Dimas langsung menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur milik Gio sesampainya dia di kamar sahabatnya tersebut.
Gio sendiri sedang di toilet karena dia sudah menahan sakit perut sejak pulang sekolah tadi.
Sudah sekitar dua minggu belakangan, Gio dan Dimas jarang menghabiskan waktu bersama, kecuali saat di sekolah karena mereka sekelas. Sebelum masing-masing memiliki pasangan, keduanya lebih sering menghabiskan waktu seharian bahkan sampai semalaman berdua. Bahkan karena hal tersebut mereka berdua sering disebut pasangan homo. Tapi meski pun demikian, mereka tidak ambil pusing karena mereka memang sedekat itu.
"Eanjing bantuin ini buset deh!" Gio berseru sambil menendang pintu kamar hingga terbuka. Tangannya menenteng nampan berisi dua piring nasi beserta lauk pauknya. "Lah, tidur?" Gio berdecak ketika mendapati Dimas sedang tengkurap di atas tempat tidurnya.
Gio meletakkan nampan berisi makanan tersebut di atas karpet, lalu lelaki itu memilih berjalan menuju lemari untuk berganti baju.
Setelah selesai berganti baju Gio menghampiri Dimas dan menendang ringan kaki Dimas yang mencuat keluar dari atas tempat tidur. "Dim," panggilnya.
Dimas hanya merespon dengan gumaman tidak jelas karena wajahnya yang ia lesakkan pada bantal.
Gio berdecak. Dimas memang sudah tampak aneh beberapa hari belakangan. Tidak terlalu kentara, tetapi pada waktu-waktu tertentu Dimas lebih sering diam sambil mendengarkan lagu. Menolak berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.
Gio tau seseorang kadang bisa dalam fase random. Di mana saat itu seseorang-biasanya remaja-merasakan perasaan yang tidak jelas ditujukan kepada siapa. Bisa rindu, marah, kesal atau apapun tetapi tidak ada objek yang dituju. Benar-benar sangat random.
Tapi Gio tau kalau Dimas tidak sedang dalam fase tersebut. Dugaan Gio kalau ini bukan karena Savira berarti Rachel. Hanya dua orang itu yang berpotensi merubah suasana hati Dimas, saat ini.
"Dim, makan yok! Lo nggak laper, apa?" tanya Gio sambil kembali menendang pelan kaki Dimas.
Dimas bergerak pelan, lalu akhirnya dengan perlahan bangkit dari posisi tengkurapnya menjadi duduk bersila.
Gio tidak bertanya, lelaki itu memilih duduk bersila di atas karpet dan mengambil piring nasi lalu makan lebih dulu.
Dimas akhirnya mengikuti jejak Gio untuk makan. Keduanya kemudian makan dalam diam. Karena Gio tidak tahan dengan keadaan sunyi di antara keduanya, Gio akhirnya bersuara lebih dulu. "Dim," panggilnya memulai.
Dimas tidak menatap Gio, tetapi cowok itu berdehem sebagai responnya.
Tau jika Dimas mendengarkan, Gio pun melanjutkan. "Lebay nggak kalo gue nanya, lo kenapa?" tanyanya.
Dimas tidak langsung menjawab dan memilih untuk menelan kunyahannya baru menjawab, "Kenapa apaan? Perasaan gue biasa aja."
Gio memutar mata. Makanannya sudah habis. "Gue kagak sebego itu ya. Gue kenal lo dari SMP."
"Belum juga dari SD," balas Dimas cuek.
Gio berdecak. "Auk ah!" serunya kesal.
Dimas terkekeh. "Mulai dah kayak cewek. Kagak elah, gue okay."
Gio menenggak habis segelas air putih yang berada di depannya. "Muka lo asem banget beberapa hari ini. Mulai baper ya lo sama Rachel?" tanya Gio.
Dimas terdiam. Mulai baper? Iya kah?
"Nah loh, diem, beneran baper ya?" Tuntut Gio. "Mampus kan gue bilang juga apa! Konsekuensinya gede."
Dimas mengela nafas. "Nggak baper, Yo, gue masih suka sama Savira." Dimas meyakinkan Gio juga dirinya sendiri. Karena jujur saja, alasannya beberapa hari ini lebih sering diam merenung adalah untuk menelaah perasaannya yang mulai aneh terhadap Rachel.
Bukannya munafik, Dimas pasti akan mengakui kalau dia memang sudah menyukai Rachel. Masalahnya Dimas masih berdebar saat bersama Savira. Rasa sayang dan ingin memiliki itu masih tetap ada. Hanya saja Dimas juga tidak bisa berbohong kalau Rachel mulai menyita perhatiannya.
"Tinggal tunggu waktu, gue rasa bentar lagi juga lo bakal sepenuhnya move on dari Vira. Orang lo sama Rachel mulu tiap hari."
Dimas diam. Tidak bisa mengelak kata-kata Gio karena hal itu besar kemungkinannya.
"Yaudah lah, gue nggak bakal larang-larang lo atau apa. Gue tau lo pasti yang paling tau baik enggaknya Rachel buat lo. Gue mah bisa dukung doang." Gio berkata sambil mendorong nampang berisi piring bekas makannya dan Dimas. "Tapi gue mau nanya," kata Gio kemudian.
Dimas menaikkan sebelah alisnya. "Apaan?" tanyanya.
"Lo sama Nina pernah terlibat sesuatu?" tanya Gio membuat dahi Dimas langsung mengernyit, seolah yang ditanyakan Gio adalah pertanyaan konyol.
"Kagak lah. Kenal dia aja pas lo nunjukkin itu cewek waktu lo mau PDKTin dia," jawab Dimas.
Gio diam mencerna. Benar juga. Bahkan Dimas baru tau yang mana sosok Nina setelah dia sendiri yang menunjukkannya pada Dimas. "Kalau Vira?" tanyanya.
"Please, Yo, nggak ada tentang Savira yang gue nggak tau. Berurusan apa coba dia sama Nina. Paling urusan sekolah atau OSIS, itu pun nggak mungkin karena Nina bukan anak OSIS." Jelas Dimas panjang lebar.
Gio kembali diam. Benar juga. Lalu apa yang membuat Nina begitu anti terhadap Dimas dan Savira? Jika hanya berdua saja dengannya, Nina selalu biasa saja. Tetapi saat ada Savira dan Dimas, Nina jadi jauh lebih ketus dan dingin.
"Dim, mungkin nggak kalau dia suka sama lo?" tanya Gio kemudian.
Dimas yang sedang meminum airnya sampai tersedak dan batuk-batuk. "Ngaco lo!" serunya. "Ngobrol aja nggak pernah, suka gimana coba?" tanyanya seolah apa yang Gio pikirkan benar-benar mustahil.
Gio mengedikkan bahu. "Who knows? Emangnya suka harus ada alesannya? Bisa aja lihat doang langsung suka." Gio menjawab masuk akal.
Tapi tetap saja Dimas tidak setuju dengan pikiran Gio tersebut. Dimas tau kalau memang Nina selalu aneh terhadapnya dan Savira. Tapi suka? Itu tidak mungkin!
"Lo udah nanya?" tanya Dimas kemudian. Dia tidak mau kalau Gio jadi berpikir yang tidak-tidak tentangnya dan Nina.
Gio mengangguk. "Gue malah diomelin. Katanya nanya yang nggak masuk akal."
"Gue setuju sama Nina. Lagian lo mikirnya yang masuk akalan dikit lah," kata Dimas sambil merebahkan tubuhnya di atas karpet.
Gio pun mengikuti Dimas sehingga mereka berdua sama-sama tidur telentang di atas karpet.
Perasaan Dimas terhadap Rachel. Sikap Nina kepada Dimas dan Savira. Keduanya masih sama-sama menjadi misteri.
***
Rachel merasakan giginya mulai bergeletuk karena kedinginan. Padahal seharusnya Rachel merasa gerah karena lampu sorot yang sangat terang mengarah kepadanya. Tetapi sepertinya pendingin ruangan yang terpasang lebih mendominasi.
Rachel menggerakan rahangnya yang terasa mulai kaku. "Cel," panggil Marsya managernya. "Mbak harus pergi nih, ada urusan." Marsya menatap Rachel dengan tatapan tidak enak.
Rachel mengangguk ringan. "Iya." Lagi pula Rachel hanya perlu mengambil beberapa pose lagi, keberadaan managernya itu sudah tidak terlalu dibutuhkan. "Pulang aja sama Pak Ardi."
Marsya menggeleng. "Lah, kamu nanti pulang sama siapa?" tanyanya.
"Aku dijemput," jawab Rachel cepat.
Marsya kemudian memasang senyuman isengnya. "Sama cowok kamu yang pernah ikut ke photoshoot di Puncak ya?" tanyanya dengan nada menggoda.
Rachel memutar matanya. "Apa sih mbak!"
Marsya terkekeh. "Lucu pacar kamu tuh, kayak masih anak kecil gitu mukanya terus polos-polos gitu," kata Marsya sambil mengetikkan pesan kepada Pak Ardi supir pribadi Rachel. "Seumuran?" tanyanya kepo.
Rachel berdecak. Bukan tante-tante namanya kalau belum cerewet. Meski pun umur Marsya tidak bisa dikategorikan umur tante-tante sama sekali. "Adek kelas." Meski pun begitu, Rachel tetap menjawab.
"What?" pekik Marsya. "Kamu doyan berondong juga ternyata!" ledek Marsya geli.
Rachel mendengus. "Apasih Mbak, pulang gih sana!" usirnya sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya semula dan beranjak meninggalkan Marsya yang tengah terkekeh karena ulah keponakannya tersebut.
"Cie malu cie! Nggak usah malu sih Cel, Mbak juga mau kalau brondongnya gemesin kayak Dimas!"
Rachel tidak menanggapi celotehan tantenya itu dan memilih kembali ke ruang pemotretan.
Hari itu yang menjalani pemotretan bukan hanya Rachel melainkan ada beberapa model remaja lainnya pula. Konsep hari itu juga dibuat berpasangan.
Rachel sudah mengabari Dimas terkait jadwal pemotretannya saat ini. Dan Dimas pun menawarkan diri untuk menjemput.
Sejujurnya saja Rachel ingin menolak karena lagi-lagi tidak ingin merepotkan Dimas. Dan juga, ketakutan Rachel untuk naik sepeda motor. Tetapi Rachel mengenyahkan itu semua. Dia tidak mau kalau pertemuan tidak terduga dengan Bryan kembali terjadi. Lagi pula ini malam Minggu, boleh kan kalau Rachel ingin menghabiskan waktu bersama Dimas?
Pemotretan pun selesai satu jam kemudian. Rachel sudah berganti baju dengan sweatshirt longgar dan skinny jeans. Barang-barangnya yang lain sudah dibawakan oleh Marsya tadi jadi Rachel hanya membawa slingbagnya.
Rachel memilih menunggu Dimas di lobby gedung, mungkin Dimas terjebak macet karena malam ini adalam malam Minggu dan kemungkinan jalanan macet.
Saat menunggu Dimas sambil memainkan ponselnya, Rachel merasakan sebuah tepukan di bahu membuatnya menoleh. Ternyata yang menepuk bahu Rachel adalah salah satu model yang tadi menjadi pasangannya ketika pemotretan. Namanya Randian.
"Hai," sapa cowok berlesung pipi itu ramah.
Rachel membalasnya dengan senyuman. "Hai, belum pulang?" tanya Rachel basa-basi. Sejujurnya, Rachel tidak benar-benar penasaran akan keberadaan cowok itu di sana.
Randian menggeleng, "Belum, lagi nunggu Feranda. Dia mau bareng gue katanya," jawab cowok itu.
Rachel mengernyit. Feranda adalah model yang juga terlibat dalam pemotretan barusan. Setau Rachel saat briefing tadi mereka semua belum saling kenal satu sama lain sebelumnya. "Oh..." Maka hanya itu yang keluar dari mulutnya. Lagi-lagi Rachel tidak peduli ada hubungan apa antara cowok di depannya ini dengan Feranda.
Randian seketika menggaruk tengkuknya, "Kalau lo mau bareng gue juga boleh kok," tawarnya.
Rachel menaikkan sebelah alisnya. "Hah? Nggak usah, gue dijemput kok." Tolak Rachel halus. Karena tidak enak sejak tadi menjadi lawan bicara pasif, akhirnya Rachel pun bertanya, "Lo sama Feranda udah kenal sebelumnya?"
Randian tampak terkejut mendengar pertanyaan Rachel karena tidak menyangka jika cewek itu akan bertanya padanya. Randian pikir Rachel tidak tertarik untuk bicara dengannya. "Eh, enggak kok, baru kenal pas briefing," jawabnya. Tau kemana maksud pertanyaan Rachel, Randian buru-buru menambahkan. "Dia cuma ngajak nebeng doang karena rumahnya searah sih jadi gue okein, nggak ada maksud modus kok," jelasnya.
Rachel terkekeh mendengar penjelasan Randian yang dianggapnya tidak perlu. "Gue nggak bilang lo modus kok, gue cuma nanya doang," kata Rachel berusaha menahan kekehannya untuk tidak menyinggung.
Tapi rupanya Rachel gagal. Wajah Randian terlanjur merah padam karena malu. "Eh Rachel, by the way gue boleh minta id Line lo nggak?" tanya Randian tiba-tiba. Cowok itu bahkan sudah bersiap mengeluarkan ponsel dari kantung celana jeansnya dengan penuh percaya diri seakan Rachel mau langsung memberikan apa yang dipintanya.
Rachel mengerjap. Tampak berpikir apakah dia perlu memberinya atau tidak. Bukan apa-apa, hanya saja Rachel sama sekali tidak punya ketertarikan untuk berhubungan dengan Randian. Meski pun cowok itu punya wajah super ganteng plus lesung pipi yang menambah kadar kegantengannya. Untuk menjalin pertemanan pun sejujurnya Rachel tidak yakin.
Tapi bukan kah tidak sopan? Lagi pula Randian hanya meminta kontaknya, apa yang salah dari itu? Mungkin suatu saat nanti mereka akan kembali dipertemukan untuk project bersama, siapa yang tau?
"Rachelia--"
"Acel!" Panggilan Dimas yang cukup keras membuat Rachel dan Randian sama-sama menoleh ke arahnya.
Tatapan Randian menggambarkan rasa penasaran sedangkan Rachel malah gugup entah kenapa.
Dimas berjalan mendekati Rachel dan berdiri di antara Rachel serta Randian. "Udah?" tanyanya.
Rachel mengerjap. Tatapannya bergantian teralih pada Dimas dan Randian. "Ehh, iya udah," jawabnya gugup.
Dimas mengangguk, lalu dia melirik ke arah Randian yang tengah menatapnya dan memberikan anggukan singkat yang mewakilkan sapaan.
Randian pun membalas anggukan tersebut sama singkatnya.
Entah bagaimana, Rachel tidak mengerti kalau dibalik anggukan dan tatapan kedua laki-laki itu tersirat sebuah pesan yang hanya dimengerti mereka kaum lelaki. Intinya, Randian langsung pamit undur diri bahkan tanpa menanyakan lagi kontak Rachel yang belum selesai disebutkan gadis itu.
Dimas menatap Rachel datar. "Kenapa? Nggak jadi mau ngasih ID Linenya? Kejar sana." Dimas berkata dengan nada yang sama datarnya. Lalu tanpa menunggu lagi Dimas segera berlalu meninggalkan Rachel yang kebingungan.
Butuh waktu untuk Rachel benar-benar mengerti apa maksud ucapan Dimas. Gadis itu akhirnya memilih mengejar Dimas yang sudah berjalan menuju parkiran motor. Malam itu Dimas membawa motor sport putih milik Gio sahabatnya.
Rachel tersenyum. Bahkan demi menjemputnya Dimas sampai meminjam motor sahabatnya. "Dim," panggil Rachel karena Dimas masih saja diam dan tidak mau menatapnya.
Bahkan ketika menyodorkan helm kepada Rachel, lelaki itu tidak menoleh sama sekali.
Rachel tersenyum kecil. Masa sih Dimas cemburu? Mereka kan tidak benar-benar pacaran? Tetapi sikap cemburu Dimas justru terlihat menggemaskan. Rachel sampai tidak tahan untuk mengusap kepala Dimas.
Dimas menoleh dengan wajah kesal. "Apa sih?" tanyanya ketus. "Emangnya gue anak kecil diusap-usap gitu?" tanyanya lagi.
Rachel mengerjap kaget. Tidak menyangka respon Dimas sampai seperti itu. "Eh, ma--maaf, aku nggak sengaja." Rachel jadi merasa tidak enak dan bersalah. Sepertinya mood Dimas memang sedang jelek dan tidak ada hubungannya dengan cemburu. Rachel menggigit bibir bawahnya. Ngarep lo Cel.
Dimas menghela nafasnya. "Sori," ucapnya seolah tersadar kalau dia sudah kelewatan. "Lagi bete." Akhirnya hanya itu yang bisa Dimas katakan.
Rachel mengangguk paham. Setelah itu dia diam karena tidak mau menambah rasa bete Dimas. Rachel pun mencoba melepaskan kaitan pada helm namun dia tidak bisa karena pengaitnya macet.
Cukup lama Rachel berkutat pada helm tersebut bahkan sampai Dimas sudah menaikkan standar motor dan menyalakan mesin.
"Ayo," kata Dimas sambil memiringkan sedikit motornya agar Rachel mudah naik.
Rachel menatap Dimas. "Ng...ini bukanya gimana ya, Dim?" Rachel mengangkat helm di tangannya dan menunjukkan kepada Dimas.
Dimas berkedip, memandang Rachel tidak percaya kalau membuka helm saja gadis itu tidak bisa. Dimas pun meraih helm itu dan melepaskannya untuk Rachel.
Rachel meringis tidak enak, lalu begitu kaitannya sudah dibuka Dimas gadis itu mengulurkan tangannya untuk meminta helm tersebut, tetapi Dimas justru meraih tangan Rachel dan menariknya mendekat.
Rachel menahan nafas ketika tubuhnya ditarik mendekat ke arah Dimas. Rupanya Dimas ingin memasangkan helm itu di kepalanya.
"Udah. Ayo naik," ucap Dimas setelah helm itu terpasang dengan benar di kepala Rachel.
Rachel baru bisa bernafas normal begitu dirinya mengambil selangkah mundur. Please Acel, lo nggak mungkin selebay itu pas deketan sama cowok!
Setelah naik di boncengan, Rachel kebingungan kemana dia harus berpegangan. Sumpah ini benar-benar pertama kalinya untuk Rachel naik motor.
"Pegangan!" Dimas memerintah sebelum menutup kaca helm full-facednya.
Terpaksa Rachel pun menarik sedikit ujung jaket yang Dimas kenakan, tapi hanya sementara karena begitu motor melaju, Rachel langsung refleks memeluk pinggang Dimas. Rachel takut!
"Dimas!!!" Rachel berseru begitu Dimas menambah kecepatan motornya. "Jangan kenceng-kenceng! Aku takut!" Rachel bahkan tidak berani membuka matanya. Ternyata naik motor semenyeramkan ini.
Dimas tidak menjawab dan terus melakukan motornya tanpa berniat memelankan kecepatan.
Gerimis turun di tengah-tengah perjalanan mereka. Rachel meminta Dimas untuk meneduh tetapi lelaki itu menolak dengan alasan gerimisnya kecil dan dikhawatirkan akan semakin deras jika mereka meneduh.
Ketika sampai di kediaman Rachel, tubuh mereka sedikit lembab karena terkena gerimis tetapi tidak sampai kuyup.
Lagi-lagi Rachel kesulitan melepas helmnya dan Dimas pun harus turun tangan untuk melepaskanya. "Thanks, Dim." Hanya itu yang bisa Rachel katakan. Lagi pula Dimas masih kelihatan bete.
Dimas menghela nafas sambil menaikkan kaca helmnya. "Kamu tau nggak kalau aku bete sama kamu?" tanyanya sambil membukakan kaitan helm Rachel.
Rachel mengerjap dibalik kaca helmnya. "Lah, kok aku?" tanyanya bingung. Bukankah tadi Dimas sudah bete sejak datang menjemputnya? Kenapa sekarang tiba-tiba karena dirinya?
Dimas sudah melepaskan helm putih itu dari kepala Rachel. "Iya. Tapi gara-gara kamu ketakutan pas di motor tadi, bete aku ilang," jawabnya.
What the... Rachel menatap Dimas tidak percaya. Apa yang laki-laki di depannya ini baru saja katakan? "Kok gitu?" tanya Rachel karena tidak tau lagi harus merespon bagaimana. Dia terlalu terkejut.
"Because you're too cute." Dimas langsung mengatupkan mulutnya. Dia sepertinya tidak sadar ketika mengatakan itu. Dimas lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, namun yang dia garuk justru helm karena benda itu masih menutupi kepalanya. Ya Tuhan!
Rachel seketika menutup mulutnya menahan tawa. Dimas baru saja mengatakan bahwa Rachel cute? Padahal menurut Rachel yang cute di sini justru Dimas. Tapi cowok mana yang suka disebut cute? Mereka lebih bangga jika disebut gentleman, kan?
"Aku pulang dulu," ucap Dimas kemudian. Dia benar-benar malu saat ini.
Rachel mengangguk. "Oke, hati-hati di jalan ya." Rachel mengulas senyum. "Dan thanks," ucapnya tulus.
Dimas mengangguk. "Seru nggak naik motor?" tanyanya sebelum beranjak.
Rachel mengangguk. Kalau boleh jujur, bagian paling favorite dari naik motor adalah ketika dirinya bisa memeluk pinggang Dimas dan menyandarkan pipinya di punggun lelaki itu. What the hell, lo mikir apa sih Cel!
"Lain kali naik motor lagi," kata Dimas sambil menyalakan mesin motornya. "Balik dulu, ya." Pamitnya.
Rachel melambaikan tangannya. "Hati-hati!" ucapnya sekali lagi.
Dimas hanya mengangguk lalu menutup kaca helmnya dan melajukan motor itu meninggalkan kediaman Rachel.
Rachel memandangi kepergian Dimas sampai punggun lelaki itu menghilang dari pandangannya. Rachel meringis. Dia benar-benar mulai berharap kepada Dimas.