Kamis (13.54), 14 Oktober 2021
--------------------------
Malam cerah dengan cahaya sang rembulan
Dunia pun jadi nampak berkilau nan indah
Walau terkadang dia menghilang dalam pancarannya
Tapi tidak untuk pergi, berjanji kan kembali lagi
Tak ada yang perlu diterka
Karena semua telah melaksanakan perannya
Lambat laun jarak kan memberikan penyatuan
Waktu kan menciptakan sebuah rasa
Dan keadaan kan berubah sebagaimana mestinya
Tiap khayalan dan kejadian yang datang
Jadi sebuah kata-kata lengkap yang tersusun rapi
Tetap positif dengan sebuah rencana
Karena senja akan datang,
meski dengan suasana berbeda
Memanglah aku bukan senja yang kau tunggu
Tapi akulah langit yang kan menemani hari-harimu
Di kala malam imajinasiku terbawa rona merahnya,
indah di balik awan yang lembut
Kala cahaya itu menghilang,
dia tak perlu berjanji untuk kembali
Dia hanya butuh waktu ‘tuk menepati
Karna dia tahu,
meninggalkan bukan berarti mengusaikan segala harapan
Tapi meninggalkan hanya ‘tuk menguji sebuah kesetiaan
Rindu tengah menanti
Namun langkah pun tak kunjung berhenti
Di ujung senja ia meniti
Menanti cahaya bersinar kembali
Tiap malamku hanyalah desiran angin dan kesunyian
Membuka pagi dan melepas senja
Menenangkan malam dan berbagi cerita
Bukankah hanya sebatas senja yang datang?
Saling melihat tapi tak saling terikat
Saling menatap namun tak saling menetap
Orang bilang harapan bak awan yang mengikuti angin
Namun impian tak demikian
Ia bagaikan cahaya
Walau sebentar dan hanya sekejap mata
Tapi membawa keindahan yang begitu bermakna
Cahaya mengajarkan kita
Apapun yang terjadi, ia selalu berikan sinarnya
15 April 2021
By Khairul Anwar
“Baru kelar. Alhamdulillah selesai juga,” ketik Khairul lalu ia kirim pada Emilya.
Puisi yang Khairul buat sejak semalam hingga siang ini akhirnya selesai. Kini ia tak sabar menunggu reaksi Emilya setelah membacanya. Kira-kira apa pendapat wanita itu?
“Aku baca ya, Mas.”
Deg… deg… deg…
“Monggo…”
Sambil menunggu balasan baru dari Emilya, Khairul mencoba mengklik link cerita yang Emilya post di story WAnya. Sejenak ia habiskan waktu untuk membaca dan… langsung menyerah di paragraf kedua.
Yah, sedari dulu membaca novel bukanlah kesukaannya. Apalagi yang sebanyak ini. Ketimbang baca novel, Khairul lebih suka baca puisi. Sedikit kata namun penuh makna.
“Bagus sekali.”
Satu pesan masuk dari Emilya nampak di layar ponsel Khairul lalu dilanjutkan pesan lainnya yang sama-sama berupa pujian.
“Aku gak mungkin bisa bikin rangkaian kata-kata indah kayak gitu. Keren.”
Khairul menahan senyum senang. Siapa sih yang tidak senang dapat pujian? Apalagi jika pujian itu datang dari wanita yang diincarnya. Tambah makin…
“Aduh, bikin jantungan.”
Sebagai pujian balasan, Khairul mengirim screenshot cerita Emilya yang tadi dibacanya dan menambahkan emosikon mata penuh bintang.
“Lah, diintip,” balas Emilya dengan emosikon malu.
“Bagus kok. Aku cuma baca di bab 6.”
Termasuk baca, kan? Walau yah, cuma 2 paragraf. Tapi Khairul tak mengada-ada saat mengatakan bagus. Bukan isi ceritanya, tapi penulisannya. Sekilas lihat saja, tata penulisan Emilya tergolong rapi. Sangat bertolak belakang dengan dirinya yang selalu typo.
Emilya membalas chat sebelumnya mengenai puisi Khairul dengan stiker wanita yang dikelilingi tanda love sambil menyentuh dadanya yang berdebar. Buru-buru Khairul membalas.
“Itu kata-kata yang aku buat semalaman. Semoga tersampaikan.”
“Iya, semoga orangnya ngerti.”
“Semoga tersemogakan,” balas Khairul dengan emosikon malu.
“Dan semoga orangnya cepat diberi hidayah lalu segera hapus konsep ‘gak mau nikah’ dari kepalanya.”
Khairul yang semula berbaring di atas kasur lantai dalam kamarnya segera duduk setelah membaca kalimat terakhir Emilya. Kali ini dia tak langsung menjawab. Beberapa kali ia membaca ulang kata-kata Emilya lalu memikirkan jawabannya dengan hati-hati.
Entah mengapa wanita ini tampaknya sulit menerima pernikahan. Karena itu Khairul tak bisa asal menjawab atau hubungan yang sudah ia pupuk baik sejauh ini hancur begitu saja.
“Iya, semoga qobul hajat, istajib du’ana.” (semoga terkabulkan doanya—Ay)
Lagi-lagi Khairul masih terdiam, berpikir keras, sebelum mengetik kembali. “Sebab menjalin keluarga itu penyempurna ibadah. Semua itu sunnahnya Nabi. Kelak nanti beliaulah yang akan memberi syafa’atnya apabila umatnya mengikuti sunnah-sunnahnya.”
Usai mengatakan itu, Khairul melirik jam yang sudah menunjukkan pukul tiga sore. Ibunya pasti sedang sibuk menyiapkan buka puasa sendirian di dapur.
“Aku sholat dulu enggeh, dan mau bantu ibu di dapur,” pamitnya lalu mengucap salam dan bergegas ke dapur.
***
“السلام عليكم”
Sebaris salam itu Khairul kirim tepat pukul 07.10 pagi.
Lima menit…
Sepuluh menit…
Tiga puluh menit…
Dan bahkan setelah satu jam kemudian, tetap belum ada balasan.
“السلام عليكم”
Kali ini Khairul mengirim kembali sebaris salam, tepat pukul 20.34. Dan alhamdulillah, jawabannya datang tidak sampai satu menit kemudian.
“Wa’alaikumsalam.” Lalu Emilya melanjutkan dengan membalas salam Khairul tadi pagi. “Tenggelam yang ini chatnya.”
“Enggeh, Mbak. Aku nunggu setiap detik dan waktu,” balas Khairul diiringi emosikon mata berkaca-kaca.
“Wah, rayuannya maut.”
“Leh, enggeh. Setiap aku beraktivitas, lihat chat gak ada. Habis selesai shalat, aku lihat gak ada. Sampai shalat asharnya aku minta pada Yang Kuasa agar ada waktu untukku…”
Sungguh, itu sama sekali bukan gombalan. Sepanjang hari ini Khairul memang bolak-balik mengecek ponsel. Menunggu pesan dari wanita berbaju merah yang tampaknya kian berhasil menguasai pikirannya.
“Sibuk ngurusin deadline dan nunggu gajian. Jadi agak susah on.” Emilya menambahkan emosikon malu di akhir kalimatnya.
“Wiih, mantap itu, Mbak. Aku masih lama.”
“Iya, lawong baru gajian, kan? Hahaha…”
“Iya, tapi wes habis dibeli pupuk. Tinggal dikit, cukup buat beli tahu walek, hehe.” Lalu Khairul melanjutkan, “Kalau samean mau, monggo aku traktir tahu walek.” Dia menambahkan emosikon malu.
“Baru buka puasa.”
“Gak papa kan cuma ngemil, Bu.” Kali ini Khairul tak fokus menjawab pesan Emilya karena disibukkan dengan grup pondok ramadhan SMK Bintang.
“Sejak kapan manggil ‘bu’?”
“Maaf gagal fokus, Mbak. Ini lagi buka grup pondok ramadhan sekolah.”
“Panggil Aya aja gak papa. Udah cukup temen-temen pembaca ada yang panggil Mom, Bunda, Ibu Suri, dan sekarang Grandma. Mas jangan ikut-ikutan, hiks.”
“Aku panggil Ukhti aja, enggeh?”
“Kedengarannya lebih enak daripada Bu atau Mbak, hehe.”
“Enggeh, Ukhti. Ada terusannya sih… habibati.” (kekasihku, panggilan khusus untuk perempuan—Ay)
Khairul menahan senyum di atas kasurnya. Kira-kira Emilya mengerti tidak, ya?
“Kalau aku bilangnya gini ya… Akhi Habibi…” (kekasihku, panggilan khusus untuk laki-laki—Ay)
DEG!
Tenang, tenang Khairul. Jangan terlalu melayang tinggi. Emilya bukannya bilang kekasih padamu. Dia hanya tidak mengerti artinya.
Usai menenangkan diri sendiri, Khairul mengoreksi panggilan Emilya. “Duh, panggilannya satu saja. Jangan Akhi Habibi.”
“Kalau pakai dua-duanya gak boleh?
Khairul mengusap tengkuknya sambil nyengir malu. Kalau ibunya masuk ke kamar dan melihatnya tersenyum sendirian seperti ini, mungkin dirinya akan langsung diseret ke rumah sakit jiwa.
“Gak papa juga sih.” Kali saja jadi doa dan dikabulkan, uhukk! “Jika ke samean enak, apa katanya wes panggil apa.”
“Emang artinya apa sih? Di lagu biasanya gitu.”
Hmm, kasih tahu tidak ya? Sepertinya lebih baik tidak tahu biar keterusan manggilnya begitu. Tapi…
“Kalau Akhi digabung dengan Habibi, jadinya Abang Saranghaeyo.” Khairul menambahkan emosikon mônyet menutup mata di akhir kalimatnya.
“Wah, pantes. Kalau yang gak ngerti santai saja pakainya. Tapi yang tahu artinya jadi canggung, hahaha…”
Iya, benar. Tapi sebenarnya Khairul tidak keberatan dipanggil begitu. Malah berharap.
“Enggeh.” Lalu dia melanjutkan, “Terus Ukhti Habibati manggil apa?”
“Tetap Mas. Malah jadi berasa aneh karena aku gak ngerti dan gak biasa pakai, hehe…”
Yah, sayang sekali.
“Enggeh wes, apa kata samean enaknya. Itu pun akan berganti pada waktunya.”
Kode yang sangat jelas. Tidak mungkin Emilya tak mengerti, kan?
-------------------------
♥ Aya Emily ♥