Pindah Kamar

2093 Words
“Jangan menggangguku!” Agatha masih saja menggerutu tak jelas. Padahal sekarang hari sudah beranjak siang. Sejak pagi Agatha berubah menjadi wanita yang sangat sensitif dan terus menggerutu untuk segala hal. Semua itu terjadi bukan tanpa sebab, Agatha sangat kesal hingga rasanya ia ingin memukul kepalanya sendiri karena James. Ya, suaminya adalah sebab Agatha kesal hingga siang. Bahkan mungkin sampai malam dan sampai hari-hari dan bulan-bulan berikutnya. Tadi pagi sebelum berangkat bekerja, James memerintahkan Adel, Peggy, dan Katty untuk memindahkan barang-barang Agatha ke kamar milik pria itu. Sepertinya suaminya tersebut sudah kehilangan arah sampai ingin membuat nyata ucapannya mengenai mereka yang harus tinggal dalam satu kamar setiap malam. Agatha sampai merasa jika ia harus membenturkan kepala James ke meja. Namun, tentu saja Agatha tidak melakukannya. Ia cukup tahu jika sampai berani melakukan hal tersebut maka Agatha pasti mendapatkan hal serupa dan bahkan lebih parah. Kini Agatha menatap nanar lemarinya yang sudah berpindah ke kamar James. Saat ini pun ia berada di dalam kamar James yang mungkin mulai saat ini akan menjadi kamar mereka. Dan fakta tersebut membuat Agatha terus berpikir keras sampai ia memutuskan untuk tidak pergi ke universitas hari ini. Apa yang akan terjadi jika dia harus menghabiskan waktu setiap malam bersama seorang pria berhati iblis? Bahkan jika boleh jujur Agatha tidak ingin berbagi selimut dengan pria sombong tersebut. James itu seseorang yang sudah membunuh Fred dan Elena. Jadi bukan hal yang mustahil ‘kan jika James suatu malam nanti membunuh Agatha secara tiba-tiba? Ah, ya! Seharusnya Agatha sudah memikirkan risiko ini sejak pertama kali ia melihat jika pria yang berdiri di atas altar adalah pria bernama James Hunt. Seharusnya saat itu Agatha bisa melawan Hans dan kabur dari pernikahan mendadak dan terpaksa yang harus ia jalani. “Nyonya Agatha, aku tidak berniat mengganggumu hanya saja aku akan mengganti seprei. Tuan James berpesan pada kami agar kami mengganti seprei dan juga wewangian di sini agar lebih cocok untuk ditinggali oleh seorang wanita.” Peggy berkata dengan ceria seraya berusaha menarik Agatha untuk berdiri dan beranjak dari kasur. Seluruh barang-barang Agatha sudah dipindahkan ke kamar James, dan kini tugas tiga pelayan pribadi Agatha hanya membereskan dan merapikannya. Adel menimpali, “Benar, Nyonya. Ternyata Tuan James sangat memikirkan kenyamananmu untuk berada di sini sampai ia memikirkan hal-hal kecil seperti seprei dan wewangian.” Dua kalimat yang diucapkan oleh dua orang di hadapannya membuat Agatha akhirnya mau beranjak dari kasur yang sejak tadi menjadi pembaringannya saat uring-uringan dan menggerutu tak jelas. Langkah gontainya membawa tubuh Agatha ke arah sofa yang baru saja selesai dibersihkan oleh Katty. Benarkah James meminta hal sepele seperti itu untuk kenyamanannya? Agatha sama sekali tidak mengira jika James akan melakukan sebuah usaha untuk membuat Agatha nyaman berada di kamar ini. Namun, sangat sulit bagi Agatha untuk memercayai hal semacam itu. Rasanya ia baru saja mendengar lelucon dari pelawak paling andal di dunia pertelevisian yang canda dan bualannya sudah melebihi batas humor orang-orang kebanyakan. “Kalian sepertinya salah sangka. James meminta kalian mengganti sepreinya pasti karena sepreinya sudah kotor!” seru Agatha, masih dengan keyakinannya jika James tidak mungkin memikirkannya sedemikian rupa. Katty yang kebetulan sedang berdiam diri karena tak membantu Adel dan Peggy yang sedang mengganti seprei segera mendekati Agatha dan berdiri di samping sofa yang Agatha duduki. Ia pun berkata, “Tidak, Nyonya. Kau harus percaya jika suamimu tersebut ingin kau nyaman berada di sini.” Kepala Agatha menggeleng dengan cepat. “Jangan membuatku besar kepala! James tidak akan memikirkanku dengan sebegitu baiknya. Dia itu pria jahat berhati iblis! Mana sempat kepalanya berpikir tentang wewangian dan seprei untuk istrinya?” Katty terkekeh kecil dibuatnya. Ia pun merasa demikian, setengah tidak percaya jika saja ia tidak mendengar perintah langsung dari James. “Mungkin jika aku tidak mendengarnya secara langsung maka aku pun akan meragu sepertimu, Nyonya Agatha. Tapi beruntungnya aku karena mendengar perintah Tuan James secara langsung. Apa kau ingin tahu apa yang dia katakan ketika memberikan perintah?” “Apa yang dikatakannya?” “Tuan James berkata ‘tolong ganti seprei dan wewangian di kamarku agar tidak begitu maskulin dan buat kamarku lebih cocok untuk ditinggali seorang wanita, tapi jangan juga berkesan feminin. Netral saja yang cocok untuk wanita juga pria’, begitu yang dikatakannya.” Katty berujar dengan senyuman yang merekah dan pipinya yang sedikit memerah. Sepertinya Katty terbawa perasaan saat mengingat perintah yang James lontarkan. Padahal, seharusnya Agatha yang merona sekarang. Tapi Agatha tidak begitu. Dirinya malah tercengang dengan bibir yang mengatup rapat dan matanya yang menatap ke arah lantai. Wanita itu sedang menimang-nimang apakah yang dikatakan oleh Katty merupakan sebuah kebenaran atau justru kebohongan? Agatha hampir tidak bisa membedakannya mengingat jika suaminya adalah James Hunt. Mungkin saja jika pria yang menjadi suaminya adalah seseorang yang baik hati, penyayang, dan juga romantis maka Agatha akan dengan mudah memercayai apa yang dikatakan oleh Katty. “Nyonya! Apa kau baik-baik saja?” tegur Peggy yang kini berada di hadapan Agatha setelah menyelesaikan tugasnya untuk mengganti seprei. Hanya Adel yang masih bertugas untuk menggulung seprei bekas pakai dan membawanya turun ke lantai bawah untuk diberikan pada pelayan yang mempunyai tugas untuk mencuci. Hal tersebut membuat Agatha sempat kaget hingga memegangi dadanya. “Kau mengagetkanku, Peggy!” kesalnya. Peggy meringis. “Maafkan aku, Nyonya. Aku rasa suaraku tidak begitu keras hanya saja mungkin kau yang melamun. Jadi, apa kau baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja. Kalian sudah selesai bukan?” tanya Agatha seraya matanya melihat ke arah kasur yang sepreinya sudah diganti dengan seprei yang memiliki motif laut yang indah untuk dipandang mata. “Ke mana Adel?” “Adel sedang membawa seprei kotor ke bawah, Nyonya.” Agatha mengusap wajahnya kasar, bahkan ia sampai tidak menyadari apa pun karena sempat melamun tadi. Kini tatapannya kembali naik ke arah sepasang kembar yang kompak berdiri di hadapannya. “Aku akan mandi, dan kalian tolong katakan pada Vin jika aku ingin pergi ke luar. Dan katakan juga pada Vin agar dia tidak perlu meminta izin pada James karena aku hanya kan mengajak kalian berbelanja.” *** Sudah pernah Agatha katakan bukan bahwa selalu ada kala pertama untuk segala sesuatu? Dan kini Agatha kembali melakukan sesuatu yang baru pertama kali ia lakukan, yaitu pergi ke pusat perbelanjaan. Sejak dulu, Agatha selalu menolak ketika Callista, Fahima, atau Elva mengajaknya ke sebuah mall. Hal itu disebabkan karena ia yang tak pernah mempunyai uang yang cukup, atau bisa dikatakan memang dirinya jarang mempunyai uang. Ketiga sahabatnya memang selalu berkata jika Agatha boleh mengambil apa saja yang Agatha inginkan dan mereka yang akan membayar. Namun, Agatha selalu menolaknya. Ia tidak ingin merampok dengan jalur persahabatan. Maka dari itu, Agatha sudah berniat jika dirinya akan memanfaatkan waktunya sebagai istri dari seorang pria kaya dengan sebaik mungkin. James juga sudah memberikan uang sebanyak lima ribu dolar yang kini Agatha bawa dalam tas. Agatha yakin jika dengan uang sebayak itu maka ia akan mampu membeli apa pun yang ia inginkan. ‘”Nyonya, kau ingin membeli apa?” tanya Adel dengan antusias, sama seperti biasanya dan semakin antusias ketika Agatha mengatakan jika Adel dan kedua rekannya boleh memilih barang apa pun yang mana Agatha yang akan membayarnya. Agatha tersenyum dengan sombong. Ia tahu jika bisa pergi ke buah pusat perbelanjaan bukanlah sebuah prestasi, tetapi entah mengapa Agatha merasa bangga sekarang. Dalam hati ia terus bergumam, jadi seperti ini rasanya menjadi orang kaya? Dengan senyuman yang tak kalah lebar Agatha menjawab, “Kau dan tepatnya kalian tidak perlu memikirkan apa yang aku inginkan. Kalian pilih saja barang yang kalian inginkan dan aku akan memilih apa yang aku mau sendiri. Nanti aku yang akan membayarnya karena James sudah memberikan uang padaku.” Tiga pelayan pribadi Agatha langsung mengangguk dengan semangat. Lantas mereka tak segan untuk berpencar memasuki toko-toko yang mereka inginkan masing-masing. Setelah perpecahan itu, Vin yang memang sedari awal mengikuti langkah kaki empat orang wanita tersebut tentu saja memilih untuk mengikuti langkah kaki Agatha yang masuk ke dalam sebuah toko tas. Vin tidak tahu jenis-jenis tas wanita, tetapi ia sangat tahu jika semua tas yang ada di toko ini sangat mahal. Dan Vin juga tidak tahu berapa banyak uang yang Agatha bawa. Tadi saat di rumah Vin sempat bertanya apakah James memberi kartu debet atau tidak, Agatha pun menjawab jika James sama sekali tidak memberikan kartu apa pun dan hanya memberi Agatha uang yang mana nominalnya tidak disebutkan. “Nyonya Agatha, boleh aku tahu berapa jumlah uang yang kau bawa?” tanya Vin seraya terus membuntuti Agatha yang berjalan semakin masuk ke dalam toko tas tersebut. Ia sangat khawatir jika Agatha tidak mempunyai uang yang cukup untuk membayar tas-tas yang berada di sini. Apalagi Adel, Peggy dan Katty juga tengah berburu sesuatu yang nantinya akan dibayar oleh Agatha. Agatha pun menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ke arah Vin yang sepertinya tidak percaya jika ia membawa uang yang sangat banyak di dalam tasnya. “Kau terlihat sangat khawatir, Vin? Kau tenang saja, James sudah memberikan aku uang untuk nafkahku selama satu bulan. Jadi kau tidak perlu ragu apakah uangku akan cukup atau tidak!” Vin langsung mengangguk mengerti setelah mendengar kata satu bulan, pasitnya sebagai salah satu pengusaha sukses yang mendunia, James tidak akan memberikan nafkah yang sedikit untuk istrinya. Maka dari itu kini ia berjalan dengan tenang untuk mengikuti Agatha. Memang dasarnya wanita itu memiliki sifat pemilih yang lebih kental daripada seorang pria, Agatha sudah mengelilingi toko dan belum ada tas yang menarik minat matanya untuk melihat lebih dekat. Hal tersebut membuat Vin merasa jika pekerjaannya jauh lebih membosankan setelah ia ditugaskan untuk menjadi pengawal pribadi Agatha. Jika boleh dihitung, Agatha sudah memutari toko sebanyak tiga kali. Dan kini wanita tersebut berhenti di tempat yang sama saat mengobrol bersama Vin tadi. Asanya Vin ingin mengeluhkan kakinya yang pegal, lebih baik baginya lari berkeliling kota di pagi hari daripada menemani seorang wanita berbelanja seperti ini. “Vin, aku bingung ingin membeli yang mana, semuanya bagus tapi aku belum merasa tertarik,” gumam Agatha seraya menoleh pada pengawalnya yang tampak sedang memaksimalkan sabar yang ia punyai. Vin menarik napas dalam, mencoba untuk mengurangi rasa bosan yang menderanya. Sekarang mengawal Agatha adalah pekerjaannya dan ia harus menjalaninya dengan senang hati. Apalagi dibayang-bayangi oleh upah besar yang akan diterimanya setiap bulan. “Bagaimana jika kita pergi ke toko lain saja? Barangkali kau akan menemukan tas yang sesuai dengan apa yang kau inginkan.” Saran Vin cukup bagus, tetapi Agatha tidak ingin menyetujuinya. Dari tempatnya berdiri Agatha memandangi semua tas-tas yang berjajar rapi di tempatnya. Hingga matanya jatuh pada sebuah tas yang terbuat dari kulit buaya dengan warna hijau tua yang membuat matanya terpikat dan membuat kakinya berjalan mendekat. Posisinya berada di bagian paling depan dan jujur saja Agatha sudah melihatnya sejak tadi, hanya saja ia baru merasa tertarik sekarang. “Vin, bagaimana menurutmu?” “Tas yang bagus,” balas Vin seadanya. Hal tersebut dikarenakan ia tak pandai untuk menilai keindahan tas wanita dan juga karena Vin ingin agar Agatha memutuskan untuk membeli tas itu saja agar mereka tak perlu lagi repot berkeliling toko. “Bagaimana warnanya?” “Bagus.” “Bentuknya bagaimana?” “Bagus.” “Menurutmu adakah tas yang lebih bagus dari tas ini di sini?” “Tidak ada.” “Jadi menurutmu ini tas yang paling bagus yang ada di sini?” “Tidak juga.” Agatha langsung memutar tubuhnya ketika mendengar jawaban Vin. Wanita tersebut menunjukkan raut wajah kesalnya. “Kau ini bagaimana? Tadi kau bilang tidak ada yang lebih bagus daripada tas ini. Tapi kemudian kau juga bilang ini bukan yang terbagus di sini!” Helaan napas kasar benar-benar Vin keluarkan dengan lugas, tidak menutupi jika dirinya bisa-bisa merasa frustrasi karena kegiatan Agatha yang satu ini. “Nyonya Hunt, bisakah kau memutuskan saja untuk membeli tas tersebut atau tidak? Aku seorang pria yang tidak mengerti masalah wanita, termasuk bagaimana tas yang kaummu suka.” Akhirnya Agatha mengangguk. “Baiklah, sepertinya aku akan membayar ini saja. Kita lihat dulu berapa harganya.” Agatha pun melihat sebuah kertas tebal yang terletak di etalase yang menyimpan tas pilihannya tadi. Secepat ia menangkap nominal yang tertera, secepat itu pula matanya melotot tak percaya. “Vin, kau lihat harganya sangat ... mahal. Apa mungkin jika mereka terlalu banyak menyimpan angka nol?” ujar Agatha, setengah terperangah. “Tas di sini memang mahal. Tapi bukankah kau membawa uang yang cukup?” balas Vin. Tiba-tiba saja Agatha menyimpan kembali tas yang dipilihnya ke tempat semula. Lalu dengan cepat tangannya meraih tangan Vin dan membawa pria tegap itu ke luar toko bersama dengannya. Vin tentu saja bingung dengan apa yang dilakukan oleh majikannya tersebut, tetapi ia tidak menyela dan terus membiarkan tangannya ditarik oleh Agatha dengan cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD