4- Teman yang Sesungguhnya

1351 Words
Hari ini Nindy telah melangsungkan Sidang Skripsinya. Gadis itu kini tengah berfoto dengan teman- temannya untuk merayakan kelulusannya dan telah menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Seluruh teman sekelasnya memberinya ucapan selamat, juga memberinya hadiah sebagai bentuk penghargaan atas kelulusannya. Selempang berwarna hitam berpita emas tak lupa dipakaikan pada Nindy sebagai tanda bahwa namanya telah bertambah dengan ada gelar di belakangnya. "Selamat, ya, Nin!" "Congrats, Nin!" Semua ucapan selamat itu ditujukan pada Nindy dengan raut bahagia. Raut bahagia itu ditunjukkan pula oleh Nindy yang menyambut dengan senyum lebar. Gadis itu membalas seluruh ucapan selamat yang ia terima itu dengan berkali- kali mengucapkan kalimat terima kasih. "Makasih, ya semuanya." Nindy tersenyum sumringah. Kemudian teman- temannya itu satu per satu mulai menuju teman sekelas Nindy lainnya yang melakukan sidang skripsi di ruangan yang sama. Meninggalkan Nindy hanya dengan teman- teman dekatnya. Teman yang selama ini selalu bersama dengannya sejak semester pertama di kampus. Jumlahnya ada tiga orang yaitu Anes, Rike, dan Tiara. "Ini buat lo." Anes yang pertama kali menyodorkan paperbag pada Nindy dengan wajah sumringahnya. Disusul oleh Rike dan juga Tiara yang turut memberi Nindy hadiah di dalam paperbag lain. Nindy senang bukan main. Gadis itu melebarkan senyumnya. "Thank you," balasnya. Rike memberinya sebuket bunga setelah tadi memberi Nindy paperbag berisi hadiah lain. Buket bunga itu langsung diterima dengan raut wajah sumringah Nindy. Membuat gadis berambut sebahu itu berulang kali membalasnya dengan ucapan terima kasihnya. Keempatnya berswafoto dan berulang kali mengambil foto selca dari kamera depan. Hitung- hitung sebagai kenang- kenangan sebelum berpisah masing- masing nantinya. "Satu, dua, tiga! Cheeze!" Anes berseru dengan keras begitu kamera mengambil gambar mereka. Berbagai pose mereka tunjukkan di depan kamera. Mulai dari pose normal sampai pada pose konyol sekalipun. Dari berdiri tegak masing- masing, sampai saling memeluk teman di samping. Semuanya mereka lakukan dengan raut wajah sumringah. "Sekali lagi selamat ya, Nin!" Anes berangsur memeluk Nindy. Yang langsung dibalas oleh gadis itu. Begitu pelukan mereka terlepas, Nindy beralih dipeluk oleh Rike dan Tiara. Mereka sesaat mengobrol tentang sidang skripsi yang setengah jam lalu Nindy jalani. Mendebarkan dan sangat menguras pikirannya. Namun pada akhirnya dapat berakhir dengan baik, dan gadis itu memeroleh nilai A. Anes sejak tadi memperhatikan Nindy, Rike, dan Tiara yang masih mengobrol itu. Diam- diam ia menarik sudut bibirnya. Gadis itu menyilangkan tangan di depan dadanya memandang Nindy yang masih tersenyum lebar itu. Mendadak Anes menjadi penasaran tentang reaksi yang akan Nindy berikan ketika dirinya mendengar perkataan dari Anes berikutnya. "Gue dengar kalau perusahaan orangtua lo jatuh bangkrut. Benar?" Nindy, Rike, dan Tiara sontak menghentikan obrolan ringan mereka dan serempak menatap orang yang baru saja mengucapkan kalimat itu. Anes. Anes tampak mengubah raut wajahnya, menjadi dibuat- buat agar terlihat sedih. Ia melangkah mendekati Nindy yang kini melunturkan senyumnya dalam sekejap. Anes dalam hati tersenyum, berbanding terbalik dengan ekspresi yang saat ini ia tunjukkan. "Lo ... udah dengar?" Nindy terbata menjawab pertanyaan Anes itu. Sudut bibirnya mendadak berkedut. Ia tak tahu kalau Anes dengan cepat akan mengetahui kabar itu. Anes mengangguk. "Kabarnya udah kesebar ke penjuru kampus. Kabar kalau keluarga lo sekarang jatuh miskin." Rike dan Tiara yang sejak tadi hanya diam, kini ikut menatap Nindy. Rike yang pertama kali membuka suaranya menyusul kalimat dari Anes itu. "Benar, Nin?" "Nin? Perusahaan Papa lo beneran bangkrut?" tanya Tiara ikut mempertanyakan masalah kabar itu. Mendapati semua mata kini tertuju padanya, membuat Nindy menggigit bibir bawahnya. Ia gugup. Rasanya saat ini ia tengah disudutkan seorang diri. Gadis itu meremas paperbag yang sejak tadi didekap olehnya. "Iya. Benar," jawab Nindy pada akhirnya. Sekarang tak mungkin juga ia menyangkal semua kabar yang sudah tersebar itu. Tidak ada gunanya, 'kan? "Hah?" Rike dan Tiara tercengang. Mereka bersitatap sambil menutup bibir masing- masing. Terlihat sangat terkejut akan kabar yang mereka dengar itu. "Terus ... sekarang lo dan keluarga lo tinggal di mana?" tanya Rike sembari menyentuh pundak Nindy. Gadis itu mengelus pundak Nindy dengan lembut. Matanya menyorotkan rasa kasihan terhadap Nindy. Tampaknya Nindy menyadari hal itu. Ia merasakan bahwa saat ini baik Rike maupun Tiara memandangnya dengan penuh rasa kasihan. Dan ia benci itu. "Di kontrakan di pinggir kota. Tapi gak apa- apa, kok. Keluarga gue baik- baik aja." Nindy berusaha tetap tersenyum menenangkan kedua temannya itu. Anes menyeringai dalam diam. Ia senang melihat ekspresi wajah Nindy sekarang. "Terus ... artinya lo gak akan bisa ikut wisuda dong?" tanya Anes lagi. Gadis itu sudah mengubah raut wajahnya dengan cepat, dan tampak dengan raut sedih yang dibuat- buat. Pertanyaan dari Anes itu membuat Rike dan Tiara mengangguk serempak. Keduanya kembali memandang Nindy dan kembali menunggu jawaban yang akan diberikan oleh gadis itu. Sayangnya Nindy kini merasakan bahwa ia tengah diberondong oleh berbagai pertanyaan yang sangat menyebalkan di telinganya. Bahkan setelah seharian ia sudah melupakan tentang bangkrutnya perusahaan Papanya itu dan keluarganya yang kini telah jatuh miskin, ia tadinya tak ingin mengingat hal itu di hari yang membahagiakan baginya itu. Tidak sampai akhirnya Anes kembali menanyakan hal itu dan membuatnya mengingat lagi. Nindy menarik napasnya dalam- dalam dan berikutnya ia menjawab dengan tegas, "Enggak." Anes sontak mengubah raut wajahnya begitu mendengar jawaban dari Nindy itu. "Tapi kita 'kan udah janji bakal wisuda bareng. Bahkan kita berempat udah janji sejak dulu," ujarnya dengan nada dingin. Mata Anes menyorotkan rasa kesalnya. Ia sangat kesal karena pada akhirnya Nindy mengingkari janjinya yang ia buat sendiri. "Iya. Lo yang buat janji tentang kita wisuda bareng, Nin." Rike menyetujui. Gadis itu ikut menyilangkan tangan di depan dadanya. Sorot matanya sama seperti yang ditunjukkan oleh Anes itu. Nindy meremas paperbagnya makin kuat. Ia berusaha mencari kekuatan dari sana, namun hasilnya nihil. Sama saja. Nindy masih saja gugup di tempatnya. "Maafin gue," lirih Nindy pada akhirnya. Ia menarik lengan Tiara yang tatapannya lebih lunak daripada kedua temannya yang lain. "Tapi kita masih bisa bareng- bareng terus, 'kan? Meskipun gue gak ikut wisuda sama kalian." Nindy mengucap kalimat itu dengan penuh harap. Sayangnya Tiara pun tak mau berpihak padanya. Tiara menarik tangannya dari genggaman Nindy meski dengan sorot mata yang masih sama. "Ti ..." Nindy menatap tangan Tiara yang ditarik oleh pemiliknya itu. "Lo udah gak nepatin janji lo, Nin. Jadi untuk apa kita semua masih bareng- bareng?" Anes kali ini menyeringai terang- terangan. Ia memajukan tubuhnya dan menyejajarkan tubuhnya dengan Nindy. "Lo udah bukan lagi teman gue." Anes menyambung kalimatnya dengan nada tinggi. Rike dan Tiara bersitatap. Sebenarnya mereka tak ingin memihak siapapun. "Nes ..." Rike kini mulai melunak. Ia menyentuh tangan Anes dan mencegah gadis itu untuk mengatakan kalimat lain. Anes menepis tangan Rike dengan keras. "Terserah kalian berdua mau ikut gue atau ikut dia." Setelah mengucap kalimat itu, Anes segera melangkah meninggalkan tempat itu. Ia menjauh tanpa mau membalik badan lagi. "Anes ..." Rike dan Tiara kini kebingungan. Namun mereka pada akhirnya menyentuh tangan Nindy sambil mengucapkan kalimat yang menohok hati Nindy. "Maafin kita ya, Nin." Tepat setelah mereka berdua mengucap kalimat itu, kedua gadis itu ikut meninggalkan Nindy seorang diri. Mereka berjalan menyusul Anes yang sudah tidak kelihatan lagi ditelan tikungan di koridor fakultas. "Eh, kalian juga pergi? Rike ... Tiara ..." Nindy kini seorang diri di depan pintu kelasnya. Ia menatap punggung ketiga temannya itu yang sudah pergi menjauh. Namun detik selanjutnya, bukannya menangisi kepergian teman- temannya, Nindy malah mendecih pelan sembari mengumpat. Gadis itu memutar bola matanya jengah. "Anjir." Nindy mengusap sudut matanya yang tadi sempat berair. Kemudian menjatuhkan paperbag pemberian Anes, Rike, dan Tiara itu ke lantai. "Memang, ya, kita baru tahu siapa yang masih jadi teman kita ketika sedang dilanda musibah dan jatuh miskin," ujar Nindy sambil berkacak pinggang. Ia menggeleng pelan sambil berdecak. "Sekarang gue tahu kalau mereka selama ini gak tulus temenan sama gue. Dasar!" Nindy meninju udara kosong di depannya, bagai membayangkan sedang meninju wajah Anes yang menyebalkan itu. Ia tahu kalau sejak dulu Anes memang iri dan dengki padanya. Semua itu karena Nindy jauh di atas Anes dalam semua hal. Bahkan saat Nindy selalu mendapatkan IPK tinggi, ia tahu kalau Anes iri padanya. Ia tahu Anes selama ini tidak tulus berteman dengannya. Bahkan Anes tadi terang- terangan tersenyum ketika tahu kalau keluarganya jatuh miskin. Menyebalkan! Nindy menendang paperbag di depannya dengan kesal sembari masih mengumpati ketiga temannya itu. Adakah yang jauh lebih buruk dari ini sekarang?! °°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD