Rachel buru-buru melangkah keluar kelas begitu bel istirahat berbunyi. Gadis itu butuh ke toilet segera sebelum kantung kemihnya terasa sakit.
Rachel bahkan hanya sempat melambai sekilas ketika tidak sengaja berpapasan dengan Lala di koridor. Gadis itu juga baru keluar dari kelasnya, entah mau menuju kemana.
"Lega..." Rachel menghela nafas lega. Rasanya tidak bisa dideskripsikan. Setelah selesai bersih-bersih, Rachel pun melangkah keluar dari toilet dan seketika dirinya terkejut.
Dimas rupanya sudah menunggu Rachel di depan toilet, entah sejak kapan anak laki-laki itu berada di sana. Bahkan Rachel tidak tau bagaimana bisa laki-laki itu tau kalau Rachel sedang berada di toilet.
Rachel memasang senyum namun seketika itu juga runtuh begitu matanya menangkap ekspresi keruh di wajah Dimas. Seketika perasaan Rachel jadi gugup.
"Dimas?" Rachel memberanikan diri menyapa. Mengabaikan ekspresi keruh di wajah laki-laki itu.
Dimas berdehem pelan sebagai jawaban. Matanya menatap Rachel tajam. "Bisa ngomong bentar?" tanyanya dengan nada datar.
Rachel mengernyit. Sejak mereka menjalin hubungan pura-pura itu Dimas tidak pernah lagi minta izin jika mau melakukan sesuatu. Ada apa ini? Rachel jadi bertanya-tanya sendiri.
"Sambil makan?" tanya Rachel ragu.
Dimas menggeleng, "Kalau bisa di tempat sepi." Dimas menegakkan tubuhnya yang sejak tadi bersandar di sebuah pilar. "Ah ralat, harus di tempat sepi."
Rachel semakin memperdalam kernyitan. Dia yakin apa yang akan Dimas bicarakan saat ini pasti lah sesuatu yang serius. "Oke."
Keduanya lalu berjalan beriringan menuju ruang lab IPA. Tempat paling aman dan sepi di sekolah, terutama di jam istirahat karena lokasinya yang terpencil.
Tempat yang juga menjadi awal kisah Dimas dan Rachel saat ini.
Jantung Rachel semakin berdegup saat Dimas memutar kunci ruangan tersebut dan menghadapkan tubuhnya ke arah Rachel.
"Aku nggak mau basa-basi," tandas Dimas langsung. Lelaki itu menatap tajam ke arah Rachel membuat gadis itu semakin gugup dibuatnya. "Kamu kenapa nggak bilang kalau ketemu sama Bryan?" tanyanya.
Rachel tersentak. Dari mana Dimas tau? "Ka-kamu tau dari mana?" tanya Rachel gugup.
Dimas tidak merubah ekspresinya. Sebenarnya Dimas tau sejak semalam. Sejak semalam juga dirinya sudah menunggu Rachel memberi taunya tetapi sampai saat ini pun Rachel masih menutupinya. Dimas kecewa, jujur saja.
"Karena aku bukan tau dari kamu, kamu bisa tebak sendiri siapa yang ngasih tau aku." Dimas menjawab dengan nada sarkastik.
Rachel menelan ludahnya. "Bryan? Bryan bilang sama kamu?" tanya Rachel tidak lagi gugup melainkan takut.
"Aku kira kita udah bikin kesepakatan, Rachel." Dimas berkata dengan dingin. "Kamu harus jujur sama aku tentang apa pun supaya aku bisa bantu kamu." Lanjutnya.
Rachel terdiam. Tidak tau harus menjawab bagaimana karena dia tau saat ini dirinya memang bersalah sudah tidak jujur.
"Asal kamu tau, Cel, aku bantu kamu bukan cuma untuk nutupin perselingkuhan kamu dari Daisy." Dimas berkata tegas, tatapannya menatap lurus ke arah Rachel tepat di maniknya. "Aku juga mau bikin kamu bener-bener lepas dari Bryan."
Jantung Rachel seperti diketuk palu rasanya. "Aku..."
"Aku tau, nggak gampang buat kamu ngilangin rasa cinta kamu, aku tau banget rasanya. Tapi aku bakal bantu karena kamu minta." Dimas terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Tapi kalau gini caranya, rasanya bantuan aku malah percuma."
Rachel tersentak. Jangan bilang kalau Dimas sudah tidak ingin membantunya. "Dimas maafin aku, bukannya aku nggak mau jujur sama kamu tapi aku..." Rachel menggigit bibirnya sendiri. s**t, dia bahkan kehabisan kata-kata yang tepat untuk membela diri. Harus bagaimana Rachel menjelaskan kalau Rachel justru takut jika Dimas tau mereka bertemu dan marah padanya.
Dimas menghela nafas. "Terserah kamu sekarang," katanya pelan. "Kalau kamu masih mau aku bantu, ikutin peraturan yang udah aku buat. Tanpa terkecuali. Tapi kalau kamu memang nggak sanggup, yaudah, we're done."
"Jangan!" Rachel berseru panik. Jujur saja, dia masih sangat membutuhkan bantuan Dimas. Baik untuk melindunginya dari jeratan Bryan atau hanya untuk dirinya sendiri. Keberadaan Dimas di sampingnya benar-benar sudah membuat Rachel terbiasa.
Rachel meneguk ludahnya. Di saat seperti ini entah kenapa dirinya dan Dimas seperti bertukar posisi di mana Dimas jadi lebih dewasa darinya. "Aku minta maaf soal kemaren, aku nggak akan kayak gitu lagi," ucapnya tulus.
Dimas diam untuk beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk mengerti. "Oke," katanya. "Yaudah sekarang kita ke kantin, aku laper," lanjut lelaki itu santai.
Rachel mengernyit bingung. Bagaimana bisa suasana hati Dimas berubah sekilat itu. Entah kemana perginya Dimas yang serius beberapa menit yang lalu kini sudah berganti kembali dengan Dimas yang penuh cengar-cengir.
Rachel dan Dimas berpisah di kantin. Dimas menuju meja di mana ada Gio dan Nina, sedangkan Rachel memilih bergabung dengan teman-teman perempuan sekelasnya.
Mereka memang terkadang makan terpisah, tidak harus selalu bersama karena hal itu tidak terlalu perlu. Yang penting komunikasi masih terjaga dengan baik.
Rachel mendesah pelan sambil menunggu pesanan siomaynya dibuatkan. Semakin ke sini hubungannya dan Dimas berjalan terlalu real. Rachel khawatir kalau dirinya sudah terlalu terbiasa dengan semua sandiwara ini sampai-sampai nanti dirinya lupa kalau mereka hanya sedang bersandiwara. Rachel takut dirinya akan jatuh cinta kepada Dimas, biar bagaimana pun, Rachel tau Dimas adalah sosok laki-laki yang mudah untuk dicintai.
Lelaki itu selalu memperlakukannya dengan baik. Rachel sudah beberapa kali berpacaran dan PDKT dengan laki-laki, tetapi tidak ada yang bersikap segentle Dimas.
Dimas memang bukan sosok pacar sempurna. Terkadang laki-laki itu cuek terhadap beberapa hal, tetapi bukan berarti dia tidak peduli. Rachel hanya memberi taunya secara jelas agar Dimas mengerti. Dimas juga terkadang masih bersikap kekanak-kanakan karena usianya yang memang lebih muda setahun dari Rachel. Tetapi di saat tertentu Dimas juga bisa bersikap dewasa dan mampu diandalkan.
Rachel sudah duduk bersama teman-temannya di meja kantin, terlibat dalam obrolan yang sejujurnya tidak begitu Rachel dengarkan. Pikirannya justru melayang ke arah anak laki-laki yang duduk di meja yang cukup jauh darinya, bersama sepasang kekasih yang merupakan temannya. Rachel mencuri lirik dan seketika dadanya merasa pengap ketika melihat meja Dimas kini bertambahkan satu orang lagi.
Savira.
Jujur saja jika sebulan yang lalu Rachel melihat kehadiran Savira di dekat Dimas adalah hal yang biasa saja dan bukan menjadi urusannya, kini Rachel tidak lagi merasa demikian. Bahkan meski pun Dimas duduk dengan jarak yang cukup aman dari Savira, Rachel tidak bisa merasa biasa saja.
Rachel langsung membuang tatapannya dari meja Dimas. Menolak menyelami rasa aneh itu lebih lama lagi. Rachel sendiri yang tidak melarang Dimas untuk tetap berteman baik dengan Savira. Karena waktu itu Rachel sendiri yang yakin jika sandiwara mereka selesai nanti, Dimas pasti akan kembali kepada Savira.
Tapi kini Rachel merasa munafik. Ada sedikit rasa tidak suka melihat bagaimana tatapan Dimas kepada Savira masih tetap sama seperti dulu. Penuh rasa perhatian dan sayang.
Rachel terkejut ketika merasakan ponsel di kantungnya bergetar. Dengan malas ia raih benda berwarna rose gold tersebut dan seketika keningnya membentuk sebuah garis begitu membaca notifikasi yang muncul di layar.
Adimas Nugraha: senyum kali neng, butek amat itu muka
Rachel refleks menoleh ke arah si pengirim pesan yang ternyata sedang memegang ponselnya.
Seolah tau jika dirinya sedang diperhatikan, Dimas menoleh ke arah Rachel sehingga tatapan mereka bertubrukan. Dimas lalu mengulas senyum. Tipis tapi manis.
Mendadak hati Rachel seolah coklat yang diletakkan di atas kompor. Meleleh. Buru-buru ia mengalihkan tatapannya ke arah ponsel dan mengetikkan balasan.
Rachelia Audina: males senyum abis diomelin sama bocah.
Adimas Nugraha: bocah2 gini udah bisa bikin anak loh
Adimas Nugraha: perlu bukti?
Rachelia Audina: Dimas!!!! Kebanyakan pake mecin tuh bakso, otaknya jadi ngaco.
Meski pun pesan yang Rachel ketik seolah menggambarkan dirinya tengah marah, tapi Rachel justru terkekeh sendiri membaca candaan Dimas.
Sebuah pesan kembali masuk dan seketika pipi Rachel menghangat.
Adimas Nugraha: nah gitu dong senyum, kan aku jadi enak makannya ngga kepikiran
Adimas Nugraha: maaf ya tadi di pas di lab aku jutek dan sempet ngancem kamu gitu
Adimas Nugraha: jujur aja aku kesel pas Bryan tbtb ngirimin foto kamu pas di mall dan kamu ga cerita apa-apa sama aku
Adimas Nugraha: wkwk banci bgt gue minta maaf beraninya lewat chat. Nanti balik sekolah mampir beli chatime dulu ya
Rachel tersenyum sambil mengetikkan balasan.
Rachelia Audina: Mau nyogok ceritanya biar dimaafin?
Adimas Nugraha: kaga. Mau beli buat diri sendiri lah wkwkwk
Rachelia Audina:
Adimas Nugraha:
Adimas Nugraha: eh salah emot
Rachel merasa pipinya mulai pegal karena terlalu banyak tersenyum. Tapi hal itu tidak menyurutkan keasyikannya membalas pesan Dimas.
Rachelia Audina: halah modusmu receh mas
Adimas Nugraha: dih emang bener salah emot yang bener tuh ini
Rachel mengulum bibirnya, entah sudah semerah apa pipinya saat ini. Entah bagaimana bisa dirinya blushing hanya karena modusan receh lewat chat yang terkesan main-main. Rachel bahkan sudah lupa bagaimana rasanya berdebar-debar menanti sebuah balasan chat. Tapi sekarang Rachel seolah kembali merasakannya.
Tuhan, masih boleh kah jika hamba berharap? Rachel membatin.