13.

1818 Words
Keesokan harinya di sekolah, terjadi kehebohan. Semua karena pemandangan dimana Rachel dan Dimas kelihatan datang bersama menggunakan mobil Rachel. Pemandangan itu seolah memperjelas bahwa gosip minggu lalu yang sebenarnya hanya lah kerjaan mulut-mulut iseng justru menjadi kenyataan. Dimas sudah resmi jadian dengan Rachel. Bumi gonjang-ganjing. Tadinya Dimas sudah berniat untuk menjemput Rachel menggunakan motor kakaknya, tetapi Rachel menolak dan bersikeras kalau dirinya saja yang akan menjemput Dimas. Maka terpaksa Dimas memberikan alamat rumahnya dan sepuluh menit kemudian Rachel datang menjemputnya menggunakan mobil. Dan Dimas baru tau saat di perjalanan kalau seumur-umur, Rachel belum pernah naik motor dan agak takut untuk menaikinya. Menaiki mungkin oke, tetapi berkendara dengannya, nanti-nanti saja deh. Rachel yang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian nampak biasa saja, berbeda dengan Dimas yang jujur saja nampak risih. Tetapi sebisa mungkin Dimas memasang tampang datar dan berjalan beriringan dengan Rachel di koridor. Mereka berpisah di lantai dua karena kelas Rachel berada di lantai dua sedangkan kelas Dimas ada di lantai tiga. "Duluan," ucap Dimas begitu mereka berpisah dan Rachel hanya meresponnya dengan gumaman pelan. Begitu melewati kelas Savira, Dimas menahan diri sekuat hati untuk tidak berhenti dan masuk ke dalamnya seperti yang biasa dia lakukan kalau dia tidak berangkat bersama dengan Savira dan datang lebih pagi. Dimas baru akan merasa bersemangat jika sudah melihat senyum manis Savira di pagi hari layaknya senyum itu dopping untuknya menjalani aktivitas di sekolah. Tetapi hal itu tidak bisa lagi Dimas lakukan. Dimas seharusnya lewat tangga di bagian selatan, jadi dia tidak perlu melintasi kelas Savira dan merasakan perasaan seperti ini. Sialnya orang yang ingin Dimas temui tapi tidak bisa keluar dari kelas bertepatan dengan Dimas yang sedang melewati pintunya. Seolah takdir ingin menyiksa Dimas lebih daripada ini. Savira tampak sama terkejutnya dengan Dimas. Tetapi gadis itu tersenyum tipis. "Pagi, Dimas," sapanya seolah tidak sedang terjadi apa-apa. Namun entah kenapa, Dimas seolah bisa melihat ada awan gelap menyelimuti Savira. Gadis itu tidak secerah biasanya. "Pagi, Vira." Dimas membalas sapaan Savira, namun dia tidak bisa berpura-pura tidak ada apa-apa. Dimas tidak bisa menahan kegetiran dalam nada suaranya. Savira terlihat berjalan ke tong sampah di depan kelas dan membuang bungkus s**u kotak strawberry yang selalu menjadi menu sarapannya. Setelah membuang Savira pun berjalan kembali ke kelas. "Masuk dulu ya, Dimas," ucapnya meninggalkan Dimas termenung sendiri. Dimas mengepalkan tangannya. "Damn it." Lalu cowok itu berjalan cepat menuju ke kelasnya. Dimas ingin menonjok seseorang rasanya. *** Dimas mendapat beberapa ucapan selamat dan tagihan traktir dari teman-temannya yang Dimas tanggapi dengan cuek. Cowok itu tidak dalam mood bersenang-senang karena semua ini dia lakukan memang bukan karena dia memang ingin melakukannya. Istirahat pertama Dimas berjalan menuju kantin bersama beberapa teman-teman sekelasnya, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat ternyata Rachel menunggunya di dekat tangga lantai dua. Teman-teman Dimas langsung bersorak sorai melihat pemandangan itu dan meninggalkan Dimas berdua dengan pacar barunya. "Harus banget makan bareng di kantin, ya?" tanya Dimas datar. Jujur saja, dia sebenarnya tidak begitu ingin acara makannya menjadi pusat perhatian karena keberadaan Rachel di sampingnya. Tetapi Dimas tentu tidak bisa mengatakan itu dengan jujur, dia sendiri yang sudah menawarkan diri untuk membantu Rachel. Rachel mengangguk. "Bryan ada di sana sama Daisy. Dia harus lihat kita berduaan biar yakin," jawab Rachel sama sekali tidak tersinggung dengan sikap datar Dimas. Dimas menghela napas. "Oke." Lalu mereka pun berjalan beriringan menuju kantin. Di tangga terbawah keduanya berpapasan dengan Savira yang akan menuju lantai atas. Gadis itu membawa sebungkus siomay di tangannya. Savira tampak tercekat untuk beberapa saat sebelum akhirnya gadis itu mengulas senyum tipis dan segera berlalu dengan cepat. Rachel yang menyadari aura perubahan dari diri Dimas pun memberanikan diri bertanya. "Lo nggak bilang yang sebenernya aja sama dia?" Rachel menatap Dimas penasaran. Kenapa juga Dimas harus rela kehilangan gadis yang dia sukai hanya demi dirinya yang notabennya bukan siapa-siapa dalam hidup Dimas. Dimas kan bisa membantunya sambil tetap berhubungan dengan Savira. Ya meski pun harus backstreet. "Gue nggak mau nambah masalah. Lo kira cewek mana yang rela liat cowoknya ngakuin cewek lain sebagai pacarnya di depan orang?" tanya Dimas sarkastik. Rachel bergeming. "Tapi dia kayaknya baik, I mean, cewek baik kan biasanya...rela-rela aja." Dimas menghentikan langkahnya membuat Rachel ikut berhenti melangkah. "Kenapa?" tanya Rachel bingung. "Karena dia baik. Dia terlalu baik untuk nggak diakuin. She deserve better." Wow. Rachel benar-benar takjub. Perasaan Dimas begitu tulus kepada Savira. Dalam hati Rachel sungguh iri, kapan dia bisa mendapatkan laki-laki yang bisa menyayanginya setulus itu. Sampai di kantin benar saja dugaan Dimas, mereka berdua langsung jadi pusat perhatian. Dimas meringis dalam hati. Lo harus terbiasa Dim, ini belum seberapa, fans cewek di samping lo ini masih banyak. Mereka berdua memilih menikmati nasi goreng di tempat yang tidak terlalu menjadi pusat perhatian. Meski pun tetap saja mata orang-orang di kantin sesekali masih mencuri lirik ke arah mereka. Acara makan bersama itu berlalu dengan flat. Keduanya hanya sibuk makan tanpa berbincang banyak. Mungkin sesekali Dimas atau Rachel melempar pertanyaan, tetapi obrolan itu tidak akan berlanjut panjang. Sampai akhirnya Daisy menghampiri mereka dengan Bryan di belakangnya mengekor. "Cieeee, pasangan baru udah mulai show off di depan publik nih ya!" Daisy mencolek dagu Rachel dengan riang. "Peje dong!" godanya kepada Dimas dan Rachel. Rachel hanya tertawa-dibuat-buat-untuk menunjukkan pada Daisy kalau hubungan ini memang benar adanya. "Apa sih, Sy, lebay lo!" Daisy terkekeh. "Yeeeu, dasar udah punya pacar jadi lupa sama gue, deh." "Sayang, udah yuk. Gerah aku di sini," kata Bryan menginterupsi obrolan Daisy dan Rachel. Dimas berdecih pelan. Dia tau yang membuat Bryan gerah adalah dirinya. Mampus. Daisy pun akhirnya pamit pada Rachel dan Dimas lalu pergi ditarik Bryan yang mendadak jadi rewel. Padahal udara di kantin tidak segerah itu. Mungkin hatinya yang gerah. "Kasian banget temen lo," kata Dimas begitu Daisy dan Bryan sudah pergi. "Mending lo kasih tau deh kalau cowoknya tuh busuk." Dimas berkata sebelum menyeruput es jeruknya. Rachel mendengus. "Iya, gue harusnya bilang ya sama Daisy. Sy, cowok lo itu tukang selingkuh. Selingkuhannya itu gue! Gitu?" tanya Rachel retoris. Dimas mengedikkan bahunya. "Dia nggak mikir apa ya, gimana kalau ibu atau saudaranya diselingkuhin?" tanya Dimas entah kepada siapa. Karena mata Dimas tidak memandang ke arah Rachel jika memang pertanyaan itu ditujukan untuk Rachel. Tetapi meski begitu Rachel tetap menjawab. "Dia nggak tinggal sama ibunya. Dari kecil dia tinggal sama ayahnya doang. Dan dia anak tunggal." Dimas menatap Rachel. "Oh," katanya karena tidak tau harus merespon apa lagi. "Jadi lo selalu kepikiran sama nyokap atau kakak lo ya setiap mau melakukan sesuatu sama perempuan?" tanya Rachel yang tertarik dengan kata-kata Dimas sebelumnya. Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa akhirnya Dimas mau menolong Rachel saat Bryan waktu itu tiba-tiba muncul ketika dirinya dan Dimas sedang mengobrol di mobil. Dimas menggeleng. Dan gelengan Dimas membuat Rachel mengernyit. "Gue nggak pernah mikir untuk melakukan sesuatu sama perempuan." Jawaban Dimas lebih membuat Rachel kaget. "Hah?" Rachel menyelipkan rambutnya ke balik telinga. "Maksud gue bukan itu, tapi...emangnya lo belum pernah pacaran?" tanya Rachel kemudian. Gelengan Dimas membuat mata Rachel membulat tidak percaya. Dilihat dari sisi mana pun wajah Dimas bisa dimasukkan dalam kategori ganteng. Cowok itu juga sepertinya berkepribadian baik. Meski pun Rachel baru sebentar mengenal Dimas, tetapi itu sudah terlihat dari cara Dimas memperlakukan Rachel. Cowok itu terlihat sangat menghargai perempuan. Dimas tidak pernah terlihat menatap Rachel dengan tatapan kurang ajar sama sekali. Rachel heran kenapa cowok semenarik dan sebaik Dimas tidak pernah pacaran. Gadis yang waktu itu bersama Dimas, kenapa gadis itu tidak menerima Dimas? Kalau Rachel yang jadi gadis itu, Rachel tentu tidak akan berpikir panjang untuk menerima Dimas. Rachel jadi merasa sedikit beruntung karena bisa menjadi pacar Dimas. Meski pun hanya pura-pura. Setidaknya dia jadi kelihatan baik karena pacaran dengan laki-laki yang baik juga. Ah, Rachel jadi meringis sendiri. Biar bagaimana pun Dimas tidak akan bisa menjadi miliknya. Perempuan baik hanya untuk laki-laki baik, begitu pun sebaliknya. Maka perempuan seperti Rachel tentu tidak akan pernah berakhir dengan laki-laki seperti Dimas. Biar bagaimana pun, gadis seperti Rachel ya cocoknya bersama laki-laki yang sama b******k dengannya. Bryan, contohnya. "Eum Dimas," Rachel memanggil, membuat perhatian Dimas yang semula terpaku kepada ponselnya teralih pada Rachel. "Hm?" gumamnya. Rachel kembali menyelipkan rambutnya ke balik telinga. "Gue perlu ngasih tau lo soal jadwal gue, nggak?" tanyanya ragu. Jujur saja Rachel malu untuk menanyakannya. Dia tidak mau dianggap seolah ingin menjadi hal yang penting untuk Dimas. Mereka kan Cuma pura-pura. Dimas terlihat berpikir sejenak, namun kemudian dia mengangguk. "Boleh, biar gue tau juga." Rachel mengangguk. Entah kenapa rasanya Rachel sedikit lega karena Dimas sama sekali tidak menganggap Rachel terlalu berharap dalam hubungan ini. Dimas kelihatan biasa saja. "Hari ini ada jadwal?" tanya Dimas kemudian. Rachel menggeleng. "Enggak, besok baru ada kayaknya." Dimas mengangguk paham. "Oke, kasih tau aja nanti jadwal lo." Dimas lalu kembali memainkan ponselnya sedangkan Rachel mulai bermain-main dengan sedotan di dalam gelas es teh manisnya. "Oh iya," Dimas kembali bersuara membuat Rachel mendongak menatapnya. "Kita perlu pake aku-kamu nggak di depan orang?" tanya Dimas polos membuat Rachel berkedip-kedip menatapnya. "Hah?" Rachel menerka-nerka apa Dimas memang seclueless ini soal hubungan atau dia bertanya hanya demi kelancaran sandiwara ini. Melihat wajah Dimas yang sepertinya memang benar-benar clueless membuat Rachel tau kalau Dimas memang benar-benar tidak tau bagaimana seharusnya memanggil satu sama lain dalam hubungan. "Gue sih kalau pacaran pasti pake aku-kamu, kebanyakan juga emang gitu." "Nina sama Gio enggak," kata Dimas cepat. "Ya kan kebanyakan bukan semuanya." Rachel rasanya ingin tertawa. Dimas lucu juga. Kadang bisa dewasa kadang juga kelihatan seperti anak-anak. Rachel ingat melihat Dimas terlihat kekanakan saat bersama kakak perempuannya. Ah, Rachel meringis jika ingat umurnya dan Dimas berbeda satu tahun dimana dia lebih tua daripada Dimas. Sebelumnya Rachel tidak pernah berhubungan dengan laki-laki yang lebih muda darinya. "Yaudah. Tapi kayaknya jangan pas di depan orang doang, biar nanti jadi kebiasaan," kata Dimas kemudian. Rachel mengedikkan bahunya acuh. Dia tidak bermasalah dengan sebutan aku-kamu atau gue-lo. Toh itu Cuma sebutan, tidak ada arti penting di baliknya. "Eh, tapi kayaknya lo-eh kamu kalau sama cewek waktu itu ngomongnya aku-kamu, ya?" tanya Rachel teringat cara Dimas memanggil Savira waktu di parkiran. Dimas terdiam sejenak. Setiap membahas Savira rasanya hatinya seolah dicabik. Savira lagi apa ya sekarang? "Dimas?" panggil Rachel karena Dimas justru bengong ketika ditanya. "Sorry, nggak maksud kepo," Kata Rachel tidak enak. Dimas menggeleng. "Enggak apa-apa. Gu-eh aku sama Savira udah biasa pake aku-kamu dari SD. Savira sama semua orang juga ngomongnya pake aku-kamu, kok." Rachel memasang wajah tidak percaya. Di jaman seperti sekarang terutama tinggal di Jakarta masih ada orang yang bicara dengan aku-kamu? Lucu juga. "Lembut banget dong ya anaknya?" Rachel langsung mengatupkan mulutnya. Dia benar-benar tidak sadar menanyakan hal tersebut. "Eh, nggak usah dijawab kalau nggak mau!" Rachel buru-buru menambahkan. Dimas menatap Rachel tetapi Rachel tau kalau tatapan Dimas tidak benar-benar tertuju kepadanya. Tatapan itu kosong, menerawang entah kemana. "Ya. Dia cewek terlembut yang pernah aku kenal," gumam Dimas yang bisa didengar jelas oleh Rachel. Rachel hanya bisa diam mendengarnya. Sampai kapan pun mata itu tidak akan pernah bisa menatapnya seperti saat Dimas menatap Savira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD