3- Kehidupan yang Berbanding 180 Derajat

1033 Words
Nindy berjalan lesu mengikuti langkah kaki Mamanya di depannya. Mamanya itu masih menggenggam tangan Nindy, em, lebih tepatnya menarik tangan anak gadisnya itu untuk mau mengikuti langkah kakinya. Sedari tadi sebenarnya Ratih juga mengikuti langkah kaki suaminya dan putra bungsunya di depannya. Dan ia pun sama enggannya dengan Nindy, namun tak ia tunjukkan. Mau tak mau ia harus melangkah dengan tegap, demi anak- anaknya itu. Keluarga yang berisikan empat orang itu kini tengah menyusuri gang sempit di pemukiman padat penduduk di pinggiran Jakarta. Tepatnya mereka tengah berjalan menuju sebuah rumah yang akan ditempati oleh keluarga mereka itu. Rumah yang berada di gang sempit itu berukuran kecil pula. Rumah kontrakan yang masih bisa keluarga itu sewa dengan sisa- sisa tabungan yang mereka miliki. "Ini rumahnya, Pak." Roy, Papa Nindy itu tersenyum melihat rumah kontrakan di depannya. Selanjutnya pria itu tersenyum pada wanita Si Pemilik Kontrakan itu, yang sedari tadi mengantar keluarganya itu. "Terima kasih, Bu," ucap Roy dengan senyum mengembang, membalas wanita itu. Si wanita Pemilik Kontrakan itu hanya mengangguk. Barulah setelah membalas senyuman Roy, wanita itu mulai meninggalkan keluarga itu. Ia berjalan menjauh dari gang sempit itu. Yang hanya menyisakan Roy juga keluarga kecilnya. "Kita ... bakal tinggal di sini?" Nindy mengerjapkan matanya berulang kali. Gadis itu mengedarkan matanya memandang rumah kontrakan kecil di depannya itu, juga memandang lingkungan di sekitarnya. Sebenarnya rumah kontrakan yang akan ia dan keluarganya itu tempati masih tergolong bersih, namun lingkungan sekitar rumah mereka yang hanya tanah membuatnya tampak kotor. Nindy mengulum bibirnya sendiri menatap miris rumah kontrakan di depannya itu. Sungguh, hidupnya benar- benar berbanding terbalik 180 derajat saat ini. Dan semua itu bukanlah mimpi semata. Melainkan kenyataan. "Iya. Ayo, masuk." Ratih, Mama Nindy itu menepuk pelan bahu anak gadisnya itu, dan selanjutnya ia mulai melangkah memasuki rumah itu mengikuti suaminya dan anak lelakinya itu yang sudah lebih dahulu masuk. Sedangkan Nindy hanya bisa tersenyum miris. Ia meremas ujung tali tas ranselnya itu dengan kuat. Ia salurkan rasa marah, kecewa, dan sedihnya di sana. Gadis itu tak ingin terus menangis ketika seharian kemarin ia sudah menangis bersama Mamanya. Tangisannya ia tahan susah payah sekarang. Lagipula ia pun sudah lelah menangis. Nindy harus kuat, menjalani hidupnya yang sekarang. Ia pasti bisa. Iya. °°°° Hari itu Nindy dan keluarganya habiskan untuk membersihkan rumah kontrakan itu. Mulai dari menyapu hingga mengepel lantai, lalu membersihkan kamar masing- masing, kemudian berakhir dengan membersihkan kamar mandi sempit di dalam rumah. Semuanya mereka lakukan bersama- sama. Setelahnya, barulah mereka membersihkan diri masing- masing dan berganti pakaian. Lalu mengisi perut yang seharian kosong dengan makan malam seadanya. Jika sebelumnya keluarga Nindy mempunyai asisten rumah tangga pribadi yang jumlahnya tidak hanya satu orang, kini mereka harus melakukan semuanya sendiri. Tanpa bantuan asisten rumah tangga. Jika sebelumnya makan malam mereka pasti selalu ada ayam atau ikan untuk lauknya, sekarang mereka harus bisa bersyukur hanya dengan adanya telur dadar. Bahkan Ratih pun hanya dapat menggoreng telur, setelah selama ini ia tak pernah menyentuh dapur. Apalagi Nindy. Nindy juga sama, tak pernah menyentuh dapur. Bahkan untuk menyeduh mi rebus saja selama ini selalu ia serahkan pada asisten rumah tangga mereka. Jadi ia tak tahu menahu tentang resep makanan sekalipun. "Malam ini kita makan ini saja, ya." Roy memulai topik pembicaraan di atas lantai di dapur. Pria itu tersenyum dengan teduh menatap kedua anaknya dan juga istrinya. Kemudian melanjutkan kalimatnya. "Besok Papa akan coba cari pekerjaan, agar kita bisa makan lebih enak lagi." Tak ada meja dan kursi di dapur sepertinya dulu. Jadi kini mereka harus duduk bersila di atas lantai dapur rumah mungil mereka itu. Duduk melingkar sembari menatap wajah masing- masing. Nindy membalas senyum itu. Lalu mengangguk berulang kali. "Iya, Pa." Disusul oleh senyum dari Sang Mama dan adiknya, Nandiro. "Udah, yuk makan. Aku lapar." Nandiro terkekeh kemudian mulai melahap nasi di piringnya. Nasi yang biasanya ia selalu ambil dengan sesuka hati, kini mau tidak mau harus dibagi rata karena hanya ada sedikit. Cowok itu melahap nasi dan telur dadarnya itu hanya dalam beberapa suap saja. Nindy menelan nasi dan telurnya dengan senyum mengembang. Ia harus terbiasa dengan kehidupannya ini mulai sekarang. Kemudian ia pun harus kerja setelah lulus kuliah nanti. Setidaknya ia harus membantu keuangan keluarganya, dan tidak hanya berdiam diri. "Mulai besok, Nindy juga akan mulai cari kerja." Gadis itu berujar sambil masih menunduk menatap nasinya. Beberapa detik berikutnya, gadis itu mendongak. "Nindy bakal cari kerja, bagaimanapun caranya." "Biaya wisuda kamu gimana, Nak?" Ratih yang sedari tadi diam, kini bersuara. Oh, iya, biaya wisuda! Biaya wisuda di kampusnya tergolong mahal. Bahkan ia masih harus ujian skripsi minggu depan. Tidak memikirkan sama sekali tentang wisudanya itu. Firasatnya mengatakan, bahwa ia tidak akan mengikuti wisudanya itu. Lagipula biayanya sangat mahal. "Nindy gak akan ikut wisuda." Seluruh keluarganya tercengang mendengar jawaban Nindy itu. Pasalnya mereka tahu bahwa selama ini Nindy mengidam- idamkan wisuda yang hanya dilakukan sekali itu. Wisuda yang menandakan berakhirnya masa kuliahnya itu. Mereka tahu kalau Nindy tak akan dengan mudah melepaskan wisudanya itu. "Hah?" "Kak ..." Nindy memotong semua ucapan yang akan dilontarkan keluarganya itu. Gadis itu kembali membuka bibirnya. "Uang wisudanya lebih baik ditabung. Jadi nanti Nindy hanya membayar biaya untuk mengambil ijazah aja." Nindy melanjutkan kalimatnya. Gadis itu tersenyum penuh keyakinan. Iya. Ia rasa pilihannya sudah tepat sekarang. Tabungan yang ia miliki tak banyak. Tabungan yang semula ingin ia gunakan untuk berlibur ke Korea bersama teman- teman kuliahnya itu setelah wisuda. Tabungan yang ia sisihkan sendiri selama hampir empat tahun ini. Pada akhirnya tabungan itu harus ia gunakan tak sesuai rencana awal. Namun Nindy senang, setidaknya tabungannya itu masih ada gunanya di saat- saat sekarang. "Kamu yakin, Sayang?" Ratih menepuk lengan Nindy dengan pelan. Ia memandang Nindy dengan tatapan iba. Tak tega membiarkan anak gadisnya itu melepaskan hal yang selama ini diinginkannya itu. Namun sekali lagi ia pun tak punya pilihan lain. "Iya, yakin." Nindy membalas senyum Mamanya itu. Lalu ia menatap Papanya dan adiknya yang juga tengah menatapnya itu. Kemudian menyentuh balik tangan Mamanya. "Papa sama Mama gak perlu khawatir soal Nindy," sambung gadis itu. Setelahnya, keluarga kecil itu kembali menyantap makan malam mereka dalam hening. Tak ada yang memulai percakapan lagi. Semuanya larut dalam pikiran masing- masing. Menyisakan bunyi sendok dan piring yang berdentingan di dapur itu. °°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD