Makan malam untuk pertama kalinya bersama sang suami, Agatha tidak merasa gugup sama sekali. Ia terlihat santai dan anteng dengan makanannya yang sangat sederhana. Hanya dua lembar roti tawar yang ia makan dengan campuran saus mayo. Di bagian meja paling ujung, James makan dengan tak kalah tenang tetapi dengan makanan yang lebih mewah. Agatha tidak tahu apa namanya, tetapi ia sering melihat gambar makanan tersebut di iklan yang ditampilkan di gedung-gedung.
Yang menurut Agatha berlebihan bukanlah makanannya melainkan James yang harus dilayani oleh empat orang pelayan wanita sekaligus. Bahkan Adel dan si kembar Peggy-Katty saja Agatha biarkan menganggur di pojok ruangan karena ia yang merasa tidak memerlukan bantuan siapa pun hanya untuk makan malam yang mana makanannya hanya tinggal ia ambil di meja.
“Silakan, tuan. Selamat makan malam,” ujar salah satu pelayan ketika makanan yang akan dimakan oleh James sudah tersedia lengkap dalam satu piring berukuran besar, tetapi makanannya hanya sedikit bahkan tak sampai memenuhi seperempat bagian piring pun.
Agatha jadi mendengus melihatnya, apalagi ketika matanya berkeliling melihat para pelayan di rumah ini yang rata-rata masih berusia muda, berbadan indah, dan juga cantik jelita. Agatha jadi heran apakah mereka sebelumnya seorang model sebelum bekerja di sini atau James yang sengaja membuat aturan jika ingin bekerja sebagai pelayan di rumahnya maka mereka harus bisa tampil bak dewi?
“Apa kau kira aku tak mampu memberimu makan selain roti tawar?” ujar James secara tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat tercipta. Agatha yang memang sengaja duduk di kursi yang paling jauh jaraknya dengan James pun langsung menoleh. Lalu menundukkan pandangan pada piringnya yang hanya tersisa satu roti tawar.
“Kau boleh memakan makanan apa pun yang ada di rumah ini, tanpa harus meminta izin dariku,” lanjut James seraya mulai memegang sendok. Hanya memegangnya dan tidak segera makan karena matanya yang masih fokus mengarah pada istrinya.
“Aku tahu aku boleh makan apa saja yang ada di sini. Hanya saja sekarang aku tidak sedang berselera. Lagi pula, sebenarnya aku terbiasa menjadikan nasi sebagai makanan pokok setiap hari.”
“Nasi? Kau memakannya setiap hari?”
“Iya, sejak dulu Mom Elena sangat menyukai Asia dan pada akhirnya dia pun mengikuti makanan yang biasa dimakan di sana. Jadi aku dan Dad pun terbiasa mengikuti seleranya.” Agatha mengangkat pandangannya pada James. Menyebut nama ayah dan ibu angkatnya membuat Agatha jadi ingat kembali jika Jameslah yang membuat mereka tidak ada di dunia ini.
Nafsu makannya yang memang tidak sedang dalam keadaan bagus kini bertambah buruk karena mengingat hal tersebut. James sendiri yang menatap Agatha sempat terdiam sejenak sebelum kemudian mulai memakan makannya tanpa mengeluarkan suara apa pun lagi. Sama sekali tidak ingin melanjutkan pembahasan apa pun.
***
Setelah makan malam selesai, Agatha langsung mengurung dirinya di kamar seraya mengotak-atik ponsel baru miliknya yang beberapa menit lalu diantarkan oleh Hans. Agatha tersenyum senang melihat ponselnya kini tak lagi ketinggalan zaman, desainnya sangat indah di bagian belakang. Agatha tidak dapat memastikan apakah ini ponsel keluaran terbaru atau bukan, yang pasti Agatha dibuat ternganga melihat harga yang tertera di atas kotak yang menjadi tempat ponsel ini sebelumnya.
Agatha tidak pernah menyangka jika ia akan memiliki ponsel dengan harga yang sangat mahal. Mungkin saja ponsel seperti ini digunakan oleh selebriti terkenal sekelas Josephine Aubrey. Sepertinya Agatha patut berbangga hati untuk itu.
“Mahal sekali, sepertinya aku harus menjaga ponsel ini dengan baik agar ketika nanti aku dan James sudah bercerai, aku bisa menjual ponsel ini sebagai bekal. Akan lebih baik jika James mau memberikanku sejumlah uang untuk menjalani kehidupan setelah bercerai dengannya,” gumam Agatha seraya membulak-balikan ponsel di tangannya.
Aktivitas yang dilakukannya sama sekali tidak terganggu ketika ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. Bahkan ketika Agatha sudah tahu jika yang datang adalah James. Agatha pun turut diam ketika kasurnya bergoyang karena James yang kini duduk di sampingnya.
“Apa kau menyukainya?”
Menurut Agatha itu adalah pertanyaan yang bodoh. Tentu saja Agatha sangat senang dan sangat menyukai ponselnya. “Tentu saja aku sangat senang. Apa kau pikir aku akan bersedih jika kau membelikanku barang mahal seperti ini? Benda ini akan sangat berguna untukku.”
“Aku hanya tidak ingin menjadi gunjingan orang lain karena istriku memakai ponsel yang bahkan jika digunakan untuk memotret maka hasilnya akan sangat buram.”
Agatha mendelik sebal, tidak terima jika ponselnya yang terdahulu menjadi objek ejekan suaminya yang memiliki kadar kesombongan di atas rata-rata. “Biarkan saja ponselku jelek, ketika orang lain bertanya maka aku akan menjawab jika suamiku sangat pelit!”
“Katakan saja seperti itu, karena tidak akan ada yang mempercayaimu bahkan seorang bayi sekali pun,” tukas James dengan senyuman kecilnya.
Agatha mendengus kesal, tetapi ia tidak ingin membahas hal tidak penting seperti itu lebih lanjut lagi. Kini Agatha menyimpan ponselnya dengan hati-hati di samping tubuhnya. Sedangkan ia menghadapkan tubuhnya ke arah James yang kini setengah menidurkan tubuhnya di kasur. Mata suaminya tersebut pun nyaris terpejam jika saja Agatha tidak berkata.
“James, apa kau akan memberikan aku sejumlah uang setelah kita bercerai?”
***
Apa yang dinginkan tak selalu didapatkan, sekiranya itu yang kini Agatha pikirkan. Dulu ia bercita-cita untuk hidup bahagia dan sederhana bersama Jonathan. Namun, sekarang semua keinginan tersebut pupus sudah dan bergantikan sebuah kepahitan fakta yang harus ia terima dan jalani dengan paksa.
Ponsel lamanya yang menjadi saksi hidup Agatha menjadi satu-satunya barang yang ia bawa saat pergi meninggalkan gubuk bersama Jonathan. Di dalam ponsel yang kini digenggamnya dengan sangat kuat tersebut terdapat banyak kenangannya dengan Jonathan.
Banyak foto-foto yang ia ambil selama kurun waktu dua tahun walau benar apa yang dikatakan oleh James jika gambar yang diambil melalui kamera di ponselnya maka hasilnya akan buram. Seburam kenangannya bersama Jonathan yang akan terhapus dan tergerus oleh pahitnya rasa sakit yang telah pria itu torehkan dengan kejam.
“Apa kau perlu bantuan untuk menghancurkan benda tersebut, Nyonya?”
Kalimat tanya yang diucapkan oleh Vin membuat Agatha tersentak kaget dan dengan gerakan spontan ia menjatuhkan ponselnya ke lantai. Memang dasar ponselnya terdahulu bukan barang yang dibeli dengan harga mahal, benda persegi panjang itu kini sudah berserakan bagai robot yang telah dihancurkan tubuhnya.
“Kau memang sudah sangat membantuku untuk menghancurkannya,” sindir Agatha seraya berjongkok untuk membereskan ponselnya yang kini telah berubah menjadi sampah. Tidak ada penyesalan dalam hatinya ataupun rasa marah pada Vin yang telah membuatnya terkejut hingga Agatha menjatuhkan ponselnya.
Karena sejak awal, Agatha memang sudah berniat akan menghancurkannya. Itulah alasan mengapa ia berdiri di depan perapian yang padam, tepatnya di dalam salah satu ruangan yang mana hanya biasa digunakan ketika salju turun. Agatha sudah berniat jika ia akan menyimpan ponselnya di dalam perapian agar ketika suatu saat nanti ada yang menyalakannya maka ponsel Agatha dan segala kenangannya akan ikut terbakar.
“Apa aku lancang jika aku bertanya mengenai alasan mengapa kau ingin menghancurkan ponselmu?”
“Secara teori aku menghancurkannya karena sekarang memiliki ponsel baru yang sangat bagus dan mahal dari James,” jawab Agatha degan senyum yang mengembang. Ia mendongak karena tubuhnya yang sangat pendek jika dibandingkan dengan Vin yang bahkan tingginya melebihi tubuh James.
Vin adalah pengawal yang paling bisa bersikap ramah padanya. Yang Agatha maksud dengan ramah adalah pria itu bisa bersikap layaknya teman dan tidak kaku seperti pengawal lainnya. Di antara semua, Vin yang paling bisa membaurkan diri dengan Agatha.
“Tapi itu bukan alasan yang sebenarnya?”
“Tentu saja bukan, alasan sebenarnya adalah aku ingin menghapus kenangan yang dulu terasa manis kini terasa buruk untuk tetap hadir dalam ingatanku,” ungkap Agatha tanpa beban.
Ia melangkah menuju sebuah sofa yang sangat menimbulkan kesan hangat hanya untuk sekadar melihatnya. Dan ternyata benar, ketika Agatha duduk di sana, ia merasakan tubuhnya kini diliputi kehangatan padahal ia menggunakan pakaian berbahan tipis dan tidak menutupi lengannya dengan baik.
Vin tidak menjawab lagi, mungkin pria itu merasa lancang jika melanjutkan pembahasan mengenai kisah pribadi majikannya sendiri. Pria bertubuh tinggi tersebut memilih untuk berdiri di dekat pintu, seperti yang biasa dilakukannya.
Ternyata akhir minggu menjadi waktu yang tidak lagi menyenangkan bagi Agatha. Dulu, biasanya Agatha sangat senang ketika hari di mana ia bisa bebas dari kewajibannya berangkat ke kampus. Namun kini, Agatha merasa bosan. Tidak ada lagi Elena atau Fred yang senantiasa bisa membuat harinya menyenangkan.
Agatha juga tidak bisa bebas pergi ke luar karena James yang melarangnya. Pria tersebut sendiri padahal tidak ada di rumah karena bekerja. Jadi yang Agatha bisa lakukan adalah mendatangi tempat-tempat yang belum ia kunjungi di dalam rumah James.
“Vin, apa kau tidak tahu jika seharusnya bukan aku yang menikah dengan James?” tanya Agatha, entah mengapa ia ingin menanyakan hal tersebut. Pasalnya, semua pelayan dan pengawal yang bekerja pada James memperlakukannya layaknya ia benar-benar seorang Nyonya.
Agatha juga belum sempat mendengar ada pelayan yang menggunjingkannya, atau mungkin hanya Agatha saja yang tidak tahu.
Pria yang kini berdiri di dekat pintu itu kini menoleh tepat pada mata majikannya, hanya beberapa detik saja karena setelahnya Jonathan memilih untuk menatap lantai yang coraknya sangat membosankan dipandang mata. “Tentu saja aku mengetahuinya karena aku sudah lama bekerja pada Tuan James.”
“Apa semua pelayan dan pengawal di rumah ini tahu?”
Vin menganggukkan kepala. “Ya, kecuali tiga pelayan pribadimu karena mereka baru mulai bekerja setelah kau datang ke rumah ini.”
Agatha mengangguk paham. Sedetik kemudian ia menahan napas ketika melihat kedatangan tiga pelayannya yang baru saja disebutkan oleh Jonathan. Sepertinya ketiganya mempunyai umur yang panjang.
Dan Agatha tahu jika ia harus siap untuk menutup telinga dan pusing karena tingkah mereka.
“Selamat pagi menjelang siang, Nyonya Agatha. Sejak tadi kami mencarimu tetapi tidak kunjung menemukan keberadaanmu. Dan setelah bertanya kepada seluruh pelayan yang bekerja di sini akhirnya kami mendapatkan petunjuk mengenai keberadaanmu.” Katty membuka percakapan degan dengan wajah riangnya yang terlihat diganggu oleh kehadiran beberapa bulir keringat.
Dan Peggy pun menimpali, “Dan akhirnya kami melakukan sebuah perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan hanya dengan petunjuk-petunjuk kecil yang diberikan oleh para pelayan.
“Hingga akhirnya kami bisa menemukan ruangan ini berkat kegigihan kami untuk menemukanmu, Nyonya.” Adel menyela dengan cepat, tidak ingin kehabisan kalimat yang akan membuatnya tak punya waktu untuk berkata.
Helaan napas Agatha terdengar bersamaan dengan matanya yang mengarah pada Vin, tampak pria itu yang tersenyum seraya meringis ke arahnya. Pasti Vin sangat paham akan bagaimana perasaan Agatha saat ini.
Sepertinya James melakukan sebuah kesalahan ketika memilihkan pelayan untuk Agatha. Atau bahkan mungkin James tidak tahu pelayan pribadi seperti apa yang akan ia gaji setiap bulannya mengingat jika tidak mungkin James mau datang ke yayasan untuk memilih pelayan terlatih untuknya.
Jangankan melakukan itu, untuk kebutuhannya sendiri saja James lebih banyak menggunakan kaki dan tangan Hans. Orang kaya memang beda, mereka bisa membayar banyak orang untuk melakukan apa pun.
“Nyonya apakah kau tidak ingin minum teh di taman?” tanya Adel dengan kedua alisnya yang naik turun.
“Sepertinya itu ide yang bagus.” Agatha merasa tertarik dengan usul baru saja disampaikan oleh Adel, dan hal tersebut membuat Adel dan kedua rekannya bersorak bahagia.
“Baiklah, Nyonya. Aku akan mempersiapkannya dengan baik. Sementara itu kau bisa pergi bersama Katty dan Peggy terlebih dahulu ke taman. Kau tidak perlu memikirkan aku yang akan kesusahan membawa teh dan camilan karena aku akan meminta bantuan pada pelayan lain.” Adel mengatakan kalimatnya dengan menggebu-gebu dan langsung berlari ke luar ruangan. Tak peduli dan tak meminta maaf pada Vin yang tak sengaja ia tabrak.
Di tempatnya Agatha mendengus. “Siapa pula yang memikirkannya?