Lagi, Agatha terbangun di tengah malam. Ah, tidak! Sepertinya tengah malam sudah terlewati dua jam yang lalu. Setidaknya Agatha harus bersyukur karena pagi akan datang sebentar lagi—jika pun ia tidak dapat memejamkan matanya kembali.
Dan seperti biasanya, Agatha juga merasakan lapar. Dan hal itulah yang membuatnya berada di dapur sekarang. Sepertinya Agatha harus selalu mempersiapkan makanan di dalam kamar agar ketika ia merasa lapar maka ia bisa makan dengan segera tanpa harus turun ke lantai satu. Hanya saja, Agatha takut jika James tidak akan mengizinkannya untuk membawa makanan ke dalam kamar.
Suaminya tersebut pasti lebih memerhatikan bagaimana kondisi kebersihan kamarnya daripada kondisi perut Agatha. Jika begini kasusnya, Agatha jadi berandai-andai jika saja ia masih memiliki kamar sendiri di rumah ini maka dirinya akan bebas untuk melakukan apa pun. Bahkan jika diperlukan Agatha akan membuka warung di kamarnya sendiri.
“Sepertinya kau sangat senang terbangun di jam-jam seperti ini?” tanya Hans yang tiba-tiba masuk ke dapur. Agatha sampai dibuat menegang pada awalnya. Ketika di malam hari sisi takut yang ada dalam dirinya meningkat hingga ia bisa merasakan takut hanya karena hal-hal kecil. Pikirannya tidak jauh-jauh dari hantu.
Padahal, ketika dulu Agatha tinggal sendirian di gubuk yang dekat dengan hutan, ia sama sekali tidak takut apa pun. Mungkin karena dirinya yang sudah terbiasa tinggal di sana. Dan lagi, rumah yang ditempatinya kini sangat besar. Agatha jadi takut jika di setiap sudutnya terdapat penghuni yang tak kasat mata.
“Kau juga, sepertinya?” balas Agatha, kembali fokus pada kegiatannya untuk mencari makanan. Ia tidak mencarinya di kulkas karena tidak berselera memakan makanan yang dingin dan juga malas jika harus membuatnya terlebih dahulu. Seperti di hari sebelumnya, Agatha mencari makanan ringan yang sesuai dengan seleranya.
“Aku memang tidak terbiasa untuk tidur nyenyak,” ungkap Hans. Ia melangkah menuju kulkas untuk mengambil sebuah botol air mineral dan meneguknya hingga habis semua. Lantas Hans melempar botolnya ke tempat sampah yang ada di dalam ruangan setelah sebelumnya meremas botol tersebut hingga rusak.
“Hans, bisakah kau membantuku membawa beberapa makanan ke ruang televisi?” pinta Agatha, kesusahan dengan tujuh bungkus makanan ringan yang besar dan menggembung di pelukannya.
“Kau sepertinya terlalu banyak menghabiskan makanan ringan setiap malamnya!”
“Itu tidak masalah, aku yakin jika James tak akan mengalami pengeluaran yang signifikan hanya karena menyediakan makanan ringan untukku setiap malamnya,” ketus Agatha, dengan matanya yang mendelik.
Bukannya sebagian, Hans justru mengambil alih seluruh makanan ringan yang ada dalam pelukan Agatha. Tangannya yang lebih besar dan juga panjang membuatnya dapat dengan mudah membawa seluruh makanan ringan yang telah Agatha pilih untuk dirinya sendiri.
“Sepertinya kau sudah menikmati peranmu sebagai seorang istri dari Tuan James?” sindir Hans, ingat bagaimana ketika ia memaksa Agatha untuk naik ke atas altar.
Agatha mendelik lagi, ia mulai melangkahkan kakinya setelah segelas air mineral untuknya nanti. “Aku hanya mencoba untuk menjalani hidupku. Aku menikmatinya atau tidak, aku tetap berada di rumah ini dengan status sebagai istri James bukan?”
“Kau benar, kau memang harus menjalani hidupmu. Dan kini, hidupmu adalah di sini.”
“Itu hanya sementara saja, Hans. Aku yakin jika pada akhirnya nanti James akan menceraikanku. Setidaknya aku tidak terlalu merasa khawatir karena James berkata dia akan menjamin kehidupanku pasca perceraian. Mungkin dia tidak mau jika membiarkan mantan istrinya hidup terlunta-lunta tak tentu arah,” ungkap Agatha. Ia langsung menyalakan televisi kala sampai di ruangan yang ditujunya. Setelah itu, tubuhnya langsung terbanting ke atas sofa.
Hans meletakkan semua makanan ringan yang dibawanya ke meja. Dirasa tugasnya sudah selesai, Hans berniat akan pergi meninggalkan Agatha. Ia merasa tidak nyaman jika harus berada di ruangan ini hanya berdua dengan istri dari tuannya, dan juga merasa tidak ingin berbicara dengan Agatha lebih banyak lagi.
“Kau akan pergi ke mana?” tahan Agatha, tak lupa tangannya yang tanpa segan menarik lengan Hans dengan kuat. “Kau temani saja aku di sini. Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”
“Maafkan aku, Nyonya Agatha. Tapi aku harus kembali ke kamarku dan melanjutkan istirahatku,” balas Hans dengan nada sopan. Siapa pun Agatha dulu, dan bagaimanapun kisahnya hingga wanita tersebut bisa menikah dengan James, sosok Agatha tetaplah nyonya di rumah ini sekarang.
“Aku yakin kau tidak bisa melanjutkan acara tidurmu dengan cepat. Jadi, lebih baik kau temani saja aku karena ada hal yang ingin aku tanyakan padamu. Kau tenang saja, aku tidak kan mengajakmu berdiskusi mengenai bagaimana caranya aku melarikan diri dari tuanmu.”
“Baiklah.”
“Sekarang duduklah!”
Hans menggeleng tegas. Tidak pernah sekali pun selama ia bekerja di rumah ini ia berani duduk di atas sofa. Dan memang sudah peraturannya seperti itu. James melarang semua pekerja untuk duduk di sofa-sofa yang ada di rumah ini, kecuali sofa yang ada di kamar mereka masing-masing. “Biarkan aku tetap berdiri seperti ini.”
Agatha mengangkat bahunya singkat. “Baiklah, terserah kau saja. Aku ingin berbicara denganmu mengenai ayahku. Fred, yang James tembak di gubukku. Aku ingin tahu apa saja yang dia lakukan hingga James membunuhnya? Sebenarnya James sudah mengatakan alasannya, yaitu karena Dad berhutang padanya. Hanya saja, aku berpikir James terlalu kaya untuk mempermasalahkan hutang salah satu pekerjanya. Dan memangnya seberapa banyak hutang yang Dad punya?”
“Hutang tetaplah hutang, Nyonya. Siapa pun pelakunya, hutang tetap harus dilunasi.”
“Aku tahu itu, tapi bukankah James sangat sibuk? Aku yakin dia tidak akan mau meluangkan waktunya untuk mencari tahu seluk beluk hutang Dad. Pekerja itu sangat banyak! Pekerja di rumah ini saja lebih dari hitungan jari, belum lagi pekerja di kantornya yang mana jumlah kantornya saja aku tidak bisa memperkirakan seberapa banyak. Dan Dad hanya seorang pengurus kebun jagungnya, aku yakin jika Dad sama sekali tidak termasuk ke dalam jajaran pekerja yang diawasi langsung oleh James. Dia hanya pengusir hama di perkebunan!”
Hans menatap Agatha dengan sorot tenangnya. “Nyonya Agatha, Tuan James sangat tidak menyukai pencuri. Dan Fred bukan hanya berhutang, tetapi dia juga mencuri hasil perkebunan. Kau tentu sangat tahu perbedaan orang yang berhutang dan orang yang mencuri bukan?”
“Berapa hutang yang Dad punya? Sekarang aku berpikir untuk membayarnya, walau dengan uang yang James berikan juga.”
“Kau tak akan mampu untuk membayarnya, Nyonya. Dan kau pun jangan terlalu khawatir, karena salah satu hal yang paling berharga yang telah dicuri oleh Fred kini ditemukan kembali.”
Agatha langsung mengerutkan keningnya. Sesuatu yang telah Fred curi telah ditemukan kembali? Agatha menatap Hans dengan mimik wajahnya yang penuh akan tanya. “Apa yang telah ditemukan kembali? Memangnya selain hasil perkebunan jagung, apalagi yang Dad curi dari James?”
“Aku tidak bisa mengatakannya, tapi kau akan tahu dengan sendirinya nanti. Dan sepertinya, kau harus mempersiapkan diri untuk itu.” Hans tersenyum tipis, lalu membungkukkan tubuhnya sejenak dan berkata, “Aku pamit undur diri, Nyonya. Sebaiknya kau pun melanjutkan istirahatmu setelah kau selesai dengan makanan-makanan ini.”
Tubuh Hans langsung pergi tanpa menunggu jawaban apa pun dari Agatha. Dan hal tersebut membuat Agatha merasa heran. Mengapa Hans tidak mau memberitahunya mengenai sesuatu yang telah dicuri Fred dan telah ditemukan kembali?
Agatha juga tergugu dengan kalimat James yang mengatakan jika Agatha harus mempersiapkan dirinya. Memangnya apa yang harus Agatha persiapkan? Sepertinya ada sesuatu yang lain yang harus Agatha tahu. Jika dipikir ulang, sepertinya James tidak akan membunuh Fred hanya karena perihal uang. Suaminya tersebut kaya dan bahkan menggaji pelayan saja dengan nilai selangit.
Agatha juga yakin jika hutang yang Fred miliki tidak akan sampai beribu-ribu dolar jumlahnya. Jadi, apakah ada sesuatu yang berharga lainnya yang Fred curi?
“Sepertinya ada sesuatu yang sangat berharga yang telah Dad curi, aku tidak sabar untuk segera mengetahuinya,” gumam Agatha.
Sepertinya tidak ada gunanya jika kini Agatha menggunakan sisa waktunya untuk memikirkan hal tersebut karena jawabannya tidak akan Agatha dapatkan hanya dengan berpikir sendirian. Lebih baik ia menonton televisi seraya mulai memakan makanan ringan yang sudah dibawanya tadi.
Padahal, ketika sebelum tidur tadi Agatha merasa kekenyangan karena dia benar-benar menghabiskan makanan yang telah disiapkan oleh ketiga pelayannya. Agatha berpikir pada saat itu jika dirinya bisa tidur dengan nyenyak hingga pagi menjelang. Namun nyatanya, ia tetap terbangun dan juga merasa lapar di malam hari, atau mungkin lebih tepatnya dii hari.
Telepon rumah berdering, membuat Agatha kembali terganggu dan akhirnya berjalan dengan malas menuju alat komunikasi yang sudah digunakan sejak zaman dulu tersebut. Wajahnya masam karena harus menerima panggilan di jam seperti ini.
Siapakah orang yang menghubungi rumah orang lain di jam seperti ini? Bukakah itu merupakan sesuatu yang tidak sopan untuk dilakukan jika saja apa yang akan disampaikan tidaklah penting. Baiklah, seharusnya Agatha mencoba untuk berbicara dengan si penelepon terlebih dahulu sebelum menilai apakah seorang tersebut mempunyai kepentingan yang sangat penting atau tidak.
“Hallo?” sapa Agatha, dengan nada malas.
“Agatha sialan! Di mana kau? Suamimu sedang sakit seharusnya kau menemaniku sekarang! Cepat kembali ke kamar sekarang juga!!”
Agatha meringis seraya menjauhkan teleponnya dari telinga. Ternyata yang meneleponnya tak lain adalah James. Pria itu ada-ada saja! “Ada apa James? Aku hanya sedang berada di ruang televisi. Aku merasa lapar jadi aku—“
“Aku sama sekali tidak peduli denganmu! Tidak tahukah kau sejak tadi aku merasa mual dan juga demam lagi? Sekarang cepat kembali ke kamar!”
Sambungan terputus pada saat itu juga, ia mengusap dadanya dengan penuh rasa sabar. Sepertinya demam telah membuat James berubah sedikit, pria itu seperti anak kecil saja yang ketika sakit harus ditemani.
“Seharusnya dia tidak membangun rumah sebesar ini agar ketika di butuh, dia cukup berteriak saja!” gerutu Agatha, “Dasar pria sombong!”