Emily Rose

1590 Words
Elvaretta atau yang kerap kali dipanggil Elva adalah sahabat Agatha yang paling normal, jika dibandingkan dengan Callista dan Fahima. Pemikirannya lebih rasional dan penuh perhitungan, tutur katanya lebih terjaga, dan ia tidak menyukai perdebatan. Agatha merasa beruntung karena pagi ini bertemu Elva di universitas, bukan dengan Callista atau Fahima yang pasti akan merusak gendang telinganya dengan perdebatan mereka yang tak bermutu dan tak bermoral. Tapi jika ada lomba berdebat, sepertinya nama keduanya yang akan Agatha ajukan lebih dulu. Mereka pasti akan memenangkan perlombaan dengan mudah. “Semalam aku pergi ke kafe Manora, di sana ada lowongan pekerjaan.” Mendengar ada lowongan pekerjaan membuat Agatha antusias, ia menatap Elva dengan senang. “Benarkah? Sebagai pelayan? Aku akan segera melamar!” “Gajinya sangat besar, kau bisa mengumpulkan lima ribu dolar dalam seminggu,” ujar Elva lagi yang menambah keantusiasan di wajah Agatha. Agatha benar-benar ingin bekerja, ia tidak mau terus menjadi beban bagi Fred dan Elena. Agatha harus bisa mendapatkan pekerjaan segera. “Benarkah? Aku ingin segera melamar!” “Tapi kau harus mau menemani p****************g bernyanyi di ruang karaoke dan menemani mereka minum-minum. Dan jangan lupakan kemungkinan jika mereka mungkin saja menyentuhmu di beberapa bagian, dan kau harus memakai pakaian yang super seksi, kau juga harus mau—“ “Sudah cukup! Aku tahu pekerjaan apa yang sedang kau bicarakan. Mom dan Dad bisa membunuhku jika aku melakukannya!” sela Agatha dengan cepat. Pantas saja pekerjaan yang Elva ceritakan menghasilkan banyak uang, ternyata ada diri yang harus dikorbankan. Tentu saja Agatha tidak akan melemparkan dirinya pada pekerjaan semacam itu, ia masih ingin menjadi wanita terhormat. “Aku hanya memberitahu, kau bilang padaku kalau kau ingin bekerja.” “Ya! Aku memang ingin bekerja, tapi bukan pekerjaan seperti itu yang kuinginkan! Elva, jika kau menemukan lowongan pekerjaan yang normal untuk kujalani, aku mohon tolong beritahu aku,” tutur Agatha seraya memegang tangan Elva. Elva mengangguk dan tersenyum. “Tentu saja.” Elva adalah sosok yang cantik, tubuhnya lebih tinggi dari Agatha. Sebenarnya jika dibandingkan dengan gadis-gadis di Los Angeles, Agatha tidak termasuk ke dalam daftar wanita bertubuh tinggi. Elena berkata bahwa mungkin saja Agatha memiliki darah Asia ditubuhnya, karena wajahnya pun tidak nampak seperti orang Amerika asli. Mungkin salah satu keluarga kandungnya berasal dari daratan Asia, jadi Agatha memiliki tubuh yang sedikit lebih pendek dari teman-temannya. “Aku tidak melihat Cally dan Fahima, di mana mereka?” Agatha merotasi bola matanya. “Kenapa kau menanyakan keberadaan mereka, Elva? Harusnya kau bersyukur mereka tidak mendatangi kita pagi ini. Jika mereka ada, maka kita berdua tidak akan bisa mengobrol santai seperti sekarang.” Elva tertawa kecil dan menyetujui ucapan Agatha. “Kau benar, mereka tidak akan membiarkan kedua telinga kita bekerja normal. Oh ya Agatha, aku ingin menceritakan sesuatu,” ucap Elva nampak ragu. “Perihal?” “Eummm, sebenarnya ini hanya soal ... Mark,” ungkap Elva dengan raut wajah sedih. Kedua tangannya saling bertautan. Tatapan matanya yang mengarah ke bawah seolah mengisyaratkan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Mark Thompson, pria berkulit putih yang menjadi kekasih Elva sejak setahun lalu. Mark adalah senior di universitas, dia akan menyelesaikan kuliahnya di tahun ini. “Ada apa dengannya?” Elva semakin menunduk, wajahnya terlihat sangat menderita. “Dia memutuskan hubungan kami kemarin.” “WHAT? Tapi kenapa? Bukankah kemarin siang kalian masih baik-baik saja?” pekik Agatha kaget. Pasalnya, Mark dan Elva adalah sejoli yang saling mencintai. Hubungan antara keduanya pun terkenal sebagai hubungan paling romantis di universitas. Bahkan keduanya dijuluki sebagai couple goal. Lantas apa yang terjadi hingga Mark memutuskan hubungannya dengan Elva? “Kau benar, sampai kemarin siang kami masih baik-baik saja. Bahkan saat sore hari aku datang ke rumahnya dan bertemu dengan orang tua Mark. Lalu dia mengantarku pulang, dan sampai saat itu kami masih baik-baik saja. Saat malam hari, Mark menelepon dan dia memutuskan hubungan kami,” jelas Elva dengan sedih, bahkan ia hampir menangis jika tidak mengingat ada banyak orang di kelas. Tidak mungkin ada asap jika tidak ada api, Agatha mempercayai pepatah itu. Ia mencoba berpikir sejenak. “Tidak mungkin ia memutuskan hubungan kalian tanpa alasan, Elva. Apa dia mengatakan sesuatu?” Elva berusaha tegar dengan mengusap sedikit air mata di sudut matanya. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Agatha. “Dia hanya berkata bahwa ... dia merasa bosan.” “Bosan? Hanya itu saja alasannya? Ini tidak mungkin! Kupikir Mark bukan pria seperti itu dan aku yakin akan hal itu,” ujar Agatha yang langsung disetujui oleh Elva. “Kau benar, aku juga merasa demikian.” “Apa kau bisa mengira-ngira alasan Mark yang lainnya?” tanya Agatha. Mungkin saja Elva membuat suatu kesalahan yang membuat Mark berlaku demikian. “Sepertinya kedua orang tuanya tidak menyukaiku. Aku bisa merasakan hal itu saat aku berada di rumah Mark. Ibunya menatap tak suka padaku, dan ayahnya Mark bahkan tidak tersenyum sedikit pun padaku.” “Tapi kenapa itu bisa terjadi?” Elva menggeleng pertanda tak tahu. Elva adalah seorang anak pengusaha yang kaya raya, wajah dan tubuhnya pun tanpa cela, pendidikan tengah ia daki, tutur kata dan tata kramanya pun terjaga. Elva tidak tahu apa kekurangannya hingga orang tua Mark tidak menyukainya. “Apa mungkin karena pakaianku?” tanya Elva pada Agatha, juga pada dirinya sendiri. Elva adalah gadis yang gemar memakai pakaian terbuka. Tapi itu bukan suatu hal yang asing di kota ini. Elva bukan satu-satunya wanita yang memakai pakaian terbuka. “Memangnya kemarin kau memakai apa pergi ke sana?” Elva menggaruk tengkuknya sejenak. “Aku memakai hotspan dan kemben putih saja.” Agatha langsung menepuk keningnya sendiri. Ia menatap gemas Elva yang tampaknya baru menyadari kesalahannya. “Tentu saja, Elva! Pakaian itu tidak cocok untuk dipakai dirimu saat akan menemui calon mertua! Harusnya kau memakai pakaian yang lebih tertutup agar mendapatkan kesan sopan!” cecar Agatha. “Ah, ya. Aku tidak berpikir ke arah sana sebelumnya. Lantas sekarang apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus datang kembali ke rumah Mark dan meminta maaf pada orang tuanya? Mereka pasti yang memaksa Mark untuk memutuskan hubungan denganku.” Agatha mencoba untuk memberikan saran terbaiknya. “Sebaiknya kau coba berbicara terlebih dahulu pada Mark. Bicarakan baik-baik, dan selidiki juga apakah benar letak permasalahannya adalah perihal pakaian yang kau kenakan kemarin atau bukan. Mungkin saja dia memiliki alasan lain.” *** Di sebuah toko elektronik yang menjual berbagai macam produk, Jonathan duduk santai karena tidak ada pengunjung sehingga ia tidak perlu mengeluarkan tenaganya. Rekan-rekan yang juga bekerja di tempat yang sama dengannya pun tengah beristirahat. Jonathan mengecek ponselnya, tidak ada satu pun pesan yang dikirimkan oleh Agatha padanya. Padahal biasanya kekasihnya itu selalu mengirimkan pesan untuk sekedar menanyakan apakah Jonathan sudah makan atau belum. Terkadang Jonathan tertawa akan hal itu, baginya soal perut tak perlu diingatkan. Karena manusia akan secara naluriah mencari makanan jika merasa lapar. Namun perhatian kecil yang Agatha berikan tersebut juga membuat Jonathan merasa berkali lipat lebih sayang pada wanita itu. Ketika bersama dengannya, Agatha adalah seorang wanita penuh kelembutan dan kasih sayang. Mungkin itu yang membuat Jonathan sangat menyayangi Agatha. Dan Jonathan yakin siapa saja yang mengenal Agatha, mereka pasti secara otomatis akan menyayanginya. Ah, memikirkan kekasihnya itu membuat Jonathan jadi rindu. “John! Ada wanita cantik yang mencarimu!” Itu adalah suara Bobby, salah satu temannya di sini. Jonathan tidak tahu di mana keberadaan Bobby sekarang karena ia hanya dapat mendengar suaranya tanpa melihat wujud pria itu. Lagi pula Jonathan lebih penasaran dengan seorang wanita cantik yang ingin menemuinya. Apakah itu adalah Agatha? Jonathan melihat jam, ini adalah waktunya Agatha kuliah. Jika yang datang adalah benar Agatha maka Jonathan akan memarahi wanita itu karena seharusnya Agatha tidak menyia-nyiakan waktu pendidikannya. Dengan langkah cepat Jonathan beranjak pergi ke depan toko untuk menemui tamunya. Ketika sampai di sana Jonathan tertegun sejenak. Benar apa yang dikatakan Bobby bahwa wanita yang ingin menemuinya adalah wanita cantik. Meski bagi Jonathan lebih cantik Agatha. “John, apa aku mengganggu?” suara lembut sang wanita mengalun indah. Jonathan langsung menggeleng dan tersenyum. “Tentu saja tidak. Sebuah kejutan bagiku karena kau datang menemuiku di sini.” “Ada hal penting yang harus kukatakan padamu, John,” lirih wanita tersebut. Saat Jonathan akan menjawab, tiba-tiba Bobby datang dan langsung berseru, “Wow! Apakah wanita cantik ini adalah kekasih barumu? Jadi kau sudah putus dengan Agatha?” “Dia Emily Rose, temanku.” Jonathan memperkenalkan wanita tersebut kepada Bobby. “Senang mendengar bahwa dia bukan kekasihmu. Kalau begitu, perkenalkan aku adalah Bobby.” Uluran tangan Bobby langsung disambut hangat Emily. Bahkan wanita tersebut menampilkan senyum terbaiknya yang membuat Bobby semakin terpesona. “Kau sangat cantik dengan senyum manismu. Sungguh aku ingin memandang wajahmu lebih lama lagi. Tapi sepertinya kalian ingin berbicara jadi aku akan masuk saja,” ujar Bobby penuh pengertian. Ia tahu jika Emily merasa canggung karena keberadaannya. Setelah kepergian Bobby, Jonathan dan Emily kembali saling menatap. “Apa yang ingin kau katakan?” Emily menautkan kedua tangannya dan menunduk. “Aku dan kekasihku akan menikah.” “Kau dan James?” tanya Jonathan untuk memastikan. Dan anggukkan kepala Emily membuat Jonathan semakin terkaget. “Kapan?” “Akhir bulan ini.” “Kenapa cepat sekali, Emily?” Jonathan semakin merasa kaget. Pasalnya sebuah pernikahan tidak mungkin diadakan dengan tergesa-gesa kecuali ada sebuah alasan yang mendesak pernikahan itu harus segera terlaksana. “Katakan Emily, kenapa kau akan menikah dalam kurun waktu yang singkat? Apa ini tuntutan orang tua kalian?” tanya Jonathan lagi, namun ia masih belum mendapatkan jawaban. “JAWAB EMILY!!!” bentak Jonathan kehilangan kesabaran. Bentakan yang diberikan oleh Jonathan membuat Emily refleks menjawab, “Karena aku hamil.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD