Resepsi

1589 Words
Resepsi pernikahan adalah hal yang selalu didambakan oleh setiap pengantin tanpa terkecuali. Ralat, mungkin ada beberapa golongan yang masuk ke dalam pengecualian. Dekorasi yang indah hingga membuat setiap tamu undangan berlomba-lomba untuk memotret dirinya masing-masing, kue bertingkat yang tinggi menyaingi manusia, hingga jamuan yang akan dihidangkan yang akan menjadi gunjingan jika rasanya tidak sedap. Keramaian tersebut tidak lengkap rasanya jika tidak diiringi musik, banyak konglomerat yang rela merogoh kocek dalam demi untuk mendatangkan seorang penyanyi terkenal. Seperti seorang James Hunt yang rela mengeluarkan biaya seribu dolar hanya untuk membayar seorang penyanyi cantik asal Amerika Serikat yang terkenal dengan nama panggung Marry Merra. Penyanyi bersuara merdu tersebut mampu membuat semua mata tamu undangan beralih padanya ketika ia menyanyikan lagu andalannya. Semua orang larut dalam euforia mereka masing-masing karena senang bisa bertemu langsung dengan sang bintang. Namun, seberapa banyak buket dan karangan bunga yang terlihat, seberapa banyak tamu undangan yang datang, serta seberapa mewah resepsi tercipta tidak membuat sang mempelai wanita bahagia. Sebaliknya, Agatha menatap muak seluruh kejadian yang terekam dalam matanya. Ironisnya, resepsi pernikahan ini diliput banyak media. Terkadang Agatha terpaksa menyunggingkan senyum tipis ketika merasa ada kamera yang menyorot ke arahnya. “Tersenyumlah, sebelum aku yang membuatmu tersenyum.” Mungkin jika pria yang mengatakan hal tersebut bukanlah James, maka Agatha akan menganggap jika kalimat yang baru saja didengar telinganya sebagai kalimat yang romantis. Tetapi tidak ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut James, tidak ada kesan romantis sama sekali yang muncul. Bahkan Agatha merasa dirinya tengah diancam oleh pria yang telah berstatus sebagai suaminya. Walau demikian, kalimat manis yang menyiratkan ancaman tersebut tidak mampu membuat Agatha memaksakan diri untuk berpura-pura senang terhadap apa yang terjadi. Bagaikan buku yang terbuka, semua orang dapat mengetahui isinya. Agatha bukanlah manusia yang pandai bersandiwara. Jika ada panggung sandiwara, maka Agatha adalah aktris yang gagal untuk memerankan perannya. Tidak sedikit pun senyum terbit di wajahnya. Sama sekali tidak bisa menikmati alunan musik yang berpadu dalam porsi yang pas dengan suara Marry. “Kau senang membangkang rupanya.” Pinggang Agatha tertarik ke samping kanan, hingga tubuh bagian sampingnya menempel tanpa jarak pada James. Tubuhnya menegang menyadari hal tersebut, tetapi juga tidak memberontak mengingat akan banyak yang menyaksikan pemberontakan yang dilakukannya. “Apa kau masih tidak bisa tersenyum? Tersenyumlah. Karena setelah ini kau tidak akan bisa melakukannya lagi,” bisik James dengan senyuman manis yang dapat memukau semua mata wanita yang menatapnya. Namun, tetap saja itu terlihat menyeramkan di mata Agatha. “Apa kau sedang mengancamku” “Tidak.” James mencium pelipis Agatha sejenak dan kejadian tersebut berhasil terekam dalam banyak kamera media massa. “Aku hanya memberitahu, bahwa menikah denganku tidak akan membuat hidupmu mudah.” Seharusnya Agatha tidak kaget akan hal tersebut. Ia sadar jika mereka menikah secara tiba-tiba, seharusnya bukan Agatha yang berada di sini. Dan lumrah bila sesuatu yang tidak diharapkan terjadi secara 'tiba-tiba' maka hal tersebut dianggap sebagai sebuah ketidakberuntungan. Agatha memang merasa tidak beruntung dalam hidupnya. Ketika kecil ia dibuang oleh orang tua kandungnya, lalu hidup dalam kemiskinan bersama Fred dan Elena yang menjadi orang tua angkatnya—tetapi Agatha merasa bersyukur karena bisa memiliki orang tua angkat seperti mereka. Kemudian ia harus menyaksikan Fred dan Elena mati di tangan seorang pria congkak. Dan sialnya, pria congkak itu kini menjadi suaminya. “Wow, santailah, James. Kau bisa menikmati istrimu setelah acara resepsi ini selesai.” Seorang pria yang berpakaian mahal mendatangi pelaminan, padahal rangkaian acara bukan lagi salam-salaman. Jika dilihat dari gestur tubuhnya, sepertinya pria itu adalah seseorang yang memiliki hubungan akrab dengan James. Tidak seperti rekan-rekan bisnis James yang kaku bagaikan robot, pria di hadapan Agatha kini terlihat lebih santai dan ... tidak menghormati James. “Apa kau datang kemari dengan tangan kosong?” tanya James sinis, tetap tidak melepaskan pinggang Agatha dari jangkauannya. Pria bernama lengkap Davias Jacob tersebut meledakkan tawanya tanpa malu. Tingkahnya tersebut membuat dirinya tidak lagi tampak berwibawa padahal berada dalam balutan jas yang seharusnya menunjukkan kesan karismatik. “Kupikir pria kaya raya sepertimu tidak menerima kado atau uang. Ternyata sama saja aku harus merogoh kocek untuk dapat menikmati jamuan makan malam di sini.” “Apa yang kau berikan bahkan tidak akan bisa membayar souvernir pernikahan yang kuberikan!” gertak James. Bukan main-main, souvernir pernikahan James dan Agatha adalah sebuah ponsel yang diproduksi khusus untuk pernikahan James. Untung saja James memesan ponsel tersebut hanya menggunakan namanya sebagai merk. Karena jika ia membawa nama Emily, itu tidak akan sesuai dengan nama wanita yang kini telah sah menjadi istrinya. “Baiklah, kau memang pria kaya. Terima kasih untuk ponsel ini, sebaiknya kau melebarkan bisnismu pada ponsel. Sepertinya ide bagus jika kau memproduksi ponsel ini dalam jumlah yang banyak.” “Ponsel ini tidak akan istimewa lagi jika diproduksi dalam jumlah banyak. Berpikirlah yang cerdas, jika kau ingin menjual sesuatu dengan harga fantastis, maka buatlah se-sedikit mungkin. Karena orang-orang udik dan haus pujian akan berlomba-lomba membelinya.” “Sepertinya kau sedang menyindirku?” Davias adalah pria yang gemar mengikuti acara-acara pelelangan barang-barang yang diproduksi dalam jumlah sedikit. Seperti sebuah mobil berwarna hitam yang menjadi kendaraannya malam ini, mobil tersebut hanya diproduksi sebanyak dua buah saja di dunia. Dan ia pria asal Jerman tersebut menjadi orang kedua yang berhasil memiliki mobil tersebut setelah seorang jutawan muda asal Kanada. Perhatian Davias beralih pada sosok wanita yang hanya berdiam diri menatapnya. “Kau tidak ingin memperkenalkan istrimu yang cantik ini? Jujur saja James, dia terlalu cantik untukmu.” Sama sekali tidak tersinggung oleh penuturan sahabat laknatnya tersebut, James menjawab dengan ketus, “Bukankah kalian sama-sama memiliki mulut untuk saling memperkenalkan diri? Kukira masih sama-sama berfungsi.” Davias mendengus. “Jika saja pengantinmu tidak berganti maka aku tidak akan perlu repot-repot untuk berkenalan dengan istrimu.” “Jila kau merasa repot, kau tidak perlu melakukannya. Dan bisakah kau tidak membicarakan hal itu? Yang penting aku menikah, siapa pun wanitanya.” “Ya ya ya. Yang penting kau menikah, padahal aku tahu hatimu sedang meringkuk kesakitan karena ditinggal Emily. Kau memaksakan diri untuk tetap menikah karena kau tidak mau uang yang telah kau keluarkan berakhir sia-sia, bukan?” Davias tidak takut sama sekali dengan tatapan tajam yang dihunuskan ke arahnya. “Baiklah, aku tahu nama istrimu Agatha. Aku sudah membacanya di rangkaian bunga di depan.” Ingin rasanya James mencekik pria menyebalkan di hadapannya hingga tewas, beruntung ada banyak manusia di sini. “Sekarang pergilah!” “Tidak sebelum kau memperkenalkan diriku terhadap istrimu.” James mengeram menahan amarah, tetapi ia tidak ingin menghancurkan pestanya sendiri. “Agatha, dia temanku, Davias Jacob.” *** Hingga pukul dua belas malam acara masih belum selesai. Agatha sudah berganti gaun dengan gaun hitam yang terbuka di bagian punggungnya. Begitu pula dengan James, ia menggunakan jas yang tidak se-formal sebelumnya. Sungguh Agatha sudah merasa kelelahan, apalagi ia harus berdiri di pelaminan. Memang tersedia tempat duduk, tetapi James melarangnya untuk duduk. Masih di hari pernikahan saja James sudah menyiksanya seperti ini. Agatha tidak tahu bagaimana hidupnya setelah malam ini. Para tamu undangan hanyut dalam, dunianya sendiri. Mereka seolah mendapatkan kesenangan di tengah kegundahan. Namun, tidak sedikit pun riak kesenangan itu menular pada Agatha. Mengapa waktu berjalan begitu lambat? Atau itu hanya perasaan Agatha saja karena ia tidak menikmati setiap detik yang berlalu? “AGATHA?” Pekikan kaget seorang wanita membuat Agatha menoleh, dan ketika mendapati orang tersebut Agatha tidak kuasa untuk tidak berlari dan menangis di dalam pelukan sahabatnya, Elvaretta. “Elva ...” lirih Agatha dalam sela tangisnya, ia tidak melepaskan pelukannya pada tubuh Elva yang terdiam membeku di tempat. Sebuah kejutan yang sangat tidak terduga bertemu dengan Agatha di pesta pernikahan James. Apalagi melihat Agatha yang berdiri di samping James di atas pelaminan. “Agatha kau—“ “Iya, aku menikah dengan James.” Hanya mampu mengucapkan itu, tapi Agatha yakin jika kalimatnya sudah menjelaskan bagaimana posisinya sekarang. Mark Thompson, kekasih Elva yang berstatus sebagai sahabat James itu pun terlihat heran dan tak menyangka akan sosok pengantin wanita yang ternyata sangat dikenalnya. “James, bagaimana bisa Agatha yang menikah denganmu?” Dengan santai James menjawab, “Takdir yang memilihnya, mungkin.” Tidak puas dengan jawaban pria kaya tersebut, Mark menatap James dengan curiga. Apalagi melihat Agatha yang menangis tersedu di dalam pelukan kekasihnya. “Kau pasti melakukan sesuatu?” “Kali ini tidak. Takdir yang mengantarkannya padaku. Sekarang cepat pergilah dan bawa kekasihmu, Agatha tidak boleh menangis di hari yang dianggap bahagia oleh orang lain ini.” “Semua orang akan tahu jika bukan Agatha yang seharusnya menikah denganmu. Kau dan Emily sudah terkenal, ke mana dia?” Mark tidak bisa menerima fakta mengejutkan ini begitu saja. Bagaimanapun dirinya mengenal baik Agatha, dan Elva sangat menyayangi sahabatnya tersebut. James menghembuskan napas kasar, ada sorot kesedihan yang ditutupi dengan tatapan tajam dan wajah dingin. “Dia pergi bersama kekasihnya yang lain.” Tercengang beberapa saat, Mark menepuk bahu James beberapa kali. “Tidak masalah, Agatha adalah wanita yang cantik dan baik. Kau tidak akan menyesal karena telah menikahinya.” James tersenyum ironis, matanya memberikan kode pada Mark agar segera membawa pergi Elva. Karena jika tidak, maka ia yakin jika aksi peluk-memeluk di antara mereka tidak akan berakhir dalam waktu dua jam ke depan. Elva tidak memberontak ketika Mark memisahkan tubuhnya dari Agatha, pria itu membisikkan sesuatu yang membuat Elva melirik sekilas ke arah James dan akhirnya mau dibawa pergi. Kini giliran James yang bergerak mendekati Agatha, karena banyak kamera yang menyorotnya. James membingkai wajah Agatha dan mencium dua kelopak mata indah tersebut, tak lupa ibu jarinya bergerak untuk menghapus jejak air yang turun bagaikan hujan di pipinya. “Simpan air matamu untuk nanti.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD