Malam yang Mencium Luka

1977 Words
Éclat Maison berdiri megah di jantung kawasan SCBD, menempati sudut gedung kaca tinggi dengan fasad marmer putih yang memantulkan cahaya kota. Dari luar saja sudah terasa aura elegan, mahal. Begitu pintu besar berbingkai emas terbuka, udara wangi lavender dan vanila samar langsung menyapa. Langit-langitnya tinggi, dihiasi lampu gantung kristal berbentuk spiral yang berkilau seperti tetesan hujan beku. Di setiap sudut, tanaman kering dan bunga segar tersusun dalam vas kaca, sementara musik jazz mengalun lembut dari grand piano di pojok ruangan. Antika berjalan di samping Nagara, matanya sibuk menelusuri interior yang seperti karya seni. “Gila, tempatnya kayak di film,” bisiknya pelan, sedikit menahan napas. Pelayan yang mengenakan setelan hitam elegan segera mendekat, menunduk sopan. “Reservasi atas nama Nagara Adikara,” ucap pamannya tenang. “Tentu, Pak Nagara. Meja Anda sudah disiapkan. Silakan mengikuti saya.” Mereka diarahkan ke area khusus di tepi jendela besar, dengan pemandangan city lights Jakarta yang berkilau di bawah langit malam. Dari ketinggian, jalanan terlihat seperti aliran perak panjang yang mengalir di antara gedung-gedung. “Aku pernah lihat ini di internet,” ucap Antika antusias, senyumnya sulit disembunyikan. “Restoran yang katanya waiting list tiga bulan. Aku nyangka bisa ke sini juga.” Nagara hanya menoleh sekilas, sudut bibirnya terangkat kecil. “Silakan duduk.” Antika menatap sekilas, agak kaget saat pamannya menarikkan kursi untuknya. “Ih, Om gak usah gitu. Aku bisa sendiri.” “Ya gak papa, kan saya paman kamu,” jawab Nagara tenang sambil duduk di seberangnya. “Tetep aja aku bisa sendiri. Dan stop liatin aku, aku lagi mengagumi tempat ini.” Nagara terkekeh pelan, menatap wajah cerah keponakannya yang mulai keluar sifat cerewetnya. “Kamu tahu, Antika… kamu itu seorang Wangsadipraja. Hal-hal seperti ini bukan sesuatu yang sulit kamu dapatkan.” Antika malah tertawa kecil, memutar sendok di antara jarinya. “Om lupa ya, aku anak yang dibedain dari dulu. Kakak diajak makan, aku ditinggal. Dulu katanya karena nakal. Jadi ya, hal kayak gini bukan sesuatu yang gampang aku dapetin.” Nagara terdiam sejenak. Tatapannya lembut tapi dalam, seperti menimbang sesuatu yang tak terucap. “Kalau begitu,” ucapnya akhirnya, “mulai sekarang kamu gak akan nyesel tinggal sama saya. Ada banyak makanan enak dan tempat bagus yang bisa kamu datangi… selama kamu gak nakal.” Antika mendengus, meneguk air yang baru saja disajikan. “Aku nakal juga karena pengen diperhatiin, Om. Mereka sibuk sama Kak Pitaloka, sibuk jadi keluarga sempurna. Kadang aku cuma pengen mereka sadar kalau aku juga ada. Aku tuh kadang heran, apa yang bikin mereka kesel banget sama aku? serius karena nakal? Kan bisa dididik dengan penuh kasih. Kalau tentang otak, ya belajarlah, kan gak semua manusia sama. Masa harus sama persis otaknya kayak punya Kak Pitaloka.” Nagara sempat ingin membalas, tapi pelayan datang membawa hidangan pembuka. Percakapan pun terhenti. Piring-piring porselen putih tersaji di depan mereka. Ada pan-seared foie gras dengan karamel balsamic dan buah ara, lobster bisque yang wangi dan lembut, serta truffle risotto dengan parutan keju parmesan yang mencair perlahan. Antika langsung teralihkan. “Astaga, Bagus banget ini, ahh gak sabar mau makan,” ujarnya, matanya berbinar. “Nah, silahkan makan. Kamu nikmati semuanya.” Ia menyendok dengan cepat, dan tanpa sadar mengeluarkan desahan kecil puas. “Ya ampun, enak banget. Gila, Om. Huhuhu, harus sering-sering ajak aku ke tempat gini deh. Makasih juga Tante Elise yang gak pulang hari ini.” Nagara tersenyum, menyandarkan tubuh di kursi. “Pelan-pelan makannya. Makanannya gak akan hilang.” Antika menatap sinis, pipinya penuh makanan. “Om jangan liatin aku terus. Cepet makan juga.” Nagara tertawa kecil, suaranya rendah dan tenang. “Baiklah.” Ia menurunkan pandangan, sementara Antika melanjutkan makan dengan wajah bahagia. Suap demi suap begitu dinikmati Antika. Setiap rasa seolah meledak lembut di lidahnya yang terasa manis, gurih, sedikit asin, semuanya berpadu sempurna. Ia makan dengan begitu serius hingga tidak sadar waktu telah berjalan cukup lama. Musik jazz yang tadi mengalun kini terdengar semakin pelan, seakan memberi ruang pada suara lain yang mulai hadir di luar sana. Langit di balik jendela besar itu perlahan berubah warna. Biru tua berganti kelabu, kemudian pekat seperti tinta. Butir hujan pertama jatuh pelan di permukaan kaca, meninggalkan jejak bening yang menetes perlahan. Lalu, tiba-tiba saja suara guntur menggema keras, petir menyambar di kejauhan, memantulkan cahaya putih ke seluruh ruangan. Antika refleks menegakkan tubuh, matanya membesar. “Astaga…” gumamnya pelan. Ia menggenggam sendok di tangan lebih erat, bahunya menegang. “Aku gak suka petir.” Nagara menoleh, pandangannya tetap tenang seperti biasa. “Tidak apa-apa,” katanya lembut. “Kita pindah tempat saja.” ***** Badai datang begitu tiba-tiba hingga langit yang semula hanya kelabu kini benar-benar gelap, diiringi suara guntur yang mengguncang kaca jendela restoran. Dari atas sana, terlihat beberapa ruas jalan di bawah mulai ditutup oleh petugas karena tergenang air, lalu lintas padat berhenti total, lampu kendaraan memantul di genangan seperti kilau emas di air hitam. Angin menderu, menghantam dinding kaca dengan gemuruh yang dalam, sementara hujan menitik deras seperti tirai air yang menutup pandangan. Antika menatap keluar dengan wajah cemas. “Astaga, Om… ini parah banget. Kayaknya bakal badai besar.” “Kita tidak akan bisa pulang malam ini,” katanya tenang. “Jalanan ditutup, dan hujan masih terlalu deras. Kita menginap saja.” “Mengina—apa?” “Hotel ini satu gedung dengan restoran. Lebih aman daripada memaksa pulang,” ucapnya lagi. Setelah berbicara dengan pelayan dan resepsionis, keputusan dibuat. Ternyata hampir seluruh kamar sudah terisi dan hanya tersisa satu suite room di lantai atas. Nagara menerimanya tanpa banyak pikir, dan Antika, yang lebih takut petir daripada canggung, hanya mengangguk setuju. Suite itu luas, beraroma segar dari diffuser lavender yang menenangkan. Ada ruang tamu dengan sofa panjang abu tua, lampu gantung kristal kecil, dan balkon tertutup tirai tipis yang bergetar pelan tertiup angin dari luar. Antika berdiri di ambang pintu, menatap hujan yang belum juga reda. “Masih deras banget…” ucapnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara dentum petir. Nagara melepaskan jasnya dan menggantungnya di sandaran kursi. “Kamu istirahat saja di kamar dalam. Saya di sini,” katanya lembut tapi tegas, menepuk sandaran sofa. Antika berjalan masuk ke kamar utama, menutup pintu perlahan di belakangnya. Untunglah kamar suite itu memiliki dua ruang terpisah. Antika memilih berdiam di dalam kamar, mencoba menenangkan diri. Gaun biru tua yang masih ia kenakan kini terasa hangat melekat di kulit, kain satinnya bergesekan lembut setiap kali ia bergerak di atas seprai putih bersih. Di luar jendela, cahaya kilat sesekali memantul di dinding, diikuti suara guntur yang menggema berat. Ia menarik selimut hingga ke d**a, menggigit bibir, mencoba mengatur napas. Namun, rasa takut itu menembus waktu. Dalam gelap, bayangan masa kecilnya datang perlahan. London, musim dingin, rumah besar dengan koridor batu dingin. Ia masih bisa mengingat dengan jelas malam ketika ia memakan kue ulang tahun milik kakaknya tanpa izin. Hanya sepotong kecil, tapi cukup untuk membuatnya dimarahi dan dikurung di ruang bawah tanah yang belum selesai direnovasi. Dindingnya lembap, lampunya redup, dan ia menggigil di antara debu dan suara tikus. Usianya baru sepuluh tahun, tapi malam itu terasa seperti seabad. Ia menangis sampai tertidur karena lelah dan takut. Kini, di tempat yang hangat dan aman ini, Antika berusaha meyakinkan dirinya bahwa tidak ada yang akan menyakitinya lagi. Bahwa ini bukan ruang bawah tanah, melainkan ruang nyaman dengan aroma lavender dan hujan di luar yang meninabobokan. Ia menarik napas panjang, memejamkan mata, dan perlahan membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan yang lembut. Di sisi lain, Nagara duduk di ruang tamu suite yang diterangi lampu kuning lembut. Ia menatap layar ponselnya yang memantulkan cahaya putih ke wajah lelahnya. Dua panggilan sebelumnya tidak dijawab, hingga akhirnya terdengar nada sambungan disertai suara perempuan yang dikenalnya terlalu baik. “Sayang, kenapa telepon saya baru diangkat?” suara Nagara tenang tapi dalam. “Kamu sedang apa?” “Aku lagi di pesta teman, Mas,” jawab Elise, terdengar riuh musik di belakangnya. Suaranya terdengar setengah teriak, penuh tawa yang dipaksakan. “Pesta? Sekarang sudah hampir tengah malam.” “Ya, cuma sebentar kok. Sekalian sekalian ketemu klien. Bandung cuacanya bagus, Mas, sekalian networking.” “Besok bisa pulang?” tanyanya pelan, tapi ada nada rindu di ujung suara itu. “Saya... rindu kamu.” Hening beberapa detik di seberang. Lalu Elise menjawab datar, “Belum bisa, Mas. Masih ada pemotretan dan fitting untuk brand baru.” “Kalau begitu, boleh saya nyusul ke Bandung? Biar saya yang menyamperin kamu.” “Jangan, Mas!” suara Elise meninggi tiba-tiba. “Aku lagi sibuk, nanti malah repot! Aku kan udah bilang, aku kerja. Tolong hargai itu.” “Elise,” suaranya merendah tapi tegas, “saya menghargai. Tapi jangan sampai kamu terlalu fokus pada pekerjaan sampai lupa rumah. Saya juga butuh kamu. Rumah kita butuh kamu.” “Lupa rumah? Aku cuma ngejar impian aku, Mas. Bukannya dulu Mas yang janji bakal dukung aku? Katanya mau nemenin sampai aku bisa jadi model senior, Mas lupa?” “Bukan begitu maksud saya.” “Selalu gitu. Begitu aku sibuk dikit, Mas langsung ngambek. Harusnya Mas bersyukur aku kerja, bukan nyalahin.” “Elise,” suara Nagara turun satu oktaf, mengandung tekanan. “Kamu sadar tidak cara bicaramu sekarang?” “Sadar banget, Mas. Aku cuma capek dibilang kurang. Aku cuma pengin karier aku diakui. Kalau Mas butuh temen, kan ada tuh, si Antika, keponakan manis yang katanya nakal itu. Didik aja dia. Kan itu tanggung jawab Mas.” “Elise!” suara Nagara kali ini berat, tegas, memotong tajam. “Jaga ucapanmu. Jangan bilang kamu mabuk?” “Aku belum selesai, Mas. Impian aku belum tercapai. Jadi tolong… jangan ganggu aku dulu.” Klik. Sambungan terputus. Nagara menatap layar ponselnya yang kini gelap, napasnya turun perlahan. Ia bersandar ke sofa, menatap langit-langit kamar hotel dengan mata yang kehilangan cahaya. “Selalu seperti ini…” gumamnya pelan. Nagara merebahkan tubuhnya di sofa panjang, berusaha memejamkan mata. Hujan di luar masih menderu deras, diselingi petir yang sesekali menggetarkan kaca jendela. Namun, di tengah deru badai itu, ia mendengar sesuatu lirih, nyaris tak terdengar di sela guntur. Suara tangisan. Halus, tapi nyata. Ia bangkit perlahan, menajamkan telinga. Tangisan itu datang dari arah kamar. Ia melangkah mendekat, mengetuk pintu pelan. “Antika?” Tidak ada jawaban. “Antika, kamu baik-baik saja?” Masih hening. Hingga isakan itu terdengar lebih jelas, lebih dalam, membuatnya segera memutar kenop dan masuk. Di sana, Antika tergolek di ranjang dengan tubuh menggigil, wajahnya basah oleh air mata. Ia menangis dalam tidur, napasnya tersengal, jemarinya mencengkeram selimut erat-erat. “Antika…” Nagara mendekat, mencoba menggoyang bahunya lembut. “Bangun, Nak. Itu cuma mimpi.” “Ampun… hiks…. jangan pukul aku lagi… hiks…. aku janji gak nakal…” suaranya lirih, penuh ketakutan yang memotong udara malam itu. Nagara terpaku. d**a kirinya terasa sesak. Apa yang sebenarnya sudah dialami anak ini? Perlahan ia naik ke atas ranjang, lalu tanpa ragu menarik tubuh Antika ke dalam pelukannya. “Tolong…. Hiks…” “Sudah… sudah, tidak apa-apa,” bisiknya lembut di dekat telinga Antika. “Kamu aman di sini. Tidak ada yang akan memukul kamu. Saya di sini.” Ia mengusap punggungnya perlahan, menenangkan setiap sesenggukan yang keluar, membiarkan gadis itu menangis sampai perlahan tenang di dadanya. “Mulai sekarang, apa pun yang terjadi dulu, saya tidak akan biarkan hal itu terulang lagi. Kamu aman, Antika. Selama kamu di sini, saya akan jaga kamu.” Tangannya terus mengusap punggung lembut itu sampai napas Antika stabil kembali. “Tidurlah yang nyenyak. Akan saya temani sampai kamu tenang…” Nagara tidak tahu bahwa di balik diamnya, Antika perlahan membuka matanya, hanya sedikit. Ia mendengar setiap kata yang diucapkan pamannya, tapi memilih untuk tetap pura-pura tidur. Air matanya mengalir lagi, kali ini bukan karena mimpi buruk, melainkan karena sesuatu yang lain. Kelegaan. Kehangatan. Ini adalah pelukan pertama yang tidak ia dapat karena kasihan. Janji pertama yang terdengar tulus. Dan Antika tidak ingin melepaskannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD