Sore ini Agatha memutuskan untuk kembali mencari pekerjaan, tepatnya setelah ia pulang dari Sun University. Agatha tidak mau menjadi beban bagi Jonathan lebih lama lagi, meski Agatha tahu jika kekasihnya itu akan tetap bersedia untuk tetap membiayai hidupnya selama sepuluh tahun lagi. Tapi tentu itu bukanlah sesuatu yang baik, Agatha harus bisa berdiri di atas kaki sendiri dan makan dari tangannya sendiri. Agatha tidak boleh menggantungkan hidupnya kepada siapa pun, bahkan kepada seseorang yang sangat ia cinta dan percaya.
Karena manusia memiliki kemungkinan untuk berubah, Jonathan mungkin hari ini tidak merasa keberatan karena harus membantu Agatha secara finansial. Tapi siapa yang tahu dengan hari esok?
Sebenarnya Agatha merasa bingung, mengapa dari banyaknya surat lamaran yang telah ia ajukan ke banyak perusahaan, tidak satu pun yang membuahkan hasil. Padahal Agatha sudah membuatnya dengan sebaik mungkin. Apa itu dikarenakan Agatha yang belum mempunyai pengalaman kerja? Jika begitu maka seharusnya perusahaan-perusahaan memberinya kesempatan untuk bekerja agar ia bisa mempunyai pengalaman.
Agatha berhenti di sebuah toko pakaian yang cukup besar, ini adalah perusahaan ke-empat yang ia datangi sore ini. Ada sebuah tulisan yang memberikan informasi bahwa toko ini sedang membutuhkan pegawai. Dengan senyum yang menggambarkan semangatnya Agatha masuk. Tak lupa tangannya telah mempersiapkan map coklat yang berisikan berkas lamaran miliknya.
“Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?”
Sapaan seorang pegawai di toko membuat Agatha tersenyum canggung. Agatha tahu jika wanita di depannya hanya berbasa-basi. Karena dilihat dari map yang Agatha bawa sudah seharusnya wanita itu tahu akan tujuan kedatangannya.
“Selamat sore, sebelumnya maaf mengganggu. Aku melihat ada lowongan pekerjaan di sini, jadi aku ingin melamar pekerjaan,” jawab Agatha, tidak menampakkan kegugupan yang ia rasa secara kentara.
“Iya betul, perusahaan kami memang sedang membutuhkan pegawai. Kau bisa langsung melamar dan melaksanakan wawancara langsung. Bawalah surat lamaranmu kepada manajer kami. Beliau ada di ruangannya.”
Rasa senang merambat dari hati ke seluruh tubuhnya. Agatha merasakan firasat baik untuk lowongan kali ini. Ia merasa jika ia akan mendapatkan pekerjaan di sini. “Apa kau bisa mengantarku ke ruangannya?”
Wanita tersebut tersenyum manis seraya menggeleng. “Rasanya itu tidak diperlukan, kau hanya perlu menaiki tangga itu saja maka kau akan menemukan ruangannya. Karena tidak ada ruangan lain di atas selain ruangan manajer.”
Arah pandang Agatha mengikuti telunjuk sang pegawai. Agatha mengangguk seraya mengucapkan rasa terima kasihnya. Lalu ia pun pergi meninggalkan pegawai wanita tersebut dan menuju tangga. Setiap langkahnya menimbulkan debaran jantung yang berlebih, selalu saja Agatha merasa gugup jika akan melamar pekerjaan meski ia sangat semangat.
Adakah pekerjaan yang tidak mengharuskannya berhadapan dengan petinggi perusahaan yang akan melakukan tahap wawancara dengan serius? Agatha selalu merasa merinding memikirkannya karena ia takut jika tidak bisa menjawab pertanyaan dengan benar. Agatha bukan seorang penyair yang pandai menyusun kalimat.
Seperti yang telah dijelaskan oleh pegawai tadi bahwa hanya ada satu ruangan di lantai atas dan Agatha langsung menemui pintu coklat ketika ia sampai di puncak tangga. Terdapat tulisan bahwa hanya pegawai yang boleh masuk. Tapi Agatha tentu akan memasukinya meski ia belum berstatus sebagai pegawai.
Tanpa mengetuk pintu Agatha langsung membukanya. Tampaklah seorang pria berpakaian rapi yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Pria itu langsung menoleh ke arah Agatha dengan alis yang terangkat satu. “Ada yang bisa dibantu?”
Agatha menelan ludahnya kasar, ia berusaha menyunggingkan senyum meski ia yakin hasilnya akan terlihat aneh. “Selamat sore, aku ingin melamar pekerjaan, Pak.”
Pria itu mengangguk lalu memperbaiki posisi duduknya. “Silakan duduk.”
Dengan helaan napas Agatha memasuki ruangan itu dengan langkah gemetar, tapi mimik wajahnya tetap ia kontrol sedemikian rupa. Gugup saat melamar pekerjaan itu wajar, dan Agatha yakin semua orang yang pernah melamar pekerjaan pasti pernah mengalami kegugupan seperti dirinya. Yang perlu diperhatikan adalah cara untuk menghadapi kegugupan tersebut, jangan sampai malah membuat kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan hilang.
“Boleh kau tunjukkan berkasmu?”
Agatha dengan segera menyodorkan berkas lamarannya. Ia memperhatikan ketika pria itu mulai membuka map dan mengambil isinya. Agatha membawa tangannya ke pangkuannya sendiri dan menautkan jari-jarinya guna mengurangi kegugupan. Walaupun itu sebenarnya tidak berguna sama sekali.
“Agatha Claire, 20 tahun,” ujar sang manajer menyebutkan apa yang baru ia baca. “Oh, kau sedang kuliah?”
“Ya, aku sedang menempuh pendidikan di Sun University.”
“Lantas kenapa kau melamar pekerjaan?” tanya pria itu.
Agatha berusaha untuk tenang meski rasa gugup benar-benar terasa mengganggu. “Karena ingin mencari pengalaman, di samping itu aku pun membutuhkan uang.”
“Apa kau sudah memiliki pengalaman bekerja sebelumnya? Khususnya di toko pakaian?”
“Belum, tapi aku akan belajar dengan cepat dan tidak akan mengecewakan.” Agatha berusaha menjawab pertanyaan berdasarkan apa yang pernah ia baca di internet. Sebagai pencari kerja, Agatha memang sering membaca tips untuk menjawab berbagai pertanyaan saat wawancara kerja.
“Menurutmu apa itu makna pekerjaan?”
“Menurutku pekerjaan adalah sebuah tanggung jawab dan ajang untuk mengaktualisasikan potensi diri.”
“Apa kau bersedia untuk bekerja dalam tim?”
Agatha mengangguk pasti. “Meski aku lebih senang untuk bekerja sendiri, tapi aku dapat menjadi partner yang baik bagi orang lain.”
“Baik, kurasa cukup untuk hari ini. Jika kau lulus maka perusahaan akan menghubungi nomor yang kau cantumkan. Semoga kau beruntung!”
***
Setelah selesai dengan sesi wawancara di sebuah toko pakaian, Agatha langsung menuju ke gubuk yang menjadi tempat tinggalnya. Tapi betapa herannya Agatha ketika mendapati seseorang dan seekor kucing di dalamnya.
Obie dan Opie ternyata datang berkunjung, bahkan menurut Obie mereka berdua sudah berada di gubuk Agatha sejak siang. Apa yang mereka lakukan di dalam gubuknya selama itu tidak ingin Agatha tanyakan, melihat banyaknya makanan yang tersedia maka Agatha sudah menyimpulkan bahwa Obie menghabiskan waktunya di sini untuk memasak makanan.
“Kau baik sekali mau memasak makanan sebanyak ini untukku, terima kasih, Obie.” Agatha berujar tulus. Apalagi ketika melihat wajah Obie yang terkena noda hitam karena asap dari tungku api.
Obie tersenyum bangga, ia merasa berguna jika berada di samping Agatha. Tapi Obie akan merasa menjadi tidak berguna ketika berada di samping Jonathan. Pria yang memberinya tempat tinggal itu selalu memperlakukannya bagai pecundang. Beruntung Obie yang telah lama hidup di jalanan sudah sering mendapatkan cemoohan yang lebih parah. Baginya hidup bersama Jonathan tidak lebih keras dari kehidupan di jalan raya.
Ketika masih menjadi anak jalanan yang tak punya pekerjaan tetap dan tempat berpulang, Obie sering mendapatkan hinaan baik itu melalui ucapan langsung atau hanya sekedar tatapan yang menghinakan. Paling sering ia merasa direndahkan ketika mencari pundi-pundi rupiah dengan mengandalkan gitar butut dan suara pas-pasan. Ketika ia tanpa malu mengetuk kaca mobil-mobil mewah hingga orang di dalamnya menyodorkan uang-uang yang ia harapkan meski tak besar. Tapi setiap dolar yang mereka berikan sangatlah berarti bagi Obie, walaupun mereka memberi seraya bergidik ngeri ke arahnya.
“Sebenarnya aku dan Jonathan berniat untuk menginap lagi malam ini, jadilah aku memasak cukup banyak agar makanan-makanan ini akan cukup sampai pagi. Aku hanya memasaknya, kau harus berterima kasih kepada Jonathan karena dia yang mengeluarkan uang untuk membeli bahan-bahan.”
Telapak tangan Agatha mengelus puncak kepala Opie yang tenang dalam tidurnya. Bulunya terasa lebih dari sebelumnya. Kemungkinan besarnya adalah Obie sudah memandikan Opie dengan sabun yang berkhasiat untuk melembutkan bulu kucing. Agatha lalu menoleh pada Obie dan berujar, “Kalian berdua sama-sama orang baik, aku harus berterima kasih kepada kalian berdua.”
Obie tersenyum senang, ia mendekati Agatha dan duduk di sampingnya. “Aku selalu merasa menjadi manusia yang berharga jika sedang bersamamu.”
“Itu karena aku lebih tidak beruntung dibandingkan dengan dirimu, Obie.”
Keduanya lantas terdiam, dengan Agatha yang masih asyik mengelus kepala kucing berwarna abu-abu.
“Kurasa tidak seperti itu, kau lebih beruntung Agatha. Kau mempunyai orang tua yang sangat menyayangimu,” ujar Obie pelan. Ia merasa sedih ketika mengingat bahwa dirinya terdampar di jalanan adalah karena pengusiran yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Sebelum menjadi gelandangan, Obie adalah anak dari seorang pengusaha kaya raya. Tapi karena ketidakharmonisan keluarganya membuat Obie menenggelamkan diri dalam lingkaran hitam n*****a.
Hingga keburukannya itu terbongkar, dan ia sempat dipenjara. Keluarganya yang merasa malu pun memutuskan untuk mengeluarkan Obie dari garis keturunan. Karena bagi mereka kehormatan keluarga lebih utama daripada anak yang sudah mempunyai catatan buruk di kepolisian.
Sejak saat itu Obie memulai hidup kumuhnya di jalanan, mengandalkan gitar butut yang ia temukan di gerobak rongsokan. Tapi dari barang rongsokan itulah ia mampu bertahan hidup. Jika saja dulu ia tidak menemukan gitar itu maka ia tidak tahu akan mencari pundi-pundi uang dengan cara bagaimana. Karena ia baru mendapat pekerjaan setelah tinggal di rumah Jonathan, tentunya itu atas bantuan dari pria tersebut.
“Seperti inilah kehidupan. Setiap individu akan menganggap bahwa kehidupan orang lain lebih beruntung. Padahal setiap kehidupan manusia sudah mempunyai ujian dan keberuntungan masing-masing. Kau menganggap bahwa hidupku lebih beruntung, begitu juga sebaliknya,” ujar Agatha tersenyum tipis, tapi senyuman itu dia berikan pada Opie.
Obie mengangguk, sangat menyetujui apa yang diungkapkan oleh Agatha. Bersyukur adalah suatu proses yang sulit untuk dilakukan manusia. Tapi menumpuk iri hati pada orang lain begitu mudah dilakukan.
“Manusia sering kali menganggap dirinya sebagai insan yang paling menderita, mereka lupa jika setiap orang mempunyai luka,” lanjut Agatha.
“Kau benar, Agatha. Aku mungkin tidak beruntung dalam suatu hal, tapi aku mempunyai keberuntungan lain dalam hidupku. Dan mungkin aku hanya tidak pandai untuk menyadarinya,” imbuh Obie.
Obie menatap Agatha dengan tatapan yang tak bisa diartikan sembarangan. Ia merasa turut bersedih atas takdir hidup Agatha yang tak seindah putri-putri pejabat. Obie tidak begitu bersedih akan kisahnya, karena ia adalah seorang laki-laki. Baginya tidak masalah jika ia harus melewati hari-hari yang berat dan harus berusaha sekuat tenaga untuk tetap hidup.
Tapi melihat wanita seperti Agatha yang sudah merasakan sesaknya kehidupan membuat Obie tidak tega. Dari sorot mata Agatha ia tahu jika sebenarnya ada kesedihan dan rasa lelah akan kehidupan yang ia coba pendam dalam-dalam.
“Aku berharap suatu saat nanti aku bisa membantumu,” ungkap Obie.
Agatha terkekeh pelan. “Kenapa kau tidak mengatakan bahwa kau berharap aku akan menemukan sebuah kesuksesan hingga tidak lagi membutuhkan bantuanmu? Apa kau berpikir bahwa wanita sepertiku tidak bisa mendapatkan kesuksesan dengan tangan dan kakiku sendiri?”
Obie menggeleng cepat, ia mengambil Opie dan memindahkan ke pangkuannya. Membiarkan kucing yang sudah terlihat lebih baik daripada keadaan kucing itu ketika pertama kali ia temukan untuk tidur di atas pangkuannya. “Tentu saja setiap orang berhak dan akan mampu ... jika beruntung.”
Agatha beranjak untuk dapat mengambil makanan yang telah Obie buatkan. Ia merasa lapar karena memang belum mendapatkan asupan makanan sejak siang tadi. Makanan sebagai hasil karya Obie rasanya tidak begitu mengecewakan, tapi tidak juga mengesankan.
“Satu-satunya keberuntungan yang kumiliki saat ini adalah Jonathan. Karena keberuntunganku mengenai orang tua yang sangat menyayangiku sudah berakhir, Tuhan telah mengambil mereka dariku.”
Obie terdiam mendengarnya, kini ia semakin merasa prihatin terhadap jalan hidup Agatha. Rasanya Obie tidak ingin melihat Agatha lebih menderita lagi setelah hari ini. “Agatha, tolong dengarkan apa yang akan kukatakan ...” Obie menghentikan kalimatnya sejenak seraya menatap Agatha serius.
“Keberuntunganmu adalah dirimu sendiri, keberuntungan milikmu tidak terletak pada diri Jonathan,” lanjut Obie penuh makna. Ucapannya tersebut mampu membuat Agatha terdiam untuk beberapa saat.
“Obie apa kau sedang berusaha untuk memberitahukan sesuatu padaku?”
Obie tersenyum tipis seraya menjawab, “Kau hanya perlu tahu Agatha, bahwa keberuntungan untukmu ada dalam dirimu sendiri. Kau tidak boleh berpikir bahwa orang lain adalah sebuah keberuntungan. Sama seperti orang tuamu, Jonathan juga bisa pergi meninggalkanmu.”