Bab 8

1175 Words
"Kenapa mendadak sekali? Apa yang membuatmu ingin tinggal di tempat lain? Apa rumah ini kurang besar?" Tanya Fatma, setelah mendengar keinginan Dariel tinggal di tempat lain.  "Bisa saja tempat itu tidak aman dan kamu akan kesulitan beradaptasi dengan tetangga lainnya." Lanjutnya sambil terus mengikuti kemanapun Dariel melangkah.  "Papah, Damar, coba kesini dulu!" Karena Dariel masih tidak menggubris ucapannya, Fatma pun memanggil Damar dan Toni meminta bantuan dari kedua lelaki itu yang hanya diam di sofa sambil menonton acara televisi. "Kenapa sih, Mah?" Tanya Toni yang terlebih dulu menghampiri Fatma, disusul oleh Damar dari belakang.  "Lihat Dariel, dia tetap bersikeras mau pindah rumah." Tunjuk Fatma ke arah Dariel yang tengah memasukan beberapa pakaian kedalam tas kecil.  "Dia cuman pindah tempat tinggal, bukan pindah kewarga negaraan." Balas Damar santai. Ia tidak terkejut dengan keinginan absurd Dariel, sebab adik satu-satunya itu sering membuat onar dengan keputusan dan keinginannya yang tidak masuk akal.  "Lagian dia udah gede juga, biar aja dia mandiri." Balas Toni yang tidak ambil pusing dengan keputusan Dariel. "Kalian berdua mendukung keputusan Dariel?" "Iya." Jawab Toni dan Damar serempak. "Kan masih di wilayah Jakarta juga, Mah. Mamah bisa setiap hari mengunjungi Dariel kalau Mamah kangen." Toni hendak kembali ke sofa karena acara televisi kesukaannya belum selesai, namun baru saja dua langkah Fatma sudah terlebih dulu menghadangnya. "Papah gak kasihan sama anak sendiri? Dan justru membiarkan Dariel hidup bebas di luar sana?"  "Ya ampun Mamah. Ini lah salah satu sebab Dariel tidak bisa hidup mandiri, karena Mamah terlalu berlebihan. Dia hanya tinggal di rumah kos, bukan di kolong jembatan. Kenapa harus khawatir berlebihan, ping satu minggu juga balik lagi ke rumah."  "Bener Pah. Kita taruhan, kalau Dariel bertahan satu minggu Papah yang menang, dan kalau lebih dari satu minggu Damar yang menang. Gimana? Setuju?"  "Deal." Jawan Toni seraya berjabat tangan dengan anak sulungnya. "Taruhannya apa?" Tanya Toni lagi. "Kalau aku menang, Papah traktir makan siang di cafe kesukaan Damar selama dua minggu full. Tapi, kalau Papah menang, Damar yang traktir. Gimana?" "Setuju." Anak dan Ayah itu kembali berjabat tangan di hadapan Fatma yang terlihat begitu kesal karena tingkah anak dan suaminya yang sama-sama membuatnya kesal.  Sementara Dariel ia hanya tersenyum sinis menanggapi dirinya kembali menjadi bahan taruhan kakak, dan juga Ayahnya. Sebab bukan pertama kalinya mereka berdua melakukan hal serupa.  "Kenapa tiba-tiba mau pindah, pake acara kos segala." Tanya Damar. Setelah kerusuhan Fatma yang tetap bersikeras tidak menyetujui keinginan Dariel, akhirnya Fatma tetap kalah. Ia harus tetap merelakan anak bungsunya pindah rumah, entah untuk sementara atau mungkin bisa saja untuk beberapa hari saja.  Meski Damar dan Toni terkesan acuh dan tidak mau ambil pusing dengan keputusan Dariel, jauh di dalam hatinya ia tetap merasa khawatir.  "Emangnya bisa tinggal sendiri di tempat asing, apalagi kos-kosan. Harus bisa membedakan antara kos-kosan dan apartemen."  Dariel yang sejak tadi hanya fokus pada layar ponsel pun akhirnya menoleh. "Aku tau, kos-kosan gak ada AC kan?"  "Bukan cuma itu aja, tapi juga gak ada perabotan seperti kulkas, kompor,"  "Aku tau. Kak Damar gak usah khawatir. Sepertinya Kak Damar dan Papah nyepelein aku banget."  "Siapa yang nyepelein kamu." "Selama ini kalian selalu menyuruhku mandiri. Sekaranglah waktu yang tepat aku hidup mandiri. Aku tinggal sendiri dan kerja magang di kantor kalian. Itu sudah lebih dari cukup mandiri kan?"  Damar tersenyum samar. "Oke, Kakak mau tau sejauh mana kamu bisa mandiri. Jika memang alasan pindah rumah hanya karena mandiri, Kaka setuju. Tapi jika kepindahan kamu karena alasan lain dengan tujuan tidak baik, lebih baik urungkan saja niatmu. Jangan sampai menyesal di kemudian hari." Dariel hanya mengangguk samar, meski sejujurnya ia punya niat terselubung dan bukan hanya sekedar pindah biasa.  "Lo yakin, Riel?" Tanya Alex untuk kesekian kalinya.  "Yakin lah. Lo gak liat gue udah bawa baju segala?"  Alex melirik ke arah belakang, dimana tas Dariel berada. Ia hanya bisa menghela lemah, dan menggelengkan kepalanya.  "Gara-gara dicuekin tu cewek, lo sampe bela-belain pindah rumah? Padahal dulu waktu jaman kuliah aja lo sering banget ngeluh. Capek lah, gada yang ngurusin lah. Eh, sekarang malah mau pindah lagi."  "Gue masih penasaran sama tuh cewek. Dia normal apa nggak, masa gue yang ganteng ini ditolak mentah-mentah." "Hati-hati, nanti lo jatuh cinta beneran. Mampus, kalau sampai itu kejadian."  "Gue pastiin gak akan pernah terjadi. Lo gak lupa kan sama janji gue waktu itu?" "Hati manusia itu mudah sekali berubah, Riel. Apa yang lo omongin gak bisa dipercaya sepenuhnya. Lo ga inget gimana gamovnya Abang lo sampe hari ini?"  "Gue dan dia itu beda. Beda kasus dan beda pemikiran juga. Dia emang bucin level akut, sedangkan gue gak kenal tuh sama yang namanya bucin."  "Lo percaya diri banget." "Harus lah. Udah jangan kebanyakan cingcong, sekarang lo turun dan bantuin gue pindahan." Dariel mendorong pundak Alex agar lelaki itu turun dari dalam mobil.  Keduanya pun turun dengan Alex membawa satu paper bag besar berisi sepatu, sementara Dariel menggendong tas yang berisi pakaian. Hanya sepatu dan pakaian saja yang dibawanya, karena menurut Dariel dua benda itu adalah bagian terpenting dalam dirinya.  "Seperti kesepakatan kita sebelumnya, kamu menempati kamar paling ujung. Sebagai satu-satunya penghuni lelaki, kamu dilarang berisik, atau membuat keributan. Jika itu terjadi, maka saya akan langsung mengusir kamu. Dilarang membawa pacar terlebih lagi membawa pacarmu nginep. Mengerti?" Ucap Ibu kos.  "Mengerti." Jawab Dariel. "Ini kuncinya. Kalau mau masak nasi, mie atau kopi, kamu bisa pakai dapur umum. Tapi kalau kamu punya perlengkapan sendiri, ya tidak perlu ke dapur umum." Ibu kos menyerahkan kunci kamar yang akan ditempati Dariel.  "Satu lagi, setiap hari minggu semua penghuni rumah ini harus bergotong royong membersihkan area sekitar rumah. Buang sampah pada tempatnya." "Iya."  Ibu kos langsung pergi setelah ia menjelaskan sedikit aturan yang harus dipatuhi Dariel selama ia tinggal di rumah tersebut.  "Lo harus betah tinggal disini, jangan sampai usaha anak buah Bokap gue ngebujuk tu cewek gak jadi ngekos sia-sia. Dan lo harus tau, ngebujuk cewek itu gak mudah." "Tanks, bro. Lo teman gue paling baek sedunia." Dariel menepuk pundak Alex dengan cukup keras, hingga membuatnya meringis kesakitan.  Ruangan yang luasnya hanya sebesar kamar asisten rumah tangganya di rumah, membuat Dariel mengerjap berkali-kali. Ada perasaan tidak percaya dengan tempat tinggal yang akan ia tempati mulai hari ini. Bahkan keraguan perlahan menyeruak dalam benaknya.  "Yakin bakal betah?" Tanya Alex yang tengah duduk sambil mengipasi tubuhnya dengan potongan kardus karena tidak ada pendingin udara dan hanya ada kipas angin berukuran kecil. "Betah lah," Jawabnya cepat, namun justru bertolak belakang dengan isi hatinya. "Gak ada kipas angin doang masa sampe gak betah." Dariel tertawa dengan sebelah tangan mengusap keringat di dahinya.  "Besok gue pasang pendingin udara."  Malam.pertama di rumah baru, membuat Dariel sulit untuk memejamkan mata. Selain karena panas, juga karena nyamuk yang terus menerus menggigit tubuhnya.  Di dalam kamar kos hanya terdapat ranjang lengkap dengan kasur dan satu bantal, satu guling. Tidak ada selimut, pendingin udara atau pun lemari. Alhasil Dariel menyimpan semua baju dan juga sepatunya dalam kardus pemberian ibu kos sebagai tempat sementara.  Kardus tersebut sangat kontras dengan harga pakaian dan sepatu Dariel dengan harga jutaan bahkan ada yang mencapai puluhan juta. Dariel hanya bisa menghela lemah, mengikhlaskan barang-barang kesayangannya berada dalam kardus bekas mie instan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD