"Lalu? Aku harus minta bantuan sama siapa?" tanya Gina
"Axel. Cuma dia yang bisa memberi suntikan dana tanpa minimal ataupun maksimal." Ujar Revan yang membuat kedua bola mata Gina nyaris loncat dari tempatnya karena terkejut mendengar nama Axel.
"Kenapa harus Axel, Kak? Kenapa tidak yang lainnya saja? "tanya Gina yang tidak ingin berurusan dengan yang namanya Axel. Gina sudah terlanjur membenci pria itu, terlebih Gina juga sudah memberitahu Axel Kalau Gina tidak akan meminta bantuan pada Axel, dan akan menjual keperawanannya pada pria lain.
"Karena cuma dia yang mampu memberikan suntikan dana sebanyak yang dibutuhkan oleh perusahaan kita." Jawab Revan yang membuat Gina benar-benar merasa kesulitan untuk menelan air liurnya sendiri.
Bagaimana bisa Gina menelan air liurnya sendiri dengan begitu mudah, di hari yang sama, hari ini, Gina sudah mengatakan pada Axel, kalau dirinya tidak akan meminta bantuan Axel, dan bahkan dengan terang-terangan Gina berkata kalau ia akan menjual keperawanannya pada pria lain, tapi kini Gina malah di suruh meminta bantuan Axel oleh kakaknya. Sangat tidak lucu, baru aja bilang mau jual keperawanan pada pria lain, sekarang Gina langsung mendatangi Axel dan memohon bantuan dia, pikir Gina.
"Papa tidak tahu harus minta bantuan siapa selain pada kalian berdua. Kalian pikirkan baik-baik. Papa pusing." Ujar Ashar yang langsung pergi begitu saja, membiarkan dua anaknya berpikir keras untuk mencari solusinya agar bisa mempertahankan perusahaan MAHER.
Sekarang di rumah tamu itu hanya ada Gina dengan Revan.
"Gina, kalau bukan kamu yang bisa menyelamatkan perusahaan, siapa lagi. Kamu tidak lihat tadi seperti apa kesedihan Mama." Ujar Revan mencoba untuk menyadarkan Gina, agar Gina secepatnya meminta bantuan Axel.
"Kak, anak Mama itu gak cuma aku. Kak Revan juga anak Mama, kenapa harus aku yang dilempar kesana kemari untuk mencari pancingan." Ujar Gina dengan nada kesalnya, yang membuat Revan langsung melempar wajah Gina dengan bantal kecil yang sejak tadi ia remas untuk melampiaskan ketegangannya.
"Kamu kan kesayangan Grandpa, jadi kamu yang harus melindungi perjuangan Grandpa." Ujar Revan bercanda
"Kita sama. Gak ada kata kesayangan. Lagian, yang mengelola perusahaan itu kan Kakak, jadi Kakak lah yang berkorban." Ujar Gina yang masih merasa keberatan untuk meminta bantuan Axel.
"Kalau keluarga Vicenzo ada keturunan gadis, sudah sejak awal aku Pepet anak gadis mereka. Kakak melempar kamu, itu karena mereka hanya punya Axel." Ujar Revan yang membuat Gina semakin marah mendengar ucapan Revan.
Tanpa membuka suara lagi, Gina pun pergi, membuat Revan yang melihat kepergian Gina hanya menggelengkan kepalanya pelan.
"Apa yang harus aku lakukan." Gumam Gina sambil menyalakan mobilnya dan memukul stir mobilnya dengan keras, untuk melampiaskan emosinya.
Gina melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, serta pandangan kosong yang lurus ke depan, karena ia merasa benar-benar tidak memiliki jalan untuk mempertahankan perusahaan, hasil perjuangan Grandpa dulu.
Gina yang berkeliling tanpa tujuan langsung menghentikan mobilnya di tepi jalan karena Gina sudah merasa lelah.
Gina menyandarkan kepalanya di sandaran kursi mobil, dan memejamkan matanya berharap ia segera bangun dari mimpi buruknya.
Setelah cukup lama Gina terdiam, ada notifikasi pesan masuk, dan dengan cepat Gina membuka pesan masuk tersebut yang ternyata pesan masuk itu dari Revan.
"Jangan membuat Grandpa kecewa sama cucu kesayangannya." Begitulah isi pesan dari Revan, membuat Gina langsung mencengkram kuat setir mobilnya.
Gina kembali menyalakan mobilnya, dan menancap pedal gas mobilnya. Kali ini, Gina harus bertemu dengan Axel.
Saat di perjalanan, Gina kembali mengambil ponselnya, dan menghubungi nomor ponsel Axel.
"Paman, aku mau bertemu. Di tempat biasa." Ujar Gina yang langsung mematikan sambungan teleponnya setelah memberi tahu Axel. Gina sengaja langsung mematikan sambungan teleponnya karena Gina tidak ingin mendengar kata penolakan dari Axel.
Tidak butuh waktu lama, mobil Gina berhenti di sebuah restoran sederhana. Gina masuk dan menunggu Axel yang masih belum datang.
Gina yang memang tidak suka menunggu, berulang kali melihat jam di pergelangan tangannya, yang ternyata Gina sudah menghabiskan waktu hampir setengah jam, tapi Axel masih belum datang.
Gina benar-benar sangat kesal pada Axel. Kalau bukan karena Gina perlu, atau memiliki kepentingan pada Axel, Gina tidak Sudi menunggu Axel hingga berjam-jam, pikir Gina.
Karena Gina sudah menghabiskan minumannya, akhirnya Gina kembali memanggil Waiters untuk memesan minuman yang kedua kalinya. Jujur saja Gina selalu minum bukan karena Gina haus, tapi karena Gina merasa jenuh, dan obat dari rasa jenuhnya yaitu dengan ditembak oleh segelas minuman.
Belum sempat Gina memanggil Waiters , ponsel Gina berdering,
Dengan kesal Gina menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan masuk dari Axel.
"Halo, Paman tua. Sebenarnya sejauh apa sih perjalanan menuju kesini?" tanya Gina dengan penuh kekesalan.
"Aku cuma mau bilang, temui aku di rumah. Badanku sakit semua. Aku tidak bisa datang." Ujar Axel tanpa dosa, membuat kepala Gina serasa ingin meledak karena menahan emosi, dan panggilan berakhir secara sepihak.
Bagaimana tidak emosi, hampir satu jam Gina menunggu Axel, tapi Axel tidak datang, dan tiba-tiba Axel memberitahu kalau dirinya tidak bisa datang, bahkan meminta Gina untuk datang ke rumahnya, setelah Gina hampir karatan menunggu Axel.
"Pak Tua!" Gina benar-benar kesulitan menahan emosinya.
Dengan kesal Gina berdiri dan menghentakkan kakinya ke lantai karena kesal.
Gina keluar dari resto tersebut, dan masuk ke dalam mobilnya. Dengan cepat Gina menjalankan mobilnya dan menuju ke rumah Axel.
Tak butuh waktu lama, Gina sudah sampai di rumah Axel.
Gina keluar dari mobilnya, dan mencet bel rumah Axel.
Seorang pelayan membukakan pintu untuk Gina, dan langsung mengantar Gina ke kamar sang tuan.
"Ini kamar Tuan Axel. Silahkan anda masuk, karena Tuan sudah berpesan, kalau anda sudah tiba, anda langsung dipersilahkan untuk masuk." Ujar pelayan tersebut yang langsung disambut dengan anggukan dan juga senyum keramahan oleh Gina.
Ceklek
Gina membuka pintu kamar Axel, dan Gina langsung masuk begitu saja.
Gina sedikit terkejut melihat Axel duduk santai di sofa dekat ranjangnya.
Gina mendekati Axel, dan langsung duduk tanpa di persilahkan.
"Harusnya Paman langsung menghubungi aku kalau aku harus kesini. Jadi aku tidak perlu nunggu Paman seperti orang bodoh." Ujar Gina yang masih kesal pada Axel.
"Disini, yang butuh aku adalah kamu, bukan aku butuh kamu. Jadi suka-suka aku." Ujar Axel yang membuat kedua bola mata Gina kembali melotot. Gina benar-benar sangat kesusahan menahan emosinya, tapi Gina tetap berusaha untuk mengendalikan diri, karena apa yang dikatakan oleh Axel benar, Gina yang membutuhkan Axel.
"Baiklah. Lupakan." Ujar Gina mengalah, karena Gina benar-benar sangat membutuhkan bantuan Axel.
"Paman, Paman masih belum menemukan wanita yang akan dijadikan istri kan? Ah, maksud aku, kerjasama kita yang itu masih berlaku 'kan?" tanya Gina yang merasa sedikit kesulitan untuk mengutarakan maksud dirinya menemui Axel.
"Kenapa? Bukannya kamu ingin menjual keperawanan kamu pada pria lain? Apa kamu sudah lelah menawarkan diri atau menjual diri pada semua pria namun tidak mendapatkan harga yang jauh lebih tinggi dariku?" Axel balik tanya, dan pertanyaan Axel benar-benar sangat menghina Gina, tapi Gina tetap berusaha untuk tetap tidak terpancing emosinya.
"Paman, aku belum sempat menjual atau menawarkan tubuhku pada pria manapun, karena aku menerima syarat apapun dari Paman." Ujar Gina berterus terang, dan tidak ingin menundanya lagi karena takut Axel berubah pikiran.
"Oh, belum sempat. Yaudah, sekarang kamu bisa tawarkan dulu pada orang lain. Lagi pula, aku sudah punya rencana untuk…"
"Paman, tolong. Aku bersedia dengan syarat apapun yang Paman ajukan, asal Paman bisa menolongku." Ujar Gina cepat hingga Memotong ucapan Axel, dan langsung menjatuhkan tubuhnya di bawah kaki Axel. Selama hidup Gina, belum pernah Gina memohon atau merendah seperti yang dilakukan dirinya saat ini pad Axel. Tapi demi menyelamatkan perusahaan yang sudah sudah payah Grandpa rintis, Gina rela merendahkan dirinya.
Axel yang melihat Gina memohon sampai merendah langsung memperlihatkan senyum sinisnya.
"Kemana wajah angkuhmu yang biasa kamu tunjukkan? Kenapa sekarang jadi rela merendah seperti ini?" tanya Axel dengan nada yang terdengar sangat meremehkan.
Axel menarik dagu Gina, hingga mata keduanya saling bertatapan.
"Butuh suntikan dana yang cukup tinggi untuk menyelamatkan perusahaan keluarga mu?" tanya Axel dengan nada dinginnya, dan Gina dengan refleksnya menganggukkan kepalanya.
"Itu hal yang mudah. Yang sulit itu, apakah kamu bisa melakukan syarat yang aku ajukan!" ujar Axel yang meragukan kesungguhan Gina, kalau Gina bisa memenuhi syarat yang di maksud oleh Axel.
"Aku bisa. Aku sangat bisa. Tolong!" ujar Gina dengan penuh keyakinan, Serta raut wajah yang terlihat begitu sangat memohon.
"Baiklah. Tanda tangan ini." Ujar Axel seraya menyerahkan berkas yang harus ditandatangani oleh Gina. Tanpa membaca terlebih dahulu, Gina langsung membubuhkan tanda tangannya sebagai tanda persetujuan dengan syarat yang diajukan oleh Axel.
Gina kembali menyerahkan surat kontrak yang baru saja ia tandatangani pada Axel.
Axel mengambil surat tersebut, dan menyimpannya, lalu menarik pergelangan tangan Gina.
Ternyata Axel membawa Gina ke kantor catatan sipil.
Gina dan Axel keluar dari kantor catatan sipil dengan membawa buku kecil berwarna merah gelap, dan ternyata buku itu adalah buku nikah mereka.
"Oh tidak! Sekilat ini aku menikah dengan pria tua seperti Paman Axel. Maafkan aku Pah, Mah, Kak Revan." Gumam Gina dalam hati, sambil memandang buku kecil itu dengan tatapan penuh kesedihan.
Gina dibuat terkejut saat Axel merebut buku nikahnya.
"Biar aku yang menyimpan ini." Ujar Axel sambil menunjuk buku nikah yang baru saja ia rebut dari tangan Gina.
Axel kembali menarik pergelangan tangan Gina dan membawanya masuk ke dalam mobilnya.
"Baca dengan teliti." Ujar Axel setelah melempar surat kontrak yang sudah ditandatangani oleh Gina.
Gina mulai membaca dengan dahi berkerut karena Gina merasa semuanya sudah selesai.
"Apa-apaan ini, Pak Tua…"