Mengandung?

2135 Words
“Apa kau sama sekali tidak mau makan?” tanya Agatha untuk ke sekian kalinya. Di tangannya sudah ada mangkuk berisi sup yang diantarkan oleh salah seorang pelayan ke depan kamarnya. Agatha sengaja tidak membiarkan pelayan itu masuk karena Agatha tidak ingin jika ada pelayan cantik, muda, dan berpakaian seksi yang masuk ke dalam kamarnya dan James. Agatha tidak suka akan hal itu. Seharusnya mereka memakai pakaian yang lebih sopan, setidaknya seperti Adel, Peggy, dan juga Katty. Pakaian yang mereka kenakan hampir menutupi lutut, tidak seperti pelayan lain yang panjang roknya mungkin tidak sampai satu jengkal tangan. Ingin rasanya Agatha membeli kain di konveksi langsung dan ia akan membungkus tubuh mereka semua hingga tergulung oleh kain yang akan menyembunyikan kemolekan tubuh mereka. “Agatha, aku sama sekali tidak ingin makan karena aku akan memuntahkannya lagi nanti,” ujar James seraya mendorong tangan Agatha. Wajahnya pucat sekali, seperti tidak ada darah yang mengaliri wajahnya. Suhu tubuhnya sudah normal, tetapi Agatha yakin jika suhu tubuh James masih akan naik turun dalam beberapa waktu. Sejak semalam pun begitu, suhu tubuh James naik dan kemudian turun—terus seperti itu sampai pagi menjelang. Agatha menghela napas dan kemudian menyimpan mangkuk di atas lemari kecil. Ia menatap James dengan wajah yang sulit diartikan. Ada semacam perasaan khawatir yang sangat mendalam tetapi coba Agatha singkirkan dan tak rasai. Agatha tahu jika tidak seharusnya ia begitu mengkhawatirkan James secara berlebihan seperti itu. Agatha harus ingat jika James adalah pembunuh orang tuanya. Bahkan mungkin sekarang adalah waktu yang pas untuk Agatha membalas dendam. Ia bisa mencampurkan racun dalam makanan James hingga membuat pria itu meregang nyawa, menyusul Fred dan juga Elena Namun, pemikiran kriminal tersebut sama sekali tak menarik bagi Agatha. Ia justru ingin merawat James dengan sebaik-baiknya dan membuat pria itu segera sembuh. Mungkin mulutnya mengatakan jika ia melakukan semua itu semua hanya karena ingin liburan ke Yunani tetap terlaksana. Padahal, jauh dalam lubuk hatinya Agatha melakukan semua ini dengan perasaan yang teramat tulus. Ia merawat James mengikuti kata hatinya, bukan logikanya yang terus berontak dan mendoktrinkan kalimat bahwa Agatha melakukan ini hanya agar liburan ke Yunani tidak batal. Baiklah, mungkin kali ini Agatha akan mengalah pada hatinya sendiri untuk merawat James dengan baik setulus hatinya. Bagaimanapun ia sama sekali tidak tega melihat wajah suaminya yang kini pucat pasi. “James, kau harus memakan sesuatu. Bagaimana kau akan memiliki tenaga jika kau sama sekali tidak mau mengonsumsi apa pun?” “Tidak! Kau tahu bukan tadi aku meminum seteguk air, dan tak lama kemudian aku memuntahkannya kembali. Apalagi jika aku makan? Muntah itu rasanya sangat tidak enak, Agatha. Aku tidak mau melakukannya lagi.” “Sebaiknya kita pergi ke rumah sakit untuk mengetahui bagaimana keadaanmu, James.” “Tidak perlu, biarkan saja dokter yang datang ke sini. Aku tidak mau ke mana-mana. Jika perlu bawa semua dokter terbaik ke rumah ini!” Agatha langsung memutarkan bola matanya kala mendengar kalimat yang terlontar dari mulut suaminya. Ternyata, sakit sama sekali tidak membuat kadar kesombongan yang ada dalam diri James berkurang. Memang sudah wataknya seperti itu, bahkan James sama sekali tidak bisa menurunkan kesombongannya dalam keadaan sakit sekali pun. “Kau sangat berlebihan! Untuk apa kau memanggil semua dokter terbaik? Kau ingin diperiksa atau ingin mengadakan acara dokter award?” sinis Agatha. Ia menaikkan selimut hingga kembali menutupi tubuh bagian atas James karena tadi ia menurunkannya hingga sebatas paha ketika akan menyuapi James. “Tentu saja aku ingin diperiksa. Kau pikir untuk apa aku mengadakan acara penghargaan untuk dokter?” “Ya, barangkali kau sudah terlalu banyak uang jadi kau ingin mengadakan acara yang merogoh kocek banyak dari kantungmu sendiri jadi kau ingin mengadakan acara bergengsi yaitu dengan mengadakan penghargaan untuk dokter-dokter terbaik di kota ini, bahkan mungkin di dunia ini,” sindir Agatha, ia menaikkan kedua kakinya ke atas kasur dan memosisikan agar dirinya menghadap lurus ke arah suaminya. James menarik Agatha agar berbaring bersamanya, tetapi Agatha menolaknya dan memilih untuk tetap duduk. “Orang kaya seperti aku pun akan jatuh miskin jika terus menghamburkan uangnya.” “Kau membelikanku banyak barang mahal!” “Apa membahagiakan istri termasuk ke dalam jajaran kegiatan yang menghamburkan uang? Kau adalah istriku, Agatha. Jadi bukan suatu bentuk penghamburan uang jika aku membelikan sesuatu untukmu.” Kalimat tersebut membuat Agatha tertegun sejenak, menatap suaminya dengan saksama dan dalam. Mencari sebuah makna melalui mata James yang bukan merupakan suatu kebetulan juga tengah menatap ke arahnya. “James, apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Agatha dengan pelan. James yang tengah berbaring pun hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai bentuk tanyanya kepada Agatha. Hal tersebut membuat Agatha menarik napas dan mengalihkan pandangannya. Hanya sejenak, karena setelahnya Agatha langsung memusatkan perhatiannya pada James kembali. “Apa kau benar-benar menganggapku sebagai seorang istri?” Ada harap-harap cemas yang tak bisa Agatha tolak dalam hatinya. Entah mengapa ia sangat khawatir untuk mendengar jawaban James, padahal seharusnya Agatha sudah bisa menebak apa yang akan diungkapkan oleh James. Mana mungkin suaminya tersebut menganggapnya dengan sebenar-benarnya sedangkan pernikahan mereka terjalin saja dengan cara yang sama sekali tidak diinginkan ‘kan? “Kau memang istriku, dan semua orang pun tahu akan hal itu.” “Berapa lama kau berniat mempertahankan rumah tangga kita?” “Sampai aku melihat ada penyesalan di mata Emily secara langsung.” Agatha mengangguk, mengerti dengan apa yang disampaikan oleh James. Ia menertawakan dirinya sendiri di dalam hati karena bisa-bisanya Agatha sempat mengharapkan jawaban lain dari mulut suaminya. Padahal, Agatha tahu jika tak mungkin ada harapan lain yang diberikan oleh suminya. Agatha juga menertawakan dirinya yang bisa-bisanya berharap lebih pada James. Namun, jujur Agatha katakan jika harapan dan perasaan itu sifatnya sama dan sering hadir berbarengan. Tak ada yang bisa mencegahnya karena sifatnya yang hadir begitu saja di hatinya. “Kau tidak sedang berpikir jika aku akan menjadikanmu istriku selamanya, bukan?” Agatha tersentak, dengan segera ia kembali menatap suaminya tersebut. “Tidak, tentu saja tidak. Hanya saja, terakhir kau berkata jika kau belum memikirkan perceraian. Tapi sepertinya kau telah menemukan waktu yang tepat untuk menceraikanku walau waktunya belum pasti kapan.” James mengangguk singkat. “Kau tenang saja, Agatha. Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya bahwa aku akan tetap menjamin hidupmu secara finansial meski kau telah bercerai dariku. Aku tidak mau mempunyai mantan istri yang miskin!” “Ya! Aku mengerti.” *** Obie sedang berkunjung ke rumah James Hunt kala seorang dokter datang untuk memeriksa keadaan tuan rumah yang sedang sakit. Agatha langsung memerintahkan Vin agar pria itu mengantarkan dokter ke kamar James karena dirinya yang lebih memilih untuk menemani Obie di taman. “Suamimu sakit apa?” Obie bertanya kala Agatha telah benar-benar duduk di sampingnya. Mereka duduk di atas hamparan rumput tanpa alas apa pun, dan keduanya sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut karena rumput yang ada di taman rumah ini bersih untuk diduduki. Agatha mengangkat bahunya singkat. “Aku tidak tahu, dokter baru akan memeriksanya hari ini. Oh, ya, ke mana Opie? Kenapa kau tidak membawanya?” “Aku tidak mungkin membawanya ke mana pun aku pergi, Agatha. Kau tahu bukan jika dia itu bukan kucing yang manis. Terakhir, malam lalu aku membawanya untuk mengamen di jalan dia membuat suatu kegaduhan dengan mengeong sangat keras hingga orang-orang kabur sebelum memberikan aku uang. Kucing itu sangat menyebalkan!” keluh Obie. Mengingat bagaimana tingkah Opie yang sama sekali tidak terlatih. “Lalu kau meninggalkan Opie sendirian di gubuk?” tebak Agatha yang langsung dijawab dengan anggukan kepala. Seketika itu pula Agatha langsung melayangkan tatapan protesnya terhadap temannya tersebut. Ia mengkhawatirkan kucing kumal yang juga telah menjadi temannya tersebut. “Kau sangat ceroboh, Obie! Bagaimana bisa kau meninggalkan Opie sendirian di rumah sedangkan dia bisa saja kabur? Atau parahnya dia masuk ke dalam hutan? Ya, di hutan dekat gubuk memang tidak ada binatang buas, tapi kita akan sulit untuk menemukannya!” Obie merangkul bahu Agatha dengan santai. “Kau tidak perlu khawatir akan hal itu, hari ini bukan pertama kalinya aku meninggalkan Opie sendirian di gubuk. Mungkin yang ke sekian kalinya. Dan dia tidak pernah melarikan diri. Dia hanya diam sepanjang hari di dalam gubuk karena aku juga sudah menyediakan makanan untuknya. Sempat aku mengira di kabur, ternyata di hanya berkunjung ke kuburan orang tuamu.” “Semoga saja hari ini pun dia tidak kabur. Jadi kau belum mendapatkan pekerjaan?” tanya Agatha. “Begitulah, aku tidak cukup berpendidikan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.” “Mengapa kau tidak melamar pekerjaan di tempat bekerja dulu saja? Bukankah kau bilang jika John sudah dipecat? Jadi tidak masalah jika kau bekerja lagi di sana.” Agatha mencoba untuk memberikan saran yang menurutnya bagus. Hanya saja, Obie langsung menggelengkan kepalnya dengan cepat. “Tidak, Agatha. Aku merasa segan untuk melamar pekerjaan di sana lagi. Lebih baik aku mencari pekerjaan di tempat lain saja, aku yakin jika aku terus berusaha maka aku akan mendapatkan pekerjaan lagi, di mana pun itu.” “Aku akan meminta agar James memikirkan ulang untuk memberikanmu pekerjaan, Obie. Da ada yang ingin aku katakan padamu.” “Apa itu?” tanya Obie dengan keningnya yang berkerut. “James bencana untuk mengubah gubukku menjadi rumah. Tapi dia sempat mengurungkan niatnya, dan kemudian aku membujuknya lagi. Jika nanti gubuk itu dibangun, kau tidak keberatan bukan jika harus pergi sejenak? Kau boleh tinggal lagi di sana setelah pembangunan selesai. Dan selama proses pembangunan, aku akan menyewa sebuah rumah untuk kau tinggali.” Agatha tersenyum senang saat mengatakanya, dan senyum itu pun menular pada Obie yang juga turut merasa bahagia mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatnya tersebut. “Benarkah? Ternyata dia cukup baik hati dengan mau mengubah gubukmu menjadi sebuah rumah. Tentu saja aku sama sekali tidak keberatan, aku juga mempunyai niat untuk membangun gubukmu menjadi sebuah rumah yang mewah, hanya saja atau tidak mempunyai uang untuk itu sekarang.” Tawa ringan Agatha muncul setelah kalimat Obie selesai. “Sepertinya terlalu berlebihan untuk mengatakan jika James baik. Dia pasti melakukan hal tersebut karena gengsi, mana mungkin pria kaya raya sepertinya membiarkan rumah istrinya hanya sebatas gubuk?” “Apa pun niatnya, yang pasti dia akan mengeluarkan banyak uang untuk gubukmu. Dan kau tidak perlu menyewa sebuah rumah untukku, aku akan melakukannya sendiri karena aku bertanggung jawab untuk diriku,” ungkap Obie dengan senyuman tipis yang menghiasi wajahnya. “Tidak apa-apa, Obie! Kau tahu, James memberikan aku sebuah kartu debet dan aku bisa menggunakan uang di dalamnya semauku!” “Kau tidak perlu melakukannya, aku bisa bertanggung jawab untuk diriku sendiri. Jika kau melakukan hal tersebut aku merasa sangat rendah diri.” “Baiklah, jika kau memang tidak mau menerima bantuanku. Tapi jika kau membutuhkan sesuatu, kau hanya perlu datang ke mari maka aku akan dengan senang hati membantumu,” ungkap Agatha dengan tulus. “Wow, sepertinya kesombongan James sedikit menurun padamu!” Tawa keduanya pecah setelah Obie mengatakan kalimatnya. Keduanya pun larut dalam obrolan mereka yang ringan. Tak lama waktu yang mereka habiskan karena setelahnya Obie mengatakan jika dirinya akan pulang. “Padahal kau belum lama mengunjungiku!” protes Agatha saat ia mengantarkan Obie ke halaman rumah. Obie tersenyum dibuatnya. “Aku sangat ingin berada di sini lebih lama lagi. Tapi seperti yang bilang tadi: mungkin saja Opie kabur, kasihan dia di gubuk sendirian,” balas Obie. Ia melambaikan tangannya pada Agatha dan pergi keluar dari gerbang tinggi yang menjadi pembatas rumah James. Agatha menghela napasnya dan masuk ke dalam rumah. Dan tanpa direncana, ia berpapasan dengan dokter yang tadi datang untuk memeriksa James. Agatha langsung saja melemparkan senyum dan bertanya pada pria yang beranjak tua tersebut. “Dokter, apa kau sudah selesai? Jadi bagaimana keadaan James?” Dengan ramah dokter itu pun membalas senyuman Agatha. “Tuan James tidak sakit parah, hanya demam dan mual biasa saja. Apa kau tidak mengalami gejala yang sama, Nyonya?” Agatha dengan segera menggelengkan kepalanya. “Aku tidak sakit sepertinya, memangnya mengapa bertanya demikian apakah sakitnya James dipengaruhi oleh lingkungan atau makanan?” Dokter tersebut tersenyum seraya menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak, tadinya aku berpikir jika Tuan James mengalami sakit demikian karena kau yang sedang mengalami morning sickness. Apa kau sedang mengandung, Nyonya?” Agatha langsung terperangah dan tersenyum aneh untuk menanggapi pertanyaan dokter tersebut. Bagaimana bisa sakitnya James disangkut pautkan dengan dirinya? “Tentu saja tidak, aku tidak sedang mengandung. Sepertinya memang sudah waktunya bagi pria seperti James untuk sakit. Mungkin suamiku kelelahan karena terlalu rajin bekerja.” “Ya, kau benar. Kau sangat beruntung karena bisa menikah dengan pria pekerja keras sepertinya. Kalau begitu aku pamit untuk kembali ke rumah sakit. Aku sudah meresepkan obat yang aku simpan di atas lemari kecil di samping ranjang kalian, aku harap kau segera membelinya.” “Baiklah, terima kasih dokter.” Agatha tersenyum sopan seraya mempersilakan dokter tersebut untuk melanjutkan langkahnya. Lalu ia terdiam memandang kepergian pria tersebut seraya tangannya yang bergerak untuk mengelus perutnya sendiri. Dokter itu mengira jika dirinya tengah mengandung? Agatha menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD