“Ra, anjir lo kenapa sih? Dari tadi diem aja kayak patung.” Suara Cici memecah hening di antara denting sendok dan alunan lagu pelan dari pengeras café. Mereka duduk di sudut ruangan, tempat yang biasanya penuh tawa, tapi kali ini hanya sunyi yang menggantung di antara dua sahabat itu. Antika masih menatap kosong ke arah luar jendela, wajahnya datar, jemarinya menggulung-gulung sedotan tanpa suara. Di depannya, sepiring pasta dan minuman dingin sudah sejak tadi tak tersentuh. “Lo sakit, ya? Atau PMS?” desak Cici, menaikkan alis. “Enggak. Gue cuma… males aja ngomong.” “Yah, males lo tuh gak normal, biasanya mulut lo kayak mesin tik. Ayo, cerita. Ada apa, hah?” “Tantenya gue, Ci. Dia pulang tadi pagi.” “Pantesan anjir. Terus?” “Dan…,” Antika menelan ludah, wajahnya berubah merah, “gue

