Ch.02 Dijemput Sahabat

1696 Words
Sekian jam berlalu dari ketika Carleon tergeletak di atas batang kayu panjang di pinggir danau. Ia kini telah berada di atas sebuah pesawat jet pribadi, rebah di sebuah sofa panjang dengan selimut menutupi bagian atas tubuhnya. Ketika pesawat memasuki cuaca hujan dan mengalami sedikit turbulensi, guncangannya membuat terbangun. Mata mengerjap, memicing bersama mulut yang meringis menahan nyeri di kepala. “f**k …,” engah Carleon memegangi dua sisi pelipis, kemudian memijitnya sambil menggerakkan punggung, lalu duduk. Ia terengah, melirik dengan mata yang awalnya buram. Ada sesosok lelaki berambut pirang dengan mantel tebal berbulu di bagian leher. Walau mata masih tak jelas melihat, ia sudah tahu siapa yang ada di depannya. “Selamat pagi, Tuan Muda Mancini,” sapa lelaki itu, yang membawanya dari danau dalam keadaan mabuk parah. Ketika mata mulai menjadi jelas, hal pertama yang ia lihat adalah perban putih di tangan kanan. Sambil terengah gelisah, CEO Energica Technology bertanya. “Apa yang terjadi semalam?” “Yang selalu terjadi setiap tanggal kematian Miley. Itu yang terjadi,” jawab pria bermata biru dan tampan di kursi seberang. Carleon kembali meringis karena kepalanya semakin nyeri. “Kamu membawaku kemari, Svetson?” “Tentu saja. Aku tidak akan meninggalkan sahabatku seorang diri meratapi nasib di pinggir danau, bukan?” jawab lelaki yang ternyata adalah Svetson Schumake. Ia kemudian menyeru pada anak buah, “Siapkan hot tea dan pil pereda nyeri!” Dialah suami Jessica –cinta pertamanya Corleone. Sejak Tuan Muda Mancini itu menemukannya di penjara musuh hampir sepuluh tahun lalu, mereka menjadi sahabat sangat erat. Bahkan, hanya Svetson satu-satunya orang yang datang di pernikahan Carleon dan Miley. Dan hanya dia pula yang menjadi saksi bagaimana Miley mengembuskan napas terakhir di pelukan sang suami, lalu membuat jiwa sahabatnya remuk redam, pecah berserakkan tak tersisa. “Kesedihan dan kehancuranmu masih sama seperti empat tahun lalu. Apa kamu sama sekali tidak bisa melupakannya?” gumam Svetson bertanya lirih, prihatin. Carleon tersenyum kecut sembari menerima gelas berisi minuman hangat dan sebutir pil pereda nyeri untuk mengurangi rasa sakit di kepala akibat hangover parah. Setelah meminumnya, ia menatap kelu pada Svetson. “Jika Jessica yang tertikam musuh saat sedang mengandung tiga anakmu, apakah kamu bisa melupakannya?" jawab Carleon sambil menyebut ketiga buah hati lawan bicaranya. Terdiam, Svetson kemudian menggeleng. “Tidak, aku rasa aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Tapi, aku tahu mengenai rasa sakit kehilangan orang yang kita cintai. Ibuku meninggal ditembus peluru saat aku masih kecil, dan sakitnya terus membekas hingga sekarang.” “Aku mengerti kamu sungguh hancur di dalam sana. Apalagi, kamu belum bisa membalaskan dendammu pada Craig Cang. Aku yakin kamu juga masih terus memelihara rasa bersalah, yang mana sebenarnya kamu tidak bersalah,” helanya sedih. Lalu, pemimpin salah satu organisasi hitam paling ditakuti di dunia itu berucap sendu. “Tapi, ketahuilah kalau kamu terus begini lama-lama hidupmu hanya akan menjadi sebuah kisah sedih, Corleone.” “Kamu harus melanjutkan hidupmu dan menerima bahwa Miley sudah tiada. Kamu harus belajar memaafkan dirimu sendiri, kemudian bukalah hatimu untuk kisah indah yang baru.” Carleon mendadak tertawa getir. “Membuka hati? Maksudmu menjalin hubungan dengan wanita lain? Apa kamu mau pengganti Miley kehilangan nyawa juga? Apa kamu lupa kalau semua yang menyayangiku berakhir dengan kematian?” “Kakekku meninggal karena sedih aku terus menerus dikalahkan saat berbagai turnamen. Ibuku meninggal karena kelelahan dan sakit menghidupiku seorang diri. Bibi Dessy meninggal karena aku tidak bisa mendapatkan uang untuk segera merawatnya dengan baik.” Mata Carleon berkaca-kaca saat ia berucap dengan suara gemetar. “Dan Miley meninggal karena ia mencintaiku. Karena ia lebih memilih untuk bersamaku ketimbang bersama keluarganya yang b******n psikopat itu!” Ia menatap pilu pada Svetson, kemudian menggeleng. “Kamu lihat? Semua yang peduli padaku berakhir dengan kematian!” “Aku peduli denganmu, aku menyayangimu, dan aku baik-baik saja sampai sekarang,” tukas Svetson menatap lekat dengan mata birunya. “Paman Michael dan seluruh keluarga Mancini menyayangimu dan mereka baik-baik saja hingga detik ini. Jangan membuat satu kesimpulan yang tidak benar!” “Garis takdir tidak selalu baik untuk kita. Aku pun tidak pernah meminta untuk dibesarkan oleh wanita macam Deidra. Seumur hidup aku anggap dia ibuku, tetapi ternyata dia hanya mencekokiku dengan kebohongan dan dendam tak berkesudahan.” “Tidakkah kamu tahu kalau hidup itu seperti roda yang terus berputar? Kita tidak mungkin bisa senang selamanya. Akan ada momen di mana kita harus berdarah-darah dan menangis. Tapi, kita harus bisa melewatinya.” Svetson menegakkan punggung, menyatukan jari-jari di tangannya, lalu meletakkan di atas lutut. Ia menatap tajam pada Marlon. “Kamu adalah salah satu pilar terkuat House of Mancini. Kamu adalah CEO Energica Technology. Kamu adalah salah satu orang kepercayaan!” “Lalu, kenapa kamu tidak bisa menghargai itu semua dan teggelam dalam memori kelam kepergian Miley? Lihatlah tanganmu yang kutemukan dalam keadaan sobek berdarah. Jika aku tidak datang, apa yang terjadi padamu?” “Kamu selalu menolak dikawal bodyguard jika ingin datang ke danau untuk memperingati kematian Miley. Bagaimana kalau ternyata musuh yang datang untuk memenggal kepalamu di saat kamu mabuk berat sampai tak sadarkan diri?” “Mau sampai kapan kamu meratapi nasib dan berbuat ceroboh seperti orang tak niat hidup, setiap datang tanggal kematian Miley?” tegas pemimpin Skull Red, sangat resah dan prihatin dengan keadaan sahabatnya. Carleon terdiam, tak bisa menjawab satu pun pertanyaan Svetson. Ia kembali menunduk dan melihat tangannya dibalut perban. Ada warna merah kecokelatan di bagian tengah, darah menembus perban. Ya, semalam memang dia telah menjadi orang yang sangat ceroboh dan tak niat hidup. “Penumpang yang terhormat, lima menit lagi kita akan mendarat di New York International Airport. Mohon kembali ke tempat duduk Anda dan segera memasang sabuk pengaman. Terima kasih atas perhatiannya.” Suara pilot melalui speaker di atas kepala mereka terdengar. Pembicaraan terhenti sampai di sini karena mereka akan segera mendarat. “Satu pesanku, Carleon. Hidup harus terus berjalan maju. Jangan biarkan masa lalu membuatmu berhenti di tengah, apalagi membuat masa depanmu hancur.” Carleon tersenyum lirih, lalu mengangguk. “Akan kupikirkan semua perkataanmu, Svetson. Dan … terima kasih karena sudah selalu datang ke danau itu setiap tanggal kematian Miley. Kamu sungguh sabahat terbaikku.” Tertawa kecil, Svetson mengangguk. “Semua yang aku lakukan tak akan bisa membalas jasamu karena telah mengembalikan aku pada Jessica tepat di hari anakku lahir. Seumur hidup, aku berhutang nyawa padamu.” “Aku hanya berharap semoga tahun depan aku tidak perlu mengosongkan jadwal lagi untuk menjemputmu dari pinggir danau.” “Hmm … semoga,” sahut Carleon tersenyum pilu. *** Satu hari berlalu sejak kembalinya Carleon ke Energica Technology. Ketika sudah melewati tanggal kematian Miley, semua kesedihan dan kehancuran ia pendam di dalam d**a, lalu menguncinya rapat. Itu dia masalahnya. Karena dipendam, lalu dikunci rapat, kehancuran serta rasa sakit akibat kepergian tragis Miley tak pernah hilang dari hidupnya. Hanya terus menumpuk dan meledak setiap tanggal kematian itu datang kembali setiap tahun. Sudah empat tahun terus begini, entah sampai kapan ia akan seperti ini. Selesai memasang kancing di jas hitam, menyugar rambut ke belakang, dan terakhir memakai kacamata bening tanpa ukuran, barulah ia melangkah keluar kamar. “Selamat pagi, Tuan Muda Mancini,” hormat Bobby menunduk saat majikannya menuruni tangga dan sampai di lantai satu. “Apakah tangan Anda baik-baik saja? Apa kita tidak akan ke rumah sakit dulu untuk memeriksakannya?” Carleon menggeleng, “Nanti saja sepulang dari kantor. Aku ada pertemuan dengan Hank siang ini untuk membahas tuntutan yang semakin melebar. Siapkan mobilku, kita ke kantor sekarang.” “Baik, Tuan.” *** Masih di pagi yang sama, seorang perempuan sedang berdiri di pinggir jalan dengan keadaan siku serta lutut luka lecet berwarna kemerahan. Lalu, satu lelaki di hadapan terlihat sedang marah dan memaki sambil menujuk tepat ke arah wajah sang wanita. “Matamu itu buta, ya? Kenapa kamu menyerempet mobilku, hah! Ini adalah Lamborghini keluaran terbaru, Bodoh! Stupid b***h! Sepeda motor jelekmu itu dijual pun tidak akan bisa membiayai kerusakan body mobilku!” teriak sang lelaki sambil berkacak pinggang. Wanita yang dimaki-maki itu adalah Marcella. Ia terlihat gugup, tetapi berusaha menenenangkan diri. Sudah siku dan lututnya terluka, masih dimaki-maki kasar pula. Dengan lirih, suaranya terdengar menjawab, “Apakah mobil semewah ini tidak memiliki asuransi? Saya yakin Tuan pasti memiliki asuransi. Biar saya yang membayar claim asuransinya agar bisa segera masuk bengkel.” Akan tetapi, lelaki itu terbahak dengan nada mengejek. “Lalu, kalau mobil ini masuk bengkel selama dua minggu ke depan, aku naik apa ke kantor, hah! Enak saja kamu sok mau membayar claim asuransi!” “Aku mau kamu juga membayar biaya sewa mobil bagiku yang setara dengan Lamborghini ini! Aku mau kamu membayar sebanyak $10.000 kepadaku saat ini juga!” bentak lelaki berbadan kekar tersebut. Marcella menggeleng, “Saya tidak punya uang sebanyak itu. Dan sebenarnya, saya tidak bersalah. Mobil Tuan yang tiba-tiba memotong jalan sepeda motor saya!” tolaknya memberanikan diri. “Kalau Tuan tidak mau menerima tawaran claim asuransi saya, kita serahkan masalah ini pada polisi saja. Saya tidak bersalah!” “Heh, p*****r b******k! Berani sekali kamu menantangku ke polisi!” Lelaki itu mengatai Nona Alistair dengan panggilan yang teramat merendahkan. Hanya saja, Marcella lebih baik melapor ke polisi dan pasrah akan hasil laporannya ketimbang membayar $10.000 yang ia sudah katakan tak memiliki uang sebanyak itu. Lelaki kekar melayangkan tangan ke depan. Ia mendorong pundak Marcella sambil berteriak semakin kasar, “Sudah miskin, salah, masih berani kamu menyalahkan aku? Bagaimana kalau aku menghajarmu saat ini juga supaya kamu jera!” Tubuh Marcella terhuyung ke belakang hingga nyaris terjerembab akibat pundaknya didorong secara kencang dan kasar. Lengan berotot kembali melayang ke atas dan kali ini tujuannya adalah ke wajah Marcella. Entah apa yang membuat lelaki itu sedemikian marah dan hendak menampar wanita tak berdaya. Akan tetapi, ketika Marcella menjerit saat tangan itu hampir mengenai wajahnya, semua mendadak berhenti. Lengan berotot lelaki itu nampak dicengkeram oleh seseorang yang tiba-tiba sudah ada di sisi Marcella. Saking kuatnya cengkeraman tersebut sampai lelaki kasar melotot terkejut serta kesakitan. "Minta maaf kepada wanita ini sekarang juga, atau aku hancurkan tulang di tanganmu menjadi serpihan hingga dokter tak ada pilihan selain mengamputasi tangan sialanmu ini!” desis lelaki berkacamata sambil tersenyum dingin, mematikan. Marcella menoleh, napasnya memburu cepat saat melihat siapa yang hadir untuk menyelamatkannya. “Tuan Carleon?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD