Ckrik..ckrik..
"Good! Look over here, yes!"
Ckrik...ckrik
"Okay, tahan...Ya, good! Selesai."
Lelaki tampan itu tersenyum puas menatap hasil jepretannya. Dia melemparkan senyum menawannya kepada gadis yang menjadi modelnya hari ini, Rachel.
Lelaki yang sudah berkecimpung di dunia fotografi untung waktu cukup lama ini mengakui bakat Rachel sebagai model. Gadis itu tidak butuh terlalu banyak arahan secara detail. Pengarah gaya hanya cukup memberi tau secara garis besar dan Rachel bisa berimprovisasi sesuai dengan ekspetasi pengarah gaya.
Dan hasilnya memuaskan.
"Terima kasih atas kerja samanya Mas Ken." Marsha menjabat tangan sang fotografer. "Semoga lain kali kita bisa bekerja sama lagi," ucap Marsha sambil tersenyum sopan.
Ken mengangguk dan memasang senyum casanovanya. "Ya Mbak Marsha. Saya juga senang bisa bekerja sama dengan anda dan Rachel. Rachel benar-benar punya bakat di bidang modeling."
Yang dibicarakan pun muncul. Rachel bergabung dengan keduanya setelah mengganti pakaian untuk pemotretan dengan pakaian yang lebih santai.Mereka pun mengobrol singkat dan diakhiri dengan jabatan tangan. Rachel dan Marsha, manajernya, langsung pamit karena jadwal hari itu sudah selesai.
"Setel musik dong Pak," Pinta Rachel pada sang supir sesaat setelah Rachel memasuki mobil, Marsha menyusul masuk dan duduk di kursi penumpang depan.
Musik mengalun melalui tape, memperdengarkan lagu Major Lazer ft Justin Bieber yang berjudul Cold Water. Rachel menyandarkan tubuhnya sambil memejamkan mata.
Hari ini jadwalnya cukup padat. Padahal hari ini adalah weekend, tetapi Rachel sudah sibuk sejak jam delapan pagi. Mulai dari meeting untuk salah satu iklan produk makanan, dilanjut pemotretan dua majalah yang baru berakhir beberapa waktu yang lalu.
Mata Rachel yang semula terpejam seketika terbuka saat dia mendengar notif dari ponselnya. Sebenarnya sudah sejak pemotretan tadi Rachel mendapati banyak pesan masuk ke ponselnya dan hampir semua pesan itu berasal dari Bryan. Tapi tidak satu pun pesan itu Rachel baca dan dia memilih untuk memasang ponselnya ke mode silent. Baru ketika pemotretan benar-benar selesai, Rachel mengganti mode itu lagi ke normal.
Tapi pesan yang masuk rupanya bukan dari Bryan melainkan dari temannya.
Naila Ratu Clarissa: Beeeeeeb
Naila Ratu Clarissa: Party kuy. Udah lama nih
"Mbak," Panggil Rachel sambil menegakkan tubuhnya sedikit.
Marsha yang sedang sibuk melihat-lihat artikel di Ipadnya hanya menggumam untuk merespon panggilan Rachel.
"Besok pagi aku nggak ada jadwal 'kan?"
Marsha menoleh ke kursi tengah yang ditempati Rachel. Dahinya mengernyit, "Enggak sih, kenapa?" tanyanya yang tau kalau ada alasan lain kenapa Rachel bertanya terkait jadwalnya besok.
"Aku mau jalan," Rachel kini sudah kembali berkutat dengan ponselnya. Dia tidak peduli dengan ekspresi tidak setuju yang tengah Marsha tunjukkan.
"Kamu minta izin ke mbak sebagai artis ke managernya atau sebagai keponakan ke tantenya?" Marsha masih setia memandangi model asuhannya itu yang juga keponakannya.
Iya, Rachel dan Marsha adalah keponakan dan tante. Marsha merupakan adik kandung dari Raina, ibu kandung Rachel. Karena usia Marsha dan Rachel yang hanya terpaut lima tahun menyebabkan Marsha menolak dipanggil 'tante' oleh Rachel.
"Aku nggak minta izin. Aku cuma ngasih tau Mbak aja." Rachel menjawab dengan acuh. "Lagian aku nggak butuh izinnya Mbak. Sebagai tante atau pun manager."
Marsha mendengus. "Terserah kamu, deh. Percuma juga ngatur kamu." Kalau bukan karena Marsha sedang membutuhkan uang sambil menunggu dirinya mendapat panggilan kerja, jujur saja perempuan itu malas untuk menjadi manager bagi keponakannya tersebut.
Dan kalau bukan karena kakaknya menjanjikan Marsha bonus tambahan, Marsha ogah sekali. Mengurusi Rachel itu hampir sama seperti mengurus batu. Keras. Gadis itu tidak mau diatur dan melakukan apa pun yang dia suka tanpa memikirkan resiko.
Jelas saja tidak ada manager artis yang betah bekerja untuk Rachel. Selain Marsha. Itu pun karena bonus dan sedikit rasa sayangnya sebagai tante.
Rachel turun dari mobil sesampainya mereka di depan rumah. Mobil pun kembali melaju membawa Marsha ke kediamannya diantar supir pribadi yang disewa Raina untuk Rachel tersebut.
Rachel memasuki kamarnya sambil bertukar pesan dengan Lala.
Naila Ratu Clarissa: Udah otw belommm? Gue ama anak2 udah sampe nih
Rachelia Audina: Baru nyampe rumah
Rachelia Audina: Yah padahal mau minta jemput
Naila Ratu Clarissa: Lo ga bilaaaang. Supir lo mana emang?
Rachelia Audina: Nganterin orang. Yaudah gue naik uber aja
Naila Ratu Clarissa: Kenapa ga bawa sendiri? Udah berniat untuk hangover nih kayaknya
Rachelia Audina: You know me so well, bitches! xo
Rachel meninggalkan ponselnya di atas tempat tidur dan berjalan menuju walk-in-closet miliknya untuk berganti baju. Setelah berganti baju dengan nunsa hitam dan memakai sepatu, Rachel memasukkan dompetnya ke dalam sling bag. Rachel berjalan ke arah meja riasnya untuk menyempatkan diri mengecek make up yang masih menempel di wajahnya bekas pemotretan tadi.
Tidak buruk. Setidaknya make up itu cukup match untuk dipakai ke klab malam.
Rachel mengambil ponselnya lalu duduk di atas kasur. Dia mulai membuka aplikasi uber di ponselnya untuk memesan. Beberapa menit kemudian sang driver menghubungi Rachel dan menginfokan kalau dia sudah memasuki komplek rumah Rachel.
Rachel pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kaca besar di dekat pintu walk-in-closetnya untuk mengecek penampilannya terakhir kali. Rachel pun menyempatkan diri mengambil mirror selfie sebelum turun ke lantai bawah.
Rachel butuh bersenang-senang untuk menghilangkan beban pikirannya. Terutama untuk menghilangkan Bryan dari pikirannya.
***
Dimas menguap untuk ke sekian kalinya. Keramaian di depannya tidak memengaruhi mata Dimas untuk tetap melek. Ngantuk ya ngantuk tidak peduli seramai apa pun keadaan sekitar.
Suara musik mengalun memenuhi ruangan yang dipenuhi manusia berpakaian serba hitam putih tersebut. Sesekali mata Dimas memperhatikan sosok kakaknya yang sedang bergabung dengan teman-temannya.
Dimas berjanji akan meminta ganti rugi kepada pacarnya Tara nanti. Waktu Dimas untuk ngapel ke rumah Savira harus tersita demi menemani kakaknya itu ke ulang tahun temannya. Semua itu karena pacarnya Tara berkuliah di luar negeri dan Dimas mau tidak mau harus menemani kakaknya.
Dimas melirik jam tangannya. Sudah jam sebelas.
Biasanya Dimas kuat begadang sampai pagi ketika main PS, tapi malam ini Dimas malah menguap ketika sedang berada di pesta.
Ini semua karena Dimas bosan.
Savira sudah tidur jam sembilan tadi membuat Dimas tidak punya siapa-siapa lagi untuk diajak chat. Oke, sebenarnya banyak, tetapi Dimas hanya mau chat dengan Savira jadi yang lain menjadi tidak penting.
"Dimas!" Karena Dimas yang sedang melamun, cowok itu tidak menyadari ketika kakaknya sudah mengambil duduk di sebelahnya. "Maaf, lama banget ya?"
Dimas mendengus. "Menurut lo aja, kak." Dimas menjawab dengan datar menyamai wajahnya.
Tara meringis tidak enak. Dimas sudah bete. Apalagi yang ingin dia katakan selanjutnya pasti akan membuat Dimas lebih bete. "Yah, Dim, nggak enak kalau nggak sampai selesai. Ify 'kan temen deket gue dari SMA."
Ify adalah nama teman Tara yang menyelenggarakan pesta tersebut.
Seorang laki-laki berwajah bule dan seorang laki-laki yang kelihatan lebih jangkung yang Dimas kenali sebagai teman=temannya Tara dan pacarnya menghampiri mereka. "Udah Tar, lo sama gue aja toh. Adek lo biar balik duluan," saran laki-laki bule namun ketika bicara berlogat jawa bernama Haryo.
Tara terlihat berpikir. "Aduh gimana ya, gue juga bingung." Tara menopang dagunya.
"Iya Tar, lo nanti bareng sama gue atau Haryo aja kalau emang adek lo udah mau pulang," ucap Fadhil, si laki-laki bertubuh jangkung.
Dimas menatap Tara. "Emang lo masih lama, ya?" tanyanya.Meski pun Dimas sudah sangat ingin pulang, tetapi dia juga tidak tega kalau harus meninggalkan kakaknya.
"Kayaknya." Tara terlihat tidak enak ketika menjawab. "Apa gue pamit aja duluan kali, ya?" tanya Tara kepada Haryo dan Fadhil.
Dimas seketika menggeleng tidak setuju. "Eh nggak usah, kak. Gue tungguin aja, nggak apa-apa."
Tara pun akhirnya mengangguk. "Yaudah tiga puluh menitan lagi aja deh, nggak sampe selesai nanti gue pamit aja sama Ify." Tara lalu kembali berdiri. "Yuk Dhil, Yo." Lalu Tara berjalan kembali ke kumpulan teman-temannya yang lain bersama Fadhil dan Haryo.
Fadhil dan Haryo ini sebenarnya sahabat pacarnya Tara yaitu Alvan, tetapi mereka kini juga menjadi sahabat untuk Tara. Dari sahabat-sahabat Alvan yang lain, hanya Haryo dan Fadhil yang kuliah di Jakarta, jadi keduanya kadang masih sering mengunjungi Tara sehingga Dimas sudah tidak terlalu asing lagi dengan sosok mereka.
Dimas menguap sekali lagi. Akhirnya Dimas memutuskan untuk menunggu Tara di dalam mobil saja. Setidaknya di dalam mobil sana dia nggak akan malu kalau ketiduran.
Dimas keluar dari resto & bar itu menuju parkiran. Resto & Bar tempat Dimas berada sekarang letaknya berada di kawasan yang memang dipenuhi restoran dan bar sampai night club ternama di Jakarta. Karena malam ini merupakan malam minggu, wajar saja semua restoran sampai night club penuh. Bahkan Dimas mendapat tempat parkir yang cukup jauh dari restoran tempat pesta temannya Tara diadakan.
Sesampainya di dalam mobil, Dimas langsung menyalakan tape mobil dan menyandarkan tubuhnya di jok. Niat hati ingin tidur, tetapi setiap berada di mobil yang Dimas ingat justru percakapannya dengan Rachel.
Dimas mendesah berat. Dia benar-benar malas memikirkan Rachel.
Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missin' home
Only know you love her when you let her go
And you let her go
Dimas membuka matanya ketika merasakan getaran dari ponselnya. Ternyata ada pesan dari Tara yang menanyakan keberadaannya. Dengan cepat Dimas mengetikkan balasan untuk kakaknya itu, mengatakan kalau dirinya menunggu di mobil. Tetapi belum sempat Dimas menekan tombol send, perhatian Dimas teralih kepada sepasang manusia yang sedang berdebat persis di depan mobilnya.
Semula Dimas tidak peduli. Itu bukan urusannya dan Dimas tidak mau mencampuri urusan orang. Kecuali kalau yang laki-laki mulai melakukan tindak kekerasan, tentu Dimas tidak akan diam saja. Dan pikiran itu juga lah yang menyebabkan Dimas jadi membantu Rachel waktu itu.
"Rachel?" Dimas refleks menyebutkan nama orang yang berada di pikirannya ternyata sama dengan orang yang ada di depan mobilnya.
Dimas bisa melihat Rachel lagi-lagi sedang bersama Bryan. Mereka tengah berdebat dan Dimas bisa melihat Bryan mencekal tangan Rachel sedangkan Rachel berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Bryan.
Dimas refleks melempar ponselnya ke jok penumpang dan buru-buru turun. Sumpah, Dimas benar-benar refleks.
Atas dasar kemanusiaan.
Dimas menarik tangan Rachel dan kembali menjadikan tubuhnya sebagai tameng gadis itu.
Bryan yang tidak menyangka akan kehadiran Dimas sempat tertegun sejenak sebelum mendengus malas. "Gue udah bilang sama lo, jangan ikut campur! That's not your business!" bentak Bryan kesal. Sepertinya cowok itu habis minum. Tetapi kelihatannya dia masih dalam keadaan sober.
Dimas merasakan Rachel meremas kemejanya di bagian pinggang. Terdengar pula deruh nafas Rachel yang menandakan gadis itu seperti ketakutan. Dimas menatap Bryan. "Rachel cewek gue, so it's being my business, then."
Mata Bryan berkilat tajam. Laki-laki itu tidak suka dengan apa yang baru Dimas katakan. "So funny. Lo nggak pernah kelihatan deket sama Rachel sebelumnya, even gue nggak pernah tau kalau Rachel kenal sama cowok macam lo. Terus lo tiba-tiba muncul sebagai cowoknya?" Bryan tersenyum meremehkan. "Dan lo berharap gue percaya?" tanya Bryan dengan sinis.
Dimas merasakan remasan Rachel pada kemejanya mengerat. Tangan Dimas seketika mengepal. "Gue nggak butuh kepercayaan dari lo." Dimas memegang tangan Rachel yang berada di pinggangnya dengan lembut. "Gue cuma nggak mau lo ganggu cewek gue."
Bryan langsung maju menarik kerah kemeja Dimas, tangannya bahkan sudah hampir melayang menuju wajah Dimas kalau saja dia tidak mendengar suara teriakan seseorang dari arah belakangnya.
Bryan dan Dimas sontak menoleh dan mendapati Tara berlarian kecil ke arah mereka.
"What the hell are you doing, Adimas?" bentak Tara kesal. Tara khawatir karena sejak tadi pesannya tidak kunjung mendapat balasan dari Dimas, oleh sebab itu Tara berinisiatif mencari Dimas ke mobil. Tetapi yang dia dapatkan justru pemandangan Dimas yang akan berkelahi.
"Tara?"
Tara menoleh ke arah laki-laki yang tadi hampir saja menghajar adiknya dan mata gadis itu seketika membulat. "Bryan?" Gadis itu menatap Bryan dan Dimas bergantian, Tara belum menyadari kalau ada satu sosok lagi bersama mereka yang masih setia bersembunyi di balik punggung Dimas.
"Ini ada apa sebenernya?" tanya Tara masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Barulah saat itu juga Tara sadar kalau ada seorang gadis yang tengah berdiri mengkerut ketakutan dibalik punggung Dimas. "Ra-Rachel?" tanyanya memastikan.
Tara dan Rachel baru sempat bertemu sekali, wajar saja kalau Tara kurang begitu ingat dengannya.
Tatapan Tara kembali ke wajah Dimas. "Dimas, kasih tau gue. Ada apaan?" tanya Tara lagi menuntut penjelasan karena tidak ada yang bersuara lagi semenjak kehadirannya.
Bryan terdengar berdecak. "Tara, lo kenal cowok ini?" tanyanya pada Tara. Sepertinya Bryan tidak ingat pernah bertemu dengan Tara saat sedang bersama dengan Dimas di mall tempo hari.
Tara beralih kepada Bryan. "Dia adik gue. Lo ada masalah apa sama Dimas?" tanya Tara kini menuntut penjelasan dari Bryan karena Dimas tidak kunjung menjawab. Gadis itu kelihatan benar-benar bingung.
Bryan menggaruk belakang kepalanya. "Nggak, cuma salah paham." Akhirnya hanya itu yang bisa Bryan katakan.
Tara tentunya tidak serta merta percaya. Tara memang tidak benar-benar paham apa yang terjadi, tapi sepertinya semua ini ada sangkut pautnya dengan Rachel. Tara sekali lagi melirik ke tangan Rachel yang masih bertengger di pinggang Dimas dan bagaimana Dimas memegangi tangan itu. So weird.
"Acel, lo balik sama gue." Bryan berusaha mendekati Rachel namun Dimas seolah tidak mengizinkan.
Bryan sungguh menghargai Tara karena hubungan baiknya dengan gadis itu dan pacarnya. Lagipula urusan Bryan hanya dengan Rachel. Bukan dengan Tara atau pun Dimas. Meski pun jujur saja Bryan sangat ingin menghajar Dimas yang sudah ikut campur dan mengaku-ngaku sebagai pacarnya Rachel. Tapi kenapa pula cowok itu bisa di sini kalau dia memang tidak berpacaran dengan Rachel?
"Dia balik sama gue," kata Dimas tegas. Dimas mengalihkan tatapannya kepada Tara. "Kak, kita anterin Rachel pulang dulu, ya?" tanyanya.
Tara menatap Dimas dengan tatapan menuntut penjelasan tapi akhirnya dia menghela napas dan mengangguk. "Oke." Tatapannya lalu beralih kepada Bryan. "Bryan, gue nggak tau apa yang lagi terjadi. Tapi kayaknya Rachel nggak mau pulang sama lo. Biar gue sama Dimas yang anter dia."
Bryan terlihat ingin mendebat namun akhirnya dia hanya mengangguk pasrah. "Sorry sekali lagi, Tar." Bryan berucap pelan.
Tara sebenarnya tidak tau kenapa Bryan harus meminta maaf kepadanya tapi Tara hanya mengangguk singkat lalu masuk ke mobil begitu pun dengan Rachel dan Dimas.
Selama perjalanan pulang tidak ada yang bersuara. Baik itu Dimas, Rachel bahkan Tara. Hanya suara dari tape yang mengalun pelan. Suasana benar-benar canggung.
"Beloknya di lampu merah ke dua ya, Rachel?" tanya Tara memecah keheningan.
Rachel yang sedang melamun memandangi jalan melalui kaca jendela tersentak kaget. "Eh, i-iya kak," jawabnya pelan. "Maaf jadi ngerepotin," katanya lagi.
Tara tersenyum dan Rachel bisa melihatnya melalui spion tengah. "No problem."
Lalu keadaan kembali hening sampai akhirnya mobil yang dikendarai Tara itu sampai di depan kediaman Rachel.
"Kak Tara, Dimas, makasih ya...maaf banget udah ngerepotin," ucap Rachel dengan nada tidak enak.
Tara terkekeh santai. "Enggak apa-apa Rachel, santai aja, lagia searah juga kok." Tara lalu menepuk paha Dimas karena adiknya itu diam saja dan tidak merespon Rachel.
Dimas meringis, akhirnya dia hanya bergumam kecil untuk merespon Rachel membuat Rachel merasa tidak enak karena lagi-lagi dia harus menyulitkan Dimas. Meski pun malam ini Rachel sama sekali tidak tau bagaimana caranya Dimas bisa berada tepat saat dirinya diseret Bryan secara paksa.
Padahal niat Rachel hanya ingin sedikit melepaskan penat dengan minum dan berjoget di night club bersama teman-temannya. Entah bagaimana ceritanya Bryan tiba-tiba muncul saat Rachel keluar dari toilet dan menyeret gadis itu pergi.
Untungnya Dimas muncul. Jadi malam itu Rachel tidak perlu lagi melakukan pengkhianatannya kepada Daisy.
Rachel turun dari mobil Tara dan melambaikan tangannya, menunggu mobil itu pergi. Tapi sepertinya Tara tidak akan melajukan mobilnya sebelum Rachel masuk ke dalam rumah, maka Rachel pun segera memasuki kediamannya. Lalu dia bisa mendengar klakson yang dibunyikan sekali menandakan Tara sudah pergi.
"Jadi nama cowok itu, Dimas?" Rachel bergumam pelan."Thanks, Dimas."