Bab 9

1417 Words
Tepat pukul enam pagi, Lista bangun seperti biasanya. Tapi pagi ini ada yang berbeda, suasana pagi terasa lebih ramai dari biasanya. Bahkan suasana sepi yang selalu dirasakannya setiap pagi, berubah ramai dan terdengar beberapa orang berbicara dengan suara cukup keras.  Meskipun penasaran, Lista tidak segera keluar untuk melihat keributan yang terjadi. Ia justru pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah mengisi teko dan memasak air untuk membuat teh atau kopi sebagai menu sarapannya pagi ini.  Tidak ada menu sarapan istimewa setiap paginya, hanya secangkir kopi sachet dan satu lembar roti tawar tanpa selai. Menurut Lista menambahkan selai pada roti tawar hanyalah sebuah pemborosan. Ia bisa merasakan manis dari kopi, itu sudah cukup.  Suara bising yang semakin terdengar jelas, bahkan dari balik tirai yang masih tertutup rapat, Lista bisa melihat beberapa tetangganya berjalan hilir mudik entah kemana. Karena penasaran, akhirnya ia pun keluar dari dalam kamar dengan satu tangan memegang roti tawar.  Lista hendak bertanya, namun belum sempat bibirnya berucap, ia sudah terlebih dulu melihat sosok yang sangat dikenalnya berada di ujung sana, di depan kamar kos yang pernah ditempati Septa sebelumnya.  Lista mengerjap beberapa kali, untuk memastikan apakah ia salah lihat atau jangan-jangan dirinya hanya berhalusinasi saja. Namun ketika orang tersebut menyadari kehadirannya dan melambaikan tangan ke arahnya, barulah Lista sadar bahwa apa yang dilihatnya bukanlah mimpi apalagi halusinasi. "Hai, Lista!" Panggilnya, semakin meyakinkan Lista bahwa lelaki itu benar-benar nyata.  Bahkan hal yang lebih menakutkan lagi ketika lelaki itu berjalan menghampirinya. Lista merasakan aura dingin, kelam seakan mengikuti setiap langkah Dariel.  "Hei tetangga, gue tinggal di sana kalau lo belum tau." Ucap Dariel lagi begitu jarak antara Lista dan Dariel kurang dari satu meter saja.  Lista tidak menjawab, ia masih terpaku dan tidak bereaksi apapun.  "Hoiii," Dariel melambaikan tangannya tepat di depan wajah Lista.  "Gak cuman lo aja yang terkagum-kagum dan tidak percaya gue tinggal di sini. Yang lain juga gitu." Seperti sudah menjadi ciri khasnya, Dariel mengguyar rambut kebelakang yang membuat rasa percaya dirinya semakin meroket saja.  "Sebagai tetangga, kita harus hidup rukun dan,"  Belum sempat Dariel menuntaskan ucapannya, Lista sudah terlebih dulu masuk ke dalam kamarnya dengan gerakan sangat cepat hingga membuat Dariel ternganga akan sikap wanita itu. Lagi-lagi Dariel dibuat takjub oleh sikap Lista yang sangat bertolak belakang dengan sikap tetangga lainnya. Dariel disambut baik oleh para tetangga lainnya, kecuali Lista.  "Dasar aneh!" Umpat Lista begitu ia sampai di kamarnya.  Lista tau Dariel berasal dari keluarga kaya, dan untuk orang sejenis dia tentu saja tinggal ditempat seperti ini menjadi kelakuan paling absurd. Mungkin jika Lista memiliki banyak uang, ia pun tidak akan tinggal di tempat seperti itu dan akan memilih untuk membeli sebuah unit apartemen mewah dengan segala kecanggihan masa kini agar ia tidak perlu berperang dengan nyamuk setiap malamnya. Tapi, apa yang dilakukan Dariel sungguh diluar batas wajar dan Lista menganggap Dariel lelaki aneh yang wajib dihindari saat ini.  