Dalam diam mungkin dapat ku pendam.
Dalam hening mungkin ku bergeming.
Dalam cinta segala rasa dan derita bisa ku tahan.
Dan dalam kesendirian biarkan semua ku lalui.
***
Suara angin berhembus sangat kencang hingga menimbulkan suara gemuruh yang riuh masuk melalui celah kecil dari atas tembok yang menjulang tinggi berwarna kelam. Berselimutkan udara pengap dan lembab karena jamur yang mulai menggerogoti tembok. Udara sangat dingin saat musim dingin dan terasa memanggang saat musim panas.
Keheningan dalam angan, realitanya tak pernah sekali pun lingkungan sekitarnya senyap. Setiap hari hanya terdengar suara pukulan benda-benda yang begitu menganggu. Terkadang juga terdengar teriakan keras, teriakan hanya sekedar kata-kata kasar atau berupa makian. Tak jarang juga ada teriakan kesakitan.
Sudah 3 tahun Enzo mendekam di sana. Berteman dengan tembok suram yang penuh dengan coretan. Di dalam ruangan sempit yang berisi ranjang besi keras serta satu kloset. Tidak pernah tahu ini jam berapa, hanya bisa melihat waktu dari celah kecil saat matahari menerobos masuk.
Bagi siapa pun tempat ini sangat mengerikan pastinya. Setelah 1 tahun mendekam di penjara kota ia akhirnya dipindahkan ke penjara khusus yang penuh dengan penjagaan ketat. Tak akan ada orang yang bisa datang berkunjung kecuali punya kekuasan yang tinggi. Tempat itu sendiri ada di tengah pulau dan sekelilingnya hutan, jika pun nekat untuk kabur hasilnya akan sia-sia saja karena akan berakhir mengenaskan dimakan binatang buas.
Terdengar suara pintu besi yang dibuka dengan kasar. Membuat derit yang mengilukan gigi. Enzo meliriknya tajam tanpa ekspresi. Terlihat dua sipir penjara yang datang ke sel milik Enzo yang kecil.
“Hari ini ada sedikit keringanan untuk tahanan. Kalian bisa menikmati waktu di halaman belakang,” beritahu Sipir.
“Tanggal berapa sekarang?” Enzo akhirnya membuka mulut. Terasa ketat karena ia hampir tak pernah bicara ketika di sana.
“30 Januari.”
Untuk pertama kalinya ada kilat pada mata Enzo, bukan kilat amarah namun keterkejutan. Ia mengusap lengannya yang masih tergambar jelas tato wanita yang membuatnya rela mengisolasi diri dari dunia. Menahan hasrat gila agar tidak mendobrak penjara setan yang telah memisahkan dirinya dan wanita itu.
“Dia ulang tahun hari ini.” Enzo bergumam lirih.
***
Zoya meniup kue ulang tahun yang dibawa Matthias. Pria itu memberikan kejutan pada siang hari sepulang ia mengajukan persyaratan untuk menjadi dokter di salah satu rumah sakit kota. Sebelumnya Matthias bahkan masih menjemputnya di rumah sakit, saat pulang ke rumah ternyata disambut kejutan yang luar biasa.
Tidak semua keluarga berkumpul karena kesibukan masing-masing, akan tetapi Kenanga—Mamanya Matthias turut hadir untuk merayakan ulang tahun calon menantunya itu. Tentu saja Matthias yang mengajak karena tak ingin Mamanya terus terpuruk dalam kesendirian karena memikirkan Papanya yang telah tiada.
“Make a wish dulu, anak cantik. Mama pangling loh lihat Zoya sekarang.” Kenanga merapikan rambut panjang Zoya yang menjuntai indah. Sejak dulu anak gadis Ethan yang satu ini memang sangat memikat pesonanya.
Zoya mengiyakan, memejamkan mata memanjatkan doa dalam hati. Tak ada doa khusus untuk dirinya, hanya berharap semua keluarga baik-baik saja dan sehat. Setelahnya ia langsung meniup lilin ulang tahunnya yang ke 22 tahun.
Matthias tersenyum melihat hal itu, mencolek sedikit krim dari kue yang dipegang lalu mengoleskan pada hidung Zoya.
“Selamat ulang tahun, Ndut.”
“Ah, Kak Matty jadi kotor.” Zoya merengut dengan wajah dikesal-kesalkan. “Kue pertama, untuk Kakak.” Kemudian Zoya ikut mencolek krim dan mengoleskannya pada bibir Matthias.
“Hahaha selalu tidak mau kalah.” Matthias tergelak oleh tawa. Mengusap krim di bibirnya lalu memakannya dengan mata yang melirik ke arah Zoya nakal.
Zoya berpura-pura tidak melihatnya, ia bergantian memeluk Kenanga dan kedua orang tuanya. Memeluk Ayahnya cukup lama sambil mendengar doa-doa terbaik dari pria favoritnya itu. Pria yang menjadi cinta pertama dalam hidup Zoya.
“Putri Ayah sudah dewasa, semoga selalu diberikan kebahagiaan,” kata Ethan mengelus rambut Zoya penuh kasih.
“Terima kasih, Ayah.” Zoya mengangguk pelan, tak tahu bahagia seperti apa yang akan ia dapatkan. Nyatanya ada sesuatu yang selalu menghantui dirinya ketika bibirnya ingin tertawa lepas.
Terkahir Zoya memeluk Matthias. Kali ini tidak ada larangan atau rasa takut seperti dulu untuk saling menunjukkan kemesraan. Ethan pun sudah mendukung penuh hubungannya dengan Matthias, bahkan sudah mendesak agar keduanya melangkah ke pelaminan saja. Tetapi Zoya yang masih ragu berusaha mengulur waktu.
“Coba tebak aku memberimu hadiah apa?” Matthias mengangsurkan sebuah kotak kecil pada Zoya setelah pelukannya terlepas.
“Apa, Kak?” Zoya mengerutkan dahi, penasaran dengan hadiah yang diberikan Matthias.
“Buka, Ndut.”
Zoya melirik ke arah Matthias lagi lalu menatap kedua orang tua yang tersenyum manis. Pastinya ikut bahagia melihat kedeketan anak-anak mereka.
“Aku buka, ya?” Matthias mengangguk mempersilahkan.
Zoya menurut, membuka kotak hadiah pemberian Matthias dengan tak sabar. Dari bentuknya yang kecil kemungkinan isinya berupa perhiasan atau mungkin kunci mobil. Zoya tidak punya ide untuk menebak, langsung membuka isi kotak itu.
“Gelang?” Zoya sontak menatap ke arah Matthias lalu ke arah gelang yang diberikan..
Gelang itu berupa manik-manik yang berbagi warna yang indah. Memutar dari ujung ke ujung, desainnya simple dan begitu cantik. Apalagi warna emerald dari salah satu manik terlihat sangat cantik.
“Aku meminta seseorang mendesain khusus untukmu, Ndut,” beritahu Matthias. “Suka tidak?”
Zoya mengangguk cepat. “Suka, gelangnya sangat bagus.”
Matthias tersenyum senang akan respon itu, ia mengambil gelang pemberiannya serta memberikan gestur kepada Zoya agar mengulurkan tangannya guna memakaikan gelang yang diberikan.
Zoya cukup kaget akan permintaan Matthias, di tangannya masih ada tato nama Enzo. Jika ia mengangkatnya pasti akan terlihat. Bisa dipastikan semua orang di sana juga akan melihat tato tersebut. Ia pun tak ingin menyakiti Matthias jika harus melihat tato itu lagi.
“Di tangan kanan nggak apa-apa. Aku memberikannya bukan untuk mengganti gelang yang kemarin, tapi aku juga ingin gelang ini menjadi pelengkap untuk kecantikan calon istriku ini,” ujar Matthias yang cukup peka akan keengganan Zoya.
Zoya terperangah mendengarnya, buru-buru mengulurkan tangan kanannya pada Matthias. Ia sempat melirik ke arah kedua orang tuanya yang tersenyum simpul. Lebih tepatnya Nindy dan Kenanga yang merasa momen itu sangat manis. Sedangkan Ethan menatap ke arah tangan kiri putrinya yang seperti sengaja disembunyikan.
“Nah, begini kan cantik.” Matthias lagi-lagi tersenyum, meraih tangan Zoya lalu dicium mesra.
Entah sikap manusia itu memang aneh atau hanya Zoya saja yang seperti itu. Ia selalu mencari hal yang ia sendiri tak pernah tahu meski sudah dihadapkan pria sempurna seperti Matthias. Pria yang sejak dulu ia idam-idamkan sebagai seorang suami dan akan mendampingi dirinya ketika tua kelak.
Sebenarnya apa lagi yang aku cari? Kenapa aku selalu merasa seperti ini?
Begitu banyak tanya dan tak pernah sekali pun Zoya mendapatkan jawaban.
Bersambung~