PART 1. GADIS CEROBOH!

2040 Words
            “Huh, akhirnya…” Seruan lega berkumandang di antara kerumuan mahasiswa yang baru keluar dari kelas setelah proses belajar mengajar selesai. Semua langsung sibuk pada tujuan masing-masing, pastinya meninggalkan kampus tempat menuntut ilmu. Beberapa orang berjalan buru-buru sampai tidak sengaja hampir bertambrakan dengan yang lain. Tetapi, ada juga yang berjalan santai sambil bercanda ria dengan kelompoknya. Sekelompok itu terdiri dari enam orang, berasal dari satu kelas dan tujuannya pintu gerbang kampus. Menuruni annak tangga satu persatu, menelusuri lorong dan koridor, akhirnya keenam kawanan itu sampai di lantai dasar. Dua di antara mereka berpisah ke parkiran, tentunya suara ricuh makin kentara di antara mereka.             Tidak jauh dari sana, seorang lelaki sedang menunggu dengan sabar. Ekor matanya sibuk mencari seseorang yang menyebabkan dirinya berada di sana. Tidak sedikit di antara mahasiswa yang berlalu lalang menoleh padanya. Memperhatikan dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tidak lupa dengan kendaraannya, beberapa decakan kagum terdengar samar dari mulut para mahasiswa. Berbisik-bisik sembari mencari perhatian sang lelaki asing tersebut. Lelaki itu sedang menyandarkan badannya pada mobil mercedes Benz S-Class berwarna hitam metallic, yang kemungkinan besar miliknya sambil menyedekapkan tangan di dada, serta tangan kanannya menggenggam sebuah benda kecil berwarna hitam.             Setelah ekor matanya menemukan orang yang ditunggu, ia melambaikan tangan kanan yang masih menggenggam benda tersebut dengan seulas senyum terpantri di wajahnya. Ralat. Lebih tepatnya seringaian cabul.             Orang yang dituju, ternyata seorang gadis melebarkan kembali kedua pupilnya sehingga terlihat hendak keluar dari tempatnya, sama halnya seperti kemarin saat bertemu dengannya. Ia berhenti dan menyadari bahwa teman-temannya bergantian memandang keduanya dengan tatapan curiga.             “Tunggu sebentar.” Gadis itu berpamitan pada temannya.             “Siapa dia?” Alexia mengikuti arah pandangan sahabatnya dengan rasa penasaran yang tidak bisa dibendung lagi. Tanpa dijelaskan lagi, dia memiliki rasa keingintahuan tingkat dewa. Melihat lelaki yang dimaksud oleh sahabatnya, dia ingin mengulitinya hingga ke bagian dermis. Kulit bagian terdalam kalau tidak salah. Dia sedikit mengingat pelajaran biologi sewaktu masih di bangku putih abu-abu.             “Hanya orang tua gila yang kesasar.” Jawab gadis itu sadis, kemudian menghampiri dengan langkah cepat pada orang tua gila yang dimaksud. Menunjukkan wajah murka sebagai benteng pertahanan. “Untuk apa kau ke sini?” Tanya gadis itu marah. Kedua alisnya bertaut dan ekor matanya menatap tajam, sehingga memperlihatkan jika dirinya seorang gadis judes. Persis seperti induk ayam yang baru melahirkan. Tidak, maksudnya baru menetaskan anak ayam dari telur yang selama ini di erami. Tidak menyukai jika ada yang menganggu anak-anaknya.             “Kau tidak menginginkan ini?” Lelaki itu mengibas-ibaskan benda kecil tersebut tanpa berbasa-basi di wajah gadis yang sedang berdiri sangar di depannya. Sebuah dompet kulit berwarna hitam.             Gadis itu memasang kuda-kuda untuk merampas paksa dompet berwarna hitam tersebut. Sreettt… tangannya hanya bisa menggapai udara, tidak dengan benda kecil yang masih melekat sempurna di genggaman tangan kanan lelaki itu. Lelaki itu mempermainkannya. Sialan.             “Apa yang kau inginkan? Cepat berikan itu padaku” Amuk gadis itu berapi-api. Jelas sekali tidak ingin dipermainkan untuk kedua kalinya setelah kemarin mendapati dirinya berdiri cengo menatap kepergian lelaki licik tersebut. Tetapi lelaki tersebut tidak mengindahkan ucapan sang gadis, dia semakin menjauhkan dompet itu agar tidak bisa dijangkau.             “Lepaskan aku, cabul!” Teriakan dramatis menggema ketika sebuah tangan kiri melingkar sempurna di pinggangnya karena berusaha meraih dompet dari tangan lelaki tersebut. Menerobos tubuh tegap itu tanpa memikirkan akibatnya jika saja lengan itu membantunya tetap berdiri.             “Ayo, ikut aku!”             “Jangan mimpi!”             “Baiklah kalau begitu.” Lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya hingga gadis tersebut terpekik tidak nyaman. “Sepertinya teman-temanmu memperhatikan kita dari tadi.” Bisiknya sambil menyeringai. “Kau ingin membuat drama disini?”             “Oke.... Lepaskan aku orang tua cabul!” Akhirnya dia mengalah untuk menjaga image dari tatapan temannya dan beberapa orang di sekitar mereka haus akan informasi.             Ringisan kecil keluar dari bibirnya, kala lelaki itu melepaskan pelukannya dan membuka pintu mobil sport di samping mereka untuk dimasuki olehnya. Kemudian lelaki itu menyeringai dengan segala fantasinya, melangkah cepat memutari bagian depan mobil.             “Manis sekali,” Godanya sekali lagi sambil mengedipkan mata keranjang.             “Diam kau, cabul. Kau mau membawaku kemana?!” Ucapnya geram. Jika bukan karena benda berharga itu. Dia tidak akan mau ikut dengannya. Enak saja! Meskipun sebenarnya sangat nyaman duduk di mobil tersebut. Ah, sial. Dalam keadaan genting seperti ini masih memikirkan kenyamanan di dalam mobil yang sialan menggiurkan.             Cuaca panas yang menyengat dan polusi udara yang dihirupnya beberapa saat yang lalu langsung tergantikan dengan udara segar dan dingin. Sangat cocok sekali untuk berpelukan, saling menghangatkan.             “Nanti juga kau akan tahu sendiri.” Gadis itu memicing. Telah membuyarkan lamunannya barusan tentang berpelukan hangat di dalam mobil. Dia berdecak dalam hati, bisa-bisanya berpikiran aneh saat ini. Seharusnya dirinya takut jika lelaki itu membawanya ke tempat remang-remang.             Astaga, bagaimana ini? Mengapa dia tidak memikirkan hal itu sebelum mau di ajak pergi? Seharusnya dia mengajak salah seorang sahabatnya atau menolak dengan mentah-mentah. Meneriaki maling dompet, dan masalah akan selesai.             “Ayo turun.” Gadis itu tersentak. Dia melirik lelaki di sampingnya tampak mengernyit. Lalu mengedarkan pandangan pada sekitar. Mereka berada di basement. Mengerjap sebanyak mungkin, dirinya mulai khawatir.             Lelaki itu turun lalu meninggalkannya sendiri masih terbengong di dalam mobil. Setelah kembali tersadar, dia pun ikut turun, sedikit berlari mengikuti lelaki yang baru ditemuinya kemarin hingga di depan lift.             “Menapa kau membawaku ke sini? Apa kau mau menjualku?” Pikiran negative yang selama ini bersarang di otak gadis itu kini mengitari setiap sarafnya. Dengan ekspresi wanti-wanti membuat lelaki itu tertawa terbahak-bahak. Untung saja hanya mereka berdua disana. Jika tidak, orang-orang akan menganggapnya gila mendengar bahakan tersebut.             Sungguh. Tawanya terdengar sangat menyeramkan. Tidak ada aksen tampan. Tidak sesuai dengan wajah yang dimilikinya, yang…. sedikit ah ralat memang tampan.             Tanpa menghilangkan tawanya, lelaki itu pun menekan tombol lift dan mendorong punggung gadis tersebut. Sang gadis semakin curiga, ia pun hanya memperhatikan setiap pergerakan lelaki yang menurutnya sinting. Hingga mereka tiba di sebuah ruangan, tetap saja lelaki itu terbahak seolah-olah baru saja terjadi lelucon yang sangat luar biasa. Gadis itu mengerutkan dahi, sejak tadi punggungnya selalu saja didorong seperti hendak melakukan pencabulan.             Aih, apa lagi yang sedang dipikirkannya saat ini? Fokus! Seharusnya dia fokus, menguasai seluruh jurus persilatan yang pernah dia lihat di layar televisi. Bukan memikirkan hal macam-macan seperti ini. Membuat bulu kuduk merinding saja.             “Dasar kampungan!” Gumannya, “Kalau aku menjualmu, kau pikir kau akan laku? Hah?” Ucap lelaki itu menohok kepercayaan diri sang gadis. “Cepat, siapkan makanan, aku sudah sangat lapar menunggumu tadi.” Tambahnya ketika gadis itu metapnya horror. Sama sekali tidak terpikir olehnya jika dirinya dibawa ke tempat itu hanya untuk menyiapkan makanan. Apa maksudnya?             “Kau pikir aku babumu?!” Gadis itu tidak mau kalah dan duduk di sofa lain. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi nantinya. Kekhawatirannya menguap begitu saja setelah mendengar lelaki itu menyuruhnya menyiapkan makanan. Memasak adalah hal yang paling dihindari olehnya. Dia tidak ingin memijakkan kaki ke bagian terpenting dalam rumah tersebut sebelum berniat menjadi ibu rumah tangga. Enak saja!             Banyak makanan di luar sana. Tinggal pesan dan makan. Mengapa harus repot-repot mengurus diri sendiri? Jika dilihat, sepertinya lelaki itu memiliki uang banyak. Jika tidak, tidak mungkin dirinya bisa tinggal di apartemen semewah ini, Juga dengan mobil yang dikendarainya tadi dan kemarin.             Jika dia hanya seorang supir, mungkin beda cerita. Gadis itu mungkin akan bersimpati padanya.             “Mulai hari ini kau akan menjadi babuku” Ucap lelaki itu tanpa dosa. Menyilangkan kedua kakinya dengan angkuh.             “A-Apa...?” Lelaki itu mengangguk membenarkan ucapannya. Sama sekali tidak salah bicara maupun salah mendengar.             “Tidak bisa! Aku tidak mau menjadi babumu!”             “Kau sudah merusak mobilku.” Ucapnya enteng.             “Heh..., orang tua cabul. Aku hanya menendangnya! Body-nya tidak rusak, hanya sedikit kotor karena telapak sendalku. Enak saja kau bicara seperti itu!” Gadis itu membuang muka sebal. Semakin geram karena lelaki itu mengatakan hal seperti kemarin. Emosinya mulai melunjak seperti kemarin.             Lelaki itu kemudian bedecak. “Siapa bilang tidak rusak? Kalau tidak rusak, tidak mungkin mobilku berada di bengkel saat ini!” Ucapnya tidak mau kalah.             “Itu salahmu sendiri! Mungkin kemarin kau kecelakaan atau tadi pagi!” “Enak saja! Kau menendang mobilku hingga tergores dan lecet. Kau tau berapa harga mobil itu?!” Tanyanya meninggikan suara. Dasar lelaki propokator. Licik. Menindas makhluk lemah.             “Satu tendangan seperti itu tidak akan merusak mobil kalau benar mobilmu benar asli, bukan KW!” Gadis itu tersenyum licik melihat perubahan ekpresi lelaki tersebut. Tidak menyangka jika dirinya dituduh pembeli barang yang tidak di akui keasliannya.             “Beraninya kau menuduhku membeli mobil KW!” Ucapnya geram.             “Kalau mobil itu tidak KW, pasti tidak apa-apa.  Atau…, apa kau tertarik padaku sehingga kau menjadikan itu alasan untuk mendekatiku?!” Ucapnya sekali lagi. Kemudian ia memasang wajah iba “Maaf..., aku tidak membuka lowongan untuk orang tua yang cabul, aku ingin yang seumuran denganku.” Ia merogoh tasnya dan meletakkan selembar uang lima puluh ribu di meja. “Ini biaya untuk cuci mobilmu.” Lelaki itu diam sesaat dan menautkan kedua alisnya.             “Biaya cuci mobil?” Gadis itu mengangguk polos “Beli samponya saja tidak cukup dengan uang itu. Uang apa itu?” Tambahnya marah dan tidak terima.             Kini giliran gadis itu menautkan kedua alisnya “Tidak cukup? Uang apa? Ini uang lima puluh ribu rupiah. Memangnya kau menggunakan uang apa sebelumnya? Uang monyet?!” Tanyanya geram. Lelaki itu berdecak. Ingin memakan hidup-hidup gadis judes  tersebut. “Kalau begitu, biar aku saja yang mencuci mobilmu!” Tambahnya kemudian. Mungkin ditambah dengan jasanya, masalahnya akan cepat selesai.             “Tidak bisa! Aku tidak mau mobilku semakin rusak karena tangan-tangan jahilmu! Sekarang..., cepat ke dapur, siapkan beberapa makanan untukku!” Ucapnya meninggikan suara.             “Orang tua cabul…, aku tidak mengenalmu. Jadi… kau tidak memiliki alasan untuk menyuruhku menyiapkan makanan untukmu. Memangnya kau siapa? Berani sekali menyuruhku.” Gerutunya tidak terima.             “Aku sudah mengatakan padamu, mulai dari sekarang kau pembantuku!” Tekannya kesal             “Aku tidak mau!” Gadis angkuh itu membuang muka dan menyedekapkan tangan di dada.             “Sepertinya kau tidak membutuhkan ini lagi!” Lelaki itu mengeluarkan dompet dari saku jas hitam miliknya. Ancaman kali ini berhasil membuat sang gadis menatapnya emosi tanpa kata-kata. “Ternyata dompetmu kelihatan tebal karena kau menyimpan beberapa struk belanjaan di setiap selipannya. Bahkan jumlah struknya lebih banyak dari pada jumlah uang yang ada di dalam dompet ini!” Ucapnya sembari memeriksa setiap selipan dompet gadis itu. Berdecak  dan sesekali menggeleng tidak percaya. Masih ada seseorang yang seperti itu. Menyimpan banyak kertas agar tidak terlihat kere.             “Beraninya kau memeriksa dompetku!” Gadis itu mulai meledak.             “Oke…. Jika kau ingin dompetmu kembali, ayo kita bekerja sama. Kau tidak mau kan mengganti ktp, kartu mahasiswa dan kartu atmmu?! Sayang sekali jika kau harus menggantinya lagi. Membuang-buang waktu, dan belum tentu akan selesai jika dilihat dari kemampuanmu.”             Gadis itu kembali terdiam. Ia tidak memiliki cara untuk bisa keluar dari perangkap lelaki tua tersebut. Dia hanya bisa pasrah akan akibat dari kecerobohannya kemarin sore. Tidak sanggup menahan rasa lapar dan tidak memiliki stok makanan di kosnya sehingga mengharuskannya ke minimarket yang tidak jauh dari kos untuk membeli makanan. Namun naas, ia begitu ceroboh. Berjalan sambil memainkan android bututnya hingga tanpa sadar menambrak sebuah mobil Fortuner putih bersih mengkilat yang sedang terparkir cantik di depan minimarket. Ia meringis sambil mengumpat lalu menendang bagian belakang mobil itu sehingga meninggalkan bekas cap telapak sandalnya disana. Dia begitu bangga dengan cap yang tercetak jelas di sana. Jarang-jarang ada seseorang sehebat dirinya dalam dunia pertendangan. Sempat berpikir untuk mengabadikan dengan kamera buremnya dan menjadikan display picture salah satu akun media social yang dia miliki. Mengikuti anak kekinian jaman sekarang.             Namun, tanpa ia sadari, seorang lelaki mendatanginya dengan emosi yang menggebu-gebu. Memarahi dan menarik paksa dompet yang berada di tangannya. Gadis itu sudah menawarkan kerja sama, akan mengganti biaya cuci mobil. Namun tidak diterima oleh sang empunya mobil. Membuka dompet gadis itu dengan tidak sopan dan mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan lalu diberikan pada si pemilik dompet.             Seolah terhipnotis. Dia menyadari dirinya hanya sendiri disana. Lelaki sedeng yang baru ditemuinya sudah melaju dengan begitu santai. Ingin berteriak, namun sepertinya tidak mungkin. Dia pun hanya bisa pasrah, memandang uang dua puluh ribuan di tangannya.             Sekembalinya dari minimarket dengan makanan yang cukup dibeli dari uang dua puluh ribuan tadi, ia kembali ke rumahnya dan membongkar isi tas serta setiap sudut kos-kosan untuk mencari uang yang biasa ia selipkan sebelumnya. Ia akan melakukan ritual seperti ini jika sudah akhir bulan dan keuangannya menipis. Beruntung sekali, gadis itu menemukan beberapa lembar uang disetiap sudut rumahnya sehingga ia bisa membeli makanan dan ongkos ke kampusnya tadi pagi.             “Bagaimana?” Lelaki itu membuyarkan lamunan si gadis yang mulai jauh. Merutuki kelalaiannya kemarin. Jika saja kecabeannya sedang tidak melekat dalam tubuhnya, dia pasti tidak akan menghadapi situasi seperti ini. Sial memang!             “Apa yang harus kulakukan?”   ***  Jakarta, 16 Juni 2020
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD