Ch.03 Dirawat oleh Bos

1797 Words
Marcella terkejut melihat bahwa lelaki yang datang untuk membela adalah bosnya sendiri. “Tuan Carleon?” Cengkeraman Carleon di tangan lelaki yang semena-mena itu makin keras hingga menimbulkan jerit kesakitan di pihak lawan. “Masih tidak mau minta maaf, hah?” desisnya menyeringai bengis. Siapa pun lelaki itu, dia sungguh telah memilih lawan yang salah karena detik berikutnya kedua lutut sudah menyentuh aspal sementara tangannya dipelintir, ditarik ke belakang punggung, semakin sakit! “Lepaskan aku! Sakit! Sakit!” teriaknya menggeleng dengan wajah merah padam. Marcella terengah dan mendatangi Carleon. “Tuan, sudah, Tuan! Nanti tangannya patah! Hentikan!” Carleon tertawa dingin, “Kamu dengar itu, b******k? Wanita ini memintaku untuk berhenti memberi pelajaran kepadamu. Apa kamu tidak malu nyawamu diselamatkan oleh wanita yang barusan kamu maki-maki?” “Hanya berani dengan wanita tak berdaya, hah! Lawan aku kalau kamu memang lelaki sejati!” desis Carleonvsambil terus memelintir tangan lelaki amoral tersebut. Ia bahkan tidak sampai mengeluarkan 5% dari kekuatannya, tetapi jerit kesakitan terus berkumandang. Air mata mulai mengalir di wajah lelaki pemilik Lamborghini yang bagian pintunya sedikit penyok dan memiliki gorean cat cukup dalam. “Ampun! Ampun! Aku minta maaf! Aku minta maaf!” “Tidak usah ganti rugi apa pun! Pokoknya, lepaskan aku dan kita anggap tidak ada masalah!” tangisnya ketakutan menahan sakit. Carleon menyeringai. Keinginannya agar lelaki itu meminta maaf sudah dituruti. Ia melepas pelintirannya dan membiarkan pria arogan bergulung kesakitan di atas aspal. Berdiri di depan tubuh yang sedang kelojotan karena tangan terasa sangat sakit, ia mengeluarkan ponsel. “Kalau wanita ini berkata kamu yang salah karena memotong jalannya dengan tiba-tiba, berarti memang kamu yang bersalah! Apa kamu paham?” “Iya! Iya! Aku yang bersalah! Aku memang bersalah!” tangis lelaki arogan tersebut. “Good! Kalau begitu masalah sudah selesai!” desis Tuan Muda Mancini, lalu menyeingai dingin dan berjalan menjauh. Ia melirik pada Marcella dan memberi kode dengan gerakan kepala untuk ikut berjalan bersamanya. Cepat bergerak menjejeri Carleon, napas Marcella nampak memburu terengah dalam kekhawatiran. “Apa lelaki itu akan baik-baik saja? Bagaimana kalau tangannya patah? Nanti Tuan kena masalah?” Carleon hanya tersenyum kecil selama satu detik, lalu wajahnya berubah datar kembali. “Aku tahu bagaimana mematahkan tangan orang, dan aku tahu bagaimana hanya memberi pelajaran. Tangannya tidak akan patah, jangan khawatir.” Lalu, langkah tegapnya mendadak berhenti. Tubuh gagah diputar mengarah hingga berhadapan dengan asistennya. “Aku lebih khawatir dengan luka di tangan dan kakimu. Apa kamu baik-baik saja?” Nona Alistair mengangguk. “Hanya luka gores terkena aspal. Lelaki itu mendadak belok hingga kamu bertubrukan. Lihatlah, justru motor matic saya yang rusak,” tunjuknya sedih ke arah sebuah sepeda motor yang teronggok dengan beberapa bagian terlihat penyok serta pecah. “Paman Bobby!” panggil Carleonpada bodyguard-nya. Setelah sang pengawal mendekat, ia memberi perintah, “Suruh anak buah membawa motor Marcella ke bengkel.” “Siap, Tuan!” angguk Bobby, kemudian segera mengurusi sepeda motor matic yang tergeletak di pinggir jalan. “Kamu sungguh baik-baik saja? Tidak ada bagian tubuh lain yang nyeri atau terluka dalam?” ulang Carleon memandang dari kepala hingga kaki. Ketika melihat lutut Marcella terluka ia ingin sekali mencekik lelaki yang sedang menangis kesakitan di belakang. Namun, sang wanita menggeleng, “Tidak ada bagian lain tubuh saya yang terluka. Saya baik-baik saja. Hanya perlu membersihkan luka ini dan memberinya desinfektan.” “Ya, sudah. Kamu ke kantor denganku saja sekarang. Biar motormu diurusi anak buahku,” pungkas Marlon, kemudian bersiap untuk kembali melangkah. Marcella ikut menaiki kendaraan mewah bosnya. Mereka duduk bersama di jok belakang. Nampak wajahnya menjadi lebih gugup dari saat menghadapi lelaki Lamborghini tadi. Satu kendaraan dengan bos yang terkenal dingin, jarang tersenyum, dan irit bicara memang cukup menegangkan. Kendaraan mulai berjalan dan keduanya sama-sama terdiam. Hanya saja, sesekali Carleon melirik ke asistennya, sebelum kemudian kembali melempar pandang pada jalan raya. “Hidup harus terus berjalan maju,” ucap Svetson kala di pesawat, kembali terngiang. Bagaimana caranya maju kalau saat ini ia justru merasa sedang duduk bersama Miley? Wajah Marcella mirip dengan mendiang istrinya tersebut. ‘Tidak, dia bukan Miley. Dia bukan Baby-ku. Miley sudah tiada. Dia bukan istriku ….’ Saat Marcella melirik, ia baru menyadari ada sesuatu yang berbeda di tubuh bosnya. “Tangan Tuan Carleon kenapa?” Carleon hanya menatap perban di tangannya dan tak menjawab apa pun. Ia tidak ingin berbohong, tak ingin pula memberi penjelasan. Jadi, diam adalah jawaban terbaik. Tahu kalau bosnya memang irit bicara, apalagi mengenai hal pribadi, maka Marcella tidak bertanya lebih lanjut. Jika tidak ada jawaban, berarti memang tidak ingin membahas. Keduanya kembali diam dan saling memandangi jalan di luar jendela. *** Sampai di kantor, petugas security segera mendatangi dua pintu belakang dan membukanya. Mereka terkejut saat melihat ada Marcella di dalamnya. Meski terkejut, tak ada yang berani berkata apa pun. Bukan hanya petugas security yang terkejut melihat ada Marcella berdua dengan bos mereka di dalam mobil, begitu pula karyawan lain yang datang bersamaan dengan mereka. Biasanya jika ada Marcella, maka akan ada Alex. Berbagai pertanyaan tentu hinggap di benak karyawan. Apa yang terjadi sehingga keduanya datang bersamaan dalam satu mobil? Apa semalam mereka menghabiskan malam bersama hingga kini terlihat berdua? Ini tentu akan menjadi gosip yang teramat panas untuk disebar! Mungkin itu yang ada dalam pikiran orang-orang. Carleon tidak langsung berjalan. Ia menunggu asisten cantiknya itu sampai di sisinya baru mulai bergerak maju. Saat menyadari mereka tidak berjalan berjejeran, ia berhenti, lalu menoleh ke belakang. “Kakimu sakit?” Sebuah pertanyaan singkat diberikan. Marcella tersenyum sambil meringis. “Hanya sakit sedikit, tidak apa-apa. Tuan jalan saja duluan.” Akan tetapi, Carleon justru menghela panjang dan bergerak balik menuju Marcella. “Apa perlu ke rumah sakit? Bobby akan mengantarmu.” “Tidak! Tidak perlu!” geleng Marcella dengan cepat. “Saya tidak perlu ke rumah sakit!” engahnya, lalu segera berjalan cepat sambil menahan sedikit nyeri di lutut. “Marcella!” panggil Carleon hingga menghentikan langkah asistennya. “Naik lift khusus bersamaku, supaya lebih cepat sampai ke atas.” Mengangguk, Marcella berjalan tertatih bersama Carleonmenuju lift khusus pejabat tinggi Energica Technology. Keduanya kembali terdiam tak berbicara apa pun. Begitu pintu terbuka, baru terdengar suara Carleon. “Masuk ke ruanganku.” Tak berani bertanya ada apa, Marcella menurut saja dan masuk ke dalam ruangan sang CEO. “Duduk,” perintah Tuan Muda Mancini singkat, menunjuk sebuah kursi sofa empuk di dekat pintu masuk. Setelah duduk di tempat yang disuruh, mata Marcella memerhatikan gerakan Carleon. ‘Apa yang dia mau dariku?’ tanyanya dalam hati, penasaran sendiri. Nampak kemudian sang lelaki datang membawa sebuah kotak berwarna putih dengan lambang palang merah di bagian atas. Carleon duduk di atas meja tamu, kemudian membuka kotak obat. Ia mengeluarkan kapas serta botol pembersih luka. “Saya bisa bersihkan sendiri, Tuan,” engah Marcella ingin meraih kapas serta botol desinfektan tersebut. “Ada masalah kalau aku yang mengobati lukamu?” tanya Carleon datar dan menatap lekat, tanpa senyum. Menggeleng, jawaban Marcella adalah, “Tidak ada masalah, tapi saya tidak ingin merepotkan. Tangan Tuan sendiri sedang terluka.” Carleo tak menyahut apa-apa. Ia segera menggerakkan tangannya dan menempelkan obat luka tersebut di lutut asistennya. Suara berdesis menahan perih terdengar dari bibir Marcella. Ketika sang CEO melirik, ia sedang meringis. Tahu sedang dilirik, bibir segera berubah tersenyum walau perih terus