Seharusnya Rachel sudah merasa lebih baik ketika bangun di siang harinya. Tetapi ketika terbangun, yang Rachel rasakan justru sakit kepalanya semakin bertambah sampai rasanya penglihatan Rachel berputar-putar.
Rachel memaksakan dirinya untuk bangun karena ingin menggapai gelas di atas nakas. Tetapi ternyata pening di kepala Rachel menghambat gadis itu untuk bergerak terlalu banyak. Terpaksa Rachel berteriak memanggil siapa pun yang bisa dia mintai tolong.
Tapi sekeras-kerasnya suara orang sakit, tentu berbeda dengan orang yang sehat. Alhasil suara Rachel tidak terdengar oleh siapa pun di luar kamarnya.
Rasanya Rachel frustasi. Dia benci menjadi lemah hanya karena hal sepele. Sekali lagi Rachel memaksakan diri untuk duduk, tetapi dia tidak sanggup karena pening di kepalanya justru semakin bertambah. Rachel pun akhirnya mulai menangis karena merasa kesal dengan dirinya sendiri. Rachel benci menjadi lemah.
Pintu kamar Rachel terbuka menampilkan Anita yang tidak lain adalah ibu kandung Rachel yang terlihat sudah berpakaian rapi menenteng nampan berisi makanan. Wanita itu mendekati ranjang putrinya dengan panik ketika mendengar suara isakan sang putri.
Rachel berusaha menutupi wajahnya dengan menarik selimut sampai kepala. Rachel paling malu jika ketahuan sedang menangis sejak kecil. Meski pun di depan ibu kandungnya.
"Ya ampun, Acel, kenapa sayang?" Anita meletakkan nampan di atas nakas dan dengan segera berusaha mengecek keadaan Rachel. Namun Rachel menahan selimut yang menutupi wajahnya itu dengan erat.
Rachel akhirnya menyerah dan membiarkan Anita menarik selimutnya sehingga memperlihatkan wajahnya yang sedang menangis. Toh itu hanya ibunya dan bukan orang lain.
Yang Rachel tidak tau adalah Anita datang ke kamarnya tidak sendirian melainkan bersama Dimas yang sudah datang sejak tadi dan menunggu Rachel bangun dari tidurnya.
Anita memutuskan untuk membangunkan Rachel sekaligus menyuruhnya makan dan minum obat karena hari sudah siang. Tidak baik juga orang sakit terlalu banyak tidur. Dan Anita juga mengajak Dimas sekalian karena anak lelaki itu sudah menunggui sekitar dua jam.
"Acel mau apa?" tanya Anita lembut sambil membelai lembut kepala anaknya. Lalu beliau beralih menyingkap rambut yang menutupi dahi Rachel yang berkeringat. "Kok nangis? Sakitnya makin parah? Kita ke dokter aja, ya?" tanya Anita lembut dan penuh perhatian.
Rachel menggeleng lemah. "Haus, Ma," ucapnya pelan.
Anita segera mengambilkan air yang diinginkan anaknya. Lalu Anita membantu Rachel untuk bangun dan meminum airnya.
Sesaat setelah Rachel berhasil menandaskan setengah dari isi gelas, saat itu juga Rachel menangkap sosok Dimas sedang berdiri canggung di dekat kaki ranjang.
Rachel mengerjapkan matanya beberapa kali, mengira kalau sosok itu kemungkinan besar hanya halusinasinya. Tetapi nyatanya sosok itu tidak kunjung menghilang dan Rachel sadar kalau sosok itu benar-benar Dimas. Refleks Rachel langsung kembali menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Dia malu!
Anita yang sadar sikap Rachel mendadak berubah karena menyadari kehadiran Dimas tersenyum kecil. Diusapnya lembut kepala anaknya itu. "Acel makan dulu, yuk?" Bujuk sang Mama. "Abis itu minum obat biar enakkan." Lanjutnya.
Rachel tidak menjawab dan masih tetap diam dibawah selimut.
"Cel, Mama harus berangkat ke Lampung dua jam lagi. Mama nggak tenang kalau Acel masih sakit. Atau mau ke dokter aja?" tanyanya.
Meski pun tidak kelihatan, Anita tau Rachel menggeleng dibalik selimutnya.
Anita lalu melirik Dimas yang masih saja berdiri dengan kaku memperhatikannya dan Rachel. "Dimas duduk aja, nggak usah canggung," ucapnya.
Dimas mengusap tengkuknya canggung. "Eh,i--iya tante." Lalu Dimas berjalan menuju sofa yang terdapat di dekat jendela.
"Cel, ada Dimas tuh... Masa kamu nggak mau nemuin? Dia udah di sini dari jam sepuluh loh," ucap Anita dengan suara lebih pelan. Meskipun begitu, Dimas tentu saja masih dapat mendengar suara wanita itu.
Akhirnya setelah berbagai perdebatan, Rachel setuju untuk makan dan minum obat dengan dibantu sang Mama. Tapi ditengah acara makannya, Anita mendapat panggilan yang mengharuskannya berangkat ke bandara saat itu juga.
Karena merasa tidak enak sudah menahan Mamanya terlalu lama, Rachel pun mengatakan kalau dia tidak masalah jika ditinggal dan sanggup melanjutkan makannya sendiri. "Mama pergi aja, nggak apa-apa," katanya lemah.
Anita menatap tidak enak ke arah Rachel. Suaminya sudah meninggal lima tahun yang lalu, sejak saat itu dirinya menjadi kepala keluarga yang mencari nafkah selaligus ibu di rumah. Untungnya karir Anita termasuk cukup cemerlang sehingga dirinya dan Rachel tidak pernah merasa kesusahan meski pun tanpa sosok suami dan ayah. Keluarga besar mereka pun termasuk cukup berada. Belum lagi Rachel yang sudah bisa mencari uang sendiri dari hasil menjadi model. Hanya saja sosok ayah dan suami rupanya bukan untuk sekedar urusan finansial saja. Keluarga mereka juga membutuhkan sosok pelindung dan imam. Jika suaminya masih ada, maka Anita tidak harus kebingungan untuk meninggalkan Rachel yang sedang sakit karena tuntutan pekerjaannya. Apalagi di hari weekend.
Rachel tersenyum lemah sambil menyentuh lengan Mamanya. "Ma, serius kok. Aku pasti enakan sebentar lagi, Mama nggak perlu khawatir," katanya berusaha menenangkan sang Mama.
Akhirnya setelah berpikir, Anita pun memutuskan untuk pergi setelah menitipkan urusan rumah kepada dua asisten rumah tangga yang salah satunya sudah bekerja di sana sejak Rachel berusia tiga tahun. Anita juga tidak lupa meminta penjagaan lebih ketat dari satpam dan supir yang bekerja di rumahnya, hal yang ia lakukan tiap kali harus meninggalkan Rachel sendirian di rumah. Biasanya kesempatan seperti itu Rachel gunakan untuk pergi ke club dan berpesta bersama teman-temannya sampai pagi.
Terakhir Anita berpamitan kepada Dimas dan meminta tolong untuk ikut membantu menjaga Rachel sebisanya.
Sepergian Anita, suasana di dalam kamar Rachel mendadak canggung. Terlebih, ini pertama kalinya Dimas masuk ke kamar Rachel. Dimas hanya pernah sampai ke ruang makan, belum pernah sampai ke kamar.
Melihat Rachel yang masih nampak pucat dan lemah, Dimas berinisiatif mendekati ranjangnya. "Kamu beneran bisa makan sendiri? Apa mau minta tolong Mbok buat suapin?" tanya Dimas karena tidak tega melihat Rachel berusaha makan sendiri dengan tenaga yang hampir tidak ada.
Rachel menggeleng. "Nggak, aku bisa sendiri." Seperti yang dibilang, Rachel tidak suka menjadi lemah. Apalagi di depan orang lain.
Akhirnya Dimas pun membiarkan Rachel makan meski pun dengan durasi yang cukup lambat. Bukannya Dimas tidak mau membantu menyuapi Rachel, hanya saja Dimas merasa hal itu terlalu jauh untuk dilakukan. Seperti kata Gio kemarin, Rachel bisa saja sudah mulai berharap padanya. Dan Dimas sendiri belum yakin dengan perasannya terhadap Rachel. Maka Dimas tidak mau berbuat terlalu jauh lagi.
Selesai makan, Rachel pun menelan obat demam lalu kembali merebahkan tubuhnya. Lalu percakapannya dengan Dimas dini hari tadi kembali membayanginya. Hati Rachel rasanya ngilu lagi.
"Cel," Dimas memanggil karena Rachel mendadak diam. "Kamu masih pusing banget?" tanyanya dengan nada khawatir.
Rachel tidak menjawab dan hanya menatap Dimas dalam diam membuat laki-laki itu bingung. Akhirnya Rachel menghela nafas pelan, berusaha melupakan kejadian tersebut. Lagipula dirinya sama sekali tidak punya hak untuk marah. Rachel sadar diri kalau dia hanyalah pacar pura-puranya Dimas.
"Cel, kamu ke--"
"Aku mau tidur, Dim." Ucapan Dimas terputus oleh kalimat Rachel. Gadis itu menarik selimut sampai ke leher dan memejamkan mata. Padahal sebenarnya dia tidak merasakan kantuk sama sekali. Rachel berharap Dimas akan pergi karenanya.
Tapi nyatanya Dimas tidak merasa kata-kata Rachel barusan merupakan usiran halus untuknya. Dimas hanya mengangguk mengerti dan melipir ke sofa yang didudukinya tadi saat masih ada Anita.
Rachel mengintip dan merutuk saat masih menyadari kehadiran Dimas di kamarnya. Sebenarnya apa mau laki-laki itu? Kalau memang dia hanya berpura-pura dengan Rachel, seharusnya Dimas tidak perlu sampai sejauh ini. Sama sekali tidak perlu.
Rachel menghela napas pasrah. Sepertinya dia tidak bisa berpura-pura tidur dan membiarkan Dimas duduk sendirian. Akhirnya Rachel memutuskan untuk bersikap seperti biasanya saja. "Dimas," panggilnya membuat Dimas yang sedang memainkan ponsel sontak menoleh.
Dimas buru-buru mendekati Rachel, menanyakan apa gadis itu membutuhkan sesuatu atau apa.
"Aku bosen, nggak bisa tidur," ucap Rachel dengan nada sedikit merengek. Hal itu membuat Dimas diam-diam menghela napas lega. Rachel sudah bersikap seperti biasa lagi, tidak mengacuhkannya. Karna jujur saja Dimas khawatir akan respon Rachel terhadap chat terakhirnya tadi pagi.
Dimas nampak berpikir. "Kamu mau apa? Mau nonton?" tanya Dimas. Well, menonton biasanya menjadi pilihan terbaik untuk mengusir bosan.
Rachel mengangguk nyaris tanpa berpikir lebih dulu. Lalu dia menunjuk laptop yang tergeletak di atas meja belajarnya.
Dimas pun segera meraih benda persegi itu dan membawanya ke atas tempat tidur. Dimas lalu membantu menyusun bantal agar Rachel bisa setengah duduk dan bersandar. Lalu Dimas mencarikan film yang menurutnya tidak akan membuat Rachel bosan, lalu setelah semua siap Dimas pun berniat menarik kursi ke samping tempat tidur Rachel untuk menonton sampai akhirnya Rachel meminta Dimas untuk duduk di sebelahnya, di atas kasur.
Dimas memang sempat berpikir demikian, tetapi dia ragu karena rasanya pasti akan sangat canggung. Meski pun mereka sudah bersama untuk waktu yang cukup lama. Tetapi tetap saja.
Dimas bergeser mendekati Rachel agar bisa melihat ke layar laptop yang diletakkan di tumpukkan bantal. Namun Dimas masih memberikan jarak di antara mereka tentunya. Untuk beberapa jam ke depan, mereka berdua larut dalam film yang ditonton.
Rachel terkekeh saat melihat mata Dimas berkaca-kaca saat film yang mereka tonton mencapi endingnya. Memang berakhir sad ending tetapi lucu saat melihat Dimas nampak terhanyut sampai sebegitunya.
Dimas melirik kesal ke arah Rachel yang kini terang-terangan menertawakannya. Lalu tangannya terulur mencubit pipi gadis itu membuat tawa Rachel berhenti dan berganti ringisan. "Nggak lucu!" Omelnya kesal.
Rachel hanya meringis sebentar sebelum melanjutkan tawanya lagi. Dimas nampak sangat mengemaskan saat ini!
Melihat tawa Rachel sama sekali tidak mereda, Dimas kembali menarik pipinya. "Acel, nggak lucu." Sepertinya harga dirinya sebagai lelaki tersentil.
Tapi hal itu malah membuat Dimas nampak menggemaskan.
"Aduh duh, Dim, kamu tega banget aniaya orang sakit!" Rachel meringis karena cubitan Dimas naik intesitasnya. "Ampun, ampun!" ucapnya memohon.
Dimas mendengus lalu melepaskan cubitannya. "Ketawa lagi coba, nanti aku gigit," ujar Dimas tajam.
Terang saja Rachel menganggapnya bercandaan membuat gadis itu justru kembali tertawa.
Sayangnya Dimas tidak main-main. Melihat hal itu, Dimas lantas menarik tangan Rachel dan menggigit kecil di sana. Hal yang tidak pernah Dimas lakukan kepada gadis lain selain kakak perempuannya. Hal itu biasanya Dimas lakukan kepada kakaknya saat mereka berdebat dan Dimas sudah mencapai titik puncak kekesalannya namun tidak bisa melampiaskannya dengan tinjuan. Mana mungkin Dimas meninju kakak perempuannya? Alhasil Dimas menggigit kakaknya. Ya meskipun tidak keras.
Rachel refleks berteriak kaget merasakan gigitan Dimas di tangannya. Tidak menyangka Dimas serius akan menggigitnya. Namun Rachel tidak merasa tindakan tersebut merupakan sebuah tindak kekerasan. Rachel justru merasa kalau perlakuan itu dilakukan Dimas karena merasa sudah sangat dekat dengannya.
Dimas melepas gigitan ringannya pada tangan Rachel lalu mengusap bekasnya. "Jangan main-main makanya," kata Dimas sedikit merasa bersalah. "Orang lagi serius." Lanjutnya.
Rachel meneguk ludahnya. Masih setengah kaget dengan apa yang terjadi. Sial, jantungnya berdegup lagi.
Rachel membuka mulutnya untuk bicara namun dering ponsel Dimas lebih dulu memutusnya. Rachel pun membiarkan Dimas mengangkat panggilan tersebut.
Rachel tidak begitu mendengarkan percakapan Dimas dan justru sibuk memperhatikan kulit di pergelangannya yang sedikit memerah akibat gigitan Dimas. Sampai-sampai Rachel tidak sadar kalau Dimas sudah selesai menelpon.
"Cel," panggil Dimas membuyarkan lamunan Rachel.
Rachel mengerjap sambil menatap Dimas salah tingkah. "Hm? Kenapa?" tanyanya.
Dimas mengusap pangkal hidungnya. "Aku harus pergi, ada urusan," jawab Dimas.
Rachel tentu saja akan mengizinkan. Lagi pula Rachel sudah merasa lebih baik sekarang. Tetapi ekspresi Dimas saat ini menggambarkan perasaan tidak enak yang membuat Rachel jadi bertanya-tanya urusan apa yang membuat Dimas harus pergi saat ini juga.
Rachel menatap Dimas. "Salah nggak kalau aku nanya ada urusan apa?" tanya Rachel jujur.
Dimas tau Rachel akan bertanya pada akhirnya. Pasti karena ekspresi yang dia tunjukkan menunjukkan jelas rasa bersalah di sana. Dimas menggeleng. "Nggak, nggak salah sama sekali." Lelaki itu balas menatap Rachel. Entah kenapa Dimas merasa jawabannya nanti akan membuat Rachel merasa tidak baik. Tapi kalau memang benar begitu, berarti apa yang Gio katakan kemarin malam benar adanya. Kalau Rachel telah terbawa perasaan dalam hubungan ini.
"Aku ada janji sama Savira." Akhirnya Dimas pun menjawab jujur. Dan untuk pertama kalinya Dimas merasa bersalah ketika ingin pergi dengan Savira.
Di awal hubungan bohongannya dengan Rachel, Dimas masih sering membicarakan Savira dengab Rachel. Gadis itu sama sekali tidak terlihat merasa keberatan dan sesekali memberi komentar. Gadis itu juga menyarankan Dimas untuk tetap menjadikan Savira teman baiknya karena siapa tau ketika hubungan pura-pura mereka berakhir, Dimas bisa mengejar Savira lagi.
Tapi Dimas merasa sebulan belakangan ini topik Savira sudah sangat jarang dibahas. Bahkan bisa dibilang saat bersama Rachel, Dimas sudah tidak lagi memikirkan Savira. Dan entah kenapa Dimas juga merasa Rachel jauh lebih senang jika topik tentang Savira tidak dibahas.
Hening mendera keduanya, membuat Dimas semakin merasa bersalah melihat raut wajah Rachel yang berubah tidak nyaman. Terlebih saat Rachel memilih memutus kontak mata mereka dan mengalihkan wajahnya dari Dimas. "Yaudah." Jawaban ketus gadis itu pun seolah memperjelas semuanya.
Dimas mengusap tengkuknya. Perasaan bersalah menyelubungi Dimas. "Cel, kamu marah ya?" Pertanyaan bodoh. Untuk apa lagi ditanya, berharap Rachel menjawabnya?
"Nggak," sahut Rachel cepat. Dan tanpa Dimas sangka, Rachel menambahkan. "Buat apa marah, nggak ada hak juga."
Dan entah kenapa Dimas merasa terganggu mendengarnya. Seolah Dimas ingin Rachel mempunyai hak terhadapnya begitu pun sebaliknya. Mikir apa sih lo, Dim? Dimas membatin.
Namun hal yang tidak Dimas sangka terjadi. Rachel meremas ujung jaket yang Dimas kenakan, namun anehnya wajah gadis itu masih tidak menoleh ke arahnya. Terlebih saat Rachel malah mengatakan, "Sana pergi, katanya mau pergi!" dengan tangan yang masih mencengkram ujung jaketnya.
Dimas terdiam menatap tangan Rachel yang mencengkram ujung jaketnya seolah menahan Dimas untuk tetap di sana berlawanan dengan yang dikatakannya.
Dimas merasakan ponsel di genggamannya bergetar, Dimas melirik dan menemukan notifikasi Line dari Savira yang mengatakan dirinya telah siap untuk dijemput.
Dimas kembali menaruh perhatiannya kepasa Rachel yang masih membuang muka darinya dan tangannya yang bertengger di ujung jaket Dimas. Damn, Dimas benar-benar dilema. Untuk pertama kalinya Dimas kesulitan memilih antara Savira dan orang lain.
Dulu, saat hubungannya dan Savira masih baik-baik saja dan Rachel belum masuk ke dalam hidupnya, Dimas selalu memprioritaskan Savira di urutan kedua setelah keluarganya. Bahkan Gio sekali pun.
Tapi saat ini Dimas justru ragu untuk lebih memilih Savira daripada Rachel. Dan hal ini jelas sebagai sebuah petunjuk besar soal perasaannya yang mulai bergeser kepada Rachel.
Ponsel Dimas kembali bergetar, Savira kembali mengirimkan chat yang menanyakan keberadaan Dimas karena lelaki itu tidak kunjung sampai.
Dimas mengepalkan tangannya lalu perlahan melepaskan cengkraman Rachel di jaketnya. "Maaf Cel, maaf aku harus pergi." Lalu setelah itu Dimas melayangkan sebuah kecupan ringan di puncak kepala Rachel sebelum beranjak pergi meninggalkan Rachel sendirian dengan hati yang hancur berantakan.