Rachel menutupi wajahnya dengan tangan. Pertahanannya runtuh saat itu juga. Bagaimana bisa Dimas meninggalkan kecupan tetapi tetap memilih untuk meninggalkannya? Bermaksud menghibur kah? Tapi sumpah, Rachel tidak terhibur sama sekali.
Rachel tercekat tangisnya sendiri. Jika sebelumnya Rachel menangis dalam diam dan isakan kecil, saat ini Rachel mengeluarkan semuanya. Baik air mata sampai isakan yang cukup kencang.
Rachel bahkan tidak peduli kalau salah satu pekerja di rumahnya mendengar tangisan Rachel dan melihat keadaan gadis itu saat ini. Demi Tuhan Rachel tidak peduli.
Pintu menjeblak terbuka dan Rachel benar-benar tidak peduli pada siapa pun yang kini memasuki kamarnya.
Rachel baru berhenti menangis saat kedua tangan yang dipakai untuk menutupi wajahnya ditarik. Dan Rachel tercengang setengah mati saat melihat orang itu ternyata Dimas!
Rachel masih tergugu. Tidak mampu bicara atau sekedar bertanya kenapa Dimas kembali lagi.
Rachel memejamkan matanya saat merasakan Dimas menghapus pelan air matanya dengan ibu jari. Rachel sangat menikmati perlakuan Dimas tersebut seolah lupa kalau tangisan dan rasa sakit yang kini dirasakannya berasal dari orang yang sama.
Keduanya pun terus seperti itu sampai isakan Rachel akhirnya mereda dengan sendirinya. Setelah yakin Rachel sudah lebih tenang, Dimas pun bersuara. "Maafin aku, Cel."
Rachel memberanikan diri menatap Dimas. Kini perasaan malu mulai menginvasi dirinya. Bisa-bisanya dia membiarkan Dimas melihatnya menangisi laki-laki itu!
Rachel tidak menjawab dan memilih bungkam. Tapi rasa penasaran Rachel tidak bisa dibendung. Apa lagi saat Dimas justru membuka jaket yang dikenakannya dan menyampirkan benda itu di kursi belajar Rachel.
"Kamu bukannya mau pergi?" tanya Rachel tidak sanggup menutupi rasa penasarannya lagi.
Dimas menatap Rachel sambil menarik kursi tersebut ke dekat tempat tidur Rachel sebelum mendudukinya. "Aku mau duduk," jawabnya kalem.
Rachel masih melayangkan tatapan anehnya kepada Dimas. "Kamu bukannya mau pergi sama Savira?" tanya Rachel lagi karena tidak puas dengan jawaban Dimas.
Dimas menatap Rachel sejenak sebelum akhirnya menggeleng. "Nggak, aku udah minta tolong orang lain buat nganterin dia." Jawaban Dimas tentu saja membuat Rachel tercengang.
Bukankah itu berarti Dimas lebih memilihnya daripada Savira? Rachel menggeleng cepat. Tidak mungkin, pasti karena Rachel sedang sakit bukan karena Dimas memiki perasaan terhadapnya. Atau mungkin karena Rachel tadi sempat menahan Dimas dan laki-laki itu jadi tidak enak. Bisa saja.
Dimas menatap Rachel seolah mengerti apa yang ada di pikiran gadis itu. "Aku yang mau. Bukan karena kamu yang minta. Tanpa kamu minta, aku juga pasti akan tetap di sini." Dimas diam sejenak sebelum melanjutkan. "Aku emang ngerasa nggak enak sama Savira ydah batalin janji, tapi aku tau saat ini kamu lebih butuh aku."
Rachel sudah akan mendebat tetapi Dimas menggeleng dan memberi isyarat kalau tidak ada yang perlu didiskusikan lagi. Keputusan sudah ditetapkan dan Rachel tidak perlu bertanya-tanya lagi.
Rachel kini percaya, seseorang bisa menjadi alasan untuk orang lain tersenyum sekaligus alasan untuk menangis di saat yang sama. Dimas buktinya.
***
Rachel sedang menyantap makanannya begitu pun dengan Dimas saat ponsel milik laki-laki itu berdering.
Rachel terus melakukan kegiatannya sambil melirik Dimas yang sedikit melipir untuk menerima panggilan. Rachel tidak lagi kecewa jika bahkan yang menghubungi Dimas saat ini adalah Savira sekali pun. Toh Dimas sudah menyatakan bahwa dia memilih Rachel. Walau pun Rachel belum mendengar sendiri kalau alasan Dimas memilih Rachel adalah karena dia memiliki rasa untuknya. Tidak masalah.
Ekspresi wajah Dimas seketika berubah panik membuat Rachel pun menghentikan acara makannya dan menatap Dimas khawatir. Sesuatu pasti terjadi.
Panggilan Dimas dan entah siapa itu terputus. Laki-laki itu mengacak rambutnya dengan wajah putus asa. Lalu dengan cepat Dimas menyambar jaket di kursinya. "Cel, aku harus pergi. Maaf, kamu nggak apa-apa kalau aku tinggal?" tanyanya.
Rachel diam. Entah kenapa Rachel merasa pertanyaan Dimas kali ini memang hanya basa-basi. Bahkan jika Rachel mengatakan dia bermasalah jika Dimas meninggalkannya saat ini, Dimas akan tetap pergi.
"Kalau aku bilang aku kenapa-kenapa kalau kamu tinggal, kamu bakal tetap di sini?" Ya. Rachel pun menyatakan apa yang ada di pikirannya. Tanpa ditutupi.
Dimas diam. "Maaf, Cel. Aku bener-bener harus pergi sekarang." Dimas berwajah serius saat ini. Laki-laki itu sama sekali tidak terlihat sedang memilih. Pilihannya sudah diputuskan dan jelas tercetak di wajahnya.
Rachel menggeleng. "Kamu bilang kamu tetap bakal di sini meski pun aku nggak nahan kamu?" tanyanya getir. "Kamu mau ke mana? Kasih tau aku alasannya."
Dimas menghela napas. "Rumah sakit. Savira hampir jadi korban pemerkosaan di angkot, dia selamat karena dia lompat keluar pintu." Dimas mengatakan hal itu dengan ekspresi mengeras. Bahkan tangannya mengepal menahan emosi. Dimas tidak bisa membayangkan Savira mengalami hal mengerikan semacam itu. Tidak!
"Maaf. Aku bakal panggil Mbok buat nemenin kamu. Aku harus per-"
"Aku ikut!" Rachel memutus ucapan Dimas. Gadis itu buru-buru bangkit dari tempat tidur untuk mengikuti Dimas ke rumah sakit.
Dimas memasang ekspresi tidak setuju. "Enggak, kamu belum sehat." Dimas tidak setuju. Apalagi saat ini sudah malam. Tidak baik bagi Rachel yang masih lemah.
Rachel menggeleng. "Enggak, aku udah enakkan. Please Dim, aku mau ikut. Kamu juga lagi nggak stabil, kamu lagi emosi."
Rachel benar. Dimas sedang tidak stabil. Dia kalut dan emosi. Perpaduan yang sangat pas untuk Dimas bisa melakukan hal bodoh.
Akhirnya Dimas pun setuju dengan syarat mereka harus naik mobil. Entah mobil Rachel atau pun taksi. Mereka pun memutuskan untuk naik mobil Rachel diantar supir. Karena Rachel dan Dimas sama-sama sedang tidak dalam kondisi baik untuk membawa mobil.
Mereka sampai di rumah sakit tempat Savira dirawat dalam waktu setengah jam. Sesampainya di sana, Dimas bahkan tidak menggubris Rachel sama sekali dan fokus mencari ruangan Savira. Laki-laki itu sudah akan berlari menuju lift kalau saja Rachel tidak berusaha mencegahnya.
"Dimas!" Bentak Rachel karena Dimas tidak mampu mengendalikan dirinya. Lelaki itu seperti tersesat, tidak tau harus apa dan bagaimana.
Rachel merasakan perasaan ngilu. Jujur saja, dia cemburu melihat bagaimana cemasnya Dimas dan kacaunya laki-laki itu karena sesuatu terjadi pada Savira. Tapi di saat seperti ini, bukan kah Rachel tidak berhak cemburu? Biar bagaimana pun Savira merupakan orang yang cukup penting untuk Dimas. Tidak semudah itu baginya bisa menghilangkan bayang-bayang Savira dalam hidup Dimas.
Rachel membimbing Dimas ke bagian administrasi dan menanyakan kamar pasien bernama Savira. Lalu setelah mendapat informasi, dengan sabar Rachel menggandeng Dimas menuju lift. Padahal dirinya sendiri sedang dalam kondisi tidak sehat dan masih lemah saat ini, tetapi akal sehar Rachel masih bisa berguna setidaknya.
"Kamu tenangin diri, jangan mikirin hal negatif terus karena otak kamu malah tersugesti jadinya." Rachel menyarankan. Diusapnya lembut lengan Dimas. "Everything's gonna be alright."
Dimas tidak menjawab, karena dia tau tidak ada yang beres dalam kejadian ini. Gara-gara Dimas tidak menepati janjinya, semua ini jadi menimpa Savira.
Begitu sampai di lantai lima, Dimas langsung berlari keluar dari lift. Dari kejauhan, dia bisa melihat ada Gio dan Nina di luar kamar yang Dimas duga sebagai kamar rawat Savira.
Dimas langsung menghambur mencengkram kerah baju Gio. "Gue minta tolong sama lo, Yo! Gue minta lo anterin Vira tapi kenapa Vira berangkat sendirian?" teriak Dimas tidak terkendali.
Nina langsung berusaha menarik Gio, melindungi pacarnya itu dari amukan Dimas. Namun rupanya tidak sampai di situ, Nina pun menambahkan dengan menampar pipi Dimas.
Giliran Rachel yang menarik Dimas menjauh. "Apa-apaansih?" bentaknya kesal. "Jangan bikin keruh suasana! Kenapa kalian semua malah bikin ribut, hah?" ucapnya geram. Benar-benar tidak ada yang berpikir jernih saat ini.
Nina berdecih sambil menatap Rachel. "Cowok lo," tunjuknya pada Dimas. "Brengsek." Lalu setelah berkata demikian Nina pun beranjak pergi dari sana meninggalkan Gio yang masih menunduk dalam diam.
Rachel menatap kepergian Nina dengan seribu pertanyaan. Ada apa sebenarnya gadis itu? Kenapa dia terlihat sangat menbenci Dimas?
"Gue minta maaf, Dim. Tapi Savira emang nggak mau gue anter. Nggak mungkin gue maksa dia." Gio menjelaskan dengan wajah bersalah. Dia sama sekali tidak tersinggung dengan perlakuan Dimas beberapa saat yang lalu kepadanya.
Dimas diam. Emosinya beberapa saat yang lalu sepertinya sudah sedikit mereda.
Merasa tidak nyaman dengan atmosfer yang mengelilingi mereka, Rachel berinisiatif untuk membuka suara. "Yo, kayak gini tuh kecelakaan. Satu-satunya yang bisa disalahin ya para pelakunya." Rachel menepuk pelan pundak Gio. "Gimana keaadan Savira sekarang?"
Gio menghela napas. Meski pun yang Rachel katakan ada benarnya, tetapi beban rasa bersalah itu masih tetap menggelayutinya. "Dia cuma lecet-lecet doang, nggak ada luka dalem untungnya. Tapi mungkin dia masih shock berat. Sekarang dia baru aja tidur habis dipasang infus." Gio mulai menceritakan keadaan Savira. Itu mengapa Gio dan Nina keluar dari kamar inapnya.
Dimas diam-diam mengucap syukur. Setidaknya Savira tidak mengalami hal yang mengerikan lebih daripada itu.
"Savira sempet nyebut-nyebut nama lo tadi, Dim." Gio memberi tau meski pun Dimas masih belum mau bicara dengannya. "Biar bagaimana pun, Savira temen gue juga. Dia orang terpentingnya sahabat gue, otomatis dia jadi temen gue juga. Dim, gue juga sedih sama apa yang terjadi sama Savira."
Akhirnya Dimas pun merespon Gio dengan anggukan. Karena Dimas sadar ini sama sekali bukan kesalahan Gio. Bahkan bisa dibilang ini merupakan kesalahannya.
Setengah jam menunggu, Ibunya Savira keluar dari kamar rawat anaknya. Beliau nampak terkejut dengan kedatangan Dimas yang tidak diketahuinya. "Loh, Dimas? Kamu udah dari kapan nyampe?" tanyanya saat Dimas menyalami wanita itu.
"Barusan tante," jawabnya. Dimas lalu menatap Ibu kandung Savira dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Maafin Dimas tante. Dimas nggak bisa jaga Savira," ucapnya lirih.
Wanita itu mengusap pelan bahu Dimas. "Jagain Savira bukan tanggung jawab kamu, Dim. Lagipula ini murni kecelakaan, belum tentu kalau kamu tetap jadi anter Savira tadi, Savira tetap terbebas dari insiden ini. Semua sudah ditulis takdirnya, Dim." Ibu kandung Savira itu sepertinya tau kalau Dimas tengah menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada anaknya.
"Dimas udah bisa ketemu Vira?" tanya Dimas pada akhirnya.
Wanita berkerudung itu tersenyum lembut. "Bisa. Kamu masuk aja, tapi Saviranya tidur. Tapi kalau kamu mau liat dia nggak apa-apa."
Dimas mengangguk. Meski pun belum bisa bicara dengan Savira, setidaknya melihat keadaan gadis itu dari dekat sudah cukup untuk Dimas.
Rachel memilih bertahan di luar kamar rawat Savira menunggui Dimas.
Savira sebenarnya hanya butuh menginap semalam saja karena tidak mengalami luka serius. Hanya saja terkadang gadis itu bangun dengan ekspresi ketakutan, mungkin masih shock.
Dimas meringis ngilu saat melihat ada perban menutupi dahi Savira. Sepertinya dahi gadis itu ikut terluka, mungkin terbentur atau tergores entah lah. Dimas berjalan mendekati ranjang dimana Savira tidur dengan pulasnya.
Dimas bohong kalau dia cukup puas hanya dengan melihat Savira. Nyatanya Dimas tidak kuasa untuk tidak menyentuh tangan gadis itu yang tidak terpasang infus. Dimas menggenggam erat sebelah tangan Savira dan mendekatkannya ke kepalanya sendiri. "Maafin aku Vir, aku gagal jagain kamu. Maafin aku."
Mungkin karena merasakan gerakan pada tangannya, akhirnya Savira pun perlahan-lahan bergerak dan sepenuhnya terbangun. Gadis itu butuh beberapa waktu untuk bisa melihat Dimas dengan jelas karena efek kantuk dari obat yang disuntikkan ke selang infusnya. "Dimas?" tanyanya memastikan.
Dimas mendongak dan menatap Savira. "Ini aku, Vir," ucapnya. "Maafin aku," lagi-lagi kalimat itu yang Dimas ucapkan.
Savira mengernyit. "Maaf kenapa? Ini bukan salah kamu." Gadis manis itu mencoba tersenyum. "Maaf ya udah bikin kamu khawatir."
Dimas menatap Savira dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa Savira masih menyalahkan dirinya sendiri dalam kondisi begini?
"Vir,"
Savira meremas tangan Dimas yang menggenggamnya. "Aku nggak apa-apa Dim. Lagipula kejadian ini murni kecelakaan. Nggak ada yang tau kalau supir angkot itu dan orang-orang di dalamnya udah sekongkol." Savira semakin mengencangkan remasannya. Gadis itu memang berkata tidak apa-apa, tapi dari wajahnya Dimas langsung tau kalau Savira masih takut. "A-aku..."
Dimas menggeleng, tangannya terulur mengusap pelan kepala Savira. "Jangan inget-inget itu lagi, Vir. Kamu nggak perlu takut sekarang, ada aku." Lalu Dimas mengecup lembut dahi Savira tepat di atas lukanya yang diperban.
Dan pemandangan itu tertangkap sepasang mata milik Rachel yang semakin berair.
Rachel menggigit bibirnya untuk menghilangkan rasa perih di dalam dadanya tapi nihil. Bahkan perih di bibirnya sama sekali tidak sebanding dengan apa yang Rachel rasakan di dalam dadanya saat ini.
Sakit fisik, akan lebih mudah diobati karena masih tergapai oleh tangan. Tapi sakit di hati? Siapa yang bisa menggapainya kalau bukan si pembuat luka itu sendiri.
Rachel pun memilih untuk pergi dari sana. Karena Rachel tau, meski pun Dimas memilihnya, hati Dimas tetaplah untuk Savira.