Karena mereka akan berangkat bersama, Cici sudah pergi lebih dulu dengan salah satu temannya. Suasana rumah sore itu tenang, lampu-lampu gantung di lantai dua memantulkan cahaya keemasan yang hangat ke dinding krem, sementara dari kamar sebelah Mbak masih sibuk mendandani Khairel yang duduk manis di depan cermin kecil. Antika sedang berdiri di depan meja rias, memakaikan anting, ketika pintu kamar yang memang setengah terbuka diketuk pelan. Ia menoleh. Nagara berdiri di sana. Rapi, tenang, namun jelas gugup walaupun ia berusaha menyamarkannya dengan postur tegap dan sorot mata yang biasa ia tampilkan saat memberi kuliah. “Saya dipersilakan naik ke lantai dua oleh pelayan,” ujarnya pelan, suaranya sedikit berat. “Saya kira kamu sudah siap.” “Belum,” Antika tersenyum kecil. “Tolong pas

