“Kau seperti sedang memikirkan sesuatu?”
Ucapan yang dilontarkan oleh Agatha membuat Jonathan menoleh. Ia lalu menarik napas dalam dan tersenyum. Saat ini keduanya berada di parkiran restoran, beruntung restoran masih sepi pengunjung, jadi Jonathan bisa mengobrol dengan Agatha saat wanita itu datang.
Namun Agatha merasa ada yang berbeda. Jonathan memang menyambut kehadirannya dengan senyuman dan sebuah pelukan hangat. Namun sejak tadi pria itu membiarkannya berbicara sendiri. Tadi Agatha menceritakan perihal harinya selama di universitas, Jonathan hanya bergumam dan mengangguk untuk merespons. Hingga lama-lama pria itu jatuh dalam lamunannya sendiri.
Agatha tidak cukup bodoh untuk tidak menyadari perubahan dalam diri kekasihnya. Ia terlalu mengenal Jonathan. “Apa ada masalah?”
Jonathan tersenyum lembut, ia mengusap puncak kepala Agatha dengan penuh kasih sayang. “Tidak ada apa-apa, aku hanya sedang merasa lelah.”
Agatha tidak percaya begitu saja, ia menggenggam salah satu tangan Jonathan. “Katakan padaku, ada apa? Aku terlalu mengenalmu, jadi kau tidak perlu menyembunyikan sesuatu dariku.”
Senyuman lembut kembali terbit di bibir Jonathan. “Aku benar-benar merasa kelelahan sekarang. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Honey.”
Sebuah kecupan hangat mendarat di kening Agatha membuat wanita itu memejamkan matanya sejenak. Tangan kanan Agatha meraih pipi sang kekasih dan mengusapnya lembut. “Jika kau merasa lelah, kenapa kau pergi bekerja? Seharusnya kau mengambil libur dan minta izin saja. Sehari tidak masuk kerja tidak akan membuatmu dipecat tanpa hormat bukan?”
Jonathan menyentuh tangan Agatha yang berada di pipinya kemudian ia kecup tangan lembut itu berulang-ulang. “Memang tidak akan dipecat, tapi ada uang yang akan melayang. Untuk pria miskin sepertiku, kehilangan satu dolar saja bisa membuatku merasa galau selama sebulan penuh.”
Agatha tertawa kecil seraya menarik tangannya. Jonathan adalah pria penuh kasih sayang yang pandai bersikap manis. Agatha sering dibuat merona olehnya.
“Tapi tetap saja, tubuhmu ini,” ucapan Agatha terhenti sejenak dan ia menggunakan jari telunjuknya untuk menyentuh d**a tegap Jonathan. “Harus istirahat,” lanjutnya.
Tangan besar Jonathan menangkap telunjuk kecil yang dengan lancang menelusuri dadanya. Ia tersenyum dan menarik tubuh Agatha ke dalam pelukan hangatnya. Wanita yang teramat Jonathan sayangi kini berada dalam pelukannya. Jonathan tidak pernah ingin menyakiti Agatha, dan ia takut jika dikemudian hari ia melakukannya. Agatha terlalu lembut untuk ia sakiti baik hati ataupun fisiknya.
“Aku beristirahat dengan cukup, kau tidak perlu memikirkannya. Kalau aku tidak beristirahat dengan cukup maka tubuhku yang indah ini bisa menjadi loyo.”
Kalimat yang Jonathan ucapkan membuat Agatha kembali tertawa ringan, wanita itu memukul d**a bidang Jonathan tanpa melepaskan pelukan di antara keduanya. “Kau percaya diri sekali,” ejeknya.
Agatha jadi berpikir bagaimana jika Jonathan memiliki tubuh yang indah dan atletis seperti pria sombong yang hampir menabraknya di hari kemarin. Mungkin Jonathan akan besar kepala jika memiliki tubuh seindah itu. Meskipun Jonathan lebih tampan, tapi harus Agatha akui jika pria sombong kemarin memiliki daya pikat yang lebih kuat.
Saat tersadar akan apa yang dipikirkan, Agatha langsung menggelengkan kepalanya berulang kali. Bisa-bisanya ia membandingkan Jonathan dengan seorang pria sombong yang tak dikenalnya. Seharusnya ia tidak melakukan itu. Dan lagi, pria itu memang memiliki tubuh bagus, tapi tidak dengan perilakunya. Tolong ingatkan Agatha untuk tidak memuji pria sombong itu lagi di kemudian hari.
“Kenapa kau menggelengkan kepalamu?”
“Ah? Ti—tidak. Aku hanya sedang ... sedang berolahraga. Ya, aku berolahraga dengan menggerakkan kepalaku.” Agatha tergagap menjawab pertanyaan Jonathan. Ia melepaskan pelukan dengan paksa dan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk mendukung kebohongannya. Jangan sampai Jonathan tahu jika ia memikirkan pria lain. Jika itu sampai terjadi maka habislah Agatha.
“Kau sangat menggemaskan, Honey!” Kedua pipi Agatha menjadi sasaran tangan Jonathan. Ia mencubit dengan penuh rasa gemas dan sayang.
“Tentu saja aku sangat menggemaskan! Ngomong-ngomong di mana Obie? Biasanya dia selalu menemuiku ketika aku datang ke sini.”
“Ck, kenapa kau menanyakannya?” decak Jonathan tak suka, ia merasa cemburu. Agatha selalu berbaik hati pada Obie padahal Jonathan tidak menyukai pria itu.
“Aku hanya bertanya.”
“Si parasit itu tidak masuk kerja, dia demam.”
“Demam? Kasihan sekali. Dan kau tidak boleh menyebutnya sebagai parasit, John! Dia itu temanmu!” tegas Agatha.
“Dia bukan temanku, dia menabrakkan dirinya dengan sengaja padaku untuk mendapat keuntungan. Dan sekarang lihatlah, dia menumpang tinggal di rumahku.”
Agatha terdiam, ucapan Jonathan mengingatkannya pada sosok pria sombong kemarin. Pria itu juga menuduhnya menabrakkan diri dengan sengaja agar meraih keuntungan. Padahal Agatha tidak mempunyai niatan sama sekali untuk melakukannya. Berbeda lagi pada kasus Obie, pria itu memang sengaja membuat Jonathan menabrak tubuhnya untuk meraih keuntungan. Obie sendiri yang mengakui kelakuannya tanpa malu.
Agatha jadi kesal kembali mengingat kejadian kemarin sore, seharusnya kemarin ia memaki-maki pria sombong itu terlebih dahulu sebelum pergi. Pria itu saja bisa menghina diri Agatha dengan menuduh yang tidak-tidak. Jadi seharusnya Agatha memberikan balasan perkataan pedas.
“Ada yang kau pikirkan?”
Agatha terkesiap dengan pertanyaan Jonathan.
“Kau melamun lagi Agatha, apa kau memikirkan Obie? Aku tidak suka jika memikirkan pria lain selain aku!”
Agatha tersenyum kikuk, ia memang memikirkan pria lain tapi itu bukanlah Obie. Tidak mungkin bagi Agatha untuk mengakuinya. Lagi pula ia memikirkan pria lain dalam konotasi yang berbeda dengan yang Jonathan maksud. Agatha memikirkan pria sombong itu karena kesal atas kejadian kemarin, bukan karena perasaan suka atau semacamnya. “Tidak, mana mungkin aku memikirkan pria lain,” mereka tukas Agatha dengan ragu.
***
Langkah lesu Agatha menyisir jalan raya yang panjang. Dia tidak merasa kekurangan oksigen meski asap kendaraan berlalu lalang di hidung karena sisi kanan dan kiri jalan adalah hutan. Ribuan pohon berdiri dengan gagah dan tampak indah dengan warna hijaunya. Oksigen-oksigen yang dihasilkan membuat Agatha dapat bernapas dengan baik.
Setelah menemui Jonathan, Agatha berjalan kaki untuk pulang. Sebenarnya bisa saja Agatha meminta agar Jonathan mengantarnya pulang, namun tentu itu bukan sesuatu yang bijaksana mengingat jika Jonathan sedang berada di tempat kerja. Saat hari beranjak semakin sore, restoran pun mulai ramai. Agatha tidak ingin jika kekasihnya itu mendapat masalah hanya karena pergi di jam kerja.
Sebelum melewati pertigaan, Agatha melangkah masuk ke dalam hutan. Bukan untuk bertualang, tapi untuk pulang ke gubuknya. Letak gubuk yang Agatha tempati tak begitu jauh dari jalan raya. Jadi, meski di dalam hutan mereka masih bisa melakukan mobilisasi dengan mudah.
Tak jauh dari gubuknya ada sebuah mobil mewah. Agatha merasa heran, sangat jarang ada orang yang mendatangi tempat tinggalnya. “Siapa pemilik mobil itu?” tanya Agatha kepada dirinya sendiri.
Dalam langkahnya ia mencoba untuk menebak siapa pemilik mobil itu dan untuk apa mendatangi gubuknya. Satu perkiraan yang paling masuk akal menurut Agatha adalah, mobil tersebut merupakan mobil milik pejabat negara yang datang untuk memberi bantuan.
Agatha jadi tersenyum senang memikirkannya, jika yang datang merupakan presiden atau seorang menteri maka Agatha akan mengeluhkan biaya pendidikan yang mahal. Barangkali pejabat tersebut akan berbaik hati dan memberinya keringanan dalam biaya pendidikan.
Seorang pria berdiri di depan pintu gubuk yang tertutup. Pakaiannya sangat rapi dan berkelas. Tubuhnya juga berotot dengan kulit sawo matang. Agatha menebak jika pria itu berasal dari negara lain. “Permisi, saya Agatha. Anak dari pemilik gubuk ini.”
Pria tersebut nampak kaget namun kemudian kembali tanpa ekspresi yang berarti. “Saya Hans.”
Well, Agatha sebenarnya tidak ingin mengetahui nama pria tersebut. Tapi berhubung pria tersebut sudah memperkenalkan namanya, jadi Agatha tersenyum sopan. “Salam kenal. Emmm ... apa kau pemilik mobil yang di sana?”
“Bukan, itu adalah milik majikan saya,”
Agatha tercengang mendengar kata 'majikan'. Jika anak buahnya saja sudah berpenampilan berkelas seperti ini, bagaimana dengan majikannya? Pasti gaji yang didapat oleh Hans sangat tinggi. Agatha semakin yakin jika orang yang mengunjungi kediamannya adalah seorang presiden.
“Apakah bosmu itu seorang presiden?”
Hans tampak merasa konyol atas pertanyaan Agatha. “Bukan, dia adalah—“
Ucapan Hans terpotong oleh sebuah teriakan dari dalam. Agatha yakin jika itu adalah Elena. “AGATHA PERGILAH!!”
Seketika Agatha merasa panik, ia menatap Hans dengan sorot mata penuh keterkejutan. “Ada siapa di dalam? Kenapa ibuku berteriak memintaku pergi?”
Tanpa mendapat perlawanan dari Hans, Agatha masuk ke dalam gubuk. Mengabaikan perintah Elena yang memintanya untuk pergi. Napas Agatha berangsur teratur ketika ia melihat Fred dan Elena baik-baik saja. Namun mereka merunduk di hadapan seorang pria yang Agatha tidak dapat lihat wajahnya. Posisi pria itu membelakangi keberadaan Agatha.
Elena melirik langkah kaki Agatha yang mendekat. Dalam hati ia merutuki kebodohan Agatha yang malah memilih masuk setelah ia berteriak meminta agar gadis itu pergi. “Agatha, pergilah untuk saat ini, Nak,” pinta Elena lagi, kali ini dengan suara lirih.
Agatha kini sudah berdiri tepat di belakang tubuh pria yang angkuh berdiri di hadapan Fred dan Elena yang merunduk. Menurut Agatha pria tersebut sangat tidak sopan karena berani berdiri dengan dagu terangkat di hadapan dua orang tua. Rasa kesal mulai menguasai diri Agatha. Ia tidak peduli jika orang yang berada di gubuknya saat ini adalah benar seorang presiden. Karena apa pun jabatan yang diemban pria itu, Agatha tidak rela jika kedua orang tuanya diperlakukan dengan tak sopan.
“Kau siapa? Kenapa orang tuaku tampak ketakutan?” Dengan lancang Agatha menyentuh bahu pria tersebut dan membuat tubuh tegap itu berputar. Setelah mereka bertatap mata, Agatha sempat tertegun. Wajah di hadapannya adalah wajah yang sama yang Agatha temui sore lalu. Itu adalah pria sombong!
Pantas saja pria tersebut berlaku tidak sopan pada Fred dan Elena, ternyata itu adalah pria dengan tingkat kesombongan yang parah. “Kau? Pantas saja kau tidak sopan pada Mom dan Dad, ternyata kau adalah orang yang menuduhku kemarin!”
“Agatha, pergilah.” Kali ini Fred yang berujar. Agatha langsung menoleh pada Fred.
“Tapi, Dad dia—“
“Pergilah Agatha!”
Agatha terdiam, ia mulai menyadari jika ada sesuatu yang terjadi. Fred dan Elena tampak seperti sedang ketakutan.
“Kau dengar? Orang tua tidak berguna itu menyuruhmu untuk pergi, Cantik,” ujar pria tersebut dengan nada s*****l bercampur sinis. Pria tersebut adalah James Hunt, seorang pengusaha sukses di Amerika. Usianya masih 28 tahun tapi ia sudah memiliki kekayaan yang setara dengan para pengusaha sukses yang rata-rata sudah berusia lanjut.