Mungkin jika bukan karena urusan kerja, Lista tidak akan mau keluar dari kamarnya dan memilih untuk berdiam diri saja. Namun ia masih memiliki kewajiban untuk bekerja, hingga membuatnya terpaksa keluar. Dengan membuka pintu secara perlahan, dan menengok ke kanan dan kiri untuk memastikan keadaan, Lista pun keluar dengan gerakan sangat pelan.  "Kamu kaya maling aja."  Lista terlonjak begitu ia mendengar suara tak jauh dari tempatnya berada. Begitu menoleh, Lista sudah menemukan Dariel berdiri tak jauh dari tempatnya. "Ngendap-ngendap gitu, kaya maling aja." Ucap Dariel lagi.  Lista hanya bisa menghela lemah, padahal tadi ia tidak melihat keberadaan Dariel, tapi lelaki itu tiba-tiba muncul. Sudah seperti hantu saja!  "Mau berangkat kerja?"  Tanya Dariel, ia pun mengikuti langkah Lista dari belakang. "Gue bisa antar lo ke tempat kerja. Kebetulan gue juga mau berangkat kerja." Meski tidak ada respon, Dariel tetap saja berusaha mencari perhatian Lista.  "Dih, dari tadi gue ngomong dicuekin terus." Keluh Dariel. "Aku mau berangkat kerja, dan terima kasih untuk tawarannya. Tapi, aku bisa berangkat sendiri." Jawab Lista  setelah beberapa saat ia hanya diam.  "Biar sekalian aja, biar lo gak capek juga."  "Tempat kerjaku deket, jadi gak perlu repot-repot anterin."  "Justru karena deket, biar makin cepet."  "Gak perlu. Udah sana kamu pergi, ngapain juga ngikutin aku sampe sini."  Dariel menoleh ke kanan dan ke kiri, ia baru sadar telah mengikuti Lista cukup jauh dari area rumah kos.  "Gila, gue jalan jauh juga ya." Ucap Dariel seakan tidak percaya dengan apa yang sudah dilakukannya.  "Makanya, sekarang lebih baik kamu pergi dan berangkat kerja. Daripada ngikutin aku gak jelas kayak gini."  "Makasih loh untuk perhatiannya." Dariel berdehem, "Gue berangkat kerja dulu ya, sampai ketemu nanti sore." Dariel pun memutar tubuh setelah ia melambaikan tangan ke arah Lista. Ia terlihat tergesa dan berjalan dengan cepat kembali ke rumah kos.  Sementara Lista hanya menghela lemah dan menatapnya dari kejauhan.  "Kamu kenapa? Kelihatan bete banget." Tanya Septa, begitu keduanya bertemu.  "Kelihatan banget ya?" Lista memegang wajah dengan kedua tangannya. Tidak bisa dipungkiri kehadiran Dariel  membuat Lista merasa kurang nyaman. Bukan hanya karena mereka pernah menjadi saudara ipar, tapi juga karena kehadiran Dariel sekaan kembali mengingatkan luka lama di hidupnya.  "Iya. Kenapa sih bete sepagian?" Lista menghela lemah, "Ada tetangga baru. Dia tinggal di kamar bekas kamu." "Kamarnya sudah ada yang nempati? Cepet banget ya?"  Lista mengangguk. "Ibu kos bilang, orang yang nempati kamar itu cewek juga. Tapi tadi pagi pas aku lihat ternyata bukan."  "Cowok?"  Tanya Septa penasaran. Lista kembali mengangguk. "Iya. Dan kamu tau siapa yang nempati kamar itu,"  Septa menggeleng. "Dia adalah orang yang waktu itu datang ke sini, pas restoran mau tutup." "Oh, dua lelaki itu." "Iya." "Mereka berdua tinggal disana?" "Nggak. Cuman sendirian."  "Wah,, seru dong. Biasa kan lantai dua hanya diisi kaum hawa aja, tapi sekarang ada lelakinya. Pasti dia jadi bahan rebutan cewek-cewek disana, apalagi dia ganteng."  Lista menatap jengah ke arah Septa, sebab ekspresi yang ditunjukan Septa tidak jauh dari para tetangga lainnya.  Yakni terlihat begitu antusias.  Lista semakin sadar jika hanya dirinya yang menganggap kehadiran Dariel seperti pengganggu berbeda dengan yang lainnya yang menganggap kehadiran Dariel seperti angin segar.  Lista mengira Septa bisa mengerti posisinya saat ini, nyatanya sama saja. Bahkan Septa berulang kali menanyakan bagaimana sikap dan reaksi para penghuni lainnya yang membuat suasana hati Lista semakin buruk.  Sementara itu di tempat lain, tepatnya di kantor tempat Dariel bekerja.  Dariel kembali datang terlambat, kali ini karena ia terlalu asyik mengikuti Lista hingga ia harus kembali berhadapan dengan atasan atau bos di kantornya yang tidak lain adalah Damar, Kakaknya.  "Lagi, lagi dan lagi kamu terlambat. Ini sudah ketiga kalinya kamu terlambat datang ke kantor." Ucap Damar.  "Maaf, Pak. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi." Ucal Dariel. Meski hubungan mereka berstatus kakak adik, namun di kantor Dariel tetap harus menghormati Damar sebagai atasannya.  "Salahkan saja mobilnya, karena dia sudah tidak bisa ngebut hingga membuat saya datang terlambat."  Dariel kembali menyalahkan mobil yang dikendarainya, mobil keluaran lama yang dipinjamkan Toni padanya.  "Kenapa menyalahkan mobil. Seharusnya kamu bisa berangkat lebih awal, jika tau mobil itu lambat."  Dariel menghela, berdebat di pagi hari dengan Damar memang bukan perkara mudah. Sebab Damar pasti akan mencari celah untuk setiap alasan yang diberikannya dan Dariel dipastikan akan kalah. "Kak," Akhirnya Dariel memasang tampang memelas, andalannya. "Mobilnya udah tua, gak bisa gitu Kak Damar ganti dengan yang baru. Atau kita bisa tuker pake biar Kak Damar tau gimana leletnya itu mobil." Keluh Dariel yang masih mengkambing hitamkan mobil Ayahnya.  "Kalau mobil itu beneran lambat, kamu bisa pakai motor yang ada di gudang. Motor itu gak kepake, masih bagus juga. Pake motor bisa lebih cepet daripada pake mobil, pake motor bisa cari jalan pintas." Balas Damar yang membuat Dariel menganga tidak percaya. "Motor di gudang? Bekas Mang Sapri? "Iya. Motornya masih bagus, masih layak pake juga. Dari pada pake mobil Papah."  "Kenapa aku harus pake motor butut itu? Kak Damar janji bakal beliin aku mobil baru, tapi sampai sekarang belum juga di beliin. Kak Damar ingkar janji." Dariel kembali mengungkit janji Damar yang sempat membuatnya tergiur. "Perjanjiannya kamu magang tiga bulan dan pastiin keadaan Lista."  "Aku bilang kan, Lista baik-baik aja. Dia masih hidup sampai hari ini. Tapi masalah magang tiga bulan, gak ada perjanjian itu dulu." Keluh Dariel yang merasa Damar semakin mempersulit keinginannya.  "Ada. Kamu aja yang gak nyimak." Balas Damar santai.  "Gak ada." "Ya udah kalau gitu. Perjanjiannya Kak Damar perbaharui sekarang. Yaitu, kamu magang tiga bulan dan setiap seminggu sekali kamu harus mencari informasi tentang Lista." "Memangnya apa pentingnya kabar Lista? Apa Kak Damar berniat akan menjadikan dia istri?"  "Gak mungkin dan gak akan pernah. Udah gak usah banyak tanya, kamu turutin aja kalau kamu mau mobil baru."  Dariel berdecak kesal. "Dasar duda gagal move on!" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD