Part 6

1176 Words
Jey Stefan menyuapi Akila dan Syifa di ruang makan. Dua anak itu terlihat senang sekali, mereka berdua berceloteh tanpa henti menceritakan banyak hal dengan penuh semangat pada Jey. “Akila, Syifa, nanti berangkat ke sekolah bareng sama om, ya?” Tawarnya sambil tersenyum menyuap satu sendok makanan ke dalam mulut Akila, bergantian dengan Syifa. Akila dan Syifa nampak saling bertukar pandang satu sama lain. Mereka tidak berani mengambil keputusan tersebut tanpa mendapatkan ijin dari ibunya. “Kila? Bagaimana ini? Aku mau sama Om ganteng, tapi Mama pasti marah nanti.” Seru Syifa pada Akila dengan suara pelan. Nida yang tadinya masih duduk di lantai segera berdiri dan menyusul mereka menuju ke ruang makan. “Ssstttt, diam, Mama ke sini!” Seru Akila sambil menutup bibirnya sendiri menggunakan jari telunjuk tangannya. Spontan Akila dan Syifa segera menutup bibirnya rapat-rapat, mereka tidak berani membicarakan tawaran Jey barusan. Jey menggelengkan kepalanya sambil menahan gelak tawanya melihat dua anak itu begitu imut. “Sraak!” Nida menarik kursi lalu duduk di sebelah Jey. “Kenapa tiba-tiba diam? Kalian membicarakan Mama?” Tanya Nida pada kedua putrinya. Akila dan Syifa mengerjapkan kelopak matanya, dua anak itu menatap wajah Jey dengan tatapan memelas seakan berharap ada pertolongan darinya. “Ah, imut sekali!” Seru Jey, “Ayo makan lagi.” Pria itu menyuap mereka lagi. “Jangan terlalu keras, Nida. Mereka masih kecil, mereka butuh kasih sayang, mereka sedang tumbuh, berikan pada Syifa dan Akila kenangan yang manis.” Nida spontan menoleh mendengar ucapan Jey barusan. Wanita cantik itu ikut mengerjapkan kelopak matanya, dia melihat Jey begitu telaten menyuapi kedua putrinya. Bahkan Rafa Hanafi tidak pernah melakukan itu sejak dia memiliki dua putri mungil tersebut, Rafa lebih sering berada di pabrik. “Jangan sampai aku berpikir kalau kamu seorang duda, Jey. Kamu bahkan lebih muda dariku! Tapi kamu terlihat lebih berpengalaman merawat anak-anak.” Seru Nida dengan suara lirih pada telinga pria di sebelahnya tersebut. Jey mengukir senyumnya mendengar ucapan Nida. Wanita itu menunjukkan keberanian padanya tapi tidak bisa mengusir rasa gugup dan dentuman jantungnya. Jey bisa melihat wajah Nida bersemu merah saat ini. “Aku hanya ingin anak-anak ini memiliki kenangan manis, Nida. Semanis dirimu! Aku ingin melihat senyum terukir pada bibir mereka berdua. Lihatlah mereka begitu imut kalau tersenyum.” Bisik pria itu padanya seraya menatap kedua mata Nida lekat-lekat. Nida menelan ludahnya mendengar ucapan tersebut. Keduanya bertukar pandang walau hanya sesaat. Jey kembali mengukir senyum pada bibirnya lalu berdiri dari kursinya. Dia sudah selesai menyuapi Syfa dan Akila, pria itu membawa wadah tersebut ke dapur. Melihat Jey berlalu ke dapur Nida mengumpat dalam hati. “Pria ini, benar-benar kurang ajar! Dia sangat tidak sopan!” Ibu Nida melihat Jey meletakkan wadah tersebut di tempat sampah, pria itu juga langsung mencuci kedua tangannya pada westafel yang ada di dapur. “Seharusnya Nak Jey taruh saja di meja, biar Ibu yang bereskan.” Ucap wanita itu seraya tersenyum penuh haru. “Nggak apa-apa Bu, ini sengaja biar Jey nanti terbiasa melakukan ini. Ibu sudah sibuk mengurus rumah dan lainnya, Mbak Nida juga pasti sangat lelah karena mengurus katering.” Ucapnya pada wanita paruh baya tersebut. “Semoga setelah menikah nanti, kalian akan hidup bahagia. Ini harapan ibu, apalagi jika melihat Nida terus melamun.. ibu sangat cemas kalau sampai Nida terpuruk gara-gara Rafa Hanafi.” Jey mengangguk, “Semoga harapan Ibu terwujud, Jey tidak berani berjanji. Tapi Jey akan berusaha untuk menjaga dan bertanggung jawab atas hidup Mbak Nida dan anak-anak. Jey akan berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka. Ibu doakan saja semoga tidak ada halangan ke depannya.” Ucap pria itu dengan seutas senyum tulus. “Pasti! Pasti, Ibu doakan.” Jey segera kembali menuju ke ruang makan, dia mendapati Akila dan Syifa duduk sendirian di sana. Sementara Nida sedang sibuk menerima telepon, wanita itu berdiri memunggungi mereka bertiga menghadap ke meja di sisi ruangan. Nida nampak sibuk mencatat sesuatu pada buku catatan miliknya sambil berbicara pada seseorang di seberang sana. “Mama sibuk, ayo kita berangkat ke sekolah.” Jey menatap arloji di pergelangan tangannya, dia sendiri juga harus segera menuju ke lokasi syuting. Ada beberapa hal penting yang harus dia urus, sejak tadi ponsel dalam sakunya juga bergetar tapi Jey dengan sengaja mengabaikannya. Bahkan rencana pria itu jika sudah menikah nanti, dia akan mengatur pada jam-jam tertentu agar kebersamaan keluarga kecilnya tidak terganggu karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Nida melihat Jey menggandeng Akila dan Syifa segera menyela, wanita itu langsung mengakhiri panggilan dari seberang sana lalu berjalan cepat menyusul Akila dan Syifa. “Eh, kalian mau ke mana. Mama belum bersiap!” Nida berdiri menghadang Jey. “Biar aku saja yang ngantar anak-anak ke sekolah, kamu pasti butuh waktu lama. Kamu harus mandi dan berganti pakaian.” Ucapnya seraya mengukir senyum. Akila dan Syifa mendongak menatap wajah Jey yang kini tengah menggandeng jemari tangan mereka berdua. Dua anak itu tersenyum cerah. Nida melihat kedua putrinya, dia melihat harapan besar terpancar dari dua pasang mata mungil tersebut. Nida menghela napas panjang dia tidak sampai hati melihat mereka melepas senyum cerah itu hanya karena egonya yang menolak sosok Jey Steyfan! Nida memberanikan dirinya, wanita itu melangkah maju. “Jaga anak-anak untukku.” Pesan Nida pada Jey dengan kedua bola mata penuh harap. “Aku tidak akan pernah mengecewakanmu, Nida.” Sahutnya dengan kedua bola mata berkaca-kaca. Jey melihat Nida hampir melelehkan air matanya, pria itu spontan berkata. “Lekaslah mandi, aku mencium sesuatu...” ucapnya terpotong karena Nida melotot padanya. Wanita itu segera berlari masuk ke dalam. Wajah Nida terasa sangat panas. Nida langsung berlari masuk ke dalam kamar mandi lalu mengendus bajunya, tidak ada aroma aneh di sana karena Jey memang sengaja mengatakan itu agar Nida tidak menangis di depan matanya. Jey membuka pintu mobilnya, Akila dan Syifa masuk ke dalam. Pria itu mengantarkan mereka ke sekolah. “Om, nanti jemput Kila ya?” Pinta anak itu tiba-tiba saat mereka sedang dalam perjalanan menuju ke sekolah. Jey terdiam sejenak, dia sangat sibuk sekali. Di lokasi syuting banyak hal yang harus dia urus. Tapi untuk berkata tidak pada Akila? Tiba-tiba ada ganjalan di dalam hatinya. “Siaaapppp!” Serunya seraya mengukir senyum lebar pada bibir tipisnya. Sontak Akila dan Syifa bersorak kegirangan. “Yeeyyyyy! Horeee!” Jey ikut tertawa lepas bersama dua anak itu. Sampai di tempat tujuan Jey mengantarkannya masuk sampai ke pintu gerbang sekolah. Akila dan Syifa masih menggenggam kedua tangannya dengan sangat erat seakan mereka tidak ingin melepaskannya. Sampai Jey duduk berjongkok di depan mereka berdua barulah dua anak itu bersedia melepaskan genggaman tangannya. “Sudah masuk ke dalam, nanti Om jemput sepulang sekolah. Okay?” Janjinya pada mereka berdua seraya mengusap puncak kepala dua anak itu. Akila dan Syifa mengangguk bersamaan. Mereka melambaikan tangannya dan masuk ke dalam. Jey masih berdiri di sana, baru saja berbalik tiba-tiba seseorang memberikan pukulan pada wajahnya. “Jroot! Braakk!” Tubuh Jey terdorong menabrak pagar besi pembatas halaman sekolah. Jey menoleh ke belakang seraya mengusap ujung sudut bibirnya yang berdarah. “Rafa?” Serunya saat pria itu kembali meraih kerah baju yang Jey kenakan untuk memberikan pukulan ke dua padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD