“Om gila ya? Ngapain ke sini sih? Kalau mau nyuruh aku pulang, tinggal telpon aja. Kan temen-temen aku jadi heran kenapa Om bisa datang ke sini jemput aku. Itu tuh bikin semuanya tambah ribet tau,” ucap Antika begitu masuk ke mobil.
Nagara menyalakan mesin, lampu dashboard menyala lembut. “Bilang saja pada mereka kalau saya pamanmu,” katanya santai, nada tenang yang selalu terdengar seperti garis lurus. “Lagipula, tidak ada yang tahu saya anak keluarga pemilik yayasan. Separuh rahasia tetap rahasia.”
Antika melipat tangan di d**a, tatapannya menusuk dari kursi penumpang. “Justru itu. Nanti mereka lihat aku bukan Antika yang biasa, tapi ‘keponakan Rektor’. Malesin.”
“Kalau mereka benar temanmu, mereka percaya versi dirimu yang mereka temui setiap hari.”
Antika mendengus, memalingkan wajah ke jendela. Malam Jakarta di pukul sebelas seperti selimut Listrik dengan lampu neon memantul di genang aspal, bayang pohon robek-robek angin. “Om gak usah khawatir aku kabur atau balapan. Aku udah bilang, aku gak bakal balapan liar lagi.”
“Baik. Terima kasih sudah bilang langsung.”
“Serius, Om. Aku bukan anak kelas satu yang perlu dijemput Kepala Sekolah,” gumam Antika masih sinis, meski nada suaranya turun setengah tingkat.
Nagara tak menanggapi. Ia memutar setir, mengambil lajur kanan, lalu menepi.
“Kasih kepercayaan ke aku sebagaimana aku kasih kepercayaan sama Om, mana mungkin aku…,” ucapan Antika terhenti, otomatis ikut menahan napas saat mobil berhenti. Ia mendongak alisnya spontan terangkat.
Di kanan mereka, sebuah kedai es krim mungil masih membuka pintu. Tirainya bergambar unicorn, neon pink “Sweet Night” berkedip pelan, sementara etalase kaca memamerkan bola-bola gelato seperti planet mini stroberi, cotton candy, pistachio, earl grey, sampai rasa manisan sirsak. Jam dinding di dalam menunjuk 23.07.
Nagara keluar duluan, mengitari kap mobil, lalu membukakan pintu. “Satu cup es krim sebelum pulang,” ucapnya ringan, “biasanya membuat malam terasa kurang berat.” Ia mengulurkan tangan.
Antika berdehem kecil, menepis halus. “Aku bisa jalan sendiri.”
“Baik,” katanya mempersilahkan.
Antika melangkah duluan, mendorong pintu kaca yang berdenting kecil. Udara dingin menyambut, bersama wangi s**u dan gula yang lembut. Ruangan itu seperti kartu pos dengan dinding pastel, kursi bulat beludru, mural pelangi, rak aksesoris unicorn yang terlalu manis untuk siapa pun yang terbiasa menghadapi sinisnya dunia.
“Silakan, Kak.”
“Dua cup.” Ia menoleh singkat pada Antika. “Mau rasa apa?”
Antika menatap etalase, pantulan neon pink berkilau di pupilnya. “Aku… gak tahu.” Jarang ada yang menanyakan ini.
“Ambil yang kamu mau,” ucap Nagara.
“Cotton candy sama pistachio,” katanya akhirnya.
Karena kedai itu buka dua puluh empat jam, mereka tidak tergesa. Malam di luar berjalan pelan, seperti enggan beranjak. Di dalam, hanya suara lembut pendingin ruangan dan denting sendok di dinding cup yang menandai waktu.
Nagara dan Antika duduk di kursi dekat jendela. Dari sana, lampu jalan terlihat memantul di genangan air hujan sore tadi, menggambar warna-warna oranye dan ungu di aspal. Mobil-mobil lewat sesekali, membentuk garis cahaya yang memanjang. Antika memutar sendok di dalam gelato-nya, lalu mencicipi sedikit. Manisnya pelan, tidak menusuk. Entah kenapa rasa itu menyalakan sesuatu yang lain, sebuah potongan kecil dari masa lalu di London.
Ia ingat malam dingin di rumah besar keluarganya. Kakaknya duduk di pangkuan ayah, sementara dirinya hanya menatap dari tangga. Ketika Pitaloka merengek minta jalan-jalan, semua orang langsung bersiap. Saat Antika ikut bertanya, jawabannya selalu sama: “Lain kali.” Tapi “lain kali” itu tak pernah datang.
Di sana, Antika merasa seperti anak titipan, bukan anak kandung. Tidak pernah diajak makan es krim larut malam, apalagi duduk santai seperti ini. Ternyata tidak seburuk itu. Mungkin, pikirnya pelan, seharusnya sejak dulu saja ia datang ke Indonesia.
“Kenapa diam saja?” suara Nagara memecah lamunannya.
“Nggak apa,” jawabnya cepat, lalu berdecak kecil.
“Gak enak apa gimana? Kita bisa ganti ke yang lain lagi.”
“Om kebanyakan nanya.”
Nagara terkekeh, lalu tanpa peringatan mencubit pelan pipinya. “Jangan terlalu jutek. Sayang sekali wajah cantik kayak gini kalau kebanyakan cemberut.”
“Heh! Om ngapain sih!” Antika menepis tangan Nagara, tapi pipinya sudah memanas. “Aku bisa laporin loh, ini pelecehan.”
“Maaf, saya gemas lihat kamu,” balas Nagara santai sambil menyuap sisa es krimnya.
“Dih, aku gak suka. Kalau gitu lagi, aku bales pake bogeman. Mau?”
“Padahal cuma cubitan kecil. Kamu lucu sekali kalau ngomel begini. Menggemaskan malah.”
“Diem nggak!”
“Hahaha, iya, saya diam,” ucap Nagara dengan senyum tipisnya yang tenang.
Antika ingin marah lebih keras, tapi tubuhnya justru bereaksi lain dengan detak jantungnya melonjak tanpa sebab, napasnya terasa pendek. Ia menunduk, pura-pura sibuk dengan sendok yang mulai meneteskan cairan manis ke meja. Pipinya panas sekali.
Mungkin, ya… begini rasanya diperhatikan. Mungkin ini yang disebut kasih sayang, hal yang selama ini hanya ia lihat dari jauh.
****
“Ih gilaaaa! Jadi dia Om lo? Ihhhh dia ganteng banget pasti ya? Dari deketan pasti makin ganteng ya? Astaga! Dia rektor paling ganteng se-Indonesia deh. Mana ada rektor usia tiga puluh tahun, masih gagah, mana aduhhhh lo gak klepek-klepek gitu liatnya?” Cici menatap Antika dengan mata berbinar, suaranya setengah menjerit karena terlalu antusias.
Antika memutar bola mata, wajahnya sudah seperti orang mau muntah. “Astaga, Ci, bisa gak ngomong pake volume normal? Dan jangan halu, dia paman gue. P-A-M-A-N. Gak ada yang bikin klepek-klepek selain jijik.”
Cici malah tertawa keras. “Yailah, lo bisa aja. Tapi serius, An, gak dosa kan cuma menikmati pemandangan? Paman lo itu definisi ‘smart and fine man’. Duh, gimana gak, kampus ini tuh naik level sejak dia jadi rektor. Rebranding total! Dulu Universitas Wangsadipraja Dharma cuma kampus yayasan keluarga, sekarang udah diakui secara internasional. Lo tahu gak, waktu dia umur tujuh belas, dia udah masuk universitas negeri paling top dan dapet beasiswa luar negeri. Anak ajaib banget!”
“Ya, ya, jenius, ganteng, keren, bla bla bla,” gumamnya sambil menggeser iPad Cici ke pangkuannya, mengirimkan file presentasi kelompok ke ponselnya sendiri.
Cici terus berceloteh sambil mengunyah permen. “Lo tau gak, dulu sempet ada group fans di antara kakak tingkat. Namanya ‘Nagara’s Thinkers’ gitu deh. Isinya cewek-cewek yang ngumpulin foto dia waktu rapat, bahkan ada yang nyimpen rekaman suaranya pas ngisi seminar! Tapi akhirnya dihapus karena ketahuan sama bagian disiplin. Gila kan, bahkan pelanggaran etika pun rela demi liat senyum paman lo!”
“Hebat ya,” jawab Antika datar, jarinya tetap sibuk di layar. “Tinggal kurang bikin fan meeting sama tanda tangan di kaus aja.”
Cici menepuk bahunya, masih tertawa. “Lo tuh kebal banget. Padahal kalau gue yang tiap hari ketemu dosen kayak dia, udah gak fokus belajar. Bayangin youngest rector in national education history, jenius di bidang ekonomi dan manajemen, terus katanya masih sering diundang jadi pembicara internasional. Gila, itu tuh hot bukan cuma di tampang, tapi di otak juga.”
Antika mendengus pelan. Dalam hati ia menggerutu, Iya, otaknya sih mungkin brilian, tapi tangannya suka nyubit orang seenaknya.
Begitu semua file terkirim, ia berdiri, menutup iPad dan menyerahkannya kembali pada Cici. “Nih, udah semua. Makasih, ya. Gue balik dulu.”
“Hah? Lah kok buru-buru? Ini masih sore, jam empat aja belum. Lo gak ikut nongkrong di depan kampus? Anak teknik katanya mau buka lapak kopi, seru loh!”
“Enggak. Om Nagara nyuruh pulang lebih awal,” jawab Antika santai sambil meraih tasnya.
Wajah Cici langsung berubah cerah. “Wahhh, titip salam dong! Bilang aja Cici dari kelas ekonomi internasional ngucapin terima kasih udah ngasih dosen-dosen keren. Dan… kalau boleh, salam hormat juga buat senyumnya yang—”
PLAK! Antika memukul pelan kepala Cici dengan mapnya. “Dia udah nikah, Ci. Jaga pikiran lo.”
“Yaelah, gue cuma kagum! Kagum tuh gak dosa!” protes Cici sambil mengusap kepalanya.
Antika hanya mengangkat alis, malas berdebat. “Kagum boleh, halu jangan.” Ia melambaikan tangan, meninggalkan taman sambil tertawa kecil melihat Cici yang masih merajuk.
Udara sore menampar lembut wajahnya, menyapu rambut yang keluar dari ikatannya. Di gerbang kampus, mobil hitam sudah menunggu. Mang Bima berdiri di samping, menunduk sopan begitu Antika mendekat. Ia masuk ke dalam, menutup pintu, dan sejenak menatap pantulan langit senja di jendela.
Kenapa Om-nya menyuruhnya pulang cepat? Ada hal pentingkah?
Saat mobil hitam itu melewati gerbang rumah besar, lampu taman yang berjejer rapi menyala lembut, membingkai halaman hijau yang luas dan bersih. Antika menegakkan tubuh, menatap ke depan lewat kaca depan. Di pelataran, mobil hitam metalik milik sang paman sudah terparkir rapi di sisi kanan.
“Udah pulang ternyata…” gumamnya pelan. “Mang, besok ganti mobil. Aku bosen naik yang ini, rendah banget. Nanti gundukan dikit aja udah nyerempet.”
“Siap, Non. Saya cariin yang tinggi dikit, biar aman lewat jalan komplek.”
Antika turun dari mobil. Udara sore yang mulai dingin menyambutnya. Ia melewati halaman yang beraroma rumput basah, masuk ke dalam rumah yang megah tapi sepi. Dinding putih gading, lantai marmer berkilau, dan aroma bunga lili dari vas besar di ruang tengah menyambut langkahnya.
Begitu pelayan datang menyambut, Antika langsung bertanya, “Om di mana?”
“Sepertinya di kamar, Non. Atau mungkin di ruang kerja.”
“Hmm.” Antika naik lift kaca di ujung. Begitu pintunya terbuka— “Astaga!” serunya spontan, terlonjak karena ternyata Nagara berdiri di depan lift, hendak masuk.
Pria itu tampak santai dalam kemeja abu gelap yang lengannya digulung sampai siku. Tatapan matanya tenang seperti biasa, tapi sudut bibirnya mengangkat sedikit, menandakan geli melihat wajah kaget keponakannya. “Bagus,” katanya ringan, suaranya dalam dan berwibawa seperti biasa. “Kamu pulang cepat seperti yang saya perintahkan.”
“Om ngagetin banget, sumpah. Gak bisa muncul kayak orang normal gitu?”
Nagara malah terkekeh, lalu dengan tenang menarik Antika keluar dari lift sebelum pintunya tertutup lagi. “Nah, kamu siap-siap. Perempuan kan suka lama.”
“Buat Apaan?” Antika menatapnya curiga, tangannya otomatis menepis genggaman Nagara di pergelangan tangan.
“Kita makan malam di luar malam ini.”
“Apaan? Makan malam?”
“Ya,” jawab Nagara singkat. “Saya dan Elise sudah buat reservasi di restoran Éclat Maison malam ini. Tapi Elise masih sibuk di luar kota. Sayang kalau dibatalkan, jadi kamu ikut saya saja.”
Antika terdiam beberapa detik, mencoba mencerna. Lalu matanya membesar. “Serius, Om? Éclat Maison yang di SCBD itu? Yang waiting list-nya tiga bulan?!”
“Yang itu,” jawab Nagara dengan nada datar, tapi ada senyum samar di ujung kalimatnya.
“Ya Tuhan…” Antika hampir meloncat, tapi buru-buru menahan diri biar gak terlihat terlalu girang. “Yaudah, aku siap! Kasih aku waktu tiga puluh menit!”
Nagara terkekeh kecil, lalu mengusap rambut Antika sekilas, gerakan refleks yang membuat gadis itu langsung memelototinya. “Ih ngapain sih!” seru Antika, tapi dia sudah berlari menuju kamarnya di ujung koridor. Tawa kecil Nagara masih menggantung di udara.
Begitu pintu kamarnya tertutup, Antika menempelkan punggung ke daun pintu dan menarik napas panjang. Senyum tipis muncul tanpa sadar. “Fine dining di Éclat Maison…” gumamnya tak percaya. “Gila, paman yang satu itu bisa juga punya selera yang bagus.”
Ia berjalan ke depan cermin, membuka lemari. Tapi senyum di wajahnya langsung pudar. Gaun? Tidak ada satu pun. Yang ada hanya jeans, hoodie, dan crop top dan baju-baju yang jelas tidak pantas buat restoran bintang lima. Memang ada pemberian Elise, tapi… itu tidak masuk seleranya, warnanya terlalu manis.
“Gimana dong, gue gak punya baju buat makan di tempat beginian,” keluhnya setengah panik, menjambak rambut pelan.
Namun, matanya kemudian menangkap sesuatu di atas kasur, ada sebuah paper bag besar berwarna putih dengan pita hitam elegan. Ia mendekat, membuka dengan penasaran.
Di dalamnya ada sebuah gaun satin biru tua lembut yang jatuh indah, tas tangan kecil yang senada, dan sepasang sepatu heels perak dengan kilau halus. Ada kartu kecil terselip di atasnya, bertuliskan rapi:
Untuk keponakan saya. —Nagara
Antika membeku sejenak, lalu mendecak pelan sambil tersenyum miring. “Ya ampun, si rektor tua ini niat banget. Mau ngajak makan aja kayak mau gala dinner.”
Namun meski mulutnya sinis, dadanya terasa hangat. Ada sesuatu yang mengembang pelan di sana, rasa yang selama ini jarang datang. Ia menyentuh lembut kain gaun itu, dan untuk pertama kalinya, merasa diperhatikan bukan karena prestasi atau perbandingan, tapi karena… disayangi.