Hubungan pura-pura Dimas dan Rachel sudah berjalan selama satu minggu. Dan selama itu pula Bryan belum mencoba mendekati Rachel lagi. Bahkan lewat chat pun tidak.
Setidaknya Rachel bisa bernafas cukup lega karenanya. Pilihannya untuk menerima bantuan Dimas bisa membuat Rachel lebih tenang dan tidak merasa begitu berdosa lagi.
Ditambah Dimas yang memperlakukannya dengan cukup baik. Tetapi semakin banyak intensitas waktu yang mereka habiskan bersama, semakin banyak pula Rachel mengetahui tentang Dimas.
Dan Rachel menemukan fakta bahwa Dimas punya sedikit sifat posesif dan protektif. Mungkin itu karena efek Dimas memiliki kakak perempuan. Dia sudah terbiasa menjaga kakaknya, hal itu juga pasti akan cowok itu berlakukan kepada gadis yang dekat dengannya. Bahkan kepada Rachel yang hanya pacar pura-puranya.
Tapi selama sifat itu belum membuat Rachel annoyed, gadis itu masih menerimanya dan tidak protes.
Rachel jadi benar-benar tidak pernah keluar malam lebih dari jam sembilan lagi. Biasanya Rachel pun akan pergi ke night club bersama teman-teman sesama modelnya atau bersama Daisy, Bryan dan teman-teman bandnya. Tetapi selama menjadi pacar pura-pura Dimas, Rachel benar-benar mengikuti aturan yang Dimas berikan.
"Acel, nanti mampir ke kedai es krim deket sekolah dulu, boleh?" tanya Dimas begitu sudah masuk ke dalam mobil milik Rachel.
Rachel mengernyit sambil menunggu mesin mobilnya panas. "Tumben, biasanya males diajak mampir-mampir. Kamu lagi pengen es krim?" tanya Rachel yang dijawab Dimas dengan gelengan.
"Savira mau kenalan sama kamu."
Jawaban Dimas seolah petir yang menyambar bagi Rachel. Kenapa tiba-tiba gadis yang Dimas sukai itu ingin berkenalan dan bertemu dengannya? Apa jangan-jangan gadis itu marah karena biar bagaimana pun dirinya sudah merebut Dimas?
"Tenang aja. Dia nggak bakal macem-macem. Dan nggak mungkin juga," kata Dimas seolah mengerti apa yang Rachel takutkan.
Rachel hanya mengangguk. "Oke."
Sekitar sepuluh menit berkendara, mereka sampai di kedai es krim yang dimaksud Dimas. Setelah memarkir mobil, keduanya berjalan beriringan memasuki kedai tersebut.
Mata Dimas melihat kesana-kemari mencari sosok Savira. Gadis itu memang sudah berangkat lebih dulu dengan menumpang pada temannya.
Akhirnya Dimas berhasil menemukan Savira yang sedang duduk di dekat jendela sambil memainkan ponselnya. Di depannya sudah ada es krim gellato rasa favoritenya. Dimas tau dan hafal rasa apa itu, sampai ke toppingnya.
"Udah dateng?" tanya Rachel mengejutkan Dimas.
Dimas gelagapan, cowok itu mengusap pangkal hidungnya yang mendadak gatal. "Eum, udah." Dimas mengedikkan dagunya ke arah Savira duduk.
Rachel pun memandang ke arah yang ditunjuk Dimas. Benar saja, Rachel bisa melihat Savira sudah duduk manis di salah satu kursi yang bersebelahan persis dengan jendela dengan segelas es krim di depannya. "Yuk?" ajak Rachel kepada Dimas yang diangguki cowok itu dengan lemah.
"Hai Vira," sapa Dimas begitu dia dan Rachel sudah berdiri di depan meja Savira.
Savira yang sedang bermain ponsel nampak terkejut sebelum akhirnya dia menyunggingkan senyum manis. "Hai Dimas, hai kak Rachel," sapanya balik. "Duduk-duduk," katanya mempersilahkan.
Dimas dan Rachel pun langsung duduk di hadapan Savira. Dan seketika rasa canggung mendera ketiganya.
Dimas jadi menyesal kenapa juga dia mengiyakan ajakan ini. "Dimas sama kak Rachel nggak mau pesen dulu?" tanya Savira memecah keheningan.
Dimas dan Rachel saling tatap. "Eh, iya." Dimas sudah akan berdiri namun Rachel menahan lengannya. Rachel tentunya tidak mau ditinggal berduaan saja dengan Savira karena pasti akan canggung sekali. Dan Rachel bukan lah tipe orang yang bisa berbasa-basi. Mencari aman, Rachel mengajukan diri untuk pergi ke konter pemesanan.
Hubungan Dimas dan Savira sudah tidak bisa seakrb dulu. Masih akrab, hanya saja sudah ada dinding penghalang yang menjulang di antara mereka dan itu jelas adanya.
Keduanya hanya terlibat basa-basi singkat sampai akhirnya Rachel datang membawa dua es krim. Satu rasa cheesecake untuknya dan satu lagi rasa matcha untuk Dimas. Entah kenapa Rachel memilih memesan itu, padahal dua rasa itu adalah rasa kesukaannya dan Rachel tidak tau rasa apa yang Dimas suka.
Dimas menatap es krim berwarna hijau di hadapannya. Tatapannya langsung bertubrukan dengan Savira yang duduknya memang persis di depan Dimas.
Seolah mengerti maksud tatapan Dimas dan Savira, Rachel langsung menggigit bibir bawahnya. "Eh, kamu nggak suka matcha?" tanya Rachel seolah baru menyadarinya.
Dimas baru akan menjawab ketika Savira lebih dulu menukar gelas es krim miliknya dengan milik Dimas. "Iya kak, Dimas nggak suka rasa yang aneh-aneh. Dia cuma suka rasa yang basic kayak coklat, vanilla atau strawberry. Apalagi matcha, Dimas paling nggak suka. Ya, Dim?"
Dimas terkejut ketika Savira bertanya tiba-tiba kepadanya. Lebih dari itu, Dimas merasa tidak enak dengan Rachel. Keadaan ini seolah menempatkan Rachel berada di posisi pacar yang nggak tau apa-apa soal pacarnya. Ini salah Dimas karena dia tidak memberi tau Rachel sebelumnya.
Rachel hanya diam saja. Tapi Dimas tau pasti ada perasaan tidak nyaman yang gadis itu rasakan. Seminggu selalu bersama-sama membuat Dimas mulai mengenal lebih dalam tentang Rachel.
Dimas menyentuh pelan tangan Rachel. "Nggak apa-apa," bisiknya pelan membuat Rachel menatapnya kaget. Tidak menyangka Dimas akan melakukan hal itu di depan Savira.
Savira berdehem membuat tangan Dimas yang menyentuh tangan Rachel refleks terlepas. Keduanya seperti tertangkap basah habis melakukan sesuatu yang dilarang, padahal semua itu sah-sah saja. Toh di depan orang mereka sedang menjalankan peran sepasang kekasih.
Dimas kembali menatap Savira. Dimas tercekat saat melihat mata gadis itu kini berkaca-kaca. Dimas merasa dunianya runtuh saat itu juga. Membuat Savira menangis adalah hal terakhir yang ingin Dimas lakukan pada gadis itu. Kalau bisa pun selamanya dia tidak pernah membuat Savira menangis. "Vira..."
Savira memaksakan sebuah senyum. "Aku nggak apa-apa kok Dimas," Savira mengusap pipinya yang kejatuhan air mata. Ternyata dia tidak mampu menahannya. Melihat langsung Dimas dan Rachel ternyata lebih menyakitkan daripada hanya mendengarnya.
Dimas mengulurkan tangannya untuk meremas tangan Savira. Dia tau ini tidak seharusnya dia lakukan, tetapi Dimas tidak bisa menahan diri lagi. Bahkan kalau dia bisa dia ingin menarik Savira ke dalam pelukannya saat ini juga.
"Kak Rachel," Savira memanggil Rachel sambil melepaskan pelan tangan Dimas. Tatapannya teralih kepada Rachel yang sejak tadi diam menyaksikan semuanya dengan perasaan bersalah. "Dimas nggak suka matcha, Thai tea atau pun teh tarik. Kalau kalian jalan sebisa mungkin jangan pesenin Dimas itu, ya?"
Rachel menatap Savira bingung. "Eh?"
Savira tidak menggubris kebingunga Rachel dan memilih melanjutkan dengan lelehan air mata di pipinya. "Dimas juga nggak bisa makan kalau nggak pake saos, dia jadi sering kena diare gara-gara itu, omelin aja kalau dia udah bandel. Terus Dimas juga suka banget makan mie instan, terutama weekend, tolong banget kakak larang biar dia nggak keseringan makan itu."
"Vira," Dimas menyentuh tangan Savira seolah meminta gadis itu tidak lagi melanjutkan. Dimas semakin tidak tega melihatnya.
"Dimas juga susah makan sayur, pokoknya kalau-" kata-kata Savira terputus karena Dimas menarik Savira berdiri dan mengajak gadis itu keluar.
Rachel hanya diam melihatnya. Apa yang bisa dia lakukan? Apa yang dikatakan Savira tadi seolah mempertegas bahwa Rachel hanyalah orang lain yang tidak mengenal dan tidak seharusnya bersama Dimas.
***
Dimas membawa Savira ke dekat mobil Rachel di parkir. Di sana mereka tidak perlu takut menarik perhatian orang-orang. "Dimas, ma-maafin aku," Savira tercekat suaranya sendiri. Emosi menguasainya, air matanya semakin menderas. Semua seolah meluap begitu saja saat ini. Semakin meluap saat merasakan tubuhnya ditarik ke dalam pelukan Dimas.
Savira menangis tergugu di d**a Dimas. Bagaimana bisa Savira menyia-nyiakan Dimas selama ini? Bagaimana bisa Savira membiarkan laki-laki sebaik Dimas menggantung terlalu lama. Savira akui ini semua salahnya. Seharusnya Savira jujur sejak awal kalau alasannya tidak kunjung menerima Dimas adalah karena janjinya kepada sang Mama untuk tidak berpacaran sampai lulus SMA.
"Aku sayang sama kamu, Dimas...aku nggak bisa kalau bukan sama kamu," Savira terisak, air matanya membasahi baju seragam Dimas tepatnya di bagian d**a.
Savira mungkin merasakan sakit, tetapi Dimas jauh lebih sakit karena harus melepaskan Savira dan melihat Savira menangis karenanya. Dimas menempelkan pipinya di puncak kepala Savira. Hatinya hancur tak bersisa. Aku juga sayang kamu, Vira, selalu sayang kamu.
Dimas merasakan Savira meremas ujung kemejanya. "Dimas, aku nggak nerima kamu bukan karena aku nggak sayang sama kamu... Mama nggak bolehin aku pacaran sebelum lulus. Aku nggak jujur sama kamu karena aku malu. Seharusnya aku emang jujur dari awal, ini salah aku..."
Dimas melonggarkan pelukannya dari Savira. Diusapnya lembut air mata Savira dengan punggung tangannya. "Vira, ini bukan salah siapa-siapa. Bukan kamu atau siapa pun." Dimas menatap Savira lembut. "Mungkin emang udah jalannya harus kayak gini. Believe me, it's not just you, Vir, it's hurt me too,more than you could ever know."
Savira menatap Dimas dengan linangan air mata. Jujur saja Savira tidak mengerti apa alasan yang membuat keduanya tidak bersatu jika memang saling sayang.
Sama dengan Dimas, Savira juga belum pernah berpacaran sebelumnya. Cinta pertama Savira adalah Dimas.
Dimas kembali memeluk Savira erat. Kenapa melepaskan apa yang tidak pernah menjadi miliknya terasa lebih menyakitkan daripada melepaskan yang sudah menjadi milik?
Savira merasakan kecupan yang lama di puncak kepalanya. Dan Savira bisa mendengar sekali lagi Dimas mengatakan bahwa Dimas menyayanginya.
Tapi baik Savira dan Dimas tau hal itu bukan lah menjadi awal bagi mereka melainkan akhir.
Baik Savira dan Dimas tau kalau ini adalah akhir cerita mereka.
***
(Silahkan play lagu yang di media ya sengaja versi cover cowok biar lebih pas untuk Dimas)
Can you tell me
How can one miss what she's never had
How could I reminisce when there is no past
How could I have memories of being happy with you boy
Could someone tell me how can this be
How could my mind pull up incidents
Recall dates and times that never happened
How could we celebrate a love that's too late
And how could I really mean the words I'm bout to say
I missed the times that we almost shared
I miss the love that was almost there
I miss the times that we use to kiss
At least in my dreams
Just let me take my time and reminisce
I miss the times that we never had
What happened to us we were almost there
Whoever said it's impossible to miss when you never had
Never almost had you
I cannot believe I let you go
Or what I should say is I shoulda grabbed you up and never let you go
I shoulda went out with you
I shoulda made you my boo boy
Yes that's one time I shoulda broke the rules
I shoulda went on a date
Shoulda found a way to escape
Shoulda turned a almost into
If it happens now its to late
How could I celebrate a love that wasn't real
And if it didn't happen why does my heart feel
Almost - Tamiya
Dimas mendengus sambil mematikan lagu yang terputar di radio. Selepas kepergian Savira, Dimas menghabiskan waktunya melamun sepanjang perjalanan menuju rumah. Semua seolah meledek Dimas atas apa yang terjadi. Bahkan kini penyiar radio ikut berkonspirasi untuk menambah perih di hati Dimas.
Dalam hati Dimas merutuk. Apa tadi? I miss the times that we never had? It's impossible to miss when you never had? Never almost had you?
Lagu itu sepertinya memang tercipta untuk meledek keadaan Dimas.
Di samping Dimas, Rachel juga menyetir dalam diam. Rachel tau apa yang terjadi karena diam-diam dia memerhatikan semuanya.
Rachel tau Dimas pasti sedang sedih saat ini, cinta pertama memang selalu menjadi yang paling berkesan untuk semua orang. Entah itu meninggalkan kesan manis atau pahit.
Begitu sampai di rumahnya, Dimas hanya sempat mengucap terima kasih secara singkat dan buru-buru turun dari mobil. Dan Rachel tidak mengatakan apapun karena dia tau Dimas membutuhkan waktu sendiri.
Tapi sebelum melajukan kembali mobilnya, Rachel menyempatkan diri untuk mengirimkan pesan kepada Dimas.
Rachelia Audina: ngelepasin apa yang nggak pernah jadi milik kita itu emang sakit rasanya. Jauh lebih sakit drpd lepasin apa yang udah pernah jadi milik.
Rachelia Audina: Aku tau rasanya, karena aku juga ngalamin itu
Rachelia Audina: Tapi aku tau kamu bisa lewatin ini. Jodoh nggak kemana. Kamu bakal bersatu lagi sama Savira kalau emang takdirnya udah begitu.
Adimas Nugraha: Ngek. Panjang amat. Wkwk
Adimas Nugraha: Makasih btw. Kita udah kayak pejuang cinta tak tercapai yak wkwkwk.
Rachelia Audina: Ya biarin jadi Acel Teguh sekali-kali. Wkwk.
Rachelia Audina: Btw Dim, jangan denger radio, nanti galau.
Adima Nugraha: Kampret
Rachel tersenyum membaca balasan Dimas. Meksipun keliatannya Dimas sudah bercanda seperti biasa, tetapi tidak ada yang tau apa yang tengah Dimas rasakan saat ini. Dan Rachel yakin kalau Dimas tentunya belum baik-baik saja. Biarkan waktu yang mengobatinya.