Dimas baru saja sampai di depan rumah Gio bersamaan dengan si pemilik rumah yang membuka pagar berbalut hoodie dan celana pendek selutut.
"Jodoh kagak kemana!" serunya begitu menyadari kehadiram Dimas yang berniat mengembalikan motornya. Buru-buru dihampirinya sahabat karibnya tersebut dan tanpa babibu Gio langsung nangkring di jok penumpang.
"Lah lo ngapain naik g****k?" tanyanya karena Gio tiba-tiba saja naik ke motor tanpa bilang apa-apa.
Gio memasang cengiran. "Gue kira lo masih lama make motornya, gue mau jalan ke depan beli martabak," jawabnya cengengesan.
Dimas menaikkan kembali standar motor yang sempat ia turunkan. "Yaelah tukang martabak kan deket Yo di depan gapura, ngapain pake motor malah ribet parkirnya." Namun meskipun berkata demikian, Dimas pun mulai menyalakan mesin motor. Lagipula motor itu milik Gio, masa Dimas mau menolak?
"Iye, abis itu langsung ke rumah Nina jadi biar sekalian."
Tidak sampai lima menit, mereka berdua sudah sampai di tukang martabak yang dimaksud. "Jadi ceritanya beli martabak buat Nina?" tanya Dimas begitu Gio turun dari motor agar Dimas bisa memarkirkannya.
Gio menaikkan sebelah alisnya sambil menggeleng dengan wajah angkuh. "Bukan, tapi buat bapaknya." Jawaban Gio membuat lelaki itu mendapat toyoran dari Dimas.
"Tai, serius bege." Dimas turun dari motor Gio setelah motor sport putih tersebut terparkir dengan benar.
Gio berdecak. "Gue juga serius, nyet. Bapaknya baru balik dari Medan, ya gue mau ngapel sekalian PDKT ama calon mertua," katanya dengan bangga.
Dimas terdiam. Lalu kemudian dengan nada meledek Dimas berkata, "Oh, jadi udah seyakin itu nih sama Nina."
Gio mengabaikan ledekan Dimas dan memilih memesankan martabak kepada si penjual yang sudah cukup dikenalnya. Lalu setelah menyebutkan pesanannya, Gio menyusul Dimas duduk di salah satu kursi plastik yang tersedia.
"Gimana lo sama Acel? Udah mau ngaku kalau baper?" tanya Gio balas meledek Dimas.
Dimas yang sedang memainkan ponselnya melirik Gio sinis. "Apasih, gue kagak baper," katanya sambil kembali memainkan ponsel.
Gio mencibir. Lalu matanya melirik iseng ke layar ponsel Dimas yang sedang menunjukkan kolom obrolannya dengan Rachel. Masih mau bilang tidak baper? "Iya kamu coba minum obat ya biar nggak keterusan demamnya," kata Gio membacakan salah satu pesan yang Dimas kirimkan kepada Rachel dan tertangkap pandangannya.
Dimas refleks menutupi layar ponselnya. "Jangan kayak tai deh, Yo," sungut Dimas kesal.
Gio terbahak mendapati reaksi Dimas tersebut. Namun sedetik kemudian ekspresinya berubah serius. "Lo masih mau bilang nggak baper? Sandiwara kalian terlalu real, Dim. Kalau misalnya lo emang nggak baper tapi perlakuin Rachel kayak gitu, sama aja lo PHP," katanya.
Dimas terdiam, mencoba mencerna ucapan Gio.
Gio menepuk pelan bahu Dimas dan membiarkan tangannya bersarang di sana. "Cewek sama cowok tuh dua makhluk yang beda. Baik dari pemikiran sama cara bertindak. Cewek pake hati sembilan puluh persen dan logika sisanya. Sedangkan cowok sebaliknya." Gio diam sejenak sebelum melanjutkan, "Diperlakuin kayak gitu terus-terusan, yang pertama ada di pikirannya dia adalah lo cinta sama dia karena perasaannya lebih dominan. Beda sama lo yang masih bisa mikir kalau ada di posisi dia 'ah yaudah ini kan cuma pura-pura, ngga bakal baper'. Ngerti?" tanya Gio sambil menarik kembali tangannya dari bahu Dimas.
Dimas tidak menjawab. Dia bingung harus memberikan jawaban apa. Karena hal itu memang benar adanya. Dimas sendiri sudah mulai menyadari perasaannya kepada Rachel, tetapi Dimas belum yakin perasaan itu cukup besar untuk dibawa ke dalam sebuah hubungan yang sebenarnya bersama Rachel.
Dimas tersentak ketika merasakan tepukan di bahunya. Ternyata pesanan Gio sudah selesai dibuat. "Yok, jangan bengong. Kalau lo kesurupan di sini entar gue tinggal. Camer gue udah nungguin," kata Gio mencoba membuat Dimas tidak terlalu kepikiran dengan kata-katanya barusan.
Dimas mendengus. Lalu mereka pun melanjutkan perjalanan menuju rumah Nina.
***
Gio menelan ludahnya. Dia sedang dilema untuk memilih menang atau mengalah dalam permainan catur melawan ayahnya Nina. Kalau dia memilih menang, dia takut dianggap sombong dan sok jago oleh ayah pacarnya itu. Sedangkan kalau memilih mengalah, dia juga takut dianggap payah.
Dimas sama sekali tidak membantu. Cowok itu malah sedang asyik nonton pertandingan basket di siaran tv kabel ruang keluarga Nina sambil memakan martabak berdua dengan Nina.
Gio menyesal kenapa juga dia harus membawa Dimas. Dan lagi, yang pacarnya Nina kan dia bukannya Dimas.
"Hey, kau tak mau jalan?" tanya ayah Nina karena Gio kelamaan diam.
Gio mendadak salah tingkah. "Eh anu, om..." Gio menggaruk tengkuknya, jujur saja dia belum menemukan pilihan yang tepat.
"Yah," Nina datang menginterupsi. "Udahan Yah, kasian Gio nanti kemaleman pulangnya," kata Nina dengan wajah datar tanpa melirik ke arah Gio sama sekali. Sejak kedatangan Gio tadi, Nina bahkan sama sekali belum menunjukkan senyumannya. Apalagi ketika melihat kehadiran Dimas!
Ayah Nina yang seorang mantan atlit karateka dan kini menjadi pelatih karateka itu menata wajah putrinya dan laki-laki yang sedang bertanding catur dengannya bergantian. "Hey kau, memang kau diomelin mama kau kalau pulang malam?" tanyanya pada Gio.
Gio menelan ludah untuk entah keberapa kalinya malam itu. "Enggak om, saya udah izin kok." Gio menjawab takut-takut. Padahal ayah Nina tidak galak sama sekali, tetapi aura yang dipancarkan memang mengintimidasi. Mungkin efek karena ketegasannya sebagai seorang pelatih bela diri.
"Tuh, kau dengar lah sendiri. Dia mau selesaikan dulu tanding caturnya baru pulang. Benar begitu?" tanya ayah Nina kepada Gio.
Gio bisa apa lagi selain mengangguk?
Tapi Nina nampak tidak setuju. "Jangan deh, Yah. Ayah juga kan baru pulang tadi sore, ayah harus istirahat." Nina lalu melirik Gio dan melemparkan kode melalui tatapan matanya.
Gio mengerjap dan butuh pelototan dari Nina sampai akhirnya dia mengerti maksud kode dari gadis itu. "Eh om, saya lupa, saya mau nganterin kucing peliharaan saya ke dokter," kata Gio kemudian.
Ayah Nina menatap Gio penuh selidik membuat lelaki itu kembali menelan ludah. Dia khawatir kalau ayah Nina mengetahui alasannya itu hanyalah sebuah kebohongan.
"Kenapa kau tak bilang daritadi? Cepatlah kau pulang dan bawa kucing kau ke dokter, kasihanlah itu!" ucap ayah Nina membuat Gio mengedipkan matanya tidak percaya.
"Bah, lolot kali anak ni. Cepat kau pulang, kasihan kucing kau di rumah sedang kesakitan!" kata ayah Nina lagi karena Gio justru bengong menatapnya. "Sudah lah kita bisa tanding catur lain kali, oke ucok?" Lanjutnya sambil mengangkat tangan mengajak tos.
Gio pun membalas tos tersebut dengan ekspresi yang entahlah. Pencampuran senang dan tidak percaya. Ternyata ayah Nina memang sewelcome itu kepadanya.
Nina mendengus lalu merangkul tangan ayahnya. "Yuk ayah masuk, makan martabak yang dibawain Gio tadi," bujuk Nina kepada sang ayah karena khawatir akan kesehatan ayahnya yang terlalu lama terkena angin malam akibat duduk di beranda sambil tanding catur dengan Gio.
Lalu sebelum ayah Nina masuk ke dalam, Gio pun berpamitan kepada ayah Nina diikuti Dimas yang juga sudah bergabung bersama mereka di beranda.
Gio kira Nina tidak akan keluar lagi dari rumahnya setelah membawa masuk sang ayah. Akan tetapi Gio salah karena ternyata Nina keluar lagi untuk menemuinya yang sedang mengeluarkan motor dari pekarangan rumah Nina. "Nin, kenapa?" tanya Gio sedikit terkejut dengan kemunculan Nina.
Dimas yang mengerti kedua manusia itu butuh ruang akhirnya memilih berjalan keluar lebih dulu dan menunggu di depan pagar.
Nina mengusap lengannya. "Makasih, Yo," ucap Nina tanpa melihat langsung ke mata Gio. Gadis itu tampak malu-malu saat ini membuat Gio gemas setengah mati.
Gio tersenyum. "Makasih buat apa nih? Karena udah bawain martabak atau karena nemenin bokap lo main catur?" tanya Gio menggoda.
Nina masih belum mau menatap langsung wajah Gio. "Semuanya," ucap gadis itu pelan.
Gio tidak kuasa menahan rasa gemasnya lebih lama lagi. Dan tiba-tiba muncul perasaan itu. Perasaan yang membuat Gio mengambil dua langkah ke arah Nina dan mengangkat dagu gadis itu agar mau melihat ke arahnya.
Kedua mata mereka bertatapan dengan pasti dan saling mengunci dengan jarak yang semakin terkikis.
Nina tau apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi entah kenapa dia seolah membiarkannya. Bahkan sampai ketika deruh nafas Gio mulai menyentuh wajahnya, Nina masih diam di tempatnya.
Sampai ketika hidung mereka mulai bersentuhan dan bibir Gio nyaris menyentuh bibir pink Nina, gadis itu menolehkan kepalanya membuat bibir Gio menyentuh pipinya.
Nina menggigit bibir bawahnya. Ternyata dia masih tidak bisa dan entah kapan akan bisa. "Ma--maaf." Lalu setelah meminta maaf, Nina langsung lari meninggalkan Gio yang terpaku di tempatnya dengan pikiran kosong dan rasa malu yang mendera.
Dan untuk kedua kalinya, Gio merasa sakitnya sebuah penolakan. Anehnya, rasa sakit ketika Nina menolak dicium olehnya lebih menyesakkan daripada penolakan cinta Tara setahun yang lalu.
***
Rachel menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan berkunang. Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi saat Rachel terbangun karena merasa menggigil padahal pendingin ruangan di kamarnya sudah dia setel dengan suhu paling tinggi. Padahal saat ini Rachel sudah menggunakan sweatshirt tebal lengkap dengan celana panjang dan sepasang kaos kaki. Jangan lupakan bedcover yang kini membungkusnya.
Padahal Rachel sudah minum paracetamol sebelum tidur tadi ketika merasakan tubuhnya mulai naik sepulangnya dari pemotretan tadi. Tetapi Rachel tetap terserang demam yang kini disertai influenza.
Alasan lain kenapa Rachel tidak pernah naik motor sejak dulu adalah karena dirinya yang sensitive dengan air hujan. Dan motor sangat memungkinkan pengendaranya untuk kehujanan. Lagipula sejak kecil keluarga Rachel selalu berada dalam keadaan berkecukupan, sehingga sejak kecil Rachel sudah terbiasa naik turun mobil tanpa pernah mengicip bagaimana rasanya naik motor.
Semalam adalah pengalaman pertama Rachel naik motor dan dirinya kehujanan. Padahal itu hanya gerimis kecil tetapi efeknya sebesar itu akan kesehatannya.
Bukan berarti Rachel memiliki kondisi fisik yang lemah, tetapi dirinya memang sangat sensitive dengan air hujan bahkan sejak kecil. Bisa dibilang Rachel alergi air hujan.
Untungnya demam dan influenza Rachel itu hanya akan menyerangnya selama sehari jika imunitas Rachel cukup baik. Dan untungnya hari ini masih hari Minggu. Rachel tidak perlu ketinggalan pelajaran hanya karena alergi anehnya.
Hal lain yang paling tidak menyenangkan dari demam selain menggigil dengan suhu tubuh tinggi, Rachel juga tidak bisa tidur atau makan. Dan dua hal itu adalah hal yang paling dibutuhkan Rachel saat ini.
Rachel lapar, tetapi mulutnya terlalu pahit untuk menerima makanan. Rachel mengantuk, tetapi dirinya tidak bisa terlelap sama sekali.
Rachel mencoba menggapai sebungkus roti coklat yang diletakkan ibunya di atas nakas. Siapa tau saat ini rasa pahit di mulutnya sudah sedikit berkurang. Sambil menikmati rotinya dengan posisi bersandar di tumpukan bantal, Rachel memainkan ponselnya, mengecek berbagai sosial media yang gadis itu miliki.
Kegiatan gadis itu scrolling timeline i********: terhenti ketika melihat postingan terbaru Daisy.
daisydominique I said stop taking my pictures then he pulled me and took this. Cute enough✌️
2.478 likes
560 comments
@naylashb couple tergemaaaay 2k16
@zahilashrt kasih satu yang kayak kak Bryan plis...
@antidaisyjablay ewh! Jauh2 lo dari kak Bryan. He is mine!
Rachel diam cukup lama memandangi foto tersebut. Jujur, hatinya masih merasakan nyeri tiap kali melihat kebersamaan Bryan dan Daisy. Tetapi rasa nyeri itu lebih kepada rasa yang ditimbulkan akibat perasaan iri yang Rachel rasakan.
Dia bukan iri karena Daisy memiliki Bryan. Tetapi Rachel iri karena Bryan bisa tampak baik-baik saja dan bahagia sedangkan Rachel harus berjuang sendirian menangani luka hatinya.
Rachel berjuang untuk tidak menjadi PHO diantara Bryan dan Daisy dengan cara bersandiwara dengan Dimas.
Rachel tidak hanya melibatkan harga diri dan perasaannya dalam perjuangannya itu melainkan juga dia ikut melibatkan Dimas yang notabennya hanya orang lain dalam hubungan mereka.
Tiba-tiba sebuah pesan chat masuk membuat Rachel langsung beralih dari aplikasi i********: ke Line.
Adimas Nugraha: Cel masa aku mimpi
Adimas Nugraha: aku lagi naik pesawat terus pesawatnya jatoh di pulau gitu, dari semua penumpang cuma aku yang selamat trs ternyata pulau itu isinya minion tapi horornya minionya pas nengok mukanya muka bu Endang terus dia ngomong "pake topi dan dasimu Adimas!" Horor njir.
Rachel terbahak membaca chat absurd Dimas tersebut. Chat Dimas benar-benar berhasil merubah suasana hatinya yang sempat tidak baik karena melihat foto Daisy dan Bryan.
Belum sempat Rachel membalas, sebuah pesan dari Dimas kembali masuk.
Adimas Nugraha: lah diread? Cel kamu belum tidur? Kebangun karna chat aku?
Rachel pun dengan segera membalas. Setidaknya untuk mengetik di ponsel Rachel masih punya tenaga.
Rachelia Audina: wkwkwkkw terus kamu dihukum dong sama bu Endang karna gapake topi sama dasi?
Rachelia Audina: wkwk engga kok, aku gabisa tidur aja
Adimas Nugraha:
Adimas Nugraha: demamnya gimana? Masih?
Rachelia Audina: masih nih makanya gabisa tidur padahal matanya berat parah
Rachelia Audina: kamu tidur lagi deh Dim lanjut ngobrol sama bu Endang versi minion wkwk
Adimas Nugraha: gak lucu cel.
Adimas Nugraha: kenapa ngga ke dokter sih? Aku bilang juga tadi apa sebelum parah mending langsung ke dokter
Rachelia Audina: gapapa Dim, besok juga sembuh
Rachelia Audina: apalagi kalo kamu kesini besok bawain fire wings recheese factory yg level lima
Rachelia Audina: wkwkwk canda denggg
Adimas Nugraha: iya besok aku kesana
Adimas Nugraha: aku bawain puyer tapi bukannya recheese
Adimas Nugraha: udah tau sakit malah mau makan pedes. Pengen nambah sakitnya demam+influenza+diare hah?
Rachel tidak tahan untuk tidak tersenyum. Bahkan nyeri di kepalanya jadi tidak begitu terasa lagi karena asyik berbalas pesan dengan Dimas. Apalagi menikmati bagaimana cara Dimas memberikan perhatian kepadanya.
Rachel sedang mengetikkan balasan ketika sebuah pesan dari Dimas kembali masuk. Tapi kali ini pesan tersebut berhasil membuat jempol Rachel yang sedang mengetik mendadak berhenti.
Dahi Rachel mengernyit. Lalu dihapusnya pesan yang sedang ia ketik tadi dan Rachel hanya diam memandangi pesan masuk semenit yang lalu itu. Sampai akhirnya pesan susulan kembali masuk.
Adimas Nugraha: iya gapapa Vir
Adimas Nugraha: eh sori salah kirim
Seketika sebelah tangan Rachel terkepal. Jadi sejak tadi Dimas tidak hanya sedang chatting dengannya melainkan dengan Savira juga.
Rachel tersenyum miris. Ternyata sampai kapan pun Dimas tidak pernah bisa melupakan perasaannya kepada Savira.
Cel, lo nggak berhak kecewa. Salah lo yang baperan. Seharusnya dari awal lo tau, kalau hubungan ini cuma sandiwara. Mungkin perhatian Dimas buat lo juga cuma bagian dari sandiwaranya.
Rachel melempar asal ponselnya ke entah sebelah mana bagian tempat tidurnya dan memilih memaksakan diri untuk memejamkan mata. Rachel butuh tidur.
Ah, Rachel butuh apa pun untuk menghilangkan perasaan sakitnya saat ini. Bukan sakit demam atau pun influezanya. Tetapi sakit di dalam hatinya.