merambati lutut. “Sikumu,” ucap Carleon singkat, bermaksud agar Marcella mengulurkan siku. Permintaannya dimengerti, asisten cantiknya itu menjulurkan tangan dan ia cepat memberi obat luka di sana. Pintu ruangan diketuk tiga kali, kemudian dibuka. Alex melangkah masuk sambil berucap, “Tuan, ada berita terbaru mengenai kasus penuntutan. Penyelidik menemukan kalau kebakaran yang ditimbulkan adalah aki—” Alex segera menghentikan bicaranya saat melihat Carleon sedang menepukkan kapas secara lembut ke siku Marcella. Ia berhenti melangkah, berhenti berbicara, dan matanya terbelalak. Masih sambil menepukkan kapas di siku Marcella, sang CEO bertanya tanpa melihat pada anak buah kepercayaan. “Kebakaran yang ditimbulkan adalah apa? Kenapa kamu berhenti berbicara?” “Ada apa dengan Marcella?” tanya Alex terengah. “Aku diserempet orang di jalan. Untung Tuan Carleon lewat dan membantuku,” jelas Marcella sambil menunjukkan gesture salah tingkah. Carleon menarik tangannya dari siku Marcella. “Sudah selesai, semua lukamu sudah terobati. Aku minta kalau kamu semakin merasa tidak nyaman, maka pulang saja. Tidak usah dipaksa kerja.” “Hari ini ada kunjungan Tuan Birhen. Kalau saya tidak bekerja, siapa yang mengurusi semua keperluan kunjungan beliau? Saya baik-baik saja, Tuan. Saya masih bisa bekerja hingga jam pulang kantor nanti,” tolak Marcella terhadap tawaran pulang bosnya. Kedua mata mereka saling bertatapan selama beberapa detik. Kemudian, setelah sadar kalau mereka seolah saling terhanyut dalam sorot yang dalam, keduanya segera mengalihkan pandang. “Terima kasih atas bantuan Tuan. Saya permisi akan kembali ke ruang kerja saya dulu. Selamat pagi,” ucap Marcella, berdiri perlahan, lalu berjalan sambil tertatih. Carleonbmasih duduk di atas meja, lanjut dengan mengembuskan napas panjang. Hatinya sakit, perih. Ia berucap lirih dalam batin, ‘Please, kenapa kamu harus mengingatkanku pada Miley?’ Ia menoleh dan memerhatikan tubuh bagian belakang Marcella yang sedang menuju pintu keluar. ‘Apakah salah kalau aku kemudian menganggap Miley masih hidup dalam dirimu?’ *** Saat hendak mendatangi ruang kerjanya, Marcella berpapasan dengan Alexa. Rekan kerjanya itu terlihat dari arah lift khusus para pejabat tinggi Energica Technology yang tadi ia naiki. Oh, iya, Carleonsudah memberinya ijin untuk menggunakan lift khusus itu, bukan? “Karyawan lain ramai bergunjing kamu datang bersama Tuan Carleon pagi ini. Apa itu benar?” tanya Alexa langsung tanpa tedeng aling-aling. “Apa yang kamu lakukan dengan beliau hingga datang bersama pagi ini?” Marcella mengangguk, “Aku diserempet orang saat di jalan. Kebetulan Tuan Carleonlewat. Anak buah Bobby membawa sepeda motorku ke bengkel, dan aku berangkat ke kantor bersama beliau. Hanya itu yang terjadi, jangan dengarkan gunjingan yang tidak benar.” Alexa kemudian tersenyum dingin, “Dan barusan aku lihat kamu keluar dari ruangannya. Apa ada pembahasan tertentu di menit-menit pertama masuk kerja?” Kali ini Marcella menggeleng, “Beliau mengobati luka di lutut dan sikuku. Hanya itu, tidak ada pembahasan kerja apa pun. Sudah, ya, aku mau ke ruanganku dulu.” Marcella cepat melangkah, lalu duduk di kursi kerjanya. Ia mengambil sebotol air mineral dari dalam tas dan cepat meneguknya. Batin wanita itu masih dilanda gejolak debar setelah apa yang terjadi di dalam ruang kerja Corleon. Alexa berhenti melangkah dan membiarkan Marcella jalan terlebih dahulu di depannya. Ia menoleh ke belakang, ke arah pintu kerja Corleon. Ada hati yang bergemuruh saat mendengar penjelasan Marcella. ‘Kenapa Tuan Carleon sedemikian perhatian dengan Marcella? Apa mereka sungguh ada sesuatu? Apa jangan-jangan Marcella ingin mengambil hatinya? Atau mereka sudah berpacaran?’ ‘No! Ini tidak bisa dibiarkan! Kalau mereka benar berpacaran maka rencanaku bisa gagal! Aku tidak boleh membiarkan mereka terus berdekatan!’ ‘Aku harus segera berpikir bagaimana caranya bisa mendapat lebih banyak waktu untuk berduaan dengan Tuan Carleon!’ serunya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD