Hukuman

1493 Words
Liam’s POV Aku sudah mengenakan kaosku lagi. Ami juga mengenakan jaketnya lagi. Aku dan dia duduk bersebelahan di bangku panjang di taman sebelah ruang ganti. Pak Farhaz duduk di depan kami dengan tatapan tajam, setajam elang dan ekspresi wajahnya masih didominasi amarah. Aku lirik ketiga temanku berdiri di sebelahku, agak jauh sih. Tiga girl squad, teman-teman Ami juga berdiri di sebelah Ami Aku tak bisa menjelaskan dengan pasti bagaimana perasaanku saat ini. Tertuduh menjadi “remaja m***m” yang ketahuan hendak berbuat tak senonoh di ruang ganti menerbitkan perasaan malu, kesal dan sebal. Padahal kami itu tidak melakukan apa-apa. Ya hanya membuktikan identitas masing-masing saja. Reputasiku dipertaruhkan. Aku nggak bisa membayangkan jika skandal besar ini sampai tersebar, mungkin para penggemarku akan menarik diri menjadi fans nomor satuku. Mereka akan shock, bagaimana bisa si Liam, oppa Korea yang unyu-unyu, cute dan ganteng maksimal bisa kedapatan tengah main buka-bukaan ama si Ami, cewek jadi-jadian? Kalau saja aku kepergok bareng Angela, Freya atau Aluna, pentolan squad girl lain yang sudah dua hari ini nggak masuk sekolah karena sakit, mungkin harga diriku bakal sedikit terselamatkan. Karena seleraku akan cewek itu tidak sembarangan. Tapi Ami? Bahkan aku masih meragukan ketulenannya sebagai perempuan. Kalaupun tadi aku mencoba membuka kaosnya di ruang ganti, itu hanya untuk bercandaan saja, untuk menggertaknya, nggak bermaksud melecehkannya atau gimana. Bahkan aku tak peduli isi di balik kaosnya. Eh, sedikit penasaran juga sih..eh udah ah. Belum lagi kalau skandal ini berpengaruh juga ke penurunan jumlah follower i********:, bisa jadi aku kehilangan banyak endorse. Aku tak mau memikirkan yang buruk-buruk. Saat ini lebih baik fokus mendengarkan pak Farhaz. “Ruang ganti itu fungsinya untuk berganti kostum ketika hendak bertanding atau setelah bertanding, bukan buat MESUM..!!!” Sakit hati abang mendengar Pak Farhaz menekankan kata “m***m” seolah aku ini laki-laki paling m***m sedunia. Padahal sengeres-ngeresnya pikiranku, rasanya masih kalah jauh dari pikiran kotornya Ghani. “Pak sumpah kami nggak berbuat apa-apa.” Aku mencoba membela diri. “Iya Pak. Yang tadi itu cuma tantangan untuk menunjukkan identitas masing-masing.” Ami ikut bersuara. Nama baiknya juga ikut dipertaruhkan. “Menunjukkan identitas gimana? Sudah jelas saya lihat kaosnya Liam tergeletak begitu saja di bangku, jaketnya Ami tercecer di lantai. Kalian sedang tarik ulur mau membuka kaosnya Ami. Liam juga t*******g d**a. Apa semua itu nggak cukup buat jadi bukti bahwa kalian hendak berbuat tak senonoh?” Pak Farhaz bicara begitu lantang. Kulihat teman-temanku melongo, bahkan Satria menutup mulutnya dengan telapak tangannya ditambah kedua bola matanya yang membulat maksimal seakan baru saja mendengar kabar paling sensasional sepanjang masa. Aku lirik anggota girl squad juga menganga, menutup mulutnya dan saling berpandangan. “Ini tidak seperti yang kalian bayangkan.” Ujarku menatap mereka satu per satu. “Pak beri saya kesempatan untuk menjelaskan.” Ucap Ami. “Apa yang ingin kamu jelaskan?” Raut muka Pak Farhaz begitu dingin. “Sebenarnya kejadian ini berawal dari saling menantang. Saya nantangin dia buat buktiin kalau dia cowok sejati. Dia juga menantang saya untuk membuktikan kalau saya cewek sejati. Dia selalu menganggap saya cewek jadi-jadian, saya juga selalu meragukan dia kalau dia cowok tulen. Karena itu tadi dia maksa mau buka baju saya.” Ami bicara sambil tertunduk. “Kalian ini main tantangan kok seperti ini. Makanya jangan kebanyakan main internet, jadi ikut-ikutan main game aneh. Kalau kalian ingin menunjukkan bahwa kalian cowok sejati dan cewek sejati, satu-satunya jalan ya menikah.” Aku dan Ami menganga dan bengong. Kami saling berpandangan, “menikah dengan dia? Ih ogah.” Ucapnya. “Siapa juga yang mau nikah sama cewek jadi-jadian kayak lo.” Balasku. “Udah jangan berantem lagi. karena kalian telah melakukan kesalahan, saya akan menghukum kalian.” Pak Farhaz menatap kami bergantian. “Bersihkan toilet di lapangan ini. Tidak boleh ada seorangpun yang boleh membantu kalian.” Pak Farhaz beranjak dan meninggalkan kami. Dia memang sosok pelatih yang tegas dan disiplin. Semoga saja kasus ini nggak mempengaruhi posisiku sebagai pemain inti. Rangga, Satria dan Azril duduk di hadapanku. Ami masih duduk di sebelahku dan teman-teman Ami mencoba menenangkannya. “Kita pengin bantuin lo, tapi nggak boleh ama Pak Farhaz.” Ucap Freya sambil menepuk bahu Ami. “Nggak apa-apa, santai aja. Gue udah biasa bantuin mama bersih-bersih.” Ami mengulas senyum pada teman-temannya. “Coba tadi lo nggak curang, nggak akan kayak begini kejadiannya.” Aku menoleh ke arah cewek tomboy itu dengan kesal. “Gue nggak akan mau lah buka baju di hadapan lo. Emang gue cewek apaan?” Ami langsung nyolot. “Enak di elo, rugi di gue. Gue tuh nggak sembarangan nunjukin perut sixpack ama d**a bidang gue. Lo satu-satunya cewek yang beruntung lihat perut sixpack gue. Gue rugi dan nyesel udah nunjukin ke lo. Sedang lo curang dan nggak konsekuen ama kesepakatan kita.” Aku masih kesal padanya. “Helooo lo bilang lo rugi dan gue enak? Ya elah disuguhi body kayak gitu apa enaknya? Lo pikir body lo itu bagus? Lo cuma menang tinggi doank, body mah masih jauh dari ideal.” Aku menyringai, “terus body lo udah ideal gitu? Body lurus, lempeng, nggak ada lekukan khas cewek, udah gitu dadanya datar pula.” Ami melotot, “biar datar tapi nyatanya lo penasaran, main paksa mau buka baju gue.” Aku tercekat, tak tahu harus membalas apa. Okey aku akui, mencoba membuka bajunya adalah kebodohan terbesar yang pernah aku lakukan selama 16 tahun melanglangbuana di dunia yang tak berujung ini. “Udah jangan berantem terus. Mending kalian bersihin toilet sekarang juga. Hari udah makin sore lho, nanti kalian kemalaman.” Rangga memperingatkan. Benar juga apa yang dibilang Rangga. Demi apa, seorang Liam membersihkan toilet dengan cewek jadi-jadian macam Ami. Sejak satu kelas dengannya, rasanya hidupku tambah berantakan. *** Aku menyikat lantai toilet. Kulirik dia tengah mengepel area teras toilet. Seumur-umur baru kali ini aku membersihkan toilet. Untung toilet lapangan bersih dan ada wangi khas dari pewangi ruangan, lumayan membuat hati yang sedari tadi dongkol sedikit ceria. Selesai juga menyikat lantainya. Selanjutnya aku ikut membersihkan teras toilet. Kulihat dia serius memegang alat pel dan menggerakkannya ke samping kanan dan kiri. Wajahnya tampak begitu serius. Dia melepaskan jaketnya. Dia kibaskan rambutnya dan mengelap keringat yang mengucur di dahi dan lehernya. Saat mengibaskan rambutnya, selintas sosok Raline Shah yang sedang mengiklankan shampo menjelma pada dirinya. Set set set.. wuih, keren juga gayanya. Ketika mengelap keringat di lehernya dia mendongakan kepalanya ke atas. Jari-jarinya mengusap lehernya yang jenjang. Satu kata “seksi”. Tanpa sadar aku terpukau melihatnya. Mulutku sampai menganga, namun segara mengatup kembali setelah aku menyadari kebodohanku. Kenapa dia terlihat begitu seksi. Bahkan aku berimajinasi seandainya dia mengenakan dress atau pakaian yang sedikit seksi, sisi feminimnya pasti akan keluar. Mungkin dress mini seperti yang sering dikenakan Ariana Grande? Haduh, saat seperti ini bisa-bisanya aku berfantasi tentangnya. Dia itu cewek jadi-jadian. Ingat itu Liam. “Hai ngapain lo lihat-lihat gue?” Pertanyaan jutek darinya membuyarkan lamunan dari otakku yang sedikit ngehang dan eror tadi. Bisa GR dia kalau aku bilang aku habis berfantasi tentangnya yang mengenakan dress mini ala Ariana Grande. “Siapa yang lihat-lihat lo. Jangan GR ya. Lihatin lo itu cuma bikin gue sakit mata.” Aku kembali mengepel lantai dan tak kutatap dia. Sebenarnya tensin juga kepergok sedang mencuri pandang ke arahnya. “Udah ketahuan, masih aja berkelit. Lo kaku banget ngepelnya. Pasti di rumah nggak pernah bantuin kerjaan rumah.” Pernyataannya membuatku tergoda untuk menatapnya. “Mau kaku atau nggak, itu nggak penting kan? Nggak ada orang mati gara-gara nggak bisa ngepel.” Aku terkekeh. “Iya sih. Tapi dari cara lo mengepel, gue bisa nilai karakter lo yang manja, apa-apa serba dilayani, anak mami, ya persis kayak cewek lah.” Ujarnya sewot. “Lo selalu aja bilang gue kayak cewek. Emang susah ya punya tampang cute begini, ampe bikin cewek jadi-jadian ini iri.” Ami tertawa, “gue iri ama lo? Buat apa? Kayak nggak ada orang lain yang lebih talented. Kalau lo punya prestasi, baru gue iri ama lo.” Aku berjalan mendekatinya. “Lo ngraguin kemampuan gue? Gue ini pemain inti tim bola, nggak gampang masuk ke tim. Gue juga udah sering ikut tanding melawan sekolah lain dan kami sering menang. Aku sering urun goal.” Amimencibir, “cuma satu itu aja? Pemain inti tim bola?” “Masih ada satu lagi.” Aku mendekatinya lebih dekat. Dia menghentikan aktivitas mengepelnya dan menatapku. “Apa?” Tanyanya sewot. Aku berbisik padanya. “bikin cewek-cewek klepek-klepek dan jatuh cinta.” Ami tertawa, “gue nggak tuh. Yang klepek-klepek ama lo itu yang nggak tahu aslinya lo. Kalau mereka tahu lo ini cowok m***m, playboy, tengil, pasti bakalan mundur.” Aku tersenyum, “lo sebentar lagi juga bakal klepek-klepek ama gue.” Ami tersenyum sinis. “pede banget. Lo bukan tipe gue. Lo kali yang bakal klepek-klepek ama gue.” Amber kembali meneruskan pekerjaannya. “Kita lihat saja nanti, siapa yang bakal jatuh cinta lebih dulu.” Pekikku. Dia tidak menolehku. Jangan bilang aku Liam, kalau belum bisa bikin cewek takluk. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD