang punggung masuk sambil berjalan tegas.
“Selamat sore, Tuan Carleon,” sapa Alexa tersenyum manis. “Saya sudah memilih beberapa website contractor yang potensial. Silakan Anda tentukan mau memakai yang mana,” ucap asisten khusus bagian publikasi humas tersebut.
Ia berdiri di samping kursi bosnya. Jemari lentik meletakkan beberapa map di atas meja, tepat di hadapan pria berkacamata yang memerhatikan tiap gerak-geriknya.
“Saya sudah menyertakan juga poin plus dan minus dari masing-masing website contractor. Perkiraan harga juga sudah saya ma—”
Alexa terdiam mendadak. Matanya terbelalak melihat telapak tangan Carleonyang dibalut perban, terlihat ….
“Ya, Tuhan! Tangan Anda kenapa, Tuan? Itu … itu … apakah Anda tidak tahu kalau tangan Anda berdarah?” pekiknya terengah, terdengar sangat khawatir.
Carleon melirik acuh pada telapak tangannya yang memang sepertinya mengeluarkan darah lagi. Sejak meremas gelas kaca hingga pecah dan membuat kulitnya terkoyak, telapak tangan itu memang belum ia obati ke dokter untuk dijahit.
Perban yang dibalut oleh anak buah Svetson saja belum ia apa-apakan. Pikiran terlalu penuh dengan rasa sakit akan kenangan Miley dan berbagai masalah di Energica Technology yang memerlukan perhatian khusus.
“Tuan! Tangan Anda berdarah!” ulang Alexa memekik sambil menahan panik.
“Biarkan saja,” tanggap Carleon justru teruz membuka map dari anak buahnya itu untuk melihat beberapa pilihan pengelola website.
Alexa tak sabar dengan jawaban Carleon. Tidak tahu ia hanya reflek saja berbuat karena sungguh peduli atau dia memang ingin terlihat sungguh perhatian.
Mendadak telapak tangan itu diraih olehnya. “Ini bukan luka sembarangan! Ini luka dalam karena darahnya saja masih mengalir!” engah sang wanita.
Carleonberdesis, “Sudah aku bilang, biarkan saja!” ketusnya dingin, segera menarik kembali telapak tangan.
Akan tetapi, Alexa kembali menarik telapak tangan bosnya dan memegangi erat. “Ini tidak bisa dibiarkan!”
Mata berpulaa eye shadow merah bata ganti menatap tajam pada Alex. “Kenapa kamu diam saja dari tadi melihat tangan tuan Carleon berdarah begini?”
Yang ditanya melongo. “Aku?”
“Iya, kamu, Alex! Apa kamu tidak lihat tangan beliau terluka parah sampai darah segar masih menembus perban yang sudah kumal? Entah dari kapan perban ini dipasang?”
Carleon menghela panjang. Setengah kesal, setengau heran ada apa dengan wanita ini yang sedemikian panik dengan keadaan tangannya. “Sudah, aku tidak apa-apa! Aku banyak urusan hari ini! Nanti aku obati sepulang kantor!”
“Tidak boleh!” Alexa melotot sambil terus memegangi telapak tangan Carleon. “Tangan ini harus diobati sekarang juga!” tukasnya sangat tegas.
Lalu, perlahan ia letakkan tangan Carleondi atas meja kerja sang CEO. Jemari lentik berpewarna kuku cokelay tua mengambil pesawat telepon bosnya tanpa meminta ijin terlebih dahulu.
Lucunya Carleon hanya saling lirik dengan Alex dan memandangi saja kelakuan Alexa yang tampak panik dan bingung sendiri.
“Halo? Iya, ini dari tim asistensi Tuan Carleon. Segera hubungi aku dengan rumah sakit terdekat!” ucap Alexa saat operator perusahaan sudah tersambung.
Kening Carleon mengernyit. “Kamu mau apa?” gumamnya penasaran.
“Mengobati Tuan, tentu saja! Apalagi memangnya yang mau saya lakukan? Kita mau membuat website berisi kehidupan sehari-hari Tuan, bukan? Tangan yang infeksi membengkak bukan sesuatu yang indah untuk ditunjukkan pada masyarakat!’
Panjang mengomel, Alexa seperti seorang ibu sedang memarahi anak kecil. Di mana dua lelaki dewasa hanya terus bengong dan membiarkannya berbuat apa yang sedang dia perbuat.
“Ya, halo? Iya, ini dari asisten Tuan Carleon Mancini di Energica Technology. Bisa kirim tim dokter khusus untuk merawat luka CEO kami di sini? Beliau terlalu sibuk untuk ke rumah sakit sementara tangannya terluka dan terus berdarah.”
Carleon tertegun sesaat melihat Alexa nampak bersungguh-sungguh ingin mengobati dirinya. Sebuah perhatian yang sudah empat tahun tak pernah ia rasakan lagi sejak kepergian mendiang istri.
“15 menit? Baiklah, lokasi kita saling berdekatan. Aku rasa itu waktu yang cukup masuk akal untuk datang kemari. Akan kukatakan pada pihak resepsionis untuk segera mengantar tim dokter ke ruangan Tuan Carleon. Terima kasih, ya!” pungkas Alexa, lalu menutup telepon.
Carleon mengerutkan kening hingga kedua alis tebalnya bertemu di tengah. “Kamu sungguh memanggil dokter untuk datang ke sini?”
“Tentu saja! Tuan bilang sibuk tidak ada waktu untuk berobat, bukan? Ya, sudah, obatnya yang saya bawa kemari!” jawab Alexa masih dengan nada khawatir, melengking.
Asisten cantik kembali menatap Alex dan protes keras. “Kenapa kamu tidak bercerita kalau tangan Tuan Carleon. terluka begini? Marcella juga kenapa diam saja? Bagaimana kalau tangannya infeksi? Itu sangat berbahaya!”
Carleon menyahut dengan suara berat dan kalem , “Semua sudah bertanya. Bahkan Bobby sudah memintaku untuk memeriksakannya. Aku yang belum ada waktu. Tenanglah, aku sudah pernah luka lebih parah dari ini dan baik-baik saja.”
“Bagaimana bisa tenang kalau melihat ada darah tembus perban itu? Astaga!” Alexa tetap melotot.
Ia mengambil kembali beberapa map dari atas meja Carleondan meletakkannya di bufet dekat dinding. “Jangan dipakai beraktivitas dulu tangannya. Nanti makin berdarah.”
“Bisakah kamu berhenti panik? Sudah kubilang, aku sudah pernah mengalami luka yang lebih parah,” tanggap Carleon menghela kesal karena map yang ingin ia pelajari isinya justru dibawa menjauh.
Alexa menjawab sambil tersenyum dan bersuara tegas. “Saya akan berhenti panik kalau luka itu sudah diobati dengan baik oleh tim dokter yang akan datang ke sini sebentar lagi.”
“Sekarang, Tuan Carleon duduk diam di situ. Saya yang akan membukakan map website contractor-nya. Saya bacakan, Tuan mendengarkan. Mengerti?” perintahnya tersenyum dengan mata membulat sempurna.
Carleon menyeringai, “Kamu sadar tidak kalau kamu baru saja memerintah CEO-mu untuk mendengarkan?”
Alexa mengangguk, “Tentu saja!” kekehnya. “Duduk dan dengarkan sambil kita tunggu tim dokter datang.”
Kembali saling pandang dengan Alex, tetapi akhirnya Carleon mengangguk. Ia malas berdebat, yang penting urusan segera selesai. “Ya, sudah, terserah kamu. Mulailah bacakan!”
“Siap, Tuan!”
***
Sekitar 15 menit kemudian tim dokter datang membawa peralatan untuk mengobati telapak tangan Carleon. Harus dijahit karena memang ada bagian yang sobek sehingga terus mengucurkan darah.
“Saya tidak mengerti bagaimana Tuan bisa menahan sakit sejak kemarin lusa malam? Di dalam tangan Tuan masih ada serpihan kaca,” engah Alexa tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Senyum dingin terbit di bibir Tuan Muda Mancini. “Aku biasa menahan rasa sakit,” jawabnya singkat.
Seandainya Alexa tahu bagaimana kehidupan asli Carleon dengan segala pertempuran dan dunia hitamnya. Luka sobek di telapak tangan itu sungguh bukan apa-apa.
“Untung Nona ini sangat perhatian dengan Anda, Tuan Mancini. Lukanya memang membutuhkan perawatan dengan segera sebelum mulai infeksi,” ucap dokter yang sedang menjahit tangan Carleon.
“Hmm,” sahut sang CEO tersenyum datar. Ia duduk di sofa ruang tamu kantornya. Tangan kanan dijahit sementara tangan kiri membaca laporan penjualan tiga bulan terakhir yang baru saja diserahkan oleh divisi pemasaran.
Kembali terdengar suara langkah kaki dari sepatu berhak tinggi, Carleon melirik ke arah datangnya suara. Di sana Alexa berjalan ke arahnya sambil membawa satu kantong kertas.
‘Apa lagi yang dia lakukan sekarang?’ gumamnya membatin.
Menarik sebuah kursi, lalu duduk di hadapan bosnya, wajah Alexa nampak berseri. “Saya tanya ke Bobby dan Alex, ternyata Tuan Carleon belum makan siang, ya?”
“Kata dokter setelah biusnya hilang, Tuan harus mulai meminum pereda nyeri. Oleh karena itu, 3 segera makan supaya lambung tidak sakit.”
Mengambil napas panjang, mengembus kesal, pertanyaan Carleonadalah, “What are you? My baby sitter, hah?”
Bertanya apakah sekarang Alexa sudah alih profesi menjadi baby sitter-nya.
Yang ditanya terkekeh, “Sebagai asisten seorang CEO paling terkenal di Energica Technology, bukankah saya harus menjadi serba bisa?”
Menata kotak makanan serta minuman di atas meja tamu, Nona Tianzhi lalu memotong-motong daging di kotak makanan tersebut.
“Saya suapi, boleh?” ucapnya menawarkan diri sambil tersenyum sangat manis.
Carleon menurunkan tablet pintar dari depan wajahnya. Sempat tertegun sesaat melihat makanannya sudah siap untuk dinikmati.
“Karena aku bukan bayi, aku bisa makan sendiri,” sahutnya, kemudian tersenyum dingin.
“Tangan kanan Tuan sedang diobati, sebaiknya Tuan tidak bergerak sekali agar dokter tidak kesulitan menjahit lukanya. Lebih baik Tuan duduk diam, baca laporan, dan biar saya suapi.” Alexa memberikan alasan yang masuk akal.
Akan tetapi, Carleon tetap menggeleng. “Taruh saja di meja. Akan kumakan setelah selesai diobati.”
“Nanti makanannya dingin, dagingnya tidak enak lagi. Makan sekarang saja, yuk, bisa, yuk, buka bibir Tuan,” rayu Alexa sudah siap dengan sepasang sumpit di tangan.
Dokter rupanya mendukung sang asisten. “Sekali lagi, Anda beruntung karena diperhatikan oleh Nona Alexa ini, Tuan. Saran saya, segera makan dan minum obat anti nyeri sebelum biusnya habis.”
Perawat menyahut, “Kecuali Anda sudah biasa terluka dan bertarung berdarah-darah, maka sakit bekas jahitan tak akan terlalu menyengat,” candanya tanpa tahu apa yang dicandakan benar adanya.
Carleontersenyum kaku sementara yang lain tertawa dengan candaan itu.
“Ayo, buka mulut, haaap,” rayu Alexa kembali sambil mendekatkan sumpit ke bibir bosnya.
Sambil memicingkan matanya kesal, tetapi Carleon seperti tersihir dan bersedia membuka bibir hingga masuk sudah satu potongan daging tersebut.
“Nah, good boy!” kikik Alexa tersenyum senang karena bosnya mau disuapi.
Hati berbunga-bunga karena merasa mulai berhasil mendekati serta mengambil hati bosnya.
Akan tetapi, kemudian langkah kaki lain yang memakai sepatu hak tinggi terdengar memasuki ruang kerja orang nomor satu di Energica Technology tersebut.
Marcella berhenti melangkah dan cukup terlihat terkejut saat menyaksikan Alexa duduk di atas meja sambil menyuapi bosnya.
Pun dengan Carleon yang terlihat sama terkejutnya karena Marcella ada di ruangannya. Ia segera menelan daging yang di mulut dan cepat menyapa. “Ada apa?”
“Mau menyerahkan rencana kerja terbaru Tuan untuk bulan depan,” jawab Marcella tersenyum rikuh, sambil sesekali melirik pada Alexa.
Di mana teman sesama asistennya itu juga sedang menatapnya dengan senyum yang seolah menyuarakan kemenangan, bahwa dia pun bisa dekat dengan sang bos.
Suara Marcella kembali terdengar, “Tapi, kalau Tuan sedang sibuk, saya kembali nanti saja lagi,” ucapnya sambil membalikkan badan dan bersiap untuk berjalan keluar.
“Aku tidak sibuk! Kemarilah sekarang!” seru Carleon mencegah kepergian salah satu asistennya. “Aku mau lihat jadwal kunjungan dan pertemuanku untuk bulan depan!”
Marcella berhenti berjalan menuju pintu. Ia kembali memutar badan, lalu melangkah menuju Carleon. Mata melirik ke kanan dan ke kiri, mencari tempat untuk duduk.
Di sebelah Carleonada dokter yang sedang mengobati, di depannya ada Alexa. Maka, Marcella memutuskan untuk berdiri saja.
Namun, Carleon yang mengerti arti lirikan Marcella ke kanan dan kiri itu berucap, “Alexa, aku sudah cukup makan. Bereskan kotak makannya dan biarkan Marcella duduk di situ.”
Senyum Alexa di awal yang terlihat menyuarakan kemenangan berubah menjadi senyum kecut terpaksa karena ia yang sekarang diminta pergi.
“Baik, Tuan,” sahutnya menahan kesal. Setelah membereskan kotak makanan, ia berdiri sambil mempersilakan rekan kerjanya.
“Silakan duduk, Nona Alistair,” ucapnya tidak dengan nada suara yang ramah dan tulus, meski sedang tersenyum.
Marcella diam saja mendapat senyum kecut dari Alexa. Ia hanya mengangguk dan bergantian duduk di atas meja tamu, berhadapan dengan Carleonyang sedang diobati tangannya oleh tim dokter.
“Kamu sudah makan siang?” tanya Carleon perhatian.
Di mana pertanyaan itu masih terdengar oleh Alexa yang sedang berjalan menuju pintu keluar. Membuat sang wanita memutar bola matanya ke atas karena kesal mendengar suara perhatian itu.
“Sudah, Tuan,” angguk Marcella.
“Makanan dan minuman pesanan Birhen enak? Vanila latte yang dia belikan untukmu sudah dihabiskan?” lanjut Carleonbertanya dengan senyum menyindir dan wajahnya memperlihatkan ekspresi yang konyol.
Marcella terhenyak dengan pertanyaan bosnya. Ia pun hanya menjawab, “Ha?”
Tuan Muda Mancini segera tersadar ia baru saja bersikap tidak masuk akal karena membawa-bawa Birhen. “Lupakan pertanyaanku. Mana data pekerjaanku?”
“Ini, Tuan ….”
Lalu, dalam hati Marcella bertanya sendiri. ‘Kenapa Tuan Carleon sperti kesal dengan sikap Tuan Birhen padaku?’