Pagi hari di Sun University, Fahima menikmati hawa dingin yang menerpa setiap inci tubuhnya. Napasnya terlalu segar hingga ia merasakan sakit, tapi tak membuatnya ingin beranjak sama sekali. Kini Fahima berada di lantai ke-empat, berdiri di pembatas hingga matanya dapat melihat jejeran gunung-gunung yang menjulang tinggi. Birunya langit terlampau indah dengan goresan-goresan putih yang berperan sebagai awan.
Dari tempatnya berdiri juga Fahima bisa melihat lapangan utama universitas yang luasnya bisa menampung warga se-kecamatan. Ia mengamati orang-orang yang terlihat lebih kecil dari ukuran sebenarnya jika dilihat dari tempatnya. Beragam yang mereka lakukan, ada yang berjalan sambil membaca buku, bercanda ria dengan teman, dan beberapa saling bergenggam tangan bersama pasangan masing-masing.
Fahima jadi teringat pada hari yang telah lama berlalu, saat itu hari Senin di sebuah sekolah. Dalam balutan seragam berwarna putih dan abu Fahima berjalan melintasi lapangan dengan tangan yang menggenggam tangan seseorang, dan orang itu adalah Jonathan.
Ia tidak menafikan adanya sebuah perasaan yang bahagia saat itu. Ketika dirinya dimabuk asmara untuk pertama kalinya. Sebelum kisahnya hancur tak bersisa.
“Apa kau melihatnya kemarin?”
Terdengar suara dari belakang tubuh Fahima, ia tidak perlu bertanya siapa pelempar pertanyaan tersebut karena beberapa detik setelahnya ada Callista yang berdiri di sampingnya sambil melihat ke arah gunung.
Fahima tahu ke mana arah pertanyaan yang dilontarkan oleh mantan sahabatnya itu. Callista bertanya sesuatu yang bersangkutan dengan Jonathan di pesta ulang tahun Elva. Tentu saja Fahima melihatnya dengan sangat jelas. Bahkan ia selalu mencuri pandang ke arah Jonathan yang datang bersama Agatha.
“Apa kau berpikir bahwa mataku sudah tidak berfungsi?” Fahima menatap datar lapangan di bawah gedung, suasana hatinya tidak lagi seindah cuaca di pagi hari. Membahas, mengingat, atau apa pun jika itu menyangkut dengan seorang pria yang bernama Jonathan maka Fahima tidak pernah berakhir dengan baik-baik saja.
Kalimat yang terdengar sarkas membuat Callista tersenyum tipis, masih ada emosi dalam diri Fahima ketika melihat Jonathan. Callista membuat jarak tubuh keduanya lebih dekat lalu dalam intonasi pelan berkata, “Menurutmu apa dia terlihat benar-benar tulus pada Agatha?”
“Bagaimana menurutmu sendiri?”
Ketika pertanyaannya diputar balikkan kepada dirinya sendiri Callista, terhenyak, lalu jatuh dalam lamunannya sendiri. Menurut pandangannya, Jonathan terlihat tulus pada Agatha. Callista menyadari hal itu dari tatapan yang diberikan oleh pria itu kepada Agatha tampak berbeda dengan tatapan yang ia dan Fahima dapatkan dulu. Cara Jonathan merangkul bahu Agatha juga menunjukkan jika Agatha adalah sesuatu yang berharga baginya.
Masih dalam intonasi pelan Callista kembali berujar, “Dia terlihat meyakinkan. Caranya menatap, merangkul, memeluk, dan ketika berdansa dengan Agatha benar-benar berbeda dari dulu. Bahkan dia mau berdansa, seperti yang kita tahu itu bukan keahliannya dan sebelumnya John tidak pernah mau.”
“Kau sepertinya masih menyimpan rasa, bahkan masih memanggil nama panggilannya.”
“Itu tidak benar, aku hanya tidak terbiasa menyebutkan nama pertamanya lengkap,” elak Callista. Ia mengatakan yang sebenarnya, tidak ada lagi secuil rasa pun yang masih tertinggal di dalam hatinya untuk Jonathan. Seiring berjalannya waktu itu berhasil melupakan kisah indah sekaligus menyakitkan yang pernah Jonathan ukir dulu.
“Jonathan memang terlihat tulus pada Agatha, tapi aku tetap tidak mempercayainya,” ujar Fahima.
“Kenapa? Setiap orang bisa dan berhak berubah serta mendapatkan pengampunan. Bisa saja sekarang John benar-benar tulus.”
Fahima tersenyum sinis seraya menatap Callista. “Banyak yang terlihat tulus padahal hanya akal bulus. Seperti seorang sahabat yang menjalin kasih dengan pasangan sahabatnya sendiri.”
Sindiran yang disampaikan dengan cara halus itu tentu saja ditujukan pada Callista, ia tidak cukup bodoh untuk tidak dapat menangkap maksud dari kalimat tersurat yang menyiratkan suatu maksud terselubung.
Sampai detik ini Fahima masih beranggapan bahwa Callista mengkhianatinya. Padahal ketika dulu Callista menjalin kasih dengan Jonathan, dia tidak mengetahui bahwa Fahima sudah lebih dulu mendapatkan status dari pria itu. Apalagi hubungan keduanya yang ditutupi dari orang lain. Pantas saja bukan jika Callista tidak mengetahui perihal hubungan mereka meski ia adalah sahabat dari Fahima?
Tapi amarah lebih dulu menguasai diri Fahima hingga wanita itu enggan mempercayai fakta yang diungkap oleh Callista. Baginya, Callista dan Jonathan sama-sama berkhianat padanya. Padahal saat semuanya terbongkar, Callista merasakan rasa sakit dan kecewa yang sama porsinya dengan Fahima. Mereka sama-sama merasa terkhianat oleh sahabat, juga merasakan patah hati untuk cinta pertama.
“Aku mengerti akan hal itu, tapi aku ingin mengetahui satu hal. Apakah kau rela jika Agatha bersama John?” tanya Callista.
“Apa pun yang aku katakan, Agatha tidak akan mendengarkannya. Sangat sulit berbicara pada orang yang jatuh cinta.”
Callista mengangguk setuju, apa yang diucapkan oleh Fahima benar. Bahkan Agatha tak ambil pusing juga tak mencari tahu sebab dirinya dan Fahima sering menunjukkan rasa tidak suka pada Jonathan. Agatha seolah menutup telinga dan mata jika menyangkut keburukan Jonathan, karena yang Agatha tahu Jonathan adalah kekasihnya yang sangat penyayang dan baik hati. Tapi jika saja mereka berani jujur pada Agatha mengenai masa lalu mereka bersama Jonathan, mungkin Agatha akan mempertimbangkannya.
Callista dan Fahima hanya berharap agar Agatha tidak akan tersakiti oleh pria itu. Cukup sudah kesulitan hidup yang membelenggu wanita malang itu, mereka tidak akan tega jika Agatha mendapatkan lagi penderitaan melalui kisah cinta.
“Aku tidak melihat adanya kecemburuan di wajah Jonathan saat melihat Agatha berdansa dengan pria lain. Ia memang mengamatinya dengan saksama, tapi tidak ada api cemburu sedikit pun.” Fahima mengeluarkan isi pikirannya. Kemarin malam, dengan leluasa ia mengamati Jonathan yang memperhatikan Agatha ketika berdansa dengan pria lain.
Tapi pria itu tetap tenang padahal posisi Agatha dan pria yang menjadi pasangan dansanya cukup intim. Apakah Jonathan yang pandai mengatur mimik wajah atau memang pria itu tidak cemburu? Fahima tidak bisa memastikannya dengan yakin. Seperti kata orang, sedalam dalamnya lautan masih bisa dikira, tapi dalamnya hati seseorang siapa yang bisa mengira?
Meski Callista mengakui jika tidak ada kecemburuan di wajah Jonathan, tapi ia tetap yakin jika Jonathan tulus pada sahabatnya. “Dia hanya tidak ingin merusak suasana pesta, mungkin.”
***
Berbeda dari sahabat yang kini menjadi musuh bebuyutan, Agatha dan Elva berada di dalam kelas. Seperti biasanya mereka mengobrol dengan santai. Elva terlihat lebih segar karena senang mengenakan pakaian baru yang diberikan oleh Mark malam tadi. Rasanya Agatha semakin iri, ia ingin Jonathan mempelajari sesuatu dari keturunan Thompson itu.
Tidak perlu yang senilai harganya, hanya perlu melakukan hal yang sama. Diberi kaus oblong saja Agatha akan bersyukur dan akan menganggapnya sebagai baju paling indah serta paling berharga yang dimilikinya. Sekarang Jonatan memang sering memberinya uang, tapi pemberian dalam bentuk uang tidaklah romantis—bagi Agatha.
Agatha ingin sesuatu yang istimewa, bukan barangnya tapi perlakuan Jonathan padanya. Namun, menunggu pria itu bersikap romantis mungkin Agatha perlu waktu beberapa tahun lagi, bahkan tidak akan pernah terjadi sama sekali. Mungkin Agatha harus mengusulkan agar Jonathan mengikuti kelas yang memberikan materi mengenai tata cara bersikap romantis pada pasangan.
“Bagaimana perasaanmu setelah dilamar?” Agatha tidak pernah menonton film romantis. Baik itu di bioskop ataupun televisi. Tapi membayangkan saja membuat dadanya bergetar juga senang. Apakah seperti itu rasanya dilamar?
“Sulit bagiku untuk menjelaskannya dengan kata-kata, tapi yang pasti rasanya sangat luar biasa. Rasa senang yang kurasakan memiliki sensasi berbeda. Dan aku juga merasa jatuh cinta pada Mark untuk ke sekian kalinya. Semuanya bercampur antara haru, senang, dan kaget. Kecuali rasa sedih, aku tidak merasakannya.” Wajah Elva sangat antusias ketika mengatakan itu semua, bahkan kedua pipinya merona.
Masih teringat jelas dalam ingatan Elva bagaimana cara Mark berlutut di hadapannya, cara pria itu memasangkan cincin di jarinya, dan cara pria itu ketika berdansa dengannya. Elva juga merasa terharu dengan apa yang pria itu siapkan. Meski sempat merasa kesal karena ternyata hari-hari yang ia lalui dengan kesedihan dan air mata karena putus cinta hanya sia-sia.
Elva sempat berniat akan mengerjai Mark kemarin malam dengan pura-pura menolak lamaran, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat keluarga besar Thompson yang hadir. Takut mereka tidak menyukainya, jadi Elva langsung menerima tanpa melakukan drama.
“Kau bilang rasa sedih tidak tercampur di dalamnya tapi kemarin malam kau menangis keras,” ejek Agatha.
Elva tertawa mendengarnya, tangisnya kemarin bukan sebuah kesedihan. Air mata itu jatuh begitu saja karena Elva tak kuasa menahan buncahan kebahagiaan yang meletup-letup di hatinya. Saking bahagianya ia merasa tubuhnya lemas seperti jelly. Apakah itu terdengar berlebihan? Tapi Elva benar-benar merasakannya.
“Itu tangis bahagiaku. Untuk ke sekian kalinya dalam hidupku aku menangis bahagia.”
Agatha terenyuh. “Bagaimana rasanya menangis bahagia?”
Sepanjang ingatannya, Agatha tidak pernah merasakan sesuatu yang disebut tangis bahagia. Ia sering menangis, menangisi jalan hidupnya. Betapa sulitnya ia bersama Fred dan Elena untuk mendapatkan makan setiap hari. Agatha juga pernah menangis karena melihat Fred yang kelelahan sepulang bekerja, dan menangis ketika memandangi orang tua angkatnya terlelap di malam hari.
Agatha kembali merindukan Fred dan Elena. Hidupnya terasa baik-baik saja meski lapar dan air mata mengintai jika mereka masih ada. Ia merindukan momen ketika dirinya dan Fred menjadikan Elena sebagai objek candaan. Dan raut wajah kesal Elena yang membuatnya merasa gemas. Agatha merindukan itu semua, tapi tak selayaknya ia terus bersedih. Setiap orang akan menemui ajalnya, Agatha harus ingat akan hal itu.
Elva tersenyum tipis seraya menepuk punggung Agatha pelan. “Seberapa baik aku menjelaskannya padamu, kau tak akan mengerti kecuali kau merasakannya. Aku turut prihatin akan jalan hidupmu. Tapi aku yakin tak lama lagi kekasihmu akan memberikan tangis bahagia untukmu. Dia terlihat sangat menyayangimu, Agatha.”
Perasaan Agatha membaik ketika mengingat Jonathan. Pria itu sangat menyayangi Agatha dan semua orang dapat melihatnya. Tapi siapa sangka, Agatha yakin jika kasih sayangnya lebih besar untuk pria itu. Agatha sangat mencintai Jonathan, dan ia berharap agar perkataan Elva akan menjadi nyata bahwa ia akan segera mendapatkan tangis bahagia dari kekasihnya.
“Dan Mark terlihat sangat mencintaimu,” balas Agatha tersenyum lembut.
“Apa sekarang kau tinggal bersama di rumah Jonathan? Sejak kepergian ayah dan ibumu sepertinya kalian lebih sering bersama.”
“Tidak, tapi John dan Obie pernah menginap di gubukku. Dan kemarin malam aku menginap di rumahnya,” jelas Agatha.
“Kenapa kalian tidak tinggal bersama saja? Kalian kan pada akhirnya pasti akan menikah. Hubungan kalian berdua pun sudah bukan lagi umuran jagung.”
Terdengar akan lebih baik jika Agatha tinggal bersama Jonathan. Tapi Agatha tidak ingin lebih menjadi beban lagi bagi kekasihnya. Agatha tahu jika Jonathan akan menerimanya dengan tangan terbuka, tidak seperti Obie yang diterima dengan terpaksa. Namun Agatha tetap tidak ingin, ia sudah merasa cukup mendapatkan bantuan uang dari kekasih baik hatinya itu. Agatha tidak ingin mendapatkan lebih.
“Aku tidak ingin menjadi bebannya lebih jauh lagi. Uang yang dia berikan padaku saja masih terasa berat untukku terima terlalu sering. Tapi bagaimana lagi, aku sangat membutuhkan uang untuk makan dan kuliah sedangkan aku sendiri belum bekerja.”
Elva memeluk tubuh Agatha sekejap, ia selalu merasa kasihan. Jika ia menjadi orang sukses nanti, ia akan membiayai dan memberikan Agatha pekerjaan dengan gaji yang sangat besar. “Sebenarnya aku mempunyai informasi mengenai lowongan pekerjaan, tapi aku yakin kau tidak akan mau.”
“Lowongan pekerjaan menjadi wanita penghibur lagi?” tebak Agatha. Elva sering memberikan informasi lowongan kepadanya. Tapi tak satu pun ia memberikan informasi lowongan yang normal untuk dijalani. Sesulit apa pun kondisi keuangannya, Agatha tak akan pernah menjual diri. Menurutnya itu terlalu ekstrem, masih banyak cara untuk mencari uang.
Dan jika Agatha melamar pekerjaan seperti itu, ia tidak dapat membayangkan bagaimana pendapat Jonathan akan hal itu. Jika dulu Agatha takut Fred dan Elena akan marah besar, kini Agatha merasa takut jika Jonathan akan pergi meninggalkannya jika ia bekerja seperti itu.
“Bukan. Tapi sebagai pawang buaya darat!” canda Elva disertai tawa.
Tapi Agatha memberikan respons yang berbeda, wanita itu memanyunkan bibirnya seraya mendorong bahu sahabatnya dengan kesal. Begitulah Elva, jarang benar dalam memberikan informasi pekerjaan. Andai kata suatu saat nanti Elva mencari pekerjaan, maka Agatha akan menawarkannya sebuah pekerjaan berupa penguras air laut.
“Itu tidak lucu!”
Agatha kembali menormalkan ekspresi wajahnya ketika ia mengingat satu pertanyaan yang hendak ia tanyakan pada Elva sejak semalam. Takut lupa, ia cepat-cepat berkata, “Elva, apa kau mengenal James Hunt? Kenapa dia bisa berada di pestamu? Atau Mark yang mengenalnya?”
Elva mengernyit. “Kenapa kau bertanya tentangnya? Atau kau berniat mengincar pria kaya raya itu?”
“Tidak! Tentu saja tidak! Apa kau tahu dia siapa? Kumohon jangan mengatakan ini kepada siapa pun, dia adalah James yang sama yang membunuh Mom dan Dad!”
Elva sontak membolakan kedua matanya karena merasa kaget luar biasa. “Dia adalah teman Mark. A—aku tidak menyangka jika dia yang telah membunuh ayah dan ibumu. Kutarik saranku dulu mengenai kau harus membawa kasus kematian orang tuamu ke pengadilan, Agatha. Karena dia bukan seseorang yang bisa dilawan, kau akan kalah jika melakukannya.”