Juwita duduk di sofa ruang tamu yang dingin. Suasana rumah terasa mencekam meskipun tidak ada pertengkaran besar. Semuanya terasa sepi, tetapi bukan ketenangan yang ia rasakan, melainkan kehampaan yang menyesakkan. Di tangannya, sebuah tiket pesawat ke Jepang. Tiket itu seharusnya menjadi jalan keluar dari rasa sakit yang menghantui selama dua hari terakhir. Namun, kenyataannya, tiket itu justru menjadi simbol dari luka yang lebih dalam.
Helaan napas panjang keluar dari bibir Juwita. Tangannya gemetar, mencoba meyakinkan dirinya bahwa kepergiannya adalah keputusan yang tepat. Tapi hatinya masih ragu. Bayangan Nathan dan Asti—mantan kekasih dan adik kandungnya sendiri—terus berputar dalam pikirannya. Dua hari ini adalah neraka baginya. Melihat mereka bermesraan di rumah yang sama, seolah-olah tidak pernah ada kisah antara dirinya dan Nathan, seolah-olah perasaannya tidak pernah ada.
Saat Juwita terbenam dalam pikirannya, tiba-tiba tiket di tangannya direbut kasar. Ia tersentak, menoleh, dan melihat sosok yang sudah sangat dikenalnya—Mamanya, Rara. Mata Rara menyala penuh kemarahan.
“Kamu mau habisin uang saya?” suara Rara terdengar tajam, menusuk hati Juwita. “Kamu memang anak tidak tahu diri ya, Juwita!”
Juwita membisu, menatap wajah ibunya dengan tatapan sendu. Ucapan itu terlalu menyakitkan, tetapi bukan hal baru. Rara selalu menganggapnya beban, selalu memperlakukannya seolah-olah Juwita adalah duri dalam daging keluarga.
“Mama, aku hanya ingin menenangkan diri…” suara Juwita bergetar, nyaris tidak terdengar. Ia mencoba menjelaskan, tetapi Rara memotongnya.
“Halah! Kamu itu memang berlebihan!” Rara mendengus sinis, wajahnya penuh ejekan. “Nathan itu cinta sama Asti, bukan sama kamu!”
Kata-kata itu menghantam Juwita seperti pukulan keras. Rara menunjuk wajah Juwita dengan tangan kirinya, seolah menekankan betapa kecil dan tidak berartinya Juwita di mata ibunya sendiri. Air mata menggenang di mata Juwita, tetapi ia menahannya. Ia tidak mau menangis di depan Rara. Tidak lagi.
Dengan senyum tipis yang dipaksakan, Juwita mengangguk pelan. “Ya, Mama benar.” suaranya lirih, hampir seperti bisikan. “Nathan memang cinta sama Asti, bukan sama aku.”
Tetapi itu bukan berarti perasaannya tidak pernah ada. Bukan berarti sakit hati ini tidak nyata.
***
Malam itu, Juwita mengurung diri di kamar. Tiket pesawat ke Jepang sudah direbut Rara, tetapi niatnya untuk pergi tidak berubah. Ia tidak bisa tinggal di rumah ini lebih lama lagi. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada Nathan, pada masa-masa indah yang kini terasa seperti ilusi.
Juwita duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke luar jendela. Bulan purnama bersinar redup, seolah ikut merasakan penderitaannya. Ia meraih ponsel di atas meja, membuka galeri foto, dan melihat foto-foto lama bersama Nathan. Di setiap senyum yang terpampang, ada luka yang menganga.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka tanpa mengetuk. Asti masuk, wajahnya tampak canggung, tetapi ada rasa bersalah yang jelas di matanya. “Kak, aku boleh bicara?” tanyanya lembut.
Juwita tidak menjawab, hanya menatap adiknya dengan tatapan kosong.
“Kak, aku minta maaf…” suara Asti bergetar. “Aku tahu ini menyakitkan buat Kakak, tapi aku nggak bisa memilih. Aku benar-benar mencintai Nathan.”
Permintaan maaf itu terdengar tulus, tetapi bagi Juwita, itu tidak cukup. Tidak akan pernah cukup.
“Kamu mencintai Nathan?” Juwita tertawa kecil, tetapi suaranya terdengar pahit. “Baguslah, Asti. Kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan.”
Asti terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Hening menyelimuti mereka berdua. Akhirnya, Asti menghela napas panjang dan meninggalkan kamar tanpa berkata apa-apa lagi.
***
Keesokan paginya, Juwita sudah bangun sebelum matahari terbit. Dengan koper kecil di tangan, ia berjalan pelan menuju pintu depan. Tidak ada yang tahu ia akan pergi. Tiket ke Jepang mungkin sudah tidak ada di tangannya, tetapi ia punya rencana lain. Ia akan pergi sejauh mungkin, ke mana pun, asalkan jauh dari rasa sakit ini.
Saat ia membuka pintu, suara langkah kaki terdengar dari belakang. “Mau ke mana kamu?” Suara Rara terdengar tegas, tetapi tidak semarah sebelumnya.
Juwita berhenti sejenak, menoleh ke belakang. “Aku harus pergi, Ma,” jawabnya tanpa emosi.
“Kamu mau lari?” Rara mendekat, tetapi kali ini suaranya lebih lembut. “Kamu pikir lari akan menyelesaikan semuanya?”
Juwita menatap mata ibunya, melihat sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya—sedikit rasa khawatir. “Aku nggak lari, Ma. Aku hanya ingin menemukan diriku sendiri.”
Rara mencibir pada Juwita. “Menemukan apa? Menemukan beban? Juwita, daripada kamu itu mau pergi menjauh. Lebih baik kamu tolong Asti dan Nathan sekarang. Mereka mau pindahan ke rumah mereka. Asti itu anak kesayangan Mama, dia tidak bisa melakukan pekerjaan yang berlebihan. Nanti tangannya lelah dan bisa membuat dia sakit. Mama tidak mau Asti sakit. Jadi, kamu tolong Asti. Dan tinggal sementara di rumah Asti sampai Asti mendapatkan asisten rumah tangga.”
Juwita mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya terkejut.
Tinggal di rumah Asti? Yang benar saja. Juwita tidak mau. Juwita tidak bisa melihat kemesraan Asti dan Nathan setiap saat. Itu sangat membuat dirinya sakit.
“Ma… aku tidak mau. Aku bukan pembantu! Dan anak kesayangan? Juwita ini bukankah anak Mama juga?” Tanya Juwita.
Rara mencibir. “Anak saya? Semenjak kapan kamu menjadi anak saya! Dan jadi anak kesayangan. Cih! Kamu itu harus balas budi sama saya Juwita. Kamu harus menyenangkan Asti, anak saya. Dia itu tidak boleh bekerja keras. Dia itu harus menjadi Nyonya. Kamu cuman sementara kok di rumah Asti dan Nathan. Nggak selamanya. Jadi, nggak usah ngeluh kayak gitu. Nggak guna banget!” Ucap Rara begitu menyakitkan sekali di dengar oleh Juwita.
Juwita mengusap dadanya berulang kali. Menatap sendu ibunya. “Ma… kalau Juwita bukan anak Mama. Terus anak siapa?” Tanya Juwita tanpa sadar air mata itu sudah menetes di pelupuk matanya.
“Kamu nanya saya? Nggak usah banyak tanya Juwita. Buat saya pusing aja. Lebih baik kamu pergi sekarang tolong Asti. Lagian Nathan sudah pilih Asti untuk jadi istrinya. Bukan pilih kamu. Kamu itu nggak secantik Asti. Makanya Nathan nggak mau pilih kamu. Jadi, kamu harus sadar diri. SADAR DIRI!” kata Rara penuh penekanan pada Juwita yang terdiam mendengar ucapan ibunya barusan.
Sadar diri ya?
Sadar diri kalau dirinya selalu saja salah dimata orang tuanya sendiri. Dan sekarang dia mau dijadikan pembantu di rumah adiknya sendiri sekaligus mantan kekasihnya.
Ya Tuhan … apakah Juwita kuat?