About Fahima and Callista

1769 Words
Di lorong universitas Callista berjalan dengan anggun, ia adalah salah satu mahasiswi cantik yang cukup populer. Ada banyak cara untuk menjadi populer di universitas. Cara pertama adalah menjadi pintar dan berprestasi, mengumpulkan banyak medali dan sertifikat. Ke-dua adalah menjadi bagian dari organisasi-organisasi, lebih bagus jika menjadi bagian dari kepengurusan. Ke-tiga adalah perihal paras dan penampilan, siapa yang menawan dia akan mendapatkan banyak perhatian. Dan terakhir adalah cara yang paling ekstrem, yaitu dengan membuat skandal. Cara ke-empat adalah cara yang paling berbahaya untuk mendapatkan popularitas, banyak orang tak sengaja melakukannya. Cara kotor memang tak akan menghasilkan sesuatu yang bersih, jika kita mencari popularitas dengan menggunakan skandal maka nama kita akan populer dan terus melekat dengan skandal yang kita buat. Beruntungnya Callista yang masih memilih cara aman untuk populer, yaitu cara nomor tiga. Tidak perlu bersusah payah untuk mempermak wajahnya, karena ia telah terlahir cantik dengan kontur wajah khas Inggris. Seorang pria berjalan tak beraturan berlawanan arah dengan Callista. Gadis itu hampir saja mengumpat karena bahunya tertabrak. Namun, makian yang akan diucapkannya tertahan setelah melihat siapa gerangan yang menabraknya. “Mark? Ada apa denganmu? Kenapa kau berjalan seperti orang yang melamun?” Mark sendiri tampak kaget, ia benar-benar tak sengaja menabrak Callista. Dan dugaan gadis itu benar, Mark memang berjalan sambil melamun hingga ia tidak memperhatikan langkah kakinya sendiri. “Maaf, Callista. Aku memang melamun tadi.” Callista mengangkat sebelah alisnya, ia melihat sekeliling di mana banyak orang berlalu lalang. Karena menghalangi jalan, Callista menarik tangan Mark untuk berdiri di ujung lorong. “Katakan! Kenapa kau melamun?” Helaan napas terdengar, Mark mengusap wajahnya kasar. “Tidak ada.” “Apanya yang tidak ada?” “Tidak ada apa-apa.” Callista memicingkan matanya, menatap curiga pada tingkah Mark yang tak biasa. Mark adalah pria dengan sikap yang hangat, tampak aneh rasanya jika kekasih Elva itu terlihat murung bahkan berjalan dalam keadaan melamun. “Apa kau sedang bermasalah? Dengan Elva mungkin?” tebak Callista langsung. Lagi-lagi Mark menghela napas, wajahnya tampak frustrasi dan ia mengangguk. Dan anggukan kepala dari pria di hadapannya membuat Callista terpekik kaget. “KAU PUTUS DENGAN ELV—mmphh.” Mark dengan cepat menutup mulut Callista. Meski sekarang mereka berada di ujung lorong, namun jika Callista berteriak maka orang-orang akan tetap bisa mendengar. Dan jika hal itu terjadi, berita antara Mark dan Elva pasti menjadi perbincangan panas selama beberapa minggu mengingat mereka adalah pasangan terkenal. Namun, Callista yang tak mengerti akan hal tersebut justru menggigit telapak tangan yang membungkam mulutnya. “Aww! Kenapa kau menggigit tanganku? Sial! Sakit sekali!” keluh Mark seraya mengibaskan tangannya. Ia menatap geram pada Callista. “Dan kau juga kenapa membekap mulutku? Bagaimana jika lipstik yang kugunakan luntur? Aku tidak membawa lipstik hari ini!” amuk Callista. “Kau baru saja akan mengumumkan bahwa aku dan Elva putus, kau ingin kami menjadi gunjingan?” geram Mark, namun ia berbicara sepelan mungkin agar tidak ada yang bisa mendengar selain ia dan Callista. “Aku tidak mengumumkannya,” elak Callista. “Tapi kau meneriakkannya!” Senyuman aneh terukir di bibir Callista ketika ia baru menyadari kesalahannya. Matanya berkeliling menatap orang-orang yang sesekali memperhatikan mereka. “Ya, maaf. Aku hanya refleks,” cicit Callista. “Tapi kenapa kalian bisa putus?” tanya Callista kembali serius. Ia tidak menyangka jika kisah romansa yang banyak diidamkan oleh banyak orang kini justru kandas. Callista berpikir jika hubungan keduanya akan bertahan lama dan kemudian menikah. Sangat disayangkan jika mereka tidak ditakdirkan untuk bersama. Bukannya langsung menjawab, Mark justru memandang Callista dengan intens. “Apa kau berjanji tidak akan mengatakannya pada Elva?” Callista berpikir sejenak, Elva adalah sahabatnya. Sangat sulit bagi Callista untuk menyembunyikan sesuatu apalagi jika sesuatu tersebut berhubungan dengan Elva. Tapi karena penasaran akan alasan Mark, Callista mengangguk cepat. Apakah ia akan memberitahu Elva atau tidak, itu menjadi urusannya nanti. Yang terpenting sekarang adalah ia harus tahu alasan Mark. “Iya, cepat katakan alasanmu!” “Ini hanya sementara, tiga hari ke depan Elva akan ulang tahun. Aku ingin membuatnya menderita sebelum melamarnya,” jelas Mark dengan senyuman. Sepertinya ia membayangkan momen ketika ia akan melamar sang kekasih. Baru membayangkannya saja Mark tampak bahagia, apalagi jika momen itu tiba. Binaran mata Callista menunjukkan bahwa ia bahagia. “Benarkah? Kau akan melamar Elva?” “Iya! Dan jangan katakan pada Elva. Aku akan membutuhkan bantuanmu dan juga teman-temanmu, kuharap kalian bersedia membantu.” “Tentu saja kami akan membantumu! Karena yang kau lamar adalah sahabat kami. Aku tidak sabar untuk mengatakannya pada Agatha, dia pasti bersemangat!” Callista benar-benar antusias. Ia merasa senang jika Mark dan Elva akan menikah. Mereka memang pasangan yang cocok. “Kalau begitu aku akan pergi menemui Agatha, nanti kami akan menghubungimu, Mark!” *** Agatha menatap malas melihat kedatangan Callista ke dalam kelas. Berbeda dengan Elva yang masih larut dalam dukanya. Aksi curhat Elva belum selesai, dan Agatha masih setia mendengarkannya. Namun dengan keberadaan Callista di sini, maka sepertinya untaian kata yang diucapkan Elva akan kalah banyak oleh Callista. “Ada apa, Cally? Tidak bisakah sehari saja kau tidak merecoki kami?” ujar Agatha setelah Callista duduk di kursi yang berada di hadapannya. Ucapan tersebut berhasil membuat Callista berdecak sebal. Ia merapikan rambutnya terlebih dahulu sebelum menjawab, “Begitukah sambutanmu terhadap sahabat terbaikmu ini? Seharusnya kau mengucapkan selamat datang dengan ramah padaku! Dan seharusnya kau menyambutku dengan penuh senyuman dan keceriaan.” “Dan kemudian kami akan mengusirmu secara halus.” Elva melanjutkan kalimat Callista yang membuat wanita itu kesal. “Kalian tidak akan bisa melakukannya.” “Kami tentu bisa mengusirmu baik itu secara halus ataupun kasar, tapi kau yang tidak akan mengerti seberapa keras kami berusaha.” “That’s right!” ujar Callista dengan tawa. Matanya beralih menatap ke arah Elva. “Sebenarnya aku memiliki kepentingan untuk berbicara berdua saja dengan Agatha.” Elva mengerti, ia menegakkan posisi duduknya. “Apa sekarang kau yang mengusirku?” Callista menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak-tidak! Aku baru saja ingin mengatakan bahwa aku akan berbicara pada Agatha lain waktu saja.” “Bicaralah sekarang, aku akan pergi ke kantin.” “Baiklah, terima kasih Elva. Itu lebih baik, kau memang sangat pengertian. Bye!” Callista melambaikan tangannya pada Elva meski tidak dibalas. Ia merasa senang karena dapat berbicara dengan Agatha berdua saja. Tapi tampaknya Agatha sedang malas untuk meladeni Callista. “Ada apa, Cally?” “Agatha, Elva dan Mark putus!” ujar Callista dengan dramatis. “Aku tahu, Elva sudah menceritakan tentang itu padaku.” “Tapi itu hanya sementara, tadi aku mengobrol dengan Mark di lorong. Dan kau tahu apa yang dia katakan?” Kali ini Agatha terlihat antusias dengan topik yang dibawa oleh Callista. Ia langsung menatap Callista dengan raut wajah penuh penasaran. “Apa yang dia katakan?” Callista tersenyum. “Baru kali ini aku merasa kau mau mendengarkanku dengan benar.” “Cepat katakan!” desak Agatha. “Ini hanya permainan Mark, dia akan memberikan kejutan pada Elva. Beberapa hari lagi Elva ulang tahun. Dan Mark akan melamarnya.” Agatha terperangah. “Oh Mark! Bahkan Elva terlihat sangat menderita hari ini!” *** Hari ini jam kuliah berakhir lebih cepat. Setelah menghabiskan waktu selama beberapa puluh menit di perpustakaan, Agatha akhirnya memutuskan untuk pulang. Lebih tepatnya ia memutuskan untuk pergi meninggalkan universitas dan menemui Jonathan di restoran tempat pria itu bekerja. Entah mengapa hari ini Agatha sangat ingin menemui kekasihnya. Agatha melangkahkan kakinya ke luar perpustakaan. Namun baru satu langkah kakinya keluar dari pintu perpustakaan, matanya menangkap dua sosok yang membuatnya menghela napas pasrah. Callista dan Fahima berdiri tak jauh dari pintu perpustakaan. Dan Agatha yakin dua wanita tersebut menunggunya. Beruntung Callista dan Fahima tidak masuk ke dalam perpustakaan, jika itu terjadi maka keduanya akan diusir karena berisik. “Kenapa kalian menungguku?” Agatha bertanya setelah ia berdiri di hadapan dua orang wanita yang sebelumnya saling menatap tajam. Mereka tidak akur namun sering bersama demi dapat bersama Agatha. “Aku ingin pulang bersamamu!” Callista dan Fahima saling bertatap tajam setelah mereka mengucapkan kalimat yang sama. Saling mendengus kasar dan sama-sama menatap Agatha. “Sudah kukatakan bahwa kalian masih memiliki potensi untuk berteman baik, jadi berdamailah!” ujar Agatha dengan datar. “Dan lagi, kalian sebaiknya pulang karena aku akan menemui John di restoran.” Callista langsung maju selangkah. “Lagi? Kau akan menemuinya lagi? Kau sudah bertemu dengannya kemarin, Agatha. Aku tidak menyarankanmu untuk bertemu dengan Jonathan setiap hari!” “Dan aku tidak membutuhkan saran darimu sama sekali, Cally.” “Kali ini aku setuju pada Cally—maksudku Callista. Meski dia kekasihmu sebaiknya kau jangan terlalu sering bertemu dengannya,” timpal Fahima. Agatha mendesah kasar. “Kalian tidak pernah sependapat soal apa pun, kecuali perihal John. Aku heran kenapa kalian membencinya padahal kalian tidak begitu mengenal John, dia pria yang baik dan menyayangiku. Kalian pikir siapa pria yang mau memacari wanita yang sangat miskin sepertiku?” Callista dan Fahima terdiam, Agatha yang melihat itu hanya mengendikan bahunya dan memilih untuk meninggalkan kedua sahabatnya. Kepergian Agatha hanya dipandangi oleh Callista dan Fahima, mereka tidak mengikuti Agatha seperti biasanya dan tidak melarang Agatha untuk pergi. Callista mengalihkan pandangannya pada Fahima. “Menurutmu apa tanggapan Agatha jika ia tahu bahwa Jonathan adalah pria yang membuat kita bermusuhan sampai sekarang?” lirihnya. Fahima menoleh, raut wajahnya menunjukkan kesedihan. “Haruskah kita memberitahu Agatha bahwa Jonathan adalah pria yang telah mengkhianati kita? Dia menjalin hubungan dengan kita berdua di waktu yang bersamaan tanpa kita tahu.” Fahima memejamkan matanya ketika ia mengingat masa ketika ia untuk pertama kalinya menjalin cinta. Namun saat itu ia mendapati fakta jika kekasihnya juga menjalin cinta dengan wanita lain yang tak lain dan tak bukan adalah Callista, sahabatnya sendiri. Dan ketika ia menemukan sahabat di universitas, ia harus kembali diingatkan pada kejadian pahit saat tahu bahwa Agatha menjalin kasih dengan pria yang sama yang menyakitinya dulu sewaktu duduk di bangku sekolah menengah atas. “Aku takut Jonathan akan mengkhianati Agatha seperti dia menyakiti kita dulu.” “Jonathan terlihat sangat mencintai Agatha.” “Dulu juga dia terlihat sangat mencintaiku tapi dia berselingkuh denganmu,” seru Fahima dengan sinis bercampur sedih. Callista terdiam, ia membenarkan ucapan Fahima dalam hati. “Tapi Jonathan terlihat sangat menyayangi Agatha dengan tulus. Aku bisa melihat bahwa Jonathan benar-benar menyayangi Agatha.” “Kenapa aku jadi mengobrol denganmu?” Fahima seolah baru menyadari kesalahannya. Ia mengibaskan rambut panjangnya dan hendak meninggalkan Callista. “Beberapa hari lagi Elva akan berulang tahun dan Mark akan memberi kejutan dengan melamarnya. Kuharap kita bisa sedikit lebih akur di hari itu.” Fahima hanya mengangguk singkat setelah Callista menyelesaikan ucapannya, kemudian ia beranjak pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Di balik punggungnya, Callista menatap kepergian Fahima dengan nanar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD