Kamar yang sama

2027 Words
Kini malam sudah menembus pertengahannya, tetapi Agatha belum juga mampu memejamkan matanya dengan benar. Detak jarum jam yang memasuki indra pendengarannya berubah menjadi suara bising yang membuatnya terus terjaga sepanjang malam. Helaan napas panjang terdengar dari mulutnya. Agatha memutar tubuhnya untuk melihat ke arah James yang mana malam ini memutuskan untuk kembali terlelap di kamarnya. Ingin rasanya Agatha menendang pria itu ke kamarnya. Namun, tentu saja ia tidak bisa melakukannya karena rumah ini adalah milik James. Jadi, setiap sudutnya sama sekali bukan miliknya. Agatha memerhatikan dengan saksama dan lamat wajah lelap suaminya. Dalam hati ia terkekeh kecil. Jika sedang tidur seperti saat ini suaminya tidak terlihat seperti manusia berhati iblis dan penuh dosa. Sebaliknya, pria itu tak ubah layaknya bayi polos yang wajahnya mampu menggetarkan setiap mata ibu yang melihatnya. Dengan lancang Agatha menggunakan tangannya untuk bertengger manis di pipi James yang tanpa diduga bertekstur lembut walau tak selembut pipinya. Agatha kira jika pipi seorang pria seperti James akan kasar atau mungkin setidaknya tidak mulus. Namun, permukaan kulit James sangat mulus. Untung saja Agatha merasa tak kalah mulus soal kulit, walaupun sebelumnya ia tidak pernah merasakan perawatan di salon mewah tetapi kulitnya terjaga dengan baik. Tangannya bertambah lancang ketika Agatha menampar pipi suaminya tersebut dengan pelan. Ada rasa kesal tetapi justru bibirnya menyunggingkan senyuman saat melakukannya. Agatha dengan sengaja menekan pipi James hingga pria itu merasa terganggu dan bergerak tak nyaman dalam tidurnya. Bibirnya menutup menahan gelak tawa yang ingin keluar dari bibirnya. Lama-lama Agatha jadi merasa kasihan pada James yang mungkin kelelahan dalam tidurnya mengingat jika suaminya tersebut merupakan pekerja keras yang sangat sibuk setiap harinya. Maka dari itu, Agatha menyelesaikan kegiatannya mengganggu suaminya tersebut dan memilih untuk bangkit dari pembaringannya. Tidak ada gunanya jika Agatha terus memaksakan dirinya untuk tidur. Karena nyatanya, matanya sama sekali tidak merasakan kantuk sama sekali. Sepertinya hal ini terjadi karena dirinya yang memang tidak berniat untuk di rumah ini malam ini. Mungkin saja jika Agatha jadi menginap di gubuknya maka ia sudah tertidur lelap sekarang. Sebelum beranjak dari kasurnya, Agatha membenarkan letak selimut di tubuh James agar suaminya tersebut tidak kedinginan walau sebenarnya memang suhu udara di dalam kamar hangat berkat pengatur suhu udara yang selalu berhasil membuat ruangan tetap nyaman untuk digunakan. Agatha pergi ke luar dari kamarnya. Perutnya sedikit lapar dan ia berniat untuk pergi mengambil makanan di dapur. Kebisaannya ketika bangun di malam hari adalah seperti ini, maka dari itu penting baginya untuk selalu sedia makanan di malam hari. Saat di gubuk dulu, Agatha juga sering bangun di malam hari. Hanya saja ia tidak makan karena memang sangat jarang tersedia makanan di gubuk. Paling-paling Agatha hanya akan memerhatikan kedua orang tuanya. Dan pada akhirnya ia akan bersedih hati karena merasa menjadi anak yang gagal untuk membahagiakan kedua orang tua angkatnya. Walau hanya orang tua angkat, tapi Agatha sangat menyayangi Fred dan Elena sebagai orang tua kandungnya. Lagi pula ia sama sekali tidak ingat siapa dan bagaimana rupa dari orang tua kandungnya yang telah mengalirkan darah dalam tubuhnya. Dan siapa pun mereka, Agatha sama sekali tidak peduli dan tidak akan pernah peduli karena mereka pun telah membuang Agatha ke jalanan hingga menjadi anak yang linglung di kampung orang. Beruntung ada Fred dan Elena yang baik hati dan mau merawatnya hingga besar. Dan Agatha lebih bersyukur lagi ketika tahu Fred dan Elena tidak bisa mempunyai seorang anak karena masalah kesuburan yang ada dalam diri Fred. Dengan begitu, Agatha menjadi satu-satunya anak mereka dan mereka pun melimpahkan kasih sayangnya hanya pada Agatha seorang. Beberapa langkah sebelum benar-benar sampai di dapur, Agatha berhenti karena melihat seseorang yang juga tengah mengurak-ngurak kulkas untuk mencari makanan. Sosok tersebut membuat Agatha merasa canggung karena mereka belum lagi berbicara banyak setelah hari pernikahan. Seseorang itu adalah Hans, pria asal India yang kini telah menyadari keberadaannya. Berbeda dengan Agatha yang terlihat canggung, Hans justru memperlihatkan gelagat santai yang akhirnya membuat Agatha berani untuk melanjutkan langkah kakinya dan berdiri di samping Hans. “Apa kau sudah selesai?” tanya Agatha seraya melihat tangan Hans yang telah memegang sebotol air mineral. Ternyata pria itu bukan mencari makanan seperti dugaannya. Hans mengangguk dan kemudian menyingkir dari tempatnya. “Sudah, Nyonya. Silakan.” Agatha langsung saja mencari makanan di kulkas, yang dipilihnya adalah sosis-sosis berwarna pucat yang akan digorengnya terlebih dahulu. Tetapi kemudian Agatha kembali menyimpannya. Rasanya malas harus menyalakan kompor di tengah malam seperti ini. Lalu matanya menoleh ke arah buah-buahan, dan kepalanya pun menggeleng. Tengah malam bukan waktu yang tepat baginya untuk memakan aneka buah. Akhirnya Agatha pun menutup pintu kulkas dengan tangan yang masih belum mendapatkan makanan. Hal tersebut membuat Hans yang ternyata belum beranjak dari tempatnya bingung. Dengan segera ia pun bertanya, “Apa yang sedang kau cari, Nyonya?” “Aku lapar tetapi tidak ingin memakan makanan yang ada di dalam kulkas. Apa kau memiliki makanan untukku?” Agatha menolehkan kepalanya pada Hans yang kini berdiri tegap tak jauh darinya. Pria berkulit sawo matang tersebut mengangkat sebelah alisnya. “Mungkin kau bisa memakan camilan?” Agatha pun langsung menepuk keningnya pelan. Mengapa pula ia bisa lupa dengan makanan ringan yang tersusun rapi di dalam salah satu lemari besi yang ada di dapur ini. Dengan sekuat tenaga ia pun langsung beranjak menuju lemari tersebut dan membukanya. Tanpa berpikir panjang seperti tadi, Agatha langsung membawa banyak makanan ringan di dalam pelukannya. “Bisakah kau menutup pintunya, Hans? Aku kesulitan.” Tentu saja Agatha kesulitan untuk menutup pintu lemari besi tersebut. Tangannya sudah disibukkan dengan makanan ringan yang dibawanya. Tanpa menjawab, Hans pun langsung menutup lemarinya. “Terima kasih, Hans,” ujar Agatha dengan tulus, tetapi pria tersebut memilih untuk tidak menjawabnya dan pergi meninggalkan Agatha sendiri. Bukan masalah bagi Agatha ditinggalkan oleh Hans, toh sebenarnya ia pun merasa tidak nyaman jika berada di dalam ruang yang sama dengan pengawal yang sangat tunduk pada tuannya tersebut. Sepertinya benar dugaan Agatha, hanya Vin pengawal yang paling bisa diajak bertaman dengan baik. Atau mungkin Vin bisa bersikap lebih ramah karena ia yang ditugaskan untuk Agatha? Mungkin saja jika Vin bertugas untuk mengawal James maka bisa saja pria itu berubah menjadi kaku bak robot—seperti Hans. Agatha menggelengkan kepalanya mencoba untuk tidak memikirkan hal tersebut. Lebih baik baginya untuk segera menuju ke ruang televisi dan memakan semua makanan ringan yang telah dipilihnya. *** “Biarkan saja,” ujar James seraya mengangkat tangannya. Melarang Peggy yang akan berusaha untuk membangunkan Agatha yang masih tertidur lelap di atas sofa. Pantas saja James terbangun sendirian di atas tempat tidur dan tak mendapati Agatha di mana pun. Sempat berpikir jika Agatha bangun pagi dan memutuskan untuk membantu para pelayan memasak. Nyatanya, wanita yang menjadi istrinya tersebut masih terlelap di atas sofa yang ada di ruang televisi dengan keadaan yang sangat berantakan. Posisinya yang hampir saja jatuh ke atas lantai, sampah plastik bekas makanan ringan yang sudah kosong isinya berserakan di sekitar sofa, dan jangan lupakan televisi yang menyala dan menjadikan Agatha sebagai tontonannya. Bukan Agatha yang menonton televisi, tapi sebaliknya. Lalu James membiarkan hal tersebut dan memilih untuk pergi ke kamarnya untuk mandi dan bersiap. Hingga semua kegiatan itu selesai pun Agatha masih berada di posisi yang sama dengan kondisi yang sama. Akhirnya James pun memutuskan untuk duduk di sana menemani istri yang masih lelap. Hingga para pelayan mulai berdatangan pun James melarang mereka untuk membangunkan istrinya. Kini matanya kembali fokus untuk memandang wajah cantik istrinya yang padahal sedikit kotor karena bumbu makanan ringan yang dimakannya semalam. James tidak habis pikir dengan kelakuan istrinya. Apa wanita tersebut sengaja tidur di ruang televisi karena malas untuk tidur di atas ranjang yang sama dengannya? “Tuan James, Nyonya Agatha harus bersiap pergi ke Sun University sekarang. Atau jika tidak mungkin dia akan terlambat untuk masuk mata kuliah pertama.” Peggy berusaha menyuarakan pendapatnya dengan sebaik mungkin. Tak ingin dicap sebagai pelayan yang tak sopan oleh tuannya sendiri. Di sampingnya, Katty dan Adel pun mengangguk setuju. Namun, mereka sama sekali tak berani menimpali apa pun dan hanya mengangguk yang mereka bisa lakukan di hadapan James yang auranya dapat membungkam mulut siapa pun. James menatap tak suka pada Peggy, hal tersebut berhasil membuat Peggy menelan ludahnya takut. Apalagi ketika mendengar James berbicara dengan ketus. “Apa maksudmu? Biarkan saja dia kuliah atau tidak, aku yang membayar biayanya jadi kau tidak perlu merasa takut rugi.” Mendengar kalimat tersebut, Katty menyenggol lengan saudara kembarnya untuk memberi isyarat agar diam. Tak akan baik hasilnya bagi mereka jika terus menentang apa yang diperintahkan oleh tuan mereka yang sudah pasti tidak bisa dilawan kehendaknya. Akhirnya ketiganya pun diam dan hanya menundukkan kepala mereka. James sendiri kembali memerhatikan istrinya dengan lama, menatap setiap inci kulit wanita tersebut yang sangat indah dipandang mata. Dengan sabar ia menunggu wanita itu terusik. Namun, sepertinya Agatha tidak berniat untuk membuka matanya dalam waktu yang cepat. James melihat arloji di tangannya. Hans pasti sudah menyiapkan mobil untuknya berangkat ke perusahaan. Entah mengapa rasanya ia senang untuk memerhatikan Agatha yang tengah terlelap dan tak ingin meninggalkan wanita tersebut sebelum matanya terbuka. Dengan gerakan cepat James menarik tangan Agatha hingga membuat tubuh Agatha yang tadinya telentang kini duduk dengan mata yang masih terpejam. James mendengus ketika melihat Agatha yang sama sekali tidak merasa terganggu. Sepertinya ia harus melakukan cara lain yang dapat membuat wanita itu bangun. Dengan ide jahil yang tiba-tiba saja terbersit di dalam pikirannya, James membuat Agatha duduk dengan benar di atas sofa, sedangkan tangannya bergerak untuk menutup hidung wanita tersebut tanpa belas kasihan. Menghentikan laju udara yang berusaha masuk ke dalam paru-paru Agatha. Dan hal tersebut berhasil dilakukannya dengan baik. Agatha langsung membuka matnya dengan cepat seraya memberontak melepaskan tangan James dari hidungnya. Wanita cantik tersebut menghirup udara banyak-banyak setelah hidungnya terbebas dari tangan yang berubah menjadi penjepit hidung beberapa saat yang lalu. “Apa kau berniat untuk membunuhku?” hardik Agatha langsung, tangannya bergerak untuk mengusap hidungnya yang pastinya memerah. “Mungkin saja, tapi aku tidak benar-benar berniat untuk membunuhmu, hanya sedang mencobanya saja,” balas James dengan nada yang santai. Pria tersebut merapikan jas yang dikenakannya dan langsung bangkit, berniat untuk segera berangkat karena Agatha sudah bangun. Namun, niatnya tersebut urung kala Agatha yang menarik tangannya dan memaksanya untuk tetap duduk di posisi semula. Tidak ada rasa takut sama sekali dalam diri James ketika melihat Agatha yang tampak seperti macan betina yang siap menerkam kapan saja. Jika Agatha adalah macam betina maka James adalah macan jantan yang bisa mengalahkan betina dengan berbagai cara. “Setelah mengganggu tidurku, kau mau pergi begitu saja?” ujar Agatha dengan tatapan mata yang menatap nyalang pada suaminya yang telah membuat suasana hatinya buruk sejak semalam. James mendengus. “Memangnya kau berharap aku melakukan apa setelah membangunkanmu?” Agatha terdiam, benar apa yang dikatakan oleh suaminya. Apa yang Agatha harapkan setelah suaminya tersebut membangunkannya? Lebih baik bagi Agatha membiarkan James pergi meninggalkannya karena memang mereka tak punya keperluan sama sekali. Lantas matanya beralih pada tiga pelayannya yang menatapnya secara bersamaan. “Ayok, kita harus bersiap untuk pergi ke universitas,” ajak Agatha pada tiga pelayannya dan hendak beranjak pergi. Kini giliran James yang menahan kepergian Agatha, pria itu menarik Agatha hingga duduk kembali dan merapat padanya. Tak lupa, tangannya juga bergerak untuk merangkul Agatha agar tak mencoba untuk beranjak pergi darinya. “Apa?” tanya Agatha dengan sewot. Matanya mendelik dengan tajam, menatap tak suka pada suaminya yang kini berposisi sangat dekat dengan tubuhnya. James tidak malu untuk merangkulnya padahal ada Adel, Peggy, dan Katty yang kini tengah memerhatikan mereka berdua dengan intens. ”Mengapa semalam kau tidur di sini? Apa kau melakukan hal tersebut karena enggan untuk tidur bersama denganku?” Agatha hampir saja terperangah dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh suaminya tersebut. Namun, berhubung ia tengah kesal pada James dan tidak ingin membuat pria itu besar kepala, lebih baik baginya untuk menganggukkan kepala. Siapa tahu dengan begitu James tidak akan pernah mau tidur di kamarnya lagi. “Ya! Aku tidak mau tidur denganmu, maka dari itu aku tidur di sini. Jadi, mulai malam ini kau jangan tidur di kamarku lagi!” James menggelengkan kepalanya. “Tidak, kau salah mengambil kesimpulan, istriku. Sebagai suami istri sudah seharusnya kita tidur di atas ranjang yang sama denganku. Maka dari itu kita akan selalu tidur di kamar yang sama mulai malam ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD