11.

1335 Words
Dimas mengacak rambutnya frustasi. He's getting out of mind. Dimas benar-benar nggak mengerti kenapa dirinya kini sedang berada di depan rumah Rachel pagi-pagi menggunakan motor milik Tara. Kejadian semalam benar-benar meninggalkan pengaruh yang cukup besar untuk Dimas. Dimas memasukkan tangannya ke dalam kantung celananya, meraba kertas yang terlipat di dalam sana. "Gue bener-bener udah gila." Dimas akhirnya turun dari atas motor dan memberanikan diri menekan bel. Beberapa saat kemudian seorang satpam keluar dari dalam pos dan membuka pagar. "Iya, cari siapa ya Mas?" tanyanya sambil memperhatikan Dimas. Dimas mulai gugup. "Saya Dimas, mau cari Rachel. Rachel nya ada?" tanya Dimas. "Oh iya ada Mas. Tapi nggak tau udah bangun atau belum, Mas ini siapanya Mbak Rachel, ya?" tanya satpam tersebut sebelum mengizinkan Dimas masuk. Dimas berfikir sejenak. Nah iya, gue siapanya? "Temen sekolahnya." Satpam itu mengangguk lalu membukakan pagar lebih lebar membiarkan Dimas memasukkan motornya ke dalam halaman. Lalu satpam itu meminta Dimas menunggu di kursi yang ada di teras sedangkan dia masuk ke dalam untuk memanggil Rachel. Beberapa menit kemudian seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster keluar membawa secangkir teh dan roti bakar di atas nampan. "Silahkan diminum, Mas," ucapnya setelah meletakkannya di meja. Dimas meringis tidak enak. "Eh, ma-makasih bu..." kata Dimas karena tidak tau harus memanggil wanita itu apa. "Panggil aja Mbok." Wanita itu tersenyum. "Mbak Rachelnya baru bangun, semalem abis pemotretan dia pergi lagi dan pulang malem. Kecapean kayaknya," terang si Mbok meski pun Dimas tidak bertanya. "Oh...iya." Dimas benar-benar tidak tau harus memberikan respon apa karena sebenarnya Dimas tau jam berapa Rachel pulang semalam. Kan gue yang nganterin dia pulang. Batinnya. Si Mbok pun pamit untuk kembali ke dalam mengerjakan pekerjaannya meninggalkan Dimas sendirian. Dimas melirik jam tangannya. Sudah setengah sembilan, apa memang Dimas kepagian, ya? Dimas pun mengangkat cangkir teh di meja dan meneguknya. "Lo ngapain ke sini?" "Uhuk!" Dimas terbatuk karena kaget mendengar suara yang muncul tiba-tiba itu. Dimas buru-buru meletakkan cangkir berisi tehnya. Kepalanya langsung menoleh ke arah Rachel yang rupanya sudah berdiri di ambang pintu. Masih mengenakan pakaian tidur. "Gila ya lo? Kalau gue jantungan gimana?" tanya Dimas sambil mengelap bibirnya yang basah karena teh. Rachel mengedikkan bahunya acuh lalu duduk di kursi yang juga terdapat di sana. "Kenapa? Lo mau menuntut gue karena udah menyeret lo dalam masalah?" tanya Rachel sedetik setelah bokongnya menyentuh kursi. Dimas menatap Rachel aneh. Kemana ekspresi ketakutan dan lemah gadis di depannya ini? Kenapa yang Dimas lihat hanya ekspresi angkuh dan menyebalkan. "Seharusnya iya." Dimas lalu merogoh kantung celananya dan mengeluarkan kertas terlipat dari dalamnya dan melempar itu ke atas meja yang mendarat persis di dekat Rachel. Rachel menatap kertas itu dengan dahi mengernyit. "Lo beneran mau nuntut gue?" tanyanya tidak percaya. "Seriously?" tanya gadis itu lagi membuat Dimas berdecak. Rachel terlalu banyak berspekulasi. "Ya kali. Gue nggak selebay itu. Baca aja dulu," kata Dimas sambil mengambil sepotong roti di piring dan melahapnya. Rachel akhirnya mengikuti apa kata Dimas dan meraih kertas itu. Seketika dahi Rachel mengernyit lagi. Tatapannya teralih kepada Dimas dan kertas secara bergantian. Rules to be Adimas Nugraha's Girlfriend: 1. No rokok 2. No drunk 3. No clubbing kecuali ada kaitannya dengan pekerjaan. Misalnya; undangan dari klien atau pesta dari management. DAN NGGAK BOLEH SENDIRIAN. 4. Dilarang keluar malam di atas jam 9 kecuali ada schedule. 5. Jaga jarak aman dari yang namanya Bryan minimal dua meter. 6. Lapor soal apa pun dan nggak main rahasia2 7. Talk more Do less. Apa-apa harus diomongin jangan langsung ambil tindakan. Rachel menatap Dimas dengan tatapan aneh plus bingung. "Apaan nih?" tanyanya masih tidak mengerti. "That's the rules to be my girlfriend. Ada judulnya jelas kan di atas," kata Dimas cuek. Rachel menghela napas. "I knew, tapi maksudnya apaan? Gue nggak paham." Dimas mengelap tangannya ke napkin yang ada di meja. "Maksudnya sama kayak apa yang tertulis. Waktu itu lo minta gue buat jadi cowok lo, gue setuju asal lo ikutin rules dari gue." "WHAT?" Rachel memekik. "Lo gila?" tanyanya benar-benar tidak paham dengan maksud Dimas. Dimas mengedikkan bahunya. "Terserah lo mau atau enggak. Kalo mau gue bantu ya ikutin rulesnya, kalau enggak yaudah. Gue nggak akan rugi apa-apa juga." Dimas menarik kertas di tangan Rachel namun gadis itu dengan cepat menahannya. "EH!" Rachel menarik kembali kertas tersebut. "Gue bukannya bilang nggak mau, tapi..." Rachel tidak melanjutkan ucapannya. Jujur saja dia tidak tau harus berkata apa. Dia benar-benar bingung sekarang. Mengerti akan kebingungan gadis di depannya Dimas pun menghela napas. "Gue jelasin," Dimas menegakkan tubuhnya, tangannya tertaut di atas meja menunjukkan gestur serius. "Kita cuma ngaku jadian di depan Bryan doang tapi di depan yang lain kita nggak pernah keliatan bareng-bareng. Jelas aja Bryan nggak akan percaya dan masih bakal terus ngejar lo." Rachel diam menyimak. Benar juga. Tentu saja Bryan curiga dengan hubungan Rachel dan Dimas karena mereka bahkan tidak pernah berinteraksi sama sekali dan tiba-tiba mengaku pacaran. "Tapi 'kan lo punya pacar," kata Rachel ragu. Waktu itu sebenarnya Rachel memang sudah akan mengajak Dimas untuk menjadi pacar pura-puranya. Hanya saja waktu itu Dimas mengatakan kalau dia sudah memiliki gadis yang akan menjadi pacarnya. Dimas terdiam. Semalaman dia tidak tidur karena memikirkan ide gila ini. Hubungan ini bukan hanya tentang Rachel dan dirinya. Melainkan juga ada Savira. Bagaimana gadis itu nanti kalau Dimas tiba-tiba mengatakan dirinya sudah jadian dengan Rachel. Meski pun hubungan yang akan dijalaninya dengan Rachel hanya pura-pura, Dimas harus tetap melepaskan Savira. Dia tidak mungkin menahan Savira dan meminta gadis itu untuk mengerti akan hubungannya dan Rachel nanti. "Dia bukan pacar gue." Dimas menjawab pelan. "Dan kayaknya nggak akan pernah," lanjutnya. Rachel menatap Dimas. Wajah laki-laki itu menunjukkan keputus asaan. Rachel menggeleng, Dimas terlalu baik untuk dia libatkan dalam masalahnya. "Eum, Dimas, gue rasa lo nggak perlu ngelakuin ini. Gue nggak mau ngerusak hubungan siapa pun lagi. Lo bukan siapa-siapa gue, lo bahkan nggak berhutang apa pun sama gue. Lo nggak perlu ngelakuin semua ini," kata Rachel panjang lebar. Dia benar-benar merasa tidak enak kepada Dimas. Karenanya, Dimas jadi harus terseret dalam masalah antara dirinya dan Bryan. Padahal laki-laki itu sama sekali tidak ada urusannya dengan mereka. Melihat Rachel semalam, Dimas sadar kalau gadis di depannya ini benar-benar butuh pertolongan. Bukan hanya untuk menghindar dari Bryan tapi juga lepas dari laki-laki itu. Dan entah kenapa Dimas merasa dirinya bisa dan perlu melakukan itu. Dimas mencoba meyakini dirinya sendiri kalau ini semua hanya dilandasi rasa kemanusiaan. Tetapi semakin Dimas mencoba semakin dia sadar ini bukan lagi sekedar rasa kemanusiaan. Tetapi kepedulian. Entah dalam konteks apa. "Lo yakin rela ngelepasin cewek manis itu?" tanya Rachel memecah keheningan yang tercipta karena Dimas melamun. Dimas gelagapan ketika ditanya. Rela kah dia melepas Savira? Bahkan Savira tidak pernah menjadi miliknya. Rachel meletakkan kertas yang Dimas berikan di atas meja. "Gue memang butuh bantuan lo, tapi gue nggak bisa terima itu kalau nantinya justru menyulitkan lo." "Sekarang pun udah sulit." Dimas berkata datar. Tatapannya nampak kosong memandang ke arah kertas yang berisikan tulisan tangannya sendiri. "Tapi gue yakin," lanjutnya. Rachel bergeming. Dia benar-benar bingung. Sejujurnya dia sangat membutuhkan bantuan Dimas dan masih tidak percaya Dimas bersedia membantunya. Tapi... "Kalau lo setuju sama rules dari gue, gua bakal ngomong sama Savira siang ini juga." Dimas lalu mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Rachel. "Masukin nomer hp dan ID Line lo," titahnya. Rachel pun menuruti perintah Dimas dengan cepat.  Setelah itu Dimas bangkit dari duduknya. "Kabarin gue secepetnya." Lalu lelaki itu pun pergi meninggalkan Rachel dengan perasaan berkecamuk. Ini jalan keluar lo Rachel, apa lagi yang harus lo pikirin? Rachel menatap tulisan di atas kertas sekali lagi. Dia yang bilang sendiri kalau dia nggak pacaran sama cewek manis itu...berarti gue nggak merusak hubungan siapa pun, kan? Rachel pun segera membawa kertas itu ke kamarnya. Diraihnya ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Ada notifikasi permintaan pertemanan dari Dimas yang masuk beberapa menit yang lalu. Rachel pun mengadd balik Dimas dan dengan segera mengetikkan jawabannya. Rachelia Audina: Oke, gue setuju. Semoga pilihannya kali ini benar-benar bisa membuatnya lepas dari Bryan. Mungkin Rachel memang akan lepas dari Bryan, namun dia justru akan terjerat dengan orang baru. Dimas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD