Pertemuan

2281 Words
Azmi Zalina, seorang gadis cantik berhati lembut dan sangat menyukai anak kecil. Azmi besar dan tumbuh di sebuah panti asuhan kecil yang terletak di pinggiran kota. Azmi tinggal di sana semenjak Ibunya meninggal dunia. Sedangkan Ayah Azmi, tidak tahu di mana rimbanya. Ayah Azmi meninggalkannya saat ia masih berusia dua tahun. Ketika Azmi genap berusia enam tahun, sang Ibu menghadap kepada yang maha kuasa. Walaupun hidup dan tumbuh di dalam lingkungan panti asuhan, Azmi tetap bisa menyelesaikan pendidikannya hingga bangku kuliah, berkat beasiswa yang ia dapat. Pagi ini, adalah hari yang sangat ditunggu oleh Azmi. Karena hari ini adalah hari pertama ia bekerja. Setelah memasukkan lamaran pekerjaan kesana-kemari, Azmi akhirnya diterima di sebuah kantor yang bergerak di bidang industri. Azmi diterima menjadi seorang staf disana. Letak panti asuhan yang sangat jauh dari pusat kota, membuat Azmi berangkat lebih pagi daripada karyawan yang lainnya. Tepat pukul enam pagi, Azmi sudah berangkat menuju kantor. Walaupun sedikit macet, ia bisa sampai ke kantor dengan tepat waktu. Dengan langkah cepat Azmi langsung menuju ke ruang HRD. Sesuai dengan pesan yang ia terima via email, seluruh karyawan baru diminta untuk menemui HRD, untuk mengetahui dimana ruangan masing-masing. “Selamat pagi, Buk. Saya Azmi Zalina.” Azmi sedikit menundukkan badannya untuk memberi hormat kepada wanita separuh baya yang menjadi HRD di kantor tersebut. “Selamat pagi, Azmi Zalina.” “Panggil Mimi aja, Buk,” Azmi tersenyum. “Baiklah, Mimi! Kamu langsung ke lantai empat, kubikel kamu ada di seberang meja sekretaris direktur. Di sana ada tiga kubikel, kubikel kamu berada persis di depan ruangan sekretaris direktur. Jika kamu ragu, silahkan tanyakan langsung kepada bapak Andrean. Beliau adalah sekretaris direktur. Biasanya beliau sudah berada di sana. Beliau juga yang akan memberitahu apa tugas, dan pekerjaan mu.” “Baik, Buk.” “Ya sudah. Sekarang kamu langsung naik ke atas, dan saya sangat berharap, kamu bisa memanfaatkan kesempatan untuk bekerja di kantor ini dengan sangat baik.” “Baik, Buk. Saya akan bekerja dengan sebaik mungkin.” Azmi menjabat tangan HRD tersebut. Setelah selesai dari HRD, Azmi langsung menuju ke lantai empat. Seperti yang diarahkan oleh Bu Zainab, HRD kantor tadi. Sesampainya di lantai empat Azmi segera mencari kubikel yang dimaksud oleh Bu Zaenab. Azmi menimbang antara dua kubikel yang berada persis di depan sebuah ruangan. Azmi yakin ruangan tersebut adalah ruangan sekretaris Direktur, karena di samping ruangan tersebut ada ruangan besar bertuliskan 'Direktur' utama di bagian atas pintu masuk. “Pak... Maaf tunggu sebentar!” Azmi langsung berlari ketika ia melihat seorang pria keluar dari ruang direktur utama, menuju ruangan yang berada di sebelahnya. Azmi yakin pria tersebut adalah sekretaris yang dimaksud oleh Bu Zaenab. “Iya, ada apa?” pria itu menatap heran kepada Azmi. “Perkenalkan nama saya Azmi Zalina, Pak. Saya staf baru disini. Saya ingin menanyakan dimana letak kubikel saya, Pak, kata Ibu Zaenab kubikel saya terletak persis di depan ruangan sekretaris direktur.” “Ini ruangan sekretaris, dan itu kubikel, berarti... itu kubikel kamu.” Pria tersebut menunjuk ruangan sekretaris dan kubikel secara bergantian. “Pak Andrean, saya tahu, Pak, itu kubikel, tetapi saya tidak tau yang mana kubikel milik saya.” Azmi menundukkan kepalanya. “Andrean?” pria tersebut membeo. “Ia. Bapak, Pak Andrean, bukan? Sekretaris Direktur?” “Darimana kamu bisa tahu kalau nama saya Andrean?” pria tersebut mengernyit heran menatap Azmi. “Saya barusan melihat Bapak keluar dari ruangan direktur, dan Bapak ingin masuk kedalam ruangan sekretaris. Jadi saya menyimpulkan Bapak adalah Pak Andrean, Dan tadi Ibu Zaenab juga berkata, jam segini baru Pak Andrean yang datang.” “Baiklah. Saya akan menganggap analisa kamu benar. Itu kubikel kamu.” Pria tersebut menunjuk kubikel yang memiliki kursi berwarna biru. “Baik, Pak terimakasih.” Azmi sedikit menunduk, dan langsung menuju ke kubikel yang tadi di tunjuk pria tersebut. “Maaf, Pak. Kata ibu Zaenab, Bapak juga yang akan memberitahu tugas saya.” Sebelum duduk Azmi kembali memanggil pria tersebut. “Tunggu sebentar, saya ada sedikit keperluan di dalam.” “Baik, Pak.” Azmi mengangguk dan mulai menyalakan komputer yang ada di depannya. “Maaf Bang, aku terlambat. Ban mobil aku bocor tadi di jalan.” Seorang pria masuk, dan menepuk bahu pria yang tadi. “Pak Andrean. Apakah bisa memberitahu saya sekarang, Pak?” potong Azmi, karena pria tadi masih belum beranjak dari tempatnya, sedangkan ia harus segera mengetahui apa pekerjaannya karena sebentar lagi jam kantor dimulai. “Saya?” pria yang baru datang menunjuk dirinya sendiri. “Bukan, Pak. Bapak Andrean.” Dengan polosnya Azmi menunjuk pria yang tadi bersamanya. “Saya Andrean, Mbak, yang itu namanya Reno Anderson, Direktur perusahaan ini, mbak cantik.” Andrean mendekati kubikel Azmi. “Jadi... kamu yang bernama Azmi Zalina?” Azmi mengangguk pelan, wajahnya memerah menahan malu, karena telah salah menebak orang. “Hei, Azmi! Ada apa?” Andrean melambaikan tangannya ke depan wajah Azmi. “Maaf, pak, saya pikir tadi Bapak....” “Tidak apa-apa, saya dan Andrean sama saja. Andrean ini adalah adik saya.” Reno langsung masuk ke dalam ruangannya. “Sudahlah, jangan terlalu diambil hati, bang Reno memang seperti itu, dia itu Pria yang dingin dan tidak banyak bicara.” Andrean menepuk bahu Azmi. “Ayo kita mulai! aku akan menunjukkan apa saja pekerjaanmu disini, dan maafkan aku yang terlambat. seharusnya aku datang awal untuk membantumu.” Andrean menarik kursi yang ada di depan kubikel Azmi. "Tidak apa-apa, Pak," Azmi tersenyum dan langsung menyimak dengan serius penjelasan dari Andrean. Azmi sesekali mencuri pandang terhadap pria tampan yang ada di sampingnya kini. Pria tampan dengan alis tebal dan hidung yang sangat mancung itu, terlihat sangat mempesona. Membuat Azmi langsung mengagumi sosok Andrean. Apalagi Andrean sangatlah ramah dan tidak sombong. Membuat Azmi nyaman dan semakin mengaguminya pria tampan tersebut. Tanpa Azmi sadari, Andrean juga ikut mencuri pandang terhadap dirinya . Ia juga mengaguminya sosok Azmi yang cerdas dan ceria. Gadis itu tidak sungkan bertanya saat menemukan kesulitan dalam menyimak penjelasan dari Andrean. Sesudah selesai memberitahu dan mengajarkan semua pekerjaan Azmi, Andrean pamit kepada Azmi untuk masuk ke ruangannya. Ada senyum sumringah terbit dari bibir Andrean. Pria itu mendadak merasakan ada ratusan kelopak bunga yang berjatuhan di atas kepalanya. Saat ia berada di dalam ruangannya, pandangan Andrean tetap terarah kepada Azmi. Tirai kaca yang berhadapan dengan kubikel Azmi, sengaja ia buka untuk melihat gadis tersebut. Azmi terlihat sedang berbincang dengan dua orang staf wanita yang baru datang. Andrean bisa melihat dengan jelas kalau Azmi adalah gadis yang mudah bergaul. Karena ia langsung dekat dengan dua orang staf yang baru datang, dan mereka sudah terlihat seperti tiga orang wanita yang telah bersahabat dari lama. Sebelum jam makan siang masuk, Andrean telah merancang beberapa buah rencana untuk mengajak gadis tersebut makan siang. Dengan langkah semangat, Andrean membuka pintu ruangannya menuju ke arah kubikel Azmi. “Papi....” Suara teriakan gadis kecil menggema dari ujung lorong, yang menghubungkan ruangan itu dengan lift. Andrean langsung menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan melebarkan kedua tangannya untuk menyambut gadis kecil tersebut. “Kesinilah sayang! Papi sangat merindukanmu.” “Tania sangat merindukanmu, Papi. Kenapa Papi tidak pernah pulang kerumah?” Dengan langkah tertatih, gadis kecil berusia lima tahun itu akhirnya bisa sampai di dalam pelukan Andrean. “Papi tidak ingin bertemu dengan mommymu, Sayang.” Andrean membawa Tania berputar-putar untuk melepaskan rasa rindu di dalam hatinya. Dua orang yang berada di samping Azmi, terlihat terharu melihat Tania dan Andrean. Tetapi tidak untuk Azmi, gadis itu terlihat sangat kecewa, karena pria yang dari tadi pagi sudah ia kagumi, ternyata sudah memiliki seorang anak. Otomatis pria tersebut telah memiliki seorang istri. Daddy? Mommy? Sepertinya aku harus melupakan rasa ini' Azmi membatin. Lalu ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya secara perlahan. Mata Azmi kembali menuju ke pasangan ayah dan anak tersebut. Tania, gadis cantik berkulit putih. Terlihat ceria, walaupun tubuhnya tidak sempurna. Di balik rok panjang yang digunakan oleh Tania, ada sepasang kaki palsu yang harus ia gunakan. Tetapi itu semua tidak melunturkan semangat dan keceriaan Tania. Ia terlihat sama seperti anak lain, yang seusia dengannya. Di belakang Tania, Azmi melihat ada seorang wanita paruh baya berpakaian serba biru. Wanita itu terlihat membawa sebuah ransel berwarna pink, ia mengikuti langkah Tania dan Andrean masuk kedalam ruangan Reno. 'Mmm. Wanita itu pasti bukan istrinya, Ahhh. Pasti pengasuh gadis kecil itu!' Azmi menggelengkan kepalanya, untuk mengusir pikiran yang akan mengganggu pekerjaannya. Azmi mencoba kembali fokus kepada pekerjaannya. Melihat Azmi yang komat kamit sendiri. Lina, staf yang kubikel nya berada di samping Azmi mendekatinya. Lina menggeser kursinya agar berdekatan dengan Azmi. “Mimi… kamu kenapa? Dari tadi aku melihat kamu bicara sendiri?” Lina sedikit berbisik kepada Azmi. “Siapa yang berbicara sendiri, Li, Aku sedang membaca laporan ini.” Azmi membuka map berisi kertas kosong yang tadi ia ambil secara asal. “Haha. Hurufnya kemana, Mi?” Lina terkikik pelan melihat rekannya yang salah tingkah. Azmi meneguk ludahnya dengan susah payah. “Itu... ini, tadi ada tulisannya. Tapi…,” Azmi mengangkat map yang ia pegang. “Sudah lah, Mi… kamu nggak usah malu sama aku, Mi.” Lina menopang dagunya dan menatap Azmi secara intens. “Kamu itu langsung berbicara sendiri saat Tania datang, dan wajah kamu juga langsung berubah melihat gadis kecil itu. Kenapa, Mi?” “Tania itu anaknya Pak Andrean?” tanya Azmi, ia berbicara nyaris seperti cicitan anak burung. “Tania? Anak pak Andrean? Ya bukanlah.” Lina memukul bahu Azmi. “Tania itu anaknya pak Reno.” “Benarkah?” Wajah Azmi langsung berbinar. “Ahh... Aku tau sekarang. Kamu suka ya sama Pak Andrean, makanya tadi kamu cemberut waktu Tania datang?” Lina menunjuk kepada Azmi, “Cie... cie….” “Jangan keras-keras,Lin! Aku malu.” Azmi menutup mulut Lina dengan tangannya. “Nih, Ya. Aku ceritain sama kamu.” Lina sedikit mengubah posisinya, “Tania itu anaknya pak Reno. Pak Reno ini menikahi Momy nya Tania dengan paksaan.” “Kenapa?” Azmi memotong pembicaraan Lina. “Mimi... Kamu dengarkan dahulu aku berbicara, kalau aku sudah selesai, baru kamu mengajukan pertanyaan.” Lina mengerucutkan bibirnya. “Iya...Iya, maaf! Aku terlalu bersemangat.” Azmi mencubit kedua pipi Lina. “Baiklah aku mulai ya. Kamu jangan sela omongan aku lagi!” Lina mengusap pipi bekas cubitan Azmi. “Iya.” Azmi menopang dagunya dan menatap Lina dengan serius. “Momynya Tania ini dulu salah satu OG di kantor ini, Mi. Dan dia jatuh cinta berat sama Pak Andrean. Entah bagaimana ceritanya, aku juga nggak tau pasti. Tetapi, dari yang aku dengar dari senior yang ada disini. Beberapa tahun yang lalu, ada pesta kecil-kecilan di kantor ini. Untuk pelantikan pak Reno menjadi Direktur utama, menggantikan papanya. Acara tersebut berlangsung hingga larut malam. Pagi harinya, ada seorang OB yang melihat Pak Reno, dan Mominya Tania sedang berpelukan di atas sofa, dalam keadaan polos.” Lina sedikit berbisik di akhir kalimat. “Kamu nggak bohongkan, Lin?” Azmi menutup mulutnya mendengar perkataan Lina. “Mana mungkin aku bohong, Mi!” “Terus?" “Momynya Tania langsung berhenti dari pekerjaannya, dua bulan kemudian pak Reno menikahi Mommy Tania. Pernikahan mereka sepertinya tidak berlangsung dengan baik Mi, mereka selalu ribut di kantor ini. Mommy Tania juga selalu ingin mencoba menggugurkan Tania. Apa yang dialami Tania sekarang, itu semua ulah momynya sendiri.” “Maksud kamu, Lin?” “Kamu nggak lihat tadi Tania larinya agak susah.” “Lihat sih....” “Itu semua karena keegoisan Momy nya, Tania terlahir tanpa kedua kakinya. Tetapi Pak Reno selalu mengajarkan Tania untuk selalu kuat, dan seperti yang kamu lihat, Tania berhasil tumbuh menjadi gadis yang ceria dan kuat. Seperti yang diajarkan oleh Daddy nya.” Azmi menganggukkan kepalanya. “Terus sekarang Momynya Tania dimana, Lin?” “Aku kurang tau juga sih, Mi. Tetapi kata Tania Momynya sibuk mengurus butiknya. Momynya itu pergi pagi dan pulang malam. Dan Momynya itu, tidak ingin mengakui Tania sebagai anaknya. Karena dia malu. Itu sebabnya, Tania lebih suka bermain kesini, daripada ke tempat Momynya.” “Kamu tau banyak tentang mereka semua. Kamu pasti sudah lama ya bekerja disini.” “Nggak terlalu lama, dan nggak terlalu baru Mi. Aku di sini bekerja baru lima bulanan. Tetapi aku sering menguping senior-senior yang sedang bergosip.” Lina terkikik geli mengingat perjuangannya untuk mendapatkan informasi tentang Reno dan Andrean. Karena kedua pria tampan tersebut mampu membuat Lina jatuh cinta dalam satu kali pertemuan. Sama seperti Azmi, Lina merasa penasaran siapa Ayah kandung Tania antara Andrean dan Reno. Alih-alih mencari informasi, Lina malah jatuh cinta kepada Raka, kekasih Lina sampai hari ini. Seorang manajer keuangan di kantor tersebut. “Walaupun Tania anaknya pak Reno, aku akan tetap mundur,Lin. Terlalu ketinggian jika aku mengharapkan pak Andrean menjadi milikku.” Azmi menempelkan pipinya ke atas meja, “Aku tidak memiliki apapun untuk aku banggakan, Lin. Sedangkan Pak Andrean memiliki segalanya. Dia....” Lina menginjak kaki Azmi, agar gadis itu menghentikan ocehannya. “Dia adalah pria yang sangat sempurna, Lin, aku harus mundur!” Azmi mengabaikan peringatan dari Lina. “Mundur sebelum berperang itu tidak baik. Kamu harus terus berjuang, siapa tau pria itu juga menyukaimu.” Andrean membungkukkan tubuhnya, agar bisa menatap wajah Azmi. Lina langsung memundurkan kursinya, dan kembali ke kubikelnya. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Ba-Bapak!” Mata Azmi mengerjap pelan melihat wajah Andrean yang sangat dekat dengan wajahnya. Beberapa detik kemudian, Azmi terlonjak kaget dan hampir membuat tubuhnya terjatuh dari kursi. Jika Andrean tidak sigap menangkap tangan gadis tersebut. “Ayo kita makan siang!” Tanpa mempedulikan kegugupan Azmi, Andrean merangkul pinggang gadis tersebut dan membawa Azmi masuk kedalam ruangan Reno. Sebelum masuk kedalam ruangan Reno, Azmi melirik Lina dengan tajam menggunakan ujung matanya. Bukannya takut dengan tatapan Azmi, Lina malah tertawa lepas sambil memegangi perutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD