5.

1916 Words
Rachel menatap Bryan dengan pandangan kesal. Bagaimana bisa cowok itu mengajaknya jalan berduaan ke mall. Biar bagaimana pun juga mereka merupakan pasangan selingkuh. Ini sama saja dengan cari mati. Sebenarnya Rachel benar-benar ingin berhenti. Dia pernah mencoba, namun gagal. Bryan selalu menemukan cara untuk menarik Rachel kembali lagi dan lagi. Rachel benci kepada Bryan. Tapi dia lebih benci kepada dirinya sendiri yang selalu saja luluh. Cinta memang membuat orang buta. "Yan, lo gila? Gimana kalau Daisy ngeliat kita lagi berduaan gini?" tanya Rachel panik saat Bryan dengan keras kepalanya menggandeng tangan Rachel. Dasar orang gila. Bryan mungkin lupa kalau dia terkenal. Meski pun bandnya baru sekedar band indie dan belum sering tampil di tv, tetapi grup band milik Bryan punya penggemar yang cukup banyak, mereka begitu terkenal di social media. Bryan dengan cuek menggandeng Rachel ke salah satu toko baju tempat biasa dia membeli pakaian. "Daisy nggak bakal tau. Dia lagi ke Bandung sama nyokapnya." Rachel mendengus. "Lo lupa kalau lo itu punya banyak fans? Gimana kalau ada yang mergokin? Atau parahnya mereka fotoin kita dan ngirim itu ke Daisy?" Bryan terkekeh. Tatapannya fokus ke arah pakaian-pakaian yang digantung, sedangkan Rachel melipir sambil bersedekap membiarkan Bryan sibuk memilih pakaian. "Lo lucu kalau panik gitu." Dengan cueknya Bryan berkata demikian sambil mengambil salah satu kemeja dari gantungan dan menunjukkannya ke Rachel. "Cocok, nggak?" Rachel mengedikkan bahunya dan memilih untuk pergi dari hadapan Bryan dan duduk di salah satu sofa yang tersedia di toko tersebut meninggalkan Bryan memilih sendiri pakaiannya. Rachel mengeluarkan ponselnya dari dalam slingbag, Rachel mulai memeriksa satu per satu social media yang dia punya demi membunuh waktu sambil menunggu Bryan selesai belanja untuk acara manggungnya nanti malam. Sebuah pesan chat masuk ke ponselnya dan itu berasal dari Daisy. Setiap kali Daisy menghubungi Rachel saat dia sedang berduaan dengan Bryan, hati Rachel selalu resah. Dia takut kalau suatu saat Daisy akan mengetahui kebusukannya. Daisy R Dominique: Aceeeel Daisy R Dominique: I found the dress that you cravin for!  Daisy R Dominique: Dan gue udah beliin buat lo, hehehe Hati Rachel mencelos. Bagaimana dia masih tega menusuk Daisy dari belakang padahal gadis itu begitu menyayanginya. Rachelia Audina: bohong?? Lo nemu dimana gilaaa? Kan POnya udah ditutup waktu ituuu, stocknya udh sold out karna cuma ada 3 di Indo Rachelia Audina: jangan phpin gue yaa Daisy R Dominique: huhahaha, liat aja nanti  Daisy R Dominique: awas lu nyesel ya hahaha.  Daisy R Dominique: btw Bryan lagi sama lo ga? Drtd di Line ga bales Rachel merasa matanya memanas. Perasaan bersalah memenuhi hatinya. Rachelia Audina: kok nanyainnya ke gue? Emang gue emaknya? Daisy R Dominique: wkwkwk kali aja Cel. Semalem sblm ke Bandung si Bryan nanya ke gue katanya kalo minta temenin lo ke mall boleh ga Daisy R Dominique: yakali gaboleh Rachel meringis. Daisy selalu sepercaya itu kepada Rachel dan Bryan. Gadis itu bahkan tidak pernah sedikitpun curiga padanya. "Cel!" Rachel tersentak ketika Bryan memanggil namanya. Gadis itu buru-buru menekan tombol kunci pada ponselnya. "Udah?" tanyanya yang dijawab Bryan dengan anggukan. Cowok itu juga memamerkan paperbag berlogo nama toko di tangannya. "Nonton, yuk?" ajak Bryan begitu mereka melewati bioskop di mall tersebut. Rachel menatap malas ke arah bioskop. Dia tau apa yang ingin Bryan lakukan di bioskop. Bukan untuk menonton melainkan...ah sudahlah, Rachel malas menjelaskannya. "Nggak. Gue mau balik." Rachel berkata dengan cuek. Dia bahkan menolak digandeng Bryan. "What's wrong sih Cel? Biasanya lo seneng-seneng aja kalo gue gandeng? Bukannya ini yang lo mau? Kita bersikap kayak orang pacaran dan bukan selingkuhan?" tanya Bryan kesal karena sejak tadi Rachel menolak bergandengan dan bermesraan dengannya. Padahal saat ini Bryan sudah memberikan kesempatan untuk Rachel melakukan apa yang biasanya orang pacaran lakukan dengannya. Karena selama ini interaksi mereka selalu dilakukan sembunyi-sembunyi. Rachel memejamkan matanya. Iya, mungkin dulu. Tapi saat ini Rachel benar-benar sudah lelah. Dia lelah dihantui perasaan bersalah dan berdosa karena sudah mengkhianati sahabatnya sendiri. "Gue capek! Kita udahin semuanya sekarang, Yan, gue nggak mau nyakitin Daisy lebih dari ini." Mendengarnya, Bryan seperti disambar petir. Dia menarik lengan Rachel secara refleks. Wajahnya menyiratkan kepanikan dan ketakutan. "Nggak! Gue nggak mau lepasin lo gitu aja! Lo gak boleh udahin ini gitu aja!" Rachel meringis merasakan cengkraman Bryan pada lengannya. Orang-orang mulai menaruh tatapan penasaran ke arah mereka berdua membuat Rachel mengurungkan niat untuk meronta dan memicu drama. "Yan, kita lagi di tempat umum, kita omongin ini nanti," bisik Rachel sambil mencoba menarik tangannya namun dengan gerakan pelan dan tidak menarik perhatian. Bisa bahaya kalau ada orang yang mengenal mereka berdua. Biar bagaimana pun, keduanya cukup terkenal di kalangan remaja Indonesia terutama di social media. "Nggak. Gue nggak peduli. Gue bakal bilang ke Daisy kalau kita selingkuh kalau lo berani-beraninya ninggalin gue!" Ancam Bryan. Rachel menatap Bryan terkejut. "Are you crazy? Nggak, Yan! Kita udahin aja semua ini, please, gue nggak mau kehilangan Daisy sebagai sahabat gue. Gue nggak sanggup dibenci sama dia." Bryan berdecih. "Kalo gue kehilangan lo, lo juga harus siap kehilangan Daisy." Sinting! Bryan benar-benar sinting. Bukan ini Bryan yang dikenalnya. Rachel benar-benar tidak mengenal sosok Bryan yang saat ini berada di hadapannya. "Bryan?" Rachel dan Bryan secara sontak memutar tubuh menghadap ke sumber suara. Rachel tidak mengenal siapa perempuan cantik yang kini berdiri di hadapannya. Rachel melirik Bryan, cowok itu terlihat kaget dengan kehadiran perempuan itu namun seketika tubuhnya merileks. Cengkramannya pada lengan Rachel pun terlepas. "Hai, Tara," sapa cowok itu sambil tersenyum. Rachel mengernyit. Tara? Siapa Tara? "Apa kabar?" tanya gadis itu sambil tersenyum manis. Bryan balas tersenyum kecil. "Baik, lo sendiri gimana? Udah kuliah mulai sibuk ya?" tanya Bryan pada gadis bernama Tara itu. Rachel terus memperhatikan jalannya percakapan antara Bryan dan gadis yang tidak dikenalnya itu. Dari percakapan yang didengarnya, pacar gadis bernama Tara itu merupakan temannya Bryan. "Daisy mana, Yan?" tanya gadis itu membuat Rachel rasanya seperti disambar petir. Gadis itu kenal Daisy, bagaimana kalau gadis itu mengadukannya kepada Daisy? Rachel mulai panik. "Lagi ke Bandung. Eh btw kenalin, ini sahabatnya Daisy, temen gue juga." Bryan menarik tangan Rachel dan menarik gadis itu lebih mendekat ke arahnya dan Tara. "Rachel, ini Tara. Tara, ini Rachel." Tara mengulurkan tangannya sambil tersenyum kepada Rachel. "Tara," ucapnya. Rachel balas tersenyum dan menerima uluran tangan tersebut. "Rachel." Lalu Tara dan Rachel terlibat obrolan basa-basi singkat. Obrolan itu terputus ketika seorang cowok datang menghampiri mereka. "Kak, buruan yok, filmnya udah mau mulai," ucap cowok itu kepada Tara. Sontak semua perhatian teralih kepada cowok tersebut. "Oh? Iya bentar," ucap Tara kepada cowok itu. "Eh, Bryan...Rachel, gue duluan, ya? Ini adek gue udah rewel," ucap Tara bercanda. Cowok yang disebut 'adik' oleh Tara itu terlihat mencebikkan bibirnya. Tubuh jangkungnya benar-benar kontras dengan sikapnya yang seperti anak kecil. Nggak cool sama sekali menurut Rachel. Tapi sejak tadi Rachel merasa ada yang tidak asing dengan sosok cowok itu. Rachel yakin dia pernah bertemu cowok itu sebelumnya. Ketika tatapan mereka tidak sengaja bertemu, Rachel lagi-lagi merasa baru saja disambar petir. Dia ingat dimana dia pernah melihat cowok tersebut. Terlebih saat cowok itu menatap Bryan dan Rachel dengan kerutan di dahi seolah cowok itu juga sedang mencoba mengingat sesuatu. Dan detik itu juga, Rachel berharap bahwa cowok itu tidak mengenalinya. *** Dimas termenung sepanjang film berputar. Bahkan nachos makanan favoritenya tidak tersentuh sejak tadi karena Dimas yang sibuk melamun. Tara sadar sejak tadi Dimas bahkan tidak menonton filmnya. Awalnya Tara mencoba untuk tidak mengusik adiknya itu, namun akhirnya Tara khawatir karena hampir setengah dari film terputar, Dimas masih saja sibuk melamun. "Dimas, lo kenapa sih? Katanya pengen banget nonton?" tanya Tara setelah menyikut lengan Dimas agar fokus adiknya beralih kepadanya. "Gue sampe batalin janji sama temen gue nih demi jalan sama lo," ucapnya lagi. Sebenarnya sih Tara hanya melebih-lebihkan saja soal membatalkan janji dengan temannya, hanya demi memancing Dimas agar mau bercerita dengannya. Dimas meringis tidak enak, dia menggelengkan kepalanya. "Enggak kok kak," ucap Dimas akhirnya. Dimas pun langsung mengalihkan tatapannya ke arah layar dan mulai menonton, namun hanya menonton saja tanpa benar-benar menyimak sama sekali. Setelah selesai menonton, kakak beradik itu berjalan menuju food court untuk makan. Dimas dan Tara memilih chicken cordon bleu untuk makanan mereka kali ini. Tidak seperti biasanya mereka makan dalam diam. Baik Tara dan Dimas sama-sama tidak memulai obrolan. Tara sengaja tidak bertanya perihal Dimas yang tiba-tiba aneh saat makan. Gadis itu membiarkan Dimas menghabiskan dulu makanannya baru akan bertanya begitu adiknya itu selesai. Melihat Dimas sudah melahap suapan terakhir makanannya, Tara langsung menarik piring kosong adiknya itu dan menyingkirkannya. Dimas yang tau kakaknya cepat atau lambat akan bertanya padanya hanya bisa pasrah. "Lo kenapa sih, Dim? Kok tiba-tiba aneh gitu?" tanya Tara to the point. Dimas menghela nafas. Benar, kan? Dimas pun memajukan tubuhnya, tangannya tertaut di atas meja menunjukkan gestur kalau dia akan berbicara serius. "Sejak kapan lo kenal sama Bryan yang drummer band itu?" tanya Dimas serius. Tara mengernyitkan kening. "Hah? Oh... kenal dari Alvan. Kenapa emang?" tanyanya. Dimas mengangguk-angguk. "Dia kakak kelas gue di sekolah." Dimas menginformasikan. "Oh, terus kenapa?" tanya Tara bingung. Apa hubungannya kalau Bryan itu kakak kelas Dimas dengan sikap aneh adiknya itu? Dimas berdecak. Sebenarnya dia tidak mau menceritakan soal ini kepada kakaknya, tetapi Dimas juga tidak mau menyimpannya sendirian. "Gue lihat dia lagi..." Dimas menggantungkan ceritanya karena tidak tau apakah bercerita kepada kakak perempuannya itu hal yang tepat atau tidak. "Lagi apa, Dim?" tanya Tara tidak sabaran karena Dimas tidak kunjung melanjutkan ucapannya. Dimas menoleh ke sekitar, memastikan jika meja-meja lain jaraknya tidak cukup dekat untuk mendengar percakapannya. Dimas memajukan lagi tubuhnya membuat otomatis Tara ikut mendekat ke arahnya. "Dia lagi mesuman di lab IPA." Tara refleks menjitak kepala Dimas begitu mendengarnya. Benar-benar refleks. Namun efeknya sungguh menyakitkan untuk Dimas. Cowok itu sampai mengaduh dan mengusap-usap bekas jitakan kakaknya. "Sakit, njir!" keluhnya. "Ehh...sumpah maaf-maaf, refleks!" ucap Tara sambil ikut mengusap-usap kepala adiknya. "Abisnya lo tuh ya gue kira apaan, nggak penting banget sumpah taunya." Dimas mendelik. "Kan tadi lo yang nanya kak, pas gue kasih tau malah dijitak," kata Dimas dengan ekspresi kesal masih sambil mengusap-usap kepalanya. Tara terkekeh. "Lebay lo ah, masa gara-gara gituan doang sampe kepikiran gitu. Kayak nggak pernah nonton bokep aja," kata Tara sambil tertawa. Dimas mendengus. "Yee, beda lah sama bokep. Ini tuh live action kak!" serunya menggebu. Tara menyentil dahi adiknya itu sambil menggeleng-geleng tidak habis pikir. Dia tau adiknya itu bukan cowok yang alim-alim banget, tetapi Tara juga tau adiknya juga tidak sekotor itu pikirannya. Masih sewajarnya anak remaja laki-laki yang masih dalam masa pubertas menuju ke kedewasaan yang penuh dengan rasa ingin tau. "Biarin lah, lagian Bryan sama Daisy juga kan pacaran. Terserah mereka mau ngapain. Lo nya aja salah pemilihan waktu," kata Tara santai. Tara adalah tipe orang yang tidak suka ikut campur urusan lain. Dimas mengernyitkan dahi. "Daisy? Who?" tanyanya bingung. Tara ikut mengernyit bingung. "Pacarnya. Setau gue mereka satu sekolah juga, which is kakak kelas lo juga berarti," katanya. Dimas mengangguk-angguk. "Oh, yang cewek tadi namanya Daisy?" "Hah?" pekik Tara kaget. Gadis itu bahkan sampai tidak jadi menyeruput jus jeruknya karena masih kaget. "Bu-bukan." Tara seolah menemukan fakta baru dari cerita Dimas, namun gadis itu tidak mau membahasnya lebih lanjut. Menurutnya itu sama sekali bukan urusannya atau pun Dimas. "Wah anjir, bandel juga tuh cowok." Dimas pun ikut mengerti apa yang tengah terjadi. Dia ikut menarik gelas lemon teanya dan menyedotnya melalui sedotan. Dan baik Dimas atau pun Tara, keduanya tau kalau obrolan mereka soal Bryan sudah selesai sampai di situ. Seharusnya Dimas merasa lebih lega karena dia sudah bercerita pada kakaknya. Namun anehnya, Dimas masih merasakan perasaan yang mengganjal dalam hatinya dan dia tidak tau apa penyebabnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD