8.

1661 Words
Dimas duduk bersandar dengan tidak nyaman di samping Rachel, begitu pun dengan si pemilik mobil itu. Untuk seperkian menit mereka sama-sama diam, membiarkan musik mengalun pelan dari tape mobil. "Make it fast, lo mau ngomong apa?" tanya Dimas setelah jengah dengan keheningan yang tercipta di antara mereka. Rachel menghela nafas. "Cewek tadi itu... Pacar lo?" tanya Rachel kemudian. Dimas mengernyit. Tatapannya yang semula terarah ke depan langsung berputar ke Rachel. "Hah?" Dimas menatap Rachel aneh. "Apa urusannya ini sama masalah lo?" tanya Dimas bingung. Rachel menggigit bibir bawahnya. Bukan gerakan menggoda, namun lebih kepada karena dirinya sedang dilanda cemas. Tapi karena hal itu Dimas jadi sedikit memperhatikannya. Bibirnya bagus juga...eh Dimas! Nyebut, wey! Batin Dimas. "Gue harus tau dulu. Dia cewek lo?" tanya Rachel lagi. Menolak untuk menjelaskan pada Dimas lebih lanjut. Sebenarnya Dimas bukan tidak ingin menjawab karena rasa tidak sukanya pada Rachel. Tetapi Dimas malas menjawab karena status hubungannya dan Savira memang tidak jelas. Malu juga kalau Dimas harus mengaku bahwa dia sedang digantung. "Hm." Dan hanya gumaman yang keluar dari mulut Dimas. Jelas saja Rachel tidak paham. "Iya atau enggak?" tanya Rachel lagi. Dia tidak suka terlalu berbasa-basi. "Gue butuh jawaban pasti." Monyet! Batin Dimas. Kalau sudah bahas soal jawaban yang pasti-pasti, Dimas jadi galau lagi ingat statusnya dengan Savira. Aneh memang. Saat bersama Savira semua perasaan itu seolah lenyap tidak bersisa. Tetapi saat bersama orang lain, siapa pun itu yang mengingatkannya tentang Savira, Dimas langsung galau lagi. Dimas berdecak. "Bukan," jawab Dimas pada akhirnya. Namun sebelum Rachel sempat berbicara lagi Dimas buru-buru menambahkan. "Lagi proses, 98%" jawab Dimas asal. Rachel melipat tangannya di d**a. Sepertinya dia memang tidak bisa minta tolong pada Dimas. Cowok itu sudah punya gadis yang akan segera menjadi pacarnya. Cukup sekali Rachel menjadi PHO, dia tidak ingin lagi menjadi gadis seperti itu. "Oke kalau gitu. Sori udah buang-buang waktu lo." Dimas menatap Rachel aneh. "Gitu doang? Elah, kirain apaan coba." Dimas pun dengan kesal membuka pintu mobil Rachel namun tiba-tiba Rachel menarik tangan Dimas dan menahan cowok itu untuk tetap berada di dalam mobil. Kejadiannya begitu cepat. Dimas yang masih tidak mengerti kenapa Rachel tiba-tiba menahannya berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Rachel. "Ini apa-apaan deh?" tanyanya sambil berusaha menarik lengannya risih. Tiba-tiba seseorang menggedor kaca mobil di samping Rachel membuat Dimas terkejut namun tidak dengan Rachel, sepertinya gadis itu tau dan sudah menduga akan kehadiran orang itu. Dan Dimas bisa merasakan cengkraman Rachel di tangannya mengerat. "To--tolongin gue..." ucap Rachel dengan nada lirih. Wajahnya pun menyiratkan ketakutan. Dimas mengernyit menatap keluar kaca. Dia tidak salah lihat, cowok yang sedang menggedor kaca jendela mobil Rachel adalah Bryan. "Hah?" Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Dimas saat ini. Dia benar-benar bingung dan nggak tau harus ngapain. "Acel, open the damn door!" ucap Bryan sambil terus menggedor jendela. Jumlah mobil yang sedang berada di parkiran sudah sedikit membuat parkiran itu sepi. Parkiran guru dan murid juga terpisah sehingga kejadian ini tentu tidak akan dilihat siapa pun. "Plis lo harus bantu gue!" pinta Rachel lagi. Wajahnya benar-benar memelas. "Apa?" tanya Dimas refleks. Padahal dia sudah mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak berurusan lagi dengan Rachel. No Dimas, lo mau bantu dia karena dia butuh bantuan. Lo mau bantu dia atas dasar kemanusiaan. "Lo bilang sama Bryan kalau kita udah jadian. Please!" pinta Rachel membuat mata Dimas terbelalak. "Lo gila? Ogah!" tolak Dimas. Cowok itu menatap Rachel dan Bryan yang masih terus menggedor kaca bergantian. "ACEL! Gue pecahin kaca lo atau lo buka pintunya?" Rachel menatap Dimas kecewa, namun gadis itu sadar diri kalau dia tidak berhak memaksa Dimas sama sekali. Oleh sebab itu Rachel langsung mengangguk pasrah dan melepaskan tangannya dari Rachel. "Kalo gitu, pas gue buka kuncinya dan gue ngomong sama Bryan, lo kabur." "Gila, lo?" tanya Dimas tidak percaya. Dia memang tidak mau membantu Rachel, tapi bukan berarti Dimas akan setega itu meninggalkan Rachel dan cowok sinting yang sedang menggedor-gedor kaca mobil itu penuh emosi. "Kabur atau ngaku jadi cowok gue! Cuma itu pilihannya!" Rachel pun membuka kunci mobilnya dan dengan cepat Bryan langsung membuka pintu dan menarik tangan Rachel keluar. Dimas melongo di tempat begitu melihat Rachel terlibat cek-cok dengan Bryan. Karena di dalam mobil suara terdengar sedikit teredam, percakapan mereka terdengar tidak begitu keras.  Dimas tidak bisa tinggal diam begitu melihat Bryan terlihat memaksa Rachel untuk dicium. What the hell! Dimas langsung keluar dari mobil dan menarik Bryan menjauh dari Rachel. Bukannya Dimas bermaksud menolong Rachel karena dia memang 'mau', Dimas hanya tidak bisa melihat perempuan diperlakukan kasar. Dimas selalu terbayang jika ibu dan kakaknya berada di posisi seperti itu. Bryan berdecih sambil memutar tubuhnya menghadap Dimas. "Gue nggak mau ikut campur, tapi sebaiknya lo nggak maksa dia, dia ketakutan," ucap Dimas sambil bergeser dan memasang badannya menjadi tameng untuk Rachel. Gadis itu mengumpat dibalik punggungnya. "b*****t! Lo siapa, hah? Minggir atau gue abisin, lo?" bentak Bryan. Cowok itu bahkan terkesan tidak peduli dengan statusnya sebagai public figure yang memiliki banyak fans. Dia sama sekali terlihat tidak khawatir imagenya akan rusak di depan Dimas. "Gue bukan siapa-siapa. Tapi tetep aja, gue nggak akan biarin lo nyakitin cewek mana pun di depan mata gue." Kata-kata Dimas membuat Bryan menatapnya dingin. "Bro, gue ogah ribut." Bryan berkata kemudian. "Tapi lebih baik kalau lo nggak usah ikut campur," kata Bryan memeringatkan. Cowok itu berusaha menyingkirkan tubuh Dimas agar tidak menutupi Rachel yang masih mengumpat dibalik tubuhnya. Dimas tidak bergeming memilih tetap berada di posisinya untuk melindungi Rachel membuat Bryan kehabisan kesabarannya. Bryan maju, telunjuknya menekan d**a Dimas dan matanya menyiratkan tatapan siap bertarung. "Gue udah peringatin lo," ucapnya. Dimas menepis tangan Bryan dari dadanya dan menatap Bryan balik sama sengitnya. "Dan gue nggak takut sama peringatan lo." Dan kata-kata Dimas barusan berhasil meledakkan emosi Bryan. Cowok itu langsung meraih kerah kemeja Dimas dan mengangkatnya sedikit, untungnya tubuh mereka seimbang. Dari postur badan dan tinggi, seimbang. "Bryan!" suara seorang perempuan membuat adu jotos yang hampir saja terjadi itu harus tertunda. Bryan buru-buru melepaskan tangannya dari kemeja Dimas begitu tau Daisy lah yang sedang berlari menghampiri mereka. "Kamu ngapain, sih? Aku nungguin dari tadi...loh Acel?" Daisy menatap sosok sahabatnya itu terkejut. "Bryan, Acel, kalian ngapain?" tanya Daisy bingung. Pasalnya yang Daisy tau Rachel tadi ada 'urusan' dan Bryan tadi hanya pamit ke toilet sebentar namun hampir setengah jam cowok itu tidak kunjung kembali membuat Daisy memutuskan untuk mencarinya. Mata Daisy pun teralih kepada satu sosok asing di antara mereka dan senyum Daisy tiba-tiba terkembang. "Oh...jadi ini, Cel?" tanya Daisy dengan nada menggodanya kepada Rachel serta Dimas. Bryan mendengus, namun dia tentu tidak bisa menunjukkan rasa tidak sukanya saat ini di depan Daisy. "Daisy, kamu kenal sama cowok ini?" tanya Bryan pada Daisy, tatapannya masih menyiratkan tatapan tidak suka ke arah Dimas namun nadanya sebisa mungkin ia atur normal. "Ini pacarnya Acel, kan?" Daisy berucap riang. "Hai, lo pacarnya Acel, ya?" tanya Daisy pada Dimas seolah tidak menyadari adanya atmosfer aneh di antara mereka semua. Rachel baru akan membuka mulut namun Dimas lebih dulu mendahuluinya, "Iya gue pacarnya." Dan jawaban Dimas itu berhasil membuat mata Rachel terbelalak. Bagaimana tidak? Sejak tadi Dimas menolak untuk membantunya dengan berpura-pura menjadi pacar Rachel, tapi lihat sekarang, Dimas bahkan mengakui soal itu tanpa disuruh. Rachel menatap Dimas menuntut penjelasan namun cowok itu terlihat datar dan seperti tidak baru saja melakukan apa-apa. "So, kalian tadi ngapain di sini?" tanya Daisy kemudian memecah keheningan yang sempat menyela. "Kamu ngapain, Yan, di sini?" tanyanya sambil menatap ke arah sang pacar. "Tadi kebetulan aja ketemu," jawab Bryan pada akhirnya. Sebelum Daisy sempat bicara lagi, Bryan buru-buru mengajak kekasihnya itu pergi. "Sayang, kita pergi sekarang, yuk? Aku udah ditunggu di studio." Daisy mengangguk mengerti. Benar juga, Bryan sudah janjian dengan anggota bandnya yang lain untuk latihan. "Oke," katanya pada Bryan. Daisy lalu mengalihkan tatapannya pada Rachel dan Dimas. "Cel, gue sama Bryan duluan, ya? Eh, jagain sahabat gue, ok?" ucap Daisy pada Dimas. Cowok itu hanya tersenyum tipis sebagai jawaban sedangkan Rachel menyempatkan diri meremas ringan tangan Daisy. Lalu mereka pun berpisah meninggalkan Rachel dan Dimas berdua di tempat parkir. Rachel menghela nafas lega begitu Daisy dan Bryan sudah pergi. Meski pun sebenarnya Rachel tau hal ini justru akan menyebabkan masalah baru. Bryan pasti tidak terima kalau Rachel punya pacar. Cowok itu selalu bersikap posesif atas Rachel meski pun gadis itu hanya lah selingkuhannya. Itu sebabnya Rachel tidak pernah dekat dengan laki-laki mana pun, mustahil seorang Rachel tidak ada yang mendekati. Itu semua karena Bryan yang melakukan berbagai cara agar Rachel tidak menerima laki-laki lain. Psikopat. "Thanks ya, gue bener-bener berhutang sama lo." Rachel menatap Dimas penuh rasa terima kasih yang hanya dibalas Dimas dengan anggukan singkat. "Sip. Gue balik," ucap Dimas pamit. Namun sebelum pergi cowok itu menatap Rachel dalam. "Nggak ada asap kalau nggak ada api, semua keputusan sepaket sama resiko dan itu udah pasti. Gue nggak tau ada apa antara lo dan cowok itu, tapi gue saranin lebih baik lo udahin apa pun itu." Dan setelah mengatakannya Dimas pun langsung meninggalkan Rachel sendirian sambil mencerna kata-katanya. Dan satu pikiran seolah menyerang Rachel. Gue bahkan masih nggak tau nama cowok itu. Gue berhutang sama dia. *** Savira melepas helm di kepalanya dan menyerahkannya pada Dimas yang aneh sejak tadi. Dan Savira jelas tau hal ini ada kaitannya dengan obrolan Dimas dan Rachel tadi. "Dimas, kamu nggak apa-apa?" tanya Savira menyadarkan Dimas dari lamunanya. Dimas terlihat terperanjat beberapa saat namun cowok itu langsung memasang senyumannya untuk Savira. "Nggak kok, Vir, aku nggak apa-apa." Dimas mengacak ringan rambut Savira. "Aku pulang dulu, ya?" Tidak ada lagi yang bisa Savira lakukan selain menganggukkan kepalanya. Savira tidak akan memaksa jika Dimas memang tidak mau bercerita. "Hati-hati di jalan ya Dimas," ucap Savira sambil memberikan senyum manisnya. Dimas merasakan bebannya seolah terangkat begitu melihat senyuman manis Savira. Ah... Vir, buruan jawab kek pernyataan cinta gue. "Iya. Gih masuk," ucap Dimas mempersilahkan Savira masuk ke dalam rumahnya. Setelah memberi lambaian Savira pun berjalan masuk ke dalam rumahnya dan setelah memastikan Savira masuk dengan selamat, Dimas langsung melajukan motornya meninggalkan kediaman Savira.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD