Penggoda?

1247 Words
Juwita menatap pemandangan di depannya dengan hati yang remuk, meski senyum tipis tetap menghiasi wajahnya. Asti, adiknya, sedang sibuk memasukkan pakaian dan barang-barang ke dalam koper besar yang hampir penuh. Di sisi lain, Nathan berdiri di samping Asti, dengan tangan mereka saling menggenggam. Mereka terlihat begitu serasi. Tapi bagi Juwita, pemandangan itu seperti belati yang menusuk jantungnya. "Kak Juwita! Jangan berdiri di situ saja!" suara Asti memecah keheningan. Nada suaranya terdengar dingin dan datar, tanpa sedikit pun kelembutan. "Mama sudah bilang, kan? Kakak harus bantu urusan rumah tangga selama aku di rumahku nanti sama Mas Nathan. Jangan malas, ya!" Juwita menelan ludah, mencoba menekan rasa sakit yang kembali membuncah di dadanya. Ia menarik napas panjang, menghela pelan, dan tetap tersenyum meski senyum itu semakin terasa berat. Pandangannya bertemu dengan mata Nathan yang tampak sendu, seolah ingin berkata sesuatu. Namun, suasana di antara mereka terasa terlalu kaku untuk sekadar berbicara. Nathan membalas senyum Juwita dengan senyuman kecil, tetapi segera mengalihkan pandangannya saat Asti menoleh dengan tatapan tajam. "Kak! Jangan godain suamiku!" Asti mendesis dengan suara yang lebih tajam dari sebelumnya. "Kamu itu, senyum-senyum sama suami orang. Makanya cari suami sendiri sana. Yang sepadan sama kamu. Kamu nggak akan pernah dapat yang seperti Mas Nathan." Kalimat Asti seperti cambuk yang menghantam hati Juwita. Tapi ia tidak membalas. Ia memilih diam. Juwita mengambil salah satu baju yang tercecer dan melipatnya dengan tenang, memasukkan ke dalam koper. "Aku hanya ingin membantu," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. "Bagus kalau sadar diri," sahut Asti dengan nada mengejek. Nathan diam. Meski mulutnya terkunci, pikirannya penuh oleh kata-kata yang ingin diucapkan. Hatinya tersiksa melihat Juwita harus menelan penghinaan seperti itu. Ia tahu rasa cinta Juwita padanya tak pernah pudar, seperti halnya rasa bersalah yang terus menghantuinya sejak memutuskan untuk menikahi Asti. Malam itu, setelah semua barang Asti telah rapi tersusun, Juwita kembali ke kamarnya. Hatinya terasa lebih berat dari biasanya. Ia duduk di tepi ranjang, memandang kosong ke luar jendela. Bulan sabit menggantung lemah di langit gelap, seolah mencerminkan perasaannya. Nathan mengetuk pintu kamarnya pelan. "Juwita, boleh kita bicara?" Juwita terkejut mendengar suara itu, tapi ia segera mengendalikan dirinya. Dengan suara lembut, ia menjawab, "Asti mana? Bukankah dia tidak suka kalau kau bicara denganku?" Nathan menarik napas dalam. "Dia sedang mandi. Aku hanya butuh waktu sebentar." Juwita terdiam sesaat, lalu membuka pintu kamarnya. Nathan masuk dan menutup pintu perlahan. Suasana menjadi hening, hanya terdengar detak jam di dinding. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Juwita dengan suara lirih, matanya menatap lantai. Nathan mendekat, tapi tetap menjaga jarak. "Aku ingin minta maaf." Juwita mengangkat wajahnya, menatap Nathan dengan mata yang penuh luka. "Untuk apa? Sudah terlambat untuk meminta maaf, Nathan. Kau telah memilih Asti. Itu keputusanmu." Nathan menggigit bibirnya, menahan rasa sesak di dadanya. "Aku tidak bisa mengubah keputusan itu, tapi aku ingin kau tahu... aku masih..." "Sudah cukup," potong Juwita. Air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Jangan ucapkan apa pun yang akan membuat semuanya semakin sulit. Aku sudah mencoba merelakan. Jangan hancurkan usahaku, Nathan." Nathan terdiam. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang dapat memperbaiki kesalahan yang telah dibuat. Ia hanya bisa menatap Juwita dengan penuh penyesalan. "Aku... hanya ingin kau bahagia." Juwita menggelengkan kepala. "Bahagiaku hilang saat kau memilih Asti." Nathan mencoba mendekat, namun Juwita mundur selangkah. "Keluar, Nathan. Sebelum Asti melihatmu di sini." Dengan berat hati, Nathan mengangguk. "Maafkan aku," ucapnya pelan, sebelum membuka pintu dan keluar meninggalkan Juwita yang akhirnya membiarkan air matanya jatuh bebas. *** Juwita berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang tampak lelah. Wajahnya yang biasanya ceria kini terlihat sendu, seolah semua cahaya dalam dirinya telah padam. Dia membelai pipinya sendiri, seakan mencoba menghibur hati yang telah terlalu lama terluka. Tidak ada yang tahu betapa berat beban yang ia pikul. Cinta yang pernah begitu indah, kini hanya menyisakan rasa sakit. Nathan, lelaki yang dulu menjadi dunianya, kini menjadi suami adiknya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah berpura-pura bahagia dan terus bertahan. Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka lebar. Juwita tersentak, berbalik, dan melihat ibunya, Rara, masuk dengan langkah tegas. Kehadiran ibunya yang tiba-tiba membuat suasana menjadi tegang. Rara memandang Juwita dengan tatapan yang dingin, penuh penilaian. "Juwita!" suara ibunya terdengar keras dan tegas, memecah keheningan. Juwita buru-buru duduk di tepi ranjang, menundukkan kepala. Ia tahu apa yang akan dikatakan ibunya, dan ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membela diri. "Selama kamu di rumah Asti dan Nathan nanti, jaga sikapmu," Rara berkata dengan nada penuh peringatan. "Jangan menggoda Nathan. Kamu tahu dia suami adikmu, dan kamu harus menjauh darinya. Jangan senyum-senyum, jangan berdua saja dengannya. Paham?" Juwita mengangkat wajahnya perlahan, menatap ibunya dengan senyum tipis yang penuh kepedihan. Ia mengangguk lemah, tidak mencoba membela diri. Kata-kata ibunya terasa seperti pisau yang menusuk hati. "Aku mengerti, Ma,"** jawab Juwita lirih. Suaranya hampir tidak terdengar, seolah-olah napasnya saja berat. Namun, dalam hatinya ia bertanya-tanya. Sejak kapan ia menjadi penggoda? Sejak kapan ia menjadi ancaman bagi pernikahan adiknya? Ia tidak pernah bermaksud seperti itu. Cintanya pada Nathan memang belum padam, tetapi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak merusak kebahagiaan mereka. Rara mendengus, tampak tidak puas dengan jawaban putrinya. Ia menatap Juwita dengan penuh kekecewaan, lalu berbalik dan berjalan keluar. Sebelum pintu tertutup, ia menambahkan, "Jangan pernah berpikir untuk mengganggu rumah tangga mereka. Ingat, Juwita, kau sudah cukup membuat keluarga ini malu dengan kehadiran kamu di dunia ini." BLAM! Pintu kamar ditutup dengan keras, meninggalkan Juwita dalam keheningan yang mencekam. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir perlahan. Ia menghapusnya dengan punggung tangan, tapi air mata itu terus mengalir tanpa henti. Dia merasa sendirian, seolah-olah tidak ada tempat di dunia ini yang bisa memberinya rasa aman. Ia teringat masa lalu, saat dirinya dan Nathan masih saling mencintai, sebelum semuanya berubah menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan. Juwita masih ingat saat pertama kali Nathan melamar Asti dengan keluarga pria itu. Hari itu seakan menjadi hari terburuk dalam hidupnya. Nathan adalah cinta pertamanya, lelaki yang selama ini ia pikir akan menghabiskan sisa hidup bersamanya. Tapi kenyataan berkata lain. Nathan memilih Asti. ** Malam itu, saat suasana di rumah mulai sepi, Juwita mendengar ketukan di pintu kamarnya. Ia menghapus air matanya dengan cepat dan berusaha menenangkan diri. "Siapa?" tanyanya, suaranya serak karena menangis. "Ini aku, Nathan," suara di balik pintu itu membuat Juwita terdiam sejenak. Hatinya berdegup kencang. Apa yang Nathan lakukan di sini? Bukankah ini terlalu berbahaya? Jika Asti atau ibunya tahu, semuanya akan semakin rumit. Tapi ia tidak bisa menolak keinginan untuk bertemu dengan Nathan, meski hanya sebentar. Juwita membuka pintu perlahan. Nathan berdiri di sana dengan ekspresi penuh kekhawatiran. "Bolehkah aku masuk?" tanyanya dengan suara lembut. Juwita ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk dan mempersilakan Nathan masuk. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Juwita setelah menutup pintu. Nathan menghela napas panjang. "Aku ingin memastikan kau baik-baik saja." Juwita tersenyum pahit. "Aku? Baik-baik saja? Kau tahu itu tidak mungkin, Nathan." Nathan menunduk, tampak menyesal. "Aku tahu, dan aku minta maaf. Aku tahu ini semua salahku dan aku tidak bisa menolak perjodohan itu Asti.” Ucap Nathan sendu. "Kenapa?" Juwita akhirnya mengutarakan pertanyaan yang selama ini mengganjal di hatinya. "Kenapa semuanya harus Asti?" Nathan terdiam lama. Wajahnya menunjukkan konflik batin yang mendalam. "Aku tidak punya pilihan lain, untuk menolak. Orang tuamu sangat keras Juwita. Mereka hanya-” “Aku tahu. Kalau mereka hanya sayang pada Asti bukan aku! Nathan! Apa aku kurang cantik?” Tiba-tiba saja Juwita berdiri dari tempatnya lalu memperlihatkan tubuhnya. Juwita yang hanya mengenakan pakaian tidur saja. Membuat Nathan menelan saliva. Betapa indahnya tubuh Juwita…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD