Bab 7

1328 Words
Tepat pukul sebelas siang, menjelang jam istirahat yang ramai Septa baru saja datang. Kedatangannya membuat Lista menghela lega, sebab ia tidak akan sanggup menghadapi banyaknya pengunjung di waktu-waktu seperti ini. "Maaf ya aku telat." Septa terlihat bersalah, dan langsung meminta maaf begitu menghampiri Lista.  "Gak apa-apa."  Mereka berdua tidak sempat saling bertanya satu sama lain, sebab beberapa menit kemudian keramaian pengunjung membuat keduanya sibuk. Dari pukul dua belas sampai pukul dua siang, restoran memang sedang sibuk-sibuknya. Bukan hanya Septa dan Lista saja, bagian produksi pun tak kalah sibuknya.  "Ya ampun, tanganku pegel banget." Keluh Septa, begitu mereka menyelesaikan pesanan terakhir dan bisa beristirahat.  "Makin hari, restoran ini makin ramai aja." Lanjut Septa.  "Artinya rezeki Pak Farel makin banyak." Balas Lista.  Tidak bisa dipungkiri, usaha milik Farel ini semakin hari semakin pesat saja. Berawal dari bisnis kecil, hingga kini ia bisa menjadi salah satu saingan brand ayam goreng besar lainnya. Kehadiran usaha milik Farel memang patut diperhitungkan dan tidak bisa dianggap sepele.  "Suatu hari nanti, aku ingin memiliki sebuah cafe yang sangat nyaman dengan dekorasi yang cantik. Menyediakan minuman dan kue-kue yang enak." Ucap Lista, secara tidak langsung ia mengutarakan mimpinya selama ini. Mimpi yang hanya bisa jadi angan-angan, sebab tidak ada modal dan keberanian yang dimilikinya.  "Aku yakin suatu saat nanti, kamu pasti bisa mewujudkan mimpi kamu itu." Septa mengusap pundak Lista dengan perlahan.  "Aku gak yakin." Jawab Lista pelan. "Kenapa gak yakin? Gak ada yang gak mungkin di dunia ini, kalau kita mau berusaha." "Usaha tanpa modal gak akan jalan, Septa." Lista tertawa hambar.  "Tapi banyak modal kalau gak ada niat dan kerja keras juga gak akan berjalan."  "Ngomongin apa sih? Kayaknya seru banget." Tanya Farel. Lelaki itu tiba-tiba saja datang menghampiri Lista dan Septa yang tengah beristirahat sambil menikmati hidangan makan siang.  "Eh, ada Pak Farel." Septa langsung salah tingkah begitu Farel datang. Bahkan tanpa canggung, Farel langsung bergabung dengan dua wanita itu.  "Saya boleh makan siang bareng?"  "Silahkan." Balas Lista.  "Lagian kan Pak Farel udah duduk juga, gak mungkin kita usir lagi." Septa ikut menimpali.  Farel hanya tersenyum menanggapi.  "Tadi kalian ngomongin apa? Saya dengar Lista bilang cafe gitu."  "Iya. Lista bilang, dia pengen punya usaha seperti Pak Farel. Tapi, bukan ayam goreng juga nanti malah saingan." Balas Septa. Salah satu keuntungan berteman dengan Septa, yaitu dia bisa menjawab pertanyaan yang sebenarnya ditukan untuk Lista. Oleh karena itu Lista tidak perlu repot-repot menjawab, karena sejujurnya ia tidak pandai berbicara dan bisa saja jawabannya itu justru membuat suasana menjadi canggung karena sikapnya yang terlalu kaku.  "Bener gitu, Lista?" Seolah ingin memastikan, Farel pun bertanya pada Lista.  "Maunya sih, gitu. Tapi," "Cita-cita itu gak pake tapi," Farel memotong ucapan Lista.  "Ganti pakai, harus." Farel menekan kalimatnya dengan senyum samar yang bisa membuat kaum hawa dengan iman lemah seperti Septa akan hilang kendali. Seperti yang terjadi padanya saat ini. Septa menatap ke arah Farel dengan tatapan memuja.  "Dulu, saya juga buka usaha ayam goreng dari usaha kecil-kecilan. Bahkan saya pernah jual pakai gerobak, dan mangkal di depan rumah. Awalnya hanya satu pelanggan, lama-lama dua, bahkan sampai banyak seperti sekarang. Memang butuh waktu dan proses, bahkan saya juga pernah mengalami kebangkrutam sampai dua kali. Tapi saya tetap konsisten dan pantang menyerah."  Pengalaman yang diceritakan Farel memang bisa membangkitkan semangat dalam hati Lista, namun tetap saja ia tidak memiliki keberanian sebesar Farel. Lista masih bergelut dengan rasa takut yang kini terus membelenggu hatinya.  "Memulai usaha dari hal kecil saja dulu, sesuai modal. Ciptakan menu lain dari yang lain, maka kamu akan bisa mengalahkan trend pasar dan pelanggan akan berdatangan dengan sendirinya." Lanjut Farel.  Lista hanya mengangguk samar, sebagai jawaban.  "Dulu Lista punya usaha catering kecil-kecilan, dia pandai membuat kue. Sedangkan Kakaknya sangat mahir dalam bidang masakan." Tanpa disuruh, Septa menceritakan latar belakang Lista yang tidak pernah diceritakannya pada siapapun, kecuali Septa itu sendiri.  Lista menyikut pelan pinggang Septa, ia merasa malu jika Farel mengetahui masa lalunya.  "Oya? Kamu bisa buat kue apa? Kue tradisional atau modern?" Tanya Farel. Ia semakin antusias di tengah rasa malu yang dirasakan Lista.  "Kue modern, kalau kue tradisional saya tidak terlalu bisa hanya beberapa saja." Balas Lista dengan malu-malu. "Tapi bukan berarti saya bisa membuat semua jenis kue modern." Jelasnya lagi, karena ia takut Farel beranggapan dirinya bisa menguasai semua jenis kue yang tidak terhitung jumlahnya itu. "Seperti cake ulang tahun, kamu bisa membuatnya?" Tanya Farel. "Bisa, sedikit."  "Kebetulan dua minggu lagi, Mamah ku ulang tahun. Boleh saya minta buatkan kue ulang tahun?"  "Tapi, kue buatan saya belum tentu seenak kue-kue di toko terkenal."  "Tidak apa-apa. Saya justru lebih suka kue yang klasik dan sederhana. Gimana? Bisa kan?" Lista ingin sekali menolak permintaan Farel, namun melihat Septa begitu mendukungnya dan juga Farel yang terlihat sangat berharap, akhirnya Lista pun memberanikan diri.  "Bisa." Jawabnya.  "Kalau begitu dua minggu lagi, sekitar tanggal dua puluh januari, aku pesan kue untuk Mamah. Tidak perlu terlalu mewah, simple saja."  Lista kembali mengangguk, "Iya."  Untuk pertama kalinya setelah hampir satu tahun lamanya ia tidak pernah membuat kue atau memegang oven dan mixer, kini ia memberanikan diri untuk kembali bersahabat dengan alat-alat tersebut. Lista gugup, meski acara ulang tahun Mamah nya Farel masih dua minggu lagi. Tapi mengingat pelanggan pertamanya adalah ibu dari pemilik restoran tempatnya bekerja, sudah pasti Lista harus membuat kue dengan sebaik mungkin agar mereka langsung terkesan dengan hasil karyanya.  "Kenapa pindah sih?" Ucap Lista dengan wajah sedih sebab sore harinya setelah ia dan Septa pulang kerja, Septa justru mengucapkan kata perpisahan. Gadis itu akan pindah rumah.  "Kenapa mendadak banget." Ucap Lista lagi, ia benar-benar merasa kehilangan jika Septa pindah.  "Aku hanya pindah rumah, kita masih bisa ketemu di kerjaan." Jawab Septa.  "Awalnya aku mau bilang hal ini ke kamu tadi siang, tapi gara-gara Pak Farel ikut bergabung, jadinya aku baru bisa pamit ke kamu sekarang." Lanjut Septa.  "Pamit sekaligus langsung pindahan. Kenapa gak bulan depan aja pindahnya."  Keluh Lista.  "Mamah sakit-sakitan, aku gak bisa tinggal disini terus sedangkan dia butuh seseorang untuk merawatnya."  Alasan kepindahan Septa, memang sangat masuk akal dan Lista tidak bisa mencegah atau menahan Septa agar tetap tinggal di dekatnya. Meski begitu, Lista tetap saja merasa tidak rela karena mulai saat ini ia akan tinggal berjauhan bersama Septa.  "Sering-sering main kesini ya?"  "Iya. Aku pasti sering main kesini kalau kondisi mamah sudah mulai membaik."  Lista mengantar kepindahan Septa dengan menggandeng wanita itu hingga ke mobil yang sudah menunggunya sejak tadi siang. Rupanya keterlambatan Septa datang ke tempat kerja, yaitu karena ia harus mengurus kepindahannya terlebih dulu dibantu beberapa tukang dan Ayahnya. Kini setelah pulang kerja, tinggal Septa yang harus segera pulang karena rombongan pengangkut barang sudah menunggunya sejak tadi.  "Aku pulang ya, jaga diri baik-baik. Sampai ketemu lagi besok di tempat kerja." Septa memeluk Lista dengan sangat erat. Selama ini baik Septa maupun Lista, keduanya saling bergantung satu sama lain. Mereka bukan hanya sekedar tetangga, tapi juga sahabat dalam segala situasi. Tapi karena keadaan yang tidak memungkinkan, akhirnya Septa harus pindah dan tinggal bersama orang tuanya.  "Kamar yang ditempati Septa tidak lama.lagi akan segera ada penghuninya. Kamu akan segera mendapat tetangga baru." Ucap Ibu kos yang menghampiri Lista setelah ia mengantar Septa pulang.  "Semoga saja tetangganya baik, seperti yang lainnya." Jawab Lista.  Dari sekian banyak penghuni yang menempati kamar kos, tidak ada satupun dari mereka yang bersikap menyebalkan atau membuat kerusuhan lainnya. Semua bertetangga dengan baik, meski jarang bertemu dan bertukar sapa karena hampir seluruh penghuni kamar kos merupakan pekerja yang terdiri dari karyawan kantor atau pelayan seperti dirinya. Dan untuk pendatang yang dimaksud Ibu kos, Lista sangat berharap penghuni baru itu juga bukan tipe tetangga rese yang bisa mengganggu ketenangan.  "Tentu saja baik. Ibu tidak mungkin mau menerima sembarang orang. Karena ibu harus mementingkan kenyamanan kalian yang sudah terlebih dulu tinggal disini."  Lista setuju dengan ucapan ibu kos.  "Kalau boleh tau penghuni baru itu laki-laki atau perempuan ya, Bu?" Tanya Lista penasaran.  "Perempuan."  "Syukurlah kalau perempuan. Jadi satu lantai ini isinya perempuan semua."  Ibu kos mengangguk, meski Lista tidak pernah tau siapa yang akan menjadi tetangga barunya itu. Entah benar perempuan, atau justru bukan